Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلۡأَعۡرَابُ
orang-orang Arab dusun
أَشَدُّ
amat/sangat
كُفۡرٗا
kekafirannya
وَنِفَاقٗا
dan kemunafikannya
وَأَجۡدَرُ
dan lebih wajar
أَلَّا
bahwa tidak
يَعۡلَمُواْ
mereka mengetahui
حُدُودَ
batas/hukum-hukum
مَآ
apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
رَسُولِهِۦۗ
RasulNya
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
ٱلۡأَعۡرَابُ
orang-orang Arab dusun
أَشَدُّ
amat/sangat
كُفۡرٗا
kekafirannya
وَنِفَاقٗا
dan kemunafikannya
وَأَجۡدَرُ
dan lebih wajar
أَلَّا
bahwa tidak
يَعۡلَمُواْ
mereka mengetahui
حُدُودَ
batas/hukum-hukum
مَآ
apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
رَسُولِهِۦۗ
RasulNya
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Orang-orang Arab Badui lebih kuat kekufuran dan kemunafikannya, serta sangat wajar tidak mengetahui batas-batas (ketentuan) yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Orang-orang Arab itu) yaitu penduduk daerah badui (lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya) daripada penduduk daerah perkotaan; karena penduduk daerah badui berwatak keras dan kasar serta mereka jauh dari mendengarkan Al-Qur'an (dan lebih wajar) lebih patut (tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya) berupa hukum-hukum dan syariat-syariat. Huruf allaa asalnya terdiri dari an dan laa kemudian keduanya digabungkan, sehingga jadilah allaa. (Dan Allah Maha Mengetahui) tentang makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) di dalam mengatur penciptaan mereka.
Tafsir Surat At-Taubah: 97-99
Orang-orang Arab Badui itu lebih kuat kekafirannya dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah), sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpa kalian; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)Nya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 97
Allah memberitahukan bahwa di antara orang-orang Arab Badui itu terdapat orang-orang kafir, orang-orang munafik, dan orang-orang yang beriman.
Tetapi kekufuran dan kemunafikan yang ada pada mereka jauh lebih banyak daripada yang lainnya serta lebih dominan. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sudah sepantasnya mereka tidak mengetahui hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Sebagaimana halnya Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim bahwa seorang Arab Badui ikut duduk dalam majelis Zaid ibnu Sauhan yang saat itu Zaid sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya. Tangan Zaid telah terpotong dalam Perang Nahawun. Maka orang Arab Badui itu berkata, "Demi Allah, sesungguhnya pembicaraanmu benar-benar memikat hatiku, tetapi tanganmu itu benar-benar mencurigakanku." Zaid bertanya, "Apakah yang mencurigakanmu tentang tanganku ini, sesungguhnya ini adalah tangan kiri?" Orang Arab Badui itu berkata, "Demi Allah, saya tidak mengetahui, apakah mereka memotong yang kanan ataukah yang kiri" (maksudnya Zaid terpotong tangannya karena mencuri).
Maka Zaid ibnu Sauhan berkata bahwa Maha Benar Allah Yang telah berfirman: “Orang-orang Arab Badui itu lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.” (At-Taubah: 97)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Musa, dari Wahb ibnu Munabbih, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Barang siapa yang tinggal di daerah pedalaman, maka akan menjadi kasar; dan barang siapa yang mengejar binatang buruan, maka akan menjadi lalai; dan barang siapa yang suka mendatangi sultan (penguasa), maka akan terfitnah.”
