Ayat
Terjemahan Per Kata
رَضُواْ
mereka rela
بِأَن
bahwa mereka
يَكُونُواْ
ada/berada
مَعَ
bersama
ٱلۡخَوَالِفِ
orang yang tinggal
وَطُبِعَ
dan telah dicap/kunci mati
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
فَهُمۡ
maka/karena mereka
لَا
tidak
يَفۡقَهُونَ
mereka mengerti
رَضُواْ
mereka rela
بِأَن
bahwa mereka
يَكُونُواْ
ada/berada
مَعَ
bersama
ٱلۡخَوَالِفِ
orang yang tinggal
وَطُبِعَ
dan telah dicap/kunci mati
عَلَىٰ
atas
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
فَهُمۡ
maka/karena mereka
لَا
tidak
يَفۡقَهُونَ
mereka mengerti
Terjemahan
Mereka rida berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang. Hati mereka telah dikunci sehingga tidak memahami.
Tafsir
(Mereka rela berada bersama dengan orang-orang yang tidak pergi berperang) lafal khawaalif merupakan bentuk jamak daripada lafal khaalifah, yang dimaksud adalah kaum wanita yang tinggal di rumah-rumahnya (dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui) kebaikan.
Tafsir Surat At-Taubah: 86-87
Dan apabila diturunkan surat (yang memerintahkan kepada orang yang munafik itu), "Berimanlah kalian kepada Allah dan berjihad-lah beserta Rasul-Nya, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berangkat) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk.”
Mereka rela untuk berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad).
Ayat 86
Allah ﷻ berfirman mengingkari dan mencela orang-orang yang tidak ikut berjihad dan enggan melakukannya, padahal berkemampuan dan mempunyai keluasan serta biaya untuk itu.
Lalu mereka meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk tidak ikut dan diperbolehkan duduk di tempat tinggalnya. Mereka mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk.” (At-Taubah: 86) Mereka rela bahwa diri mereka beroleh aib karena duduk di negeri, tidak ikut berperang bersama-sama kaum wanita, setelah pasukan kaum muslim berangkat. Dan apabila peperangan terjadi, maka mereka adalah orang yang paling pengecut. Apabila keadaan telah aman, maka mereka adalah orang-orang yang paling banyak bicara.
Perihal mereka ini disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam.” (Al-Ahzab: 19) Maksudnya, lisan mereka berhamburan mengeluarkan kata-kata yang tajam bila situasi dalam keadaan aman, tetapi dalam peperangan mereka adalah orang yang sangat pengecut.
Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang penyair: “Apakah dalam situasi aman mereka gemar mencela, kasar, dan keras; sedangkan dalam keadaan situasi perang mereka lebih mirip dengan kaum wanita yang penakut?”
Allah ﷻ berfirman dalam ayat lainnya menggambarkan sifat orang-orang munafik itu: “Dan orang-orang yang beriman berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Dan kecelakaanlah bagi mereka.
Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 20-21)
Ayat 87
Mengenai firman Allah ﷻ berikut ini: “Dan hati mereka telah dikunci mati.” (At-Taubah 87) Hal itu disebabkan mereka membangkang, tidak mau berjihad dan tidak mau berangkat berperang bersama Rasulullah ﷺ di jalan Allah.
“Maka mereka tidak mengetahui.” (At-Taubah: 87)
Yakni tidak mengerti apa yang mengandung kemaslahatan bagi diri mereka yang karenanya lalu mereka mengerjakannya. Mereka tidak pula mengetahui apa yang membahayakan diri mereka, yang karenanya lalu mereka menghindarinya.
Mereka rela senang berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, yaitu orang tua, orang sakit, kaum perempuan, dan anak-anak, dan hati mereka telah tertutup dari hidayah disebabkan sikap-sikap kemunafikan sehingga mereka tidak memahami balasan bagi orang yang beriman dan berjihad berupa kebahagiaan surgawi. Demikianlah keadaan kaum munafik itu, akan tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama beliau, mereka berjihad dengan harta dan jiwa demi menegakkan kalimat Allah dan semata-mata mengharap keridaan-Nya. Mereka itu memperoleh kebaikan baik di dunia berupa kemenangan dan kemuliaan, maupun di akhirat kelak berupa kesenangan surgawi. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu merasa senang tidak ikut berjihad fisabilillah. Mereka lebih senang tinggal bersama orang-orang lemah yang tidak kuat ikut berperang, yaitu perempuan-perempuan yang menjaga rumah tangga. Mereka tidak sedikit pun merasa malu tinggal bersama orang-orang perempuan yang tidak ikut berperang itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang kuat, sehat, dan mampu untuk turut berperang. Walaupun banyak yang mengejek dan mentertawakan, namun ejekan itu bagi mereka tidak ada artinya, karena perasaan malu bagi mereka tidak ada lagi. Yang demikian itu adalah pertanda bahwa iman mereka sangat lemah dan hati mereka sudah dipengaruhi kebendaan. Oleh karena itu Allah menutup mati hati mereka, mereka tidak mau menerima kebenaran, pelajaran dan nasihat dari siapapun juga. Penyakit kemunafikan itu telah membalut seluruh hati mereka, sehingga mereka tidak dapat mempergunakan pikiran yang sehat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, bahwa ikut berjihad dan berperang itu adalah suatu keuntungan dan tinggal di rumah adalah merugikan dan memalukan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 86
“Dan apabila diturunkan suatu surah (yang menyeru) bahwa hendaklah mereka beriman kepada Allah dan berjihad bersama-sama Rasul-Nya."
