Ayat
Terjemahan Per Kata
أَلَمۡ
tidakkah
يَعۡلَمُوٓاْ
mereka mengetahui
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
سِرَّهُمۡ
rahasia mereka
وَنَجۡوَىٰهُمۡ
dan bisikan mereka
وَأَنَّ
dan bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلَّـٰمُ
amat mengetahui
ٱلۡغُيُوبِ
segala yang gaib
أَلَمۡ
tidakkah
يَعۡلَمُوٓاْ
mereka mengetahui
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَعۡلَمُ
Dia mengetahui
سِرَّهُمۡ
rahasia mereka
وَنَجۡوَىٰهُمۡ
dan bisikan mereka
وَأَنَّ
dan bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَلَّـٰمُ
amat mengetahui
ٱلۡغُيُوبِ
segala yang gaib
Terjemahan
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang gaib?
Tafsir
(Tidakkah mereka tahu) orang-orang munafik itu (bahwasanya Allah mengetahui rahasia mereka) apa-apa yang mereka simpan di dalam diri mereka (dan bisikan mereka) yakni apa-apa yang mereka bisikkan di antara sesama mereka (dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib) yang dimaksud dengan gaib ialah segala sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Ketika ayat mengenai sedekah ini diturunkan, ada seorang lelaki datang dengan membawa sedekah yang banyak sekali, lalu orang-orang munafik itu mengatakan, "Dia hanya ingin pamer saja." Datang pula seorang lelaki lain seraya membawa sedekah satu sha', maka orang-orang munafik itu mengatakan pula, "Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sedekahnya orang ini", maka pada saat itu juga turunlah firman- Nya berikut ini, yaitu:.
Tafsir Surat At-Taubah: 75-78
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.”
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memang orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.
Tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwa Allah amat mengetahui segala yang gaib?
Ayat 75
Allah ﷻ menjelaskan bahwa di antara orang-orang munafik itu terdapat seseorang yang telah memberikan janji dan ikrarnya kepada Allah dengan pernyataan, "Jika Allah memberinya kecukupan dari karunia-Nya, niscaya dia benar-benar akan menyedekahkan sebagian dari hartanya, dan niscaya dia benar-benar akan termasuk orang-orang yang saleh." Akan tetapi, dia tidak memenuhi janji yang telah diucapkannya itu, tidak pula menepati apa yang telah diikrarkannya.
Maka Allah menimpakan kepada orang-orang seperti itu sebagai akibat dari perbuatannya sifat kemunafikan yang menetap dalam hatinya hingga hari mereka menghadap kepada Allah ﷻ pada hari kiamat nanti, semoga Allah melindungi kita dari hal seperti ini.
Kebanyakan ulama tafsir, antara lain Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri, menyebutkan bahwa ayat yang mulia ini diturunkan berkenaan dengan sikap Sa'labah ibnu Hatib Al-Ansari. Sehubungan dengannya telah disebutkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsir ayat ini, juga oleh Ibnu Abu Hatim, melalui hadits yang diriwayatkan oleh Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid, dari Abu Abdur Rahman Al-Qasim ibnu Abdur Rahman maula Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Mu'awiyah, dari Abu Umamah Al-Bahili, dari Sa'labah ibnu Hatib Al-Ansari yang telah berkata kepada Rasulullah, "Doakanlah kepada Allah, semoga Dia memberiku rezeki harta benda."
Rasulullah ﷺ bersabda, "Celakalah kamu, wahai Sa'labah. Sedikit rezeki yang engkau syukuri adalah lebih baik daripada rezeki banyak yang kamu tidak mampu mensyukurinya."
Kemudian di lain kesempatan Sa'labah memohon lagi. Maka Rasul ﷺ bersabda, "Tidakkah kamu puas bila kamu meniru jejak Nabi Allah? Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya aku menghendaki agar gunung-gunung itu berubah menjadi emas dan perak untukku, niscaya akan berubah menjadi emas dan perak."
Sa'labah berkata, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika engkau berdoa kepada Allah dan Allah memberiku rezeki harta yang banyak, sungguh aku akan memberikan kepada orang yang berhak bagiannya masing-masing." Maka Rasulullah ﷺ berdoa, "Ya Allah, berilah Sa'labah rezeki harta yang banyak."