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan atau garib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui hadis As-Sauri. Mengingat sifat keras dan kasar kebanyakan terjadi di kalangan penduduk pedalaman, maka Allah tidak pernah mengutus seorang rasul pun dari kalangan mereka, dan sesungguhnya kerasulan itu hanya terjadi di kalangan penduduk kota, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota.” (Yusuf: 109)
Dan ketika ada seorang Arab Badui memberikan suatu hadiah kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ membalas hadiahnya itu dengan balasan yang berlipat ganda untuk membuatnya puas.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku berniat untuk tidak menerima suatu hadiah pun kecuali dari orang Quraisy, atau orang Saqafi atau orang Ansar atau orang Dausi.” Dikatakan demikian karena mereka tinggal di kota-kota, yaitu Mekah, Taif, Madinah, dan Yaman. Mereka pun mempunyai akhlak yang jauh lebih lembut ketimbang orang-orang pedalaman, karena orang-orang pedalaman terkenal dengan kekasarannya. Terdapat sebuah hadis tentang orang Arab Badui sehubungan dengan mencium anak.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Abu Kuraib. Keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dan Ibnu Numair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa segolongan orang Arab Badui tiba dan menghadap kepada Rasulullah ﷺ. Lalu mereka bertanya, "Apakah kalian biasa mencium anak-anak kalian?" Orang-orang Ansar (para sahabat) menjawab, "Ya." Orang-orang Badui itu berkata, "Tetapi kami, demi Allah, tidak pernah mencium anak-anak." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Saya tidak dapat berbuat apa pun jika Allah mencabut kasih sayang dari kalian." Menurut hadits yang ada pada Imam Bukhari disebutkan, "Apakah yang dapat saya lakukan kepadamu jika Allah mencabut rahmat dari hatimu?" Menurut Ibnu Numair disebutkan min qalbikar rahmah (kasih sayang dari hatimu).
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 97)
Allah Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak untuk Dia ajarkan iman dan ilmu kepadanya, lagi Maha Bijaksana dalam pembagian ilmu, kebodohan, iman, kekufuran, dan kemunafikan di antara hamba-hamba-Nya; tidak ada yang bertanya kepada-Nya tentang apa yang dilakukanNya berkat ilmu dan kebijaksanaan-Nya.
Ayat 98
Allah ﷻ memberitahukan bahwa di antara orang-orang Arab Badui itu: “Ada orang yang memandang apa yang diinfakkannya.” (At-Taubah: 98) Yakni yang ia belanjakan di jalan Allah.
“Sebagai suatu kerugian.” (At-Taubah: 98)
Maksudnya, kerugian dan kebangkrutan.
“Dan dia menanti-nanti mara bahaya menimpa kalian.” (At-Taubah:98)
Mereka selalu mengharapkan dan menunggu agar kejadian dan malapetaka menimpa diri kalian.
“Merekalah yang akan ditimpa mara bahaya.” (At-Taubah: 98) Yaitu bahkan sebaliknya mara bahaya itu akan berbalik menimpa mereka.
“Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 98)
Allah Maha Mendengar doa hamba-hamba-Nya, lagi Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat kemenangan dan siapa yang berhak mendapat kekalahan (kehinaan).
Ayat 99
Firman Allah ﷻ: “Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul.” (At-Taubah: 99)
Apa yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang terpuji dari kalangan orang-orang Arab Badui. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan harta yang mereka infakkan di jalan Allah sebagai amal pendekatan diri mereka kepada Allah dengan melalui infak tersebut, dan dengan infak itu mereka berharap akan beroleh doa Rasul buat mereka.
“Ketahuilah, sesungguhnya infak itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah).” (At-Taubah: 99) Dengan kata lain, ketahuilah bahwa hal itu berhasil mereka raih. “Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 99)
Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang kebohongan dan sumpah palsunya orang-orang munafik, lalu dijelaskan tentang orang Arab Badui dan keimanan mereka. Orang-orang Arab Badui itu hidup dalam suasana kekerasan alam, tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan, jauh dari Nabi Muhammad sumber informasi ajaran agama dan, lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tidak mengetahui hukumhukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, karena kurangnya informasi ajaran-ajaran agama. Allah Maha Mengetahui keadaan mereka dan Mahabijaksana dalam memberikan ketetapan hukum kepada mereka. Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang memandang apa yang diinfakkannya di jalan Allah sebagai suatu kerugian karena mereka tidak percaya adanya pahala atas amal saleh, sehingga mereka beranggapan bahwa harta yang diinfakkan akan lenyap begitu saja. Dia menantinanti marabahaya menimpamu, yakni Nabi Muhammad dan umat Islam, karena keengganan mereka membayar zakat dan karena kebencian mereka kepadamu. Padahal merekalah yang akan ditimpa marabahaya, dengan semakin tersebarnya ajaran agama Islam dan mereka akan mendapat siksa di akhirat. Allah Maha Mendengar perkataan mereka, Maha Mengetahui perbuatan mereka.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kekafiran dan kemunafikan orang-orang Arab Badui, lebih hebat dari pada kekafiran dan kemunafikan orang-orang Arab yang telah berbudaya yang hidup menetap di kota-kota dan di desa-desa. Orang Arab Badui itu hidup di padang pasir, selalu berpindah-pindah, dalam lingkungan alam yang tandus, jauh dari sebab-sebab kemajuan, dan jauh dari bimbingan para ulama, sehingga mereka jarang mendapatkan pelajaran mengenai Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila mereka tidak mengetahui hukum-hukum yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
Dalam penjelasan ayat ini terdapat suatu sindiran bagi orang-orang yang hidup di kota, bahwa mereka itu seharusnya lebih berpengetahuan dan lebih maju dari orang-orang Badui. Sebab mereka itu dapat bergaul dan menimba pelajaran dari kaum cendekiawan, apabila tidak demikian halnya maka mereka ini sama dengan orang-orang Badui yang hidupnya mengembara dan jauh dari bimbingan para ulama.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa orang-orang Arab Badui bersifat kasar dan keras, maka Allah tidak mengutus seorang Rasul pun dari kalangan mereka. Dalam hal ini Allah telah berfirman:
Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. (Yusuf/12: 109)
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Mahatahu hal ihwal hamba-Nya, beriman atau kafir, jujur maupun munafik, dan Dia amat bijaksana dalam menetapkan syariat dan hukum-hukum-Nya, dan dalam memberikan balasan kepada hamba-hamba-Nya, baik berupa surga Jannatun-na'im ataupun azab neraka yang amat pedih.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 94
“Mereka akan menyatakan uzur kepada kamu, tatkata kamu kembali kepada mereka."
Artinya, jika Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman itu telah pulang kelak dari Pe-perangan Tabuk dengan selamat, maka akan datanglah orang-orang kaya yang munafik lantaran mencari-cari dan alasan itu. Mereka akan meminta maaf dan mengemukakan ber-bagai keuzuran apa sebab mereka tidak pergi. Mereka tidak merasa cukup memohon uzur ketika akan pergi dahulu saja, bahkan mereka datang lagi setelah Rasul saw, kembali, untuk membela diri apa sebab mereka tidak pergi. Kedatangan yang kedua kali setelah Rasul ﷺ kembali ini adalah menunjukkan bahwa hati kecil mereka mengakui bahwa perbuatan mereka adalah mengelak dari tanggung jawab dahulu itu, tidaklah tegak atas alasan yang kuat. Itu sebabnya mereka datang dan memohon uzur lagi. Maka datanglah perintah Allah kepada Rasul ﷺ; demikian bunyinya.
“Katakanlah, ‘Janganlah kamu menyatakan uzur; sekali-kali kami tidak akan percaya lagi kepada kamu, karena sesungguhnya Allah telah menceritakan kepada kami dari hal per-kabaran kamu.'" Mereka meminta uzur itu telah percuma. Walaupun 1001 macam alasan yang mereka kemukakan, hanyalah akan menambah Rasul ﷺ dan orang-orang Mukmin tidak percaya juga kepada tnereka. Lidah tidak bertulang buat bercakap menyusun segala macam alasan, yang telah memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa mereka meminta izin itu hanyalah dengan alasan yang dicari-cari karena pengecut, karena malas, dan karena lemahnya rasa pengorbanan dan jihad.
Sungguh pun demikian, kalau masih ada sisa iman dalam hati mereka, masihlah ada harapan buat mereka akan memperbaiki diri dan menebus kesalahan. Sebab itu datanglah sambungan ayat: “Dan Allah akan memerhatikan amal kamu, dan Rasul-Nya pun." Artinya, kalau akhirnya mereka datang yang kedua kali ini menyatakan uzur dan meminta maaf benar-benar timbul dari hati yang ikhlas dan tobat, maka amal mereka sendirilah yang akan membuktikan amal. Bercakap saja membela diri tidaklah ada faedahnya. Mereka mesti menyusun lagi langkah yang baru dengan amal dan perbuatan yang baik, sehingga kelakuan yang salah selama ini dapat ditimbuni dengan amal-amal yang baik. Allah dan Rasul-Nya akan memerhatikan perubahan itu.
“‘kemudian itu kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu akan Dia kabankan kepada kamu apa yang telah kamu amalkan itu,"
Di sini bertambah jelaslah bahwa orang yang telah telanjur berbuat suatu perbuatan munafik, jika ingin hendak baik, hendaklah dia sendiri yang berusaha memperbaiki diri dengan pembuktian amal. Orang lain, walaupun Nabi ﷺ sendiri tidaklah akan dapat menolong memohonkan ampun buat dia.