Telah datang suatu surah atau wahyu, dahulu dari ini telah datang, dan sekarang pun datang. Bahwasanya hendaklah orang beriman kepada Allah, dan iman itu hendaklah dibuktikan dengan kesanggupan berjihad, berjuang, dan berkorban, di bawah pimpinan Rasul ﷺ. Karena iman dalam hati hendaklah dibuktikan dengan perbuatan dan dengan tenaga. Dan Rasul bukanlah menyuruh saja, bahkan memimpin sendiri perjuangan itu."Meminta izinlah kepada engkau orang-orang yang mampu dari mereka." Mereka mampu, ada harta yang akan mereka berikan kalau mereka mau. Badan mereka pun tidak cacat, sebab itu mereka pun mampu dalam tenaga. Sedangkan jihad hendaklah dengan harta dan jiwa, namun mereka minta izin untuk tidak ikut.
“Dan mereka katakan, “Biarkanlah kami bersama-sama orang yang tinggal.'"
Harta benda ada dan badan tiada cacat, namun mereka masih minta izin buat tidak pergi, buat tinggal saja di rumah bersama-sama orang yang tinggal, padahal itu adalah perintah Allah, dengan wahyu yang turun. Padahal mereka mengaku beriman kepada Allah. Padahal mereka mengaku beriman pada wahyu dan selalu mengharapkan datangnya wahyu. Kalau begini apa artinya iman mereka? Bukankah ini suatu perangai munafik yang mau enaknya saja? Bukankah ini suatu yang timbul dari penakut? Bagaimanakah perasaan mereka rninta izin tinggal, padahal yang tinggal itu adalah orang-orang yang uzur, orang lumpuh, orang sakit, perawat orang sakit dan kanak-kanak dan perempuan? Bagaimana perasaan seketika minta izin, kalau bukan karena munafik? Bagaimana perasaan mereka melihat orang lain pergi dan mereka tinggal?
Ayat 87
“Mereka lebih senang bahwa ada mereka bersama-sama perempuan-perempuan yang tinggal."
Sangat keras pukulan pangkal ayat ini kalau si munafik itu ada perasaan. Senang hati mereka tinggal bersama perempuan-perempuan. Apakah tidak ada lagi pada mereka perasaan sebagai laki-laki? Padahal laki-laki beriman harus bersemangat jantan, gagah berani, tak takut mati dan menggentarkan musuh.
Di ayat ini disebut al-khawalifi, kata jamak dari khaalifah yang berarti perempuan-perempuan yang tinggal.
Nabi kita ﷺ dalam kehidupan sehari-hari selalu menganjurkan agar orang laki-laki tetap menunjukkan sikap hidup sebagai laki-laki, sehingga beliau anjurkan orang laki-iaki memelihara kumisnya dan menjaga janggutnya. Beliau cela laki-laki memakai emas dan sutra, sebab itu adalah pakaian perempuan. Beliau katakan bahwa dikutuk oleh Allah laki-laki yang meniru-niru lenggang-lenggok perempuan, dan perempuan yang meniru-niru gaya laki-laki. Gunanya ialah agar semangat pahlawan bagi laki-laki itu terpelihara. Dan ajaran ini termakan oleh Mukmin laki-laki sejak zaman Nabi ﷺ dan besar pengaruhnya ke dalam sikap hidup orang Islam dari zaman ke zaman. Sewaktu-waktu di zaman dahulu pernah raja-raja atau khalifah menjatuhkan hukum penghinaan kepada seorang laki-laki dengan mencukur janggutnya. Sampai berpengaruh menjadi pepatah; “Permainan laki-laki ialah bertumpah darah, permainan perempuan mencat-mengecat kuku dengan pacar" (inai). Maka dalam ayat ini muncullah dari Allah suatu pukulan batin yang keras untuk orang munafik yang meminta izin buat tidak pergi itu bahwa mereka lebih senang tinggal bersama perempuan-perempuan di rumah.