Perawi melanjutkan kisahnya, "Lalu Sa'labah mengambil seekor kambing betina, maka kambing itu berkembang dengan cepat seperti berkembangnya ulat sehingga kota Madinah penuh sesak dengan kambingnya. Lalu Sa'labah ke luar dari kota Madinah dan tinggal di sebuah lembah yang ada di pinggiran kota Madinah, sehingga ia hanya dapat menunaikan shalat berjamaah pada shalat Zuhur dan Asar saja, sedangkan shalat-shalat lainnya tidak. Kemudian ternak kambingnya berkembang terus hingga makin bertambah banyak, lalu ia menjauh lagi dari Madinah, sehingga tidak pernah shalat berjamaah lagi kecuali hanya shalat Jumat.
Lama-kelamaan kambingnya terus bertambah banyak dan berkembang dengan cepat sebagaimana ulat berkembang, akhirnya shalat Jumat pun ia tinggalkan. Dan ia hanya dapat menghadang para pengendara di hari Jumat untuk menanyakan kepada mereka tentang berita Madinah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Apakah yang telah dilakukan oleh Sa'labah?' Mereka menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia telah memelihara ternak kambing, hingga kota Madinah penuh dengan ternaknya.' Lalu diceritakan kepada Nabi ﷺ semua yang dialami oleh Sa'labah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Celakalah Sa'labah, celakalah Sa'labah, celakalah Sa'labah.' Dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: 'Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.’ (At-Taubah: 103), hingga akhir ayat. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan fardu zakat. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan dua orang lelaki untuk memungut zakat dari kaum muslim; yang seorang dari kalangan Juhainah, sedangkan yang lainnya dari kalangan Salim. Kemudian Rasul ﷺ menyerahkan sepucuk surat kepada keduanya yang di dalamnya tertera bagaimana caranya memungut zakat harta dari kaum muslim. Dan Rasulullah ﷺ berpesan kepada keduanya, 'Mampirlah kalian berdua kepada Sa'labah dan Fulan, seorang lelaki dari kalangan Bani Salim dan ambillah zakat dari keduanya.'
Kedua utusan itu berangkat hingga keduanya sampai di rumah Sa'labah, lalu keduanya meminta zakat dari Sa'labah seraya membacakan surat Rasulullah ﷺ kepadanya. Tetapi Sa'labah menjawab, 'Ini tiada lain sama dengan jizyah (upeti), ini tiada lain sejenis dengan jizyah, saya tidak mengerti apa-apaan ini? Sekarang pergilah dahulu kalian berdua hingga selesai dari tugas kalian, lalu kembalilah kalian kepadaku.'
Kedua utusan itu pergi melanjutkan tugasnya, dan ketika orang dari Bani Salim yang dituju oleh keduanya mendengar kedatangan keduanya, maka ia memeriksa ternak untanya yang paling unggul, lalu ia pisahkan dari yang lainnya untuk zakat.
Setelah itu ia datang menyambut kedatangan keduanya seraya membawa ternak pilihannya itu. Ketika kedua utusan itu melihat ternak unggul itu, mereka berdua berkata, 'Kamu tidak diwajibkan memberikan yang jenis ini, dan kami tidak bermaksud mengambil jenis ini darimu.' Lelaki dari Bani Salim itu menjawab, 'Memang benar, tetapi ambillah ini, karena sesungguhnya saya berikan ini dengan sukarela, dan sesungguhnya saya telah mempersiapkannya untuk zakat." Maka kedua utusan itu terpaksa menerimanya, lalu pergi melanjutkan tugasnya memungut zakat dari kaum muslim.
Setelah selesai, keduanya kembali kepada Sa'labah, dan Sa'labah berkata, 'Perlihatkanlah kepadaku surat kalian berdua.’ Lalu Sa'labah membacanya, sesudahnya ia berkata, 'Ini tiada lain sama dengan jizyah, ini adalah sejenis jizyah. Pergilah kalian berdua, nanti aku akan berpikir terlebih dahulu.'