Tetapi kalau dia sendiri yang insaf, lalu berusaha lagi membangun dirinya dengan iman dan amal, munafiknya itu in syaa Allah bisa hilang. Memang, kadang-kadang manusia yang lain payah akan lekas percaya kepada orang munafik yang tobat, karena sekali lan-cung ke ujian, seumur hidup orang tidak mau percaya lagi. Tetapi kalau dia sendiri benar-benar telah bertobat, lalu imannya diikutinya dengan amalnya, masih ada harapan bahwa dia akan dapat sembuh kembali. Memang jalan yang ditempuhya lebih sukar, sebab laksana kesehatan tubuh, mengobati penyakit yang telah parah lebih sukar daripada menjaga sebelum penyakit menimpa diri. Mereka hendaklah beramal terus, di hadapan mata Allah dan di hadapan mata Rasul ﷺ. Allah mengetahui amalan yang gaib tersembunyi, yang tidak tampak oleh mata orang lain, dan Allah pun mengetahui kegaiban rahasia hati ataupun perbuatan yang nyata. Mungkin manusia tidak melihat hakikat yang sebenarnya, namun Allah tetap melihat, dan kelak semua amalan itu, baik amalan yang tulus ikhlas, ataupun yang pura-pura, akan dibuka dicurai dipaparkan kelak di hadapan Allah Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata itu di akhirat. Dan Rasul ﷺ pun melihat, sebab mereka tidak lepas dari mata beliau. Orang yang curang, tidaklah lama da-pat berpura-pura.
Ayat ini, yang menerangkan dalil orang-orang munafik, memohon uzur dalam satu tanggung jawab yang besar karena hati sendiri rupanya telah menyesal, menjadi pengajaran yang dalam bagi kita yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul ﷺ, bahwa datang meminta maaf kemudian itu tidak begitu perlu karena hanya akan menambah tinggi tempat jatuh saja. Melainkan kalau sudah terasa bahwa perbuatan itu memang salah, segeralah tobat dan hendaklah tobat dibuktikan dengan amal. Apa artinya sebentar-sebentar meminta maaf, padahal jiwa sendiri belum berubah?
Ayat 95
“Mereka akan bersumpah dengan nama Allah kepada kamu apabila kamu telah kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka."
Di pangkal ayat ini terbentang lagi kekerdilan jiwa munafik. Bila kaum Muslimin yang di bawah pimpinan Rasul ﷺ itu telah kembali dari Tabuk, meskipun mereka itu belum ditanya, mereka yang munafik itu sendirilah yang datang bersumpah-sumpah. Kita sudah maklum bahwa manusia yang telah bersumpah; sebentar wallah, sebentar billah, sebentar tallah, sebentar demi Allah, adalah mereka itu orang-orang yang telah percaya sendiri di dalam hatinya bahwa manusia tidak percaya kepadanya. Dikatakan dalam ayat bahwa mereka itu bersumpah ialah supaya orang Mukmin berpaling dari mereka. Apa arti berpaling di sini? Artinya ialah bahwa orang munafik itu lekas pula perasa. Orang tidak melihat kepadanya, disangkanya melihat kepadanya juga dan memerhatikan dirinya. Orang bercakap, disangkanya mempercakapkan dia. Tidak ada orang yang bertanya, mengapa dia tidak pergi. Namun dia merasa hati sendiri saja bahwa orang akan bertanya. Oleh sebab itu, sebelum ditanya mereka telah lebih dahulu menyediakan jawab, yang begini dan begitu. Maka datanglah firman Allah kepada orang Mukmin."Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor." Setelah mereka datang bersumpah-sumpah itu, membersihkan diri, menyatakan tidak bersalah, sehingga sebelum ditanya sudah menjawab, janganlah mereka didengarkan. Segala percakapan dusta yang mereka kuatkan dengan sumpah itu adalah suatu yang timbul daripada jiwa mereka yang kotor. Bohong adalah kekotoran jiwa yang paling besar. Sebab itu janganlah didengarkan, jangan diacuhkan perkataan itu dan jangan mereka dihadapi, dan lekas berpaling dari mereka.
“Dan tempat mereka kembali ialah Jahannam, sebagai ganjaran dari apa yang telah mereka usahakan."
Orang-orang yang kotor jiwa dan kotor mulut, dan kotor perbuatan itu, janganlah lagi dipedulikan. Jika mereka datang bersumpah-sumpah membela diri, segeralah berpaling dari mereka. Tunjukkan sikap tidak suka. Orang-orang seperti itu adalah isi neraka Jahannam!