DI SINI TIDAK ADA LAKI-LAKI
Ketika menafsirkan ini teringatlah kita akan suatu kisah yang terjadi di Aceh, ketika orang Aceh berjihad berperang melawan Belanda yang datang hendak merampas kemerdekaan agama dan tanah air mereka di akhir abad Kesembilan Belas. Cerita ini dibawakan oleh Zentgraf, seorang pengarang Belanda yang terkenal di dalam bukunya, Aceh.
Katanya, “Pada suatu hari pergilah serdadu-serdadu Belanda mengadakan patroli ke suatu kampung, mencari kalau-kalau ada “Muslimin" bersembunyi di kampung itu. (Menurut istilah orang Aceh di waktu berperang dengan Belanda itu, pejuang-pejuang pembela agama dan tanah air itu dinamai Muslimin dan yang belum turut berjuang, belum mendapat kehormatan buat, diberi gelar Muslimin).
Maka sampailah patroli Belanda tadi ke dalam kampung itu. Didapati kampung lengang saja. Terutama orang laki-laki tidak seorang pun kelihatan. Yang bertemu sekali-sekali hanya orang perempuan. Sampailah patroli itu ke muka sebuah rumah. Seorang perempuan sedang menumbuk padi. Patroli yang sedang lewat itu tidak diacuhkannya. Dia tidak menunjukkan rasa takut, malahan di wajahnya terbayang kebencian. Komandan Patroli itu lalu mendekati dia dan bertanya, “Adakah di sini laki-laki?"
Perempuan itu menjawab, “Tidak ada!" Dan dia terus menumbuk padinya.
Sikapnya yang angkuh dan penuh benci itu menimbulkan curiga dalam hati komandan patroli. Mereka naik ke dalam rumah dan menggeledah. Tiba-tiba dari bawah tempat tidur bisa dikeluarkan seorang laki-laki. Dia ditarik keluar dan dibawa ke hadapan perempuan itu, dan langsung ditanya, “Mengapa kamu bohong? Kau katakan tidak ada laki-laki, padahal kamu sembunyikan di bawah tempat tidur?"
Perempuan itu menjawab dengan gagahnya, “Aku tidak berbohong! Benar-benar tidak ada lagi yang bernama laki-laki di dalam kampung. Semuanya telah pergi menjadi Muslimin."
“Ini siapa? Ini bukan laki-laki?"
Perempuan itu dengan muka penuh benci dan marah, dan pandangan menghina kepada saudara kandungnya yang bersembunyi ke bawah tempat tidur itu menjawab, “Ini bukan laki-laki. Yang laki-laki telah pergi."
Dengan semangat demikian Aceh bertahan lebih dari 40 tahun.
Maka kembalilah kita kepada tafsir ayat ini. Orang-orang yang ada kemampuan, harta benda ada dan badan sehat, lalu meminta izin buat tidak pergi, dan lebih suka tinggal bersama perempuan. Bagaimanakah perasaan mereka?
“Dan telah dicap hati mereka, maka tidaklah mereka mengerti."
Hati mereka sudah dicap, sudah dimate-rai sehingga perasaan yang halus, rasa iman, rasa berkorban, sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi pengertian mereka bahwa dengan sebab meminta izin dan mengelakkan diri dari berjihad itu, martabat mereka telah jatuh. Laki-laki telah jadi betina. Sebab itu, amat sukarlah buat memasukkan pengertian kepada orang yang semacam itu.
Ayat 88
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman sertanya, telah berjihad dengan harta-harta mereka dan jiwa mereka."
Di dalam ayat ini dikemukakan terlebih dahulu penghormatan kepada Rasul ﷺ. Karena beliau bukan mengerahkan orang lain saja, melainkan beliau yang memulai, beliau di muka sekali, dan beliau yang memimpin. Beliau tidak mempunyai kekayaan yang akan di-berikan, yang ada hanyalah jiwa raga. Dalam Peperangan Tabuk itu, usia beliau sudah 61 tahun, artinya sudah mulai tua, namun beliau pergi. Orang yang beriman sertanya pun mengikut Rasul ﷺ dengan penuh kesetiaan. Harta keluar dan jiwa pun diberikan, tidak takut miskin dan tidak takut mati. Mereka tidak mau bercerai dengan Rasul ﷺ, ke mana beliau pergi, mereka ikut serta dan mau berhabis-habisan, mau berlicin tandas, dan bersedia mati. Karena yang demikianlah yang dikehendaki, sebagai konsekuensi dari iman dan Islam. Berbeda dengan si munafik.
“Dan mereka itu, untuk mereka adalah berbagai kebaikan." Artinya, bahwa jihad dan pengorbanan mereka tidaklah sia-sia. Kalau yang mereka korbankan itu harta benda, Allah akan segera mengganti dengan yang lebih banyak. Kalau mereka mati dalam perjuangan mereka akan mendapat tempat syuhada yang mulia di sisi Allah. Mereka dalam martabat iman kian lama kian naik, berbeda dengan si munafik pengecut itu.