Keduanya pergi, kemudian langsung menghadap Nabi ﷺ. Ketika Nabi ﷺ melihat keduanya, maka beliau bersabda, 'Celakalah Sa'labah,' padahal keduanya belum bercerita kepadanya. Lalu Nabi ﷺ mendoakan keberkahan untuk lelaki dari kalangan Bani Salim (yang telah menunaikan zakatnya itu). Kemudian keduanya menceritakan kepada Nabi ﷺ tentang apa yang dilakukan oleh Sa'labah dan apa yang dilakukan oleh lelaki dan Bani Salim.
Dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunianya kepada kami pastilah kami akan bersedekah’.” (At-Taubah: 75), hingga akhir ayat. Saat itu di hadapan Rasulullah ﷺ terdapat seorang lelaki dari kalangan kerabat Sa'labah dan ia mendengar tentang hal tersebut. Maka ia pergi dan mendatangi Sa'labah, lalu berkata kepadanya, 'Celakalah engkau, wahai Sa'labah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu anu dan anu mengenai dirimu.’
Maka dengan serta merta Sa'labah berangkat hingga sampai kepada Nabi ﷺ, lalu meminta kepada Nabi ﷺ agar mau menerima zakatnya. Tetapi Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah melarang aku untuk menerima zakat darimu.’ Maka Sa'labah meraupkan debu ke kepalanya (sebagai ungkapan penyesalannya). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ini adalah balasan amal perbuatanmu. Aku telah memerintahkannya kepadamu, tetapi kamu tidak menaatinya.’
Setelah Rasulullah ﷺ menolak zakatnya, maka ia kembali ke rumahnya, dan Rasulullah ﷺ wafat tanpa menerima suatu zakat pun darinya. Kemudian Sa'labah datang kepada Abu Bakar ketika menjadi khalifah, lalu berkata kepadanya, 'Sesungguhnya engkau telah mengetahui kedudukanku di sisi Rasulullah dan kedudukanku di kalangan orang-orang Anshar, maka terimalah zakatku ini.' Abu Bakar berkata, 'Rasulullah ﷺ tidak mau menerimanya darimu (lalu bagaimana aku mau menerimanya darimu).’ Abu Bakar menolak dan tidak mau menerimanya. Dan Abu Bakar wafat tanpa mau menerima zakat darinya.
Ketika Umar menjadi khalifah, Sa'labah datang kepadanya dan berkata, 'Wahai Amirul Muminin, terimalah zakatku ini.' Tetapi Umar menjawab, 'Rasulullah ﷺ tidak mau menerimanya, demikian pula Abu Bakar. Lalu bagaimana aku dapat menerimanya?' Khalifah Umar wafat tanpa mau menerimanya.
Dan di saat Usman menjabat sebagai khalifah, Sa'labah datang kepadanya dan berkata, 'Terimalah zakatku ini.' Khalifah Usman menjawab, 'Rasulullah ﷺ tidak mau menerimanya, begitu pula Abu Bakar dan Umar, maka mana mungkin aku dapat menerimanya darimu?' Khalifah Usman tidak mau menerima zakatnya pula, dan akhirnya Sa'labah mati di masa pemerintahan Khalifah Usman."
Ayat 77
Firman Allah ﷻ: “Karena mereka telah memungkiri janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya.” (At-Taubah: 77), hingga akhir ayat. Artinya, Allah menimbulkan kemunafikan dalam hati mereka karena mereka telah mengingkari janjinya dan berdusta.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Pertanda orang munafik itu ada tiga; apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia khianat.” Hadits ini mempunyai banyak syahid (bukti) yang menguatkannya.
Ayat 78
Firman Allah ﷻ: “Tidakkah mereka tahu bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka.” (At-Taubah: 78), hingga akhir ayat. Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia mengetahui semua rahasia dan semua yang tersembunyi. Dia pun mengetahui isi hati mereka, sekalipun pada lahiriahnya mereka mengatakan bahwa jika mereka beroleh harta yang banyak, maka mereka akan menyedekahkan sebagiannya dan mensyukurinya. Karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui tentang diri mereka daripada diri mereka sendiri. Allah Maha Mengetahui semua yang gaib, yakni mengetahui semua yang gaib dan semua yang lahir serta mengetahui semua rahasia dan semua bisikan hati, dan Allah mengetahui semua yang lahir dan semua yang tersembunyi.