Ayat 96
“Mereka akan bersumpah kepada kamu, supaya kamu suka kepada mereka, “
reka datang ke kota (Madinah). Sebab itu, datanglah ayat yang akan kita tafsirkan ini me-nerangkan bagaimana pula keadaan mereka.
Ayat 97
“Anah-anah kampung itu lebih ketas kekafiran dan kemunafikannya dan lebih pantas tidak mengetahui batas-batas apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya."
Supaya kita lebih jelas dapat memahami maksud ayat, hendaklah terlebih dahulu kita ketahui arti (…) al-A'rab dan Arab yang mana yang dimaksud dengan dia. Menurut sebutan dan peristilahan bahasa Arab, yang disebut al-A'rab ialah orang Arab penduduk dusun atau Arab Badui. Sebab masyarakat Arab terbagi dua, pertama orang kota al-Hadhar Hadhardan; kedua orang kampung, atau orang pedalaman yang hidup mereka dari mengembala dan bertani. Disebut Badui. Maka seluruh bangsa Arab itu, baik yang tinggal di kota atau orang Badui, semuanya disebut A'rabi Sebab itu, salahlah kita dalam pengungkapan bahasa, kalau kita artikan ayat ini: “Bangsa Arab lebih keras kekufurannya dan kemunafikannya." Karena bukan begitu yang dimaksud oleh ayat. Melainkan ayat menerangkan bahwa orang-orang Badui itu kalau kafir atau munafik, akan lebih kafir dan munafiknya daripada orang yang tinggal di kota. Dan diterangkan lagi bahwa mereka itu lebih pantas kalau tidak mengetahui batas-batas apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Karena mereka itu kurang mendapat penerangan dari sebab jauhnya dari kota, dan jarang bertemu dengan Rasul ﷺ. Daerah kehidupan mereka amat sempit, hanya menghadapi binatang ternak, mengembala unta dan kambing, kadang-kadang berpindah-pindah (nomad) dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain dan untuk mencari air buat minum. Ikatan kabilah dengan syekh atau kepala suku amat erat. Mereka cemburu saja melihat kedatangan orang lain, apatah lagi kalau akan membawa suatu ajaran yang akan mengubah susunan hidup mereka. Alam mereka hanya suku dan kabilahnya. Oleh sebab itu, tidaklah heran kalau ada seorang A'rab, masuk ke dalam Masjid Rasulullah ﷺ di Madinah, dia terkencing di dalam masjid. Kehidupan mereka yang bebas di kampung menyebabkan segala peraturan yang terasa mengikat, tidak segera mereka terima. Orang-orang A'rab atau Badui ini jugalah yang thawaf keliling Ka'bah bertelanjang, atau bertepuk-tepuk tangan dan bersorak-sorak.
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
“Sedang Allah adalah Maha Mengetahui lagi Bijaksana."
Di sini ditekankan dua sifat Allah, pertama Mengetahui, kedua Bijaksana. Untuk menjadi i'tibar kepada Nabi ﷺ dan penduduk kota yang telah beriman bahwa kalau orang dusun atau kampung, orang Badui yang belum ber-peradaban itu lebih kafir dan lebih munafik, tidak usahlah heran. Memang pantaslah mereka begitu karena masyarakat mereka masih jauh dari teratur. Lalu disebutkan sifat Allah Bijaksana, agar mereka itu pun dihadapi dengan secara bijaksana, jangan lekas bosan menghadapi mereka. Melainkan tuntunlah mereka, berikanlah kepada mereka pimpinan dan dakwah yang baik, yang dapat lekas mereka pahamkan. Jangan sampai karena kelihatan mereka sangat kafir dan sangat munafik, lalu dihadapi dengan secara kasar saja atau dibiarkan saja. Menghadapi dengan mengetahui latar belakang sebab-sebab mereka demikian, lalu ditempuh jalan yang bi-jaksana, akan lebih berhasil daripada menghadapi dengan kekerasan.
Ayat yang selanjutnya mengatakan lagi salah satu dari gelaja kesangatan kafir dan mu-nafik mereka itu.
Ayat 98
“Dan setengah dari Aiab kampung itu ada yang memandang bahwa apa yang dia nafkahkan sebagai denda."