“Dan mereka adalah orang-orang yang berbahagia."
Dengan secara pendek saja, al-muflihun kita artikan berbahagia. Kita ingat asal kata, yaitu al-falaah, yang juga berarti menang, jaya, di samping berarti bahagia. Orang tani yang menanamkan padinya dengan susah-payah, disebut juga falaah. Sebab kelak sesudah dia bersusah-payah menanamkan tanaman itu, akhirnya dia akan mengutip hasilnya. Rasa berbahagia akan meliputi hatinya ketika mengutip hasil dari usahanya. Sebab itu, seruan adzan pada shalat pun berbunyi “Hayya ‘alal falaahMarilah kepada kebahagiaan. Sebab bila kita shaJat dengan khusyuk, kita akan menerima hasilnya pula, yaitu rasa bahagia karena mendekati Allah dan melaksanakan perintah-Nya.
Ayat ini mengandung satu tuntunan yang mendalam bagi kita di dalam menegakkan suatu cita. Rasul ﷺ telah diberi garis cita yang hendak dituju itu, yaitu ridha Allah karena menegakkan kebenaran dan memperbaiki masyarakat manusia. Suatu cita adalah indah dalam kenangan, tetapi jalan buat menempuh ke sana tidaklah mudah, melainkan menghendaki perjuangan, menghendaki jihad. Dia meminta pengorbanan, dia meminta kekayaan yang ada dalam tangan kita, dan juga meminta jiwa kita. Untuk menegakkan cita itulah harta benda dan nyawa sebagai tidak ada harganya. Yang berharga adalah cita itu sendiri. Kita jalan terus di dalam hidup menujunya. Kita hitung-hitung, banyaklah cita tadi yang telah berhasil. Di waktu itu tumbuhlah rasa bahagia. Rasa bahagia yang telah ada dengan sendirinya memupuk tenaga buat meneruskan lagi dan meneruskan lagi, sehingga sampai kita menutup mata, meninggalkan dunia, kita pun meninggalkannya dengan tersenyum simpul, dengan wajah penuh bahagia, karena kita telah melancarkan takwa kita sebagai orang hidup.
Di permulaan jalan, memang sukar tampaknya yang akan ditempuh itu. Tetapi karena pandangan menuju jauh, yaitu kepada ujung cita-cita, tidaklah akan terasa beratnya penderitaan.
Ini hanya dapat dipupuk dengan adanya kepercayaan, dengan iman. Orang yang lemah cita ini, jadilah dia munafik.
Berkata asy-Syekh al-Akbar, Muhyiddin Ibnul Arabi, “Manusia, tidaklah mudah atasnya kesukaran yang bertemu di permulaan jalan, melainkan apabila pandangannya melayang jauh kepada tujuan."
Bahagia karena mencapai tujuan itulah kebahagiaan dunia. Dan kebahagiaan dunia tidak berhenti hingga itu saja.
Ayat 89
“Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya."
Selalu Allah memberikan pengharapan semacam ini bagi Mukminin dan Mukminat bahwa kebahagiaan dunia akan diiringi oleh kebahagiaan akhirat, tetapi karena kesudian berjihad mengeluarkan harta benda dan mengorbankan jiwa kalau perlu.
“Yang demikian itulah kejayaan yang besar."
Di dunia mendapat bahagia, di akhirat beroleh jaya. Dan dapat lebih dirasakan lagi kebahagiaan dunia dan kejayaan akhirat itu, sebab di dunia menuruti terus bimbingan Rasul ﷺ Yaitu beriman sertanya sampai ke akhirat kejayaan itu lebih memuncak lagi, terutama setelah ditegaskan di dalam ayat ini bahwa Allah telah menyediakan buat mereka, yaitu surga-surga. Janji Allah di ayat ini sangat memberikan kemuliaan kepada orang yang beriman serta Rasul ﷺ tadi, sebab di dalam kata mereka itu, penghargaan kepada Mukmin dijadikan satu dengan penghargaan kepada Rasul ﷺ. Tegasnya, setelah di dunia mereka setia kepada Rasul ﷺ sehingga berbahagia, di akhirat pun akan sama-sama masuk surga dengan Rasul ﷺ, sehingga beroleh kejayaan.
Sedang orang yang munafik karena pengecut, di dunia bersama-sama ditinggalkan dengan perempuan-perempuan yang tinggal. Dan di akhirat bersimpang jalan, tidak ber-temu-temu lagi dengan Rasul ﷺ. Sebab Rasul ﷺ dengan orang-orang Mukmin ke surga, sedang si munafik ke neraka.