Demikian cinta mereka kepada harta benda, baik binatang ternak maupun hasil kebun mereka, yang tidak mau diganggu gugat oleh orang lain, tidak mau takluk kepada pemerintahan yang dipusatkan, maka kalau datang perintah Rasul saw, supaya sebagian dari harta benda itu dikurbankan, dibelanjakan untuk jihad fi sabilillah, mereka pandanglah itu sebagai denda.
Pangkal ayat ini telah menyatakan dengan jelas lagi setengah dari segi hidup kaum Badui itu, Mereka mau bebas, mereka tidak mau diatur orang lain. Mereka tidak mau mengakui ada suatu kekuasaan lain yang mengatasi mereka. Lantaran itu maka tiap-tiap kabilah mempertahankan kemerdekaan, tidak mau diganggu gugat. Tetapi, satu kabilah akan ber-perang dengan kabilah lain untuk mempertahankan kemerdekaan masing-masing kabilah. Kedatangan Nabi Muhammad saw, menyalurkan semangat kemerdekaan diri yang berapi-api itu, untuk menegakkan jalan Allah. Tetapi karena selama ini kemerdekaan pribadi belum mempunyai tujuan yang tinggi dan mulia, maka kalau datang seruan Rasul ﷺ untuk mengorbankan harta benda untuk jalan Allah, mereka menyangka bahwa itu adalah denda atau pajak yang dipikulkan ke atas bahu mereka. Mereka tantang ajakan itu sehingga dengan keras mereka mempertahankan keku-furan dan kemunafikan. Pendeknya mereka benci akan pemusatan kekuasaan. Sebab itu tersebut pada lanjutan ayat: “Dan dia pun menunggu peredaran zaman atas kamu." Artinya, mereka tidak senang kalau ada kekuasaan tertinggi yang hendak mengatur mereka dan membimbing perjuangan yang mulia. Mereka selalu mengharapkan mudah-mudahan lekaslah runtuh kekuasaan pusat yang sebentar-sebentar meminta pengorbanan dan sebentar-sebentar meminta membayar denda ini.
Mereka pantas jadi demikian kata ayat yang terdahulu tadi, karena mereka belum mengerti duduk soal.
Sampai pada zaman kita ini pun, kehidupan Badui yang bebas hidup di padang belantara Sahara itu, masih saja teguh mempertahankan kemerdekaan mereka. Raja-raja Arab yang tinggal di kota-kota seperti di Riyadh, Madinah, Baghdad, dan di Amman (Syarqil Urdon) memiliki batas-batas negeri masing-masing, yang tidak boleh dilalui kalau tidak dengan surat-surat keterangan. Niscaya murkalah mereka menghadapi peraturan-peraturan demikian. Apa guna batas-batas. Kalau rumput telah kering di satu daerah, mengapa mereka tidak boleh memindahkan ternak ke daerah lain yang masih subur rumputnya? Bu-kankah semua padang rumput itu Allah sendiri yang empunya?
Bahkan sebelum negeri Hejaz dirampas oleh Ibnu Saud dari kekuasaan kaum Syarif, terkenallah tidak aman perjalanan kafilah haji dari. Mekah ke Madinah, sebab di tengah perjalanan tiap-tiap kabilah yang menguasai daerah-daerah yang dilalui itu mencegat ka-filah haji dan meminta cukai jalan melalui daerah mereka. Kalau tidak mau membayar, mereka bunuh. Oleh sebab itu, baik Kerajaan Kaum Syarif, sejak Syarif Abu Numay 800 tahun yang lalu, ataupun semasa Kerajaan Turki Osmani menguasai Hejaz, namun ke-kuasaan yang benar-benar terhadap Badui, sukarlah dilakukan. Pemerintah pusat yang teratur hanya terdapat di kota-kota.
Rupanya pada zaman Nabi berjumpalah beliau dengan kenyataan ini. Kaum A'rab atau Badui tidak mau takluk pada bimbingan Allah dan Rasul ﷺ, perbelanjaan untuk menegakkan agama Allah mereka anggap sebagai denda. Dan, mereka mengharapkan agar kekuasaan Rasul ﷺ yang dipusatkan, untuk menegakkan Kepercayaan Yang Satu kepada Allah, supaya lekas runtuh saja. Tetapi Allah berfirman selanjutnya: “Atas merekalah akan jatuh peredaran zaman yang buruk" Artinya, bukan keinginan mereka agar kekuasaan Islam lekas jatuh yang akan terjadi; tetapi mereka dan susunan hidup Badui yang merdeka secara chaos (kacau) itulah yang akan hancur.
Atas merekalah akan jatuh peredaran zaman yang buruk, bukan atas Nabi ﷺ dan bukan atas Islam. Peredaran zaman yang buruk akan jatuh atas din mereka sendiri, yaitu orang-orang yang tidak mau mengeluarkan perbelanjaan untuk menegakkan agama Allah. Yang dimaksud dengan ayat int ialah tidak mau memberikan pengorbanan ketika akan terjadi Peperangan Tabuk. Sebab di dalam Peperangan Tabuk bukan Rasul ﷺ yang kalah, malahan bangsa Rum yang tidak berani berhadap-hadapan. Nabi ﷺ pulang kembali bersama tentaranya dengan selamat, setelah beberapa kabilah Arab yang telah memeluk agama Nasrani menyatakan tunduk dan membayar jizyah. Sedang mereka, Arab kampung yang berkeras pada kekufuran kemunafikan itu, akan hancurlah kedudukan mereka dan akan runtuhlah masyarakat bobrok yang mereka pertahankan itu.
“Dan Allah Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
Allah mendengar apa yang mereka percakapkan, apa yang mereka keluhkan dan mereka bisik-desuskan di belakang Rasul ﷺ. Allah mendengar perkataan mereka bahwa pengorbanan harta benda buat menegakkan jalan Allah adalah sebagai denda untuk me-reka. Dan, Allah pun mengetahui sikap dan kelakuan mereka. Orang munafik tidak dapat berlepas diri dengan memberikan jawaban dusta kalau orang bertanya. Sebab sampai ke dalam hati jantung yang tersembunyi di batik tulang dada, Allah pun tahu. Tetapi ayat yang selanjutnya memberi penjelasan lagi bahwa tidak semua A'rab atau Badui bersikap kufur dan nifak. Di samping yang buruk ada pula yang baik.
Ayat 99
“Dan setengah dari Anah kampung itu ada juga yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian."
Lantaran itu tidaklah semua Arab kampung atau Badui itu memandang bahwa pe-ngorbanan harta benda pada jalan Allah sebagai denda. Mereka percaya kepada Allah, sebab itu mereka pun percaya kepada Rasul ﷺ. Walaupun hanya sekali-sekali mereka mendengar pengajaran dari Rasulullah ﷺ dan sekali-sekali mendengar ayat-ayat Allah, namun yang sekali-sekali itu mereka pegang teguh dan mereka yakini.
Lantaran itu mereka pun percaya akan hari Kemudian bahwa pada hari Kemudian itu orang yang berbuat kebajikan akan mendapat pahala dari sisi Allah.
Sebagaimana juga dalam beberapa ayat yang lain, di sini disebutkan dua pokok simpulan dari iman. Pertama iman kepada Allah, kedua iman kepada hari Kemudian. Di sini telah diambil pangkal iman dan ujung iman. Sebab jika telah mengakui beriman kepada Allah, niscaya percayalah akan Rasul yang di-utus-Nya dan wahyu yang Dia turunkan. Dan dari antara berbagai keterangan perintah atau larangan dalam wahyu itu, yang menjadi puncak kepercayaan, ialah tentang adanya hari Kemudian."Dan dipandangnya apa yang dia belanjakan itu sebagai pendekatan diri pada sisi Allah dan sebagai shaiawat dari Rasul ﷺ."
Iman mereka kepada Allah telah dibayangkan dengan jelas pada ayat ini. Lantaran mereka telah beriman, mereka pun sudi mengeluarkan harta benda dengan hati yang tulus ikhlas. Bukan sebagai A'rab munafik tadi yang menganggap pengorbanan harta sebagai denda. Badui yang beriman ini, karena imannyalah dia mengeluarkan harta. Pengeluaran harta pada jalan Allah itu, mereka anggap ialah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mengharap sudilah kiranya Allah menumpahkan kasih sayang dan ridha kepada mereka. Di samping mengharap sebagai pendekat diri kepada Allah, mereka pun mengharap semoga Rasul ﷺ memberikan pula shalawat untuk mereka. Sebagaimana kita ketahui arti shalawat itu sama dengan doa. Moga-moga terhadap mereka, sebagai orang kampung yang tinggal jauh dari kota, Rasulullah ﷺ pun sudi mendoakan mereka kepada Allah, semoga amalan mereka yang tiada sepertinya itu, diterima jugalah kiranya oleh Allah.
Mujahid menafsirkan ayat ini bahwa Badui yang beriman ini ialah Bani Muqrin dan cabang keturunan Muzainah. Katanya pula termasuk di antara mereka itu ialah orang A'rab yang meminta ikut pergi ke Tabuk, tetapi kendaraan untuk mengangkut mereka tidak ada lagi, lalu mereka berpaling pulang dengan menangis. Menurut al-Kalbi pula, ialah Bani Aslam, Bani Ghiffar, Juhainah, dan Muzainah. Yang mana pun yang jadi sebab turun ayat, namun satu hal sudahlah terang, yaitu bahwa di kalangan Badui atau al-A'rab itu ada pula yang beriman dengan tulus ikhlas. Oleh sebab itu, pengorbanan mereka yang tulus ikhlas itu disambut Allah dengan baik, sampai pada lanjutan ayat, Allah berfirman, “Ketahuilah, sungguhnya dia itu satu pendekatan diri bagi mereka" Di sini Allah menyatakan bahwa pengharapan mereka, karena ketulusikhlasan mereka tidaklah sia-sia di sisi Allah, sehingga Allah memulai firman-Nya dengan kalimat “Alaa", yang kita artikan ketahuilah. Ketahuilah olehmu wahai utusan-Ku, dan sampaikanlah kepada mereka bahwa pengharapan mereka Aku kabulkan, pengorbanan mereka yang mereka harapkan sebagai pendekatan diri kepa-da-Ku, telah aku perkenankan. Tidak usah lagi mereka khawatir.
Bukan itu saja. Satu mereka mohonkan, yaitu Qurbah kepada Allah, maka Allah memberi mereka dua, yaitu lanjutan firman Allah, “Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya." Dan niscaya, sebab Allah telah mengabulkan pengharapan mereka ditambah lagi dengan janji akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya, Rasul ﷺ sendiri pun, dengan sendirinya mengabulkan permintaan mereka yang kedua pula, yang terhadap ke-pada Rasul ﷺ, yaitu agar mereka dishalawati agar mereka didoakan,
Alangkah bahagia perasaan orang yang beriman, walaupun mereka tinggal jauh dari kota, namun Allah memandang mereka dekat kepada-Nya dan Rasulullah ﷺ senantiasa mendoakan pula agar mereka tetap dalam iman.
Adapun janji Allah bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya ialah rahmat dunia dan akhirat. Rahmat dunia telah dirasai oleh mereka. Dan rahmat akhirat pun suatu kepastian.
Ingatlah ketika Peperangan Badar dahulu, baru berapa oranglah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang beroleh kemuliaan? Berapa Muhajirin dan Anshar itu yang ber-perang menegakkan kebenaran di samping Rasul ﷺ? Baru 300 orang. Tetapi setelah menaklukkan Mekah di tahun kedelapan, bilangan telah meningkat jadi 12.000 orang. Dari mana yang 12.000 itu? Ialah dari Arab luar kota Madinah!
Kemudian ketika pergi ke Tabuk terdiri dari 30.000 orang. Dari mana bilangan sebanyak itu? Kalau bukan dari Arab kampung yang telah beriman.
Kemudian merekalah yang menjadi inti penyebaran Islam, penaklukan Madain (Persia), penaklukan Syam (bangsa Rum) dan penaklukan Mesir, dan merekalah yang turut mengepung kota Konstantinopel pada zaman Mu'awiyah, dari merekalah yang telah me-nyebar di seluruh negeri yang sekarang ini telah menjadi negeri-negeri Arab, padahal bu-kan Tanah Jazirah Arab. Yaitu Mesir, Sudan, Tunisia, Aljazair, Maroko, Libya, dan Mauritania. Itulah rahmat duniawi yang mereka rasai sejak zaman Rasulullah ﷺ dan zaman khalifah-khalifah di belakang. Dan di akhirat pun kelak mereka beroleh rahmat Ilahi."Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun," jika terdapat kekhilafan dan kesalahan berkecil-kecil, sebab mereka telah memegang pokoknya, yaitu iman kepada Allah dan hari Kemudian.
“Lagi Penyayang."
Sehingga dari sebab kasih sayang Allah itu, mereka telah mengambil bagian yang penting di dalam menegakkan agama Allah, kepercayaan tauhid di atas permukaan bumi ini.