Mereka berani melakukan kemunafikan. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka yang mendorong kepada keburukan dan kejahatan, dan bahwa Allah mengetahui segala yang gaib' Sungguh, mereka mengetahui akan hal itu.
Ayat sebelumnya menjelaskan sifat-sifat buruk orang-orang munafik, antara lain kikir, bersumpah palsu, dan tidak bersyukur. Bukan saja itu, di antara mereka bahkan ada yang secara terus-menerus mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dengan menyebutnya pamrih jika yang disedekahkan besar; dan juga mencela orang-orang yang tidak mendapatkan harta untuk disedekahkan kecuali sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka, orang-orang mukmin. Akibat perbuatannya itulah Allah akan membalas penghinaan mereka di dunia dengan tersingkapnya kebusukan hatinya, dan mereka akan mendapat azab yang pedih di akhirat kelak.
Dalam ayat ini Allah ﷻ memperingatkan orang-orang munafik bahwa bagaimanapun pintarnya mereka menyimpan rahasia dalam hati mereka dan bagaimanapun liciknya mereka berbisik-bisik menjelekkan orang-orang yang beriman dan menjelek-jelekkan Rasulullah atau berbisik-bisik sesama mereka untuk mengatur siasat buruk dalam memusuhi orang-orang yang beriman, namun Allah ﷻ akan mengetahuinya. Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sesuatupun juga, baik yang di bumi ataupun yang di langit, demikian pula yang tersembunyi dalam hati, Allah Maha Mengetahui semua yang tersembunyi.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 75
“Dan setengah dari mereka ada yang berjanji kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Dia berikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya, tentu akan kami sedekahkan.'"
Di waktu hidup masih morat-marit, timbullah kenangan-kenangan dalam hati mereka, bilalah agaknya Allah akan memberinya hidup yang lebih baik. Kalau hidup mereka lebih baik dari yang sekarang, dari miskin menjadi kaya, mereka berjanji dengan Allah bahwa mereka akan banyak bersedekah, akan segera mengeluarkan bantuan kepada orang-orang yang menderita. Sebab mereka sendiri telah mengalami bagaimana pahit getirnya pende-ritaan itu.
“Dan sungguhlah kami akan jadi orang-orang yang saleh."
Maka selain dari janji kepada Allah bahwa mereka akan menjadi orang dermawan dan pemurah, mereka bercita-cita, kalau kaya, akan jadi orang saleh, jadi orang baik-baik, yang baik terhadap masyarakat dan baik pula di dalam mengerjakan suruhan Allah dan menghentikan larangan-Nya.
Memang dapat dirasakan bahwa banyak amal dan usaha tidak dapat dilaksanakan karena miskin. Banyak orang yang berkata bahwa kemiskinanlah yang menghalanginya akan berbuat baik. Sehingga kalau diajak orang dia berbuat baik, cepat raja dia menjawab, “Tunggulah di mana saya telah kaya kelak!"
Ayat 76
“Tetapi tatkala diberikan-Nya kepada mereka sebagian dari karunia-Nya itu."
Dari miskin mereka telah kaya. Dari sengsara mereka telah hidup gembira sebab harta telah ada. Dahulu hidup tersisih di tepi-tepi, sekarang sudah ke tengah, karena pengha-rapannya dikabulkan Allah, meskipun baru sebagian: “Mereka pun bakhil dengan dia." Mulailah mereka lupa dengan janji di waktu miskin tadi. Dahulu berjanji dengan Allah, lalu permohonannya dikabulkan Allah, dia diberi sebagian kekayaan. Tetapi kian lama dia pun lupa akan janji, dan lupa bahwa yang menaikkannya dari lembah kemiskinan ialah Allah sendiri. Lalu dia merasa bahwa harta itu adalah kepunyaannya sendiri, cucur keringatnya dan terasa enaknya mengumpul, dan terasa berat mengeluarkan. Kalau orang datang meminta pertolongan, mulailah dia enggan memberi. Mulailah dia mencari 1001 macam alasan buat mengelakkan diri dari janji dengan Allah itu. Maka penyakit bakhil itu kian lama kian mendalam. Kian lama kian bosan, bahkan takut akan datang orang meminta."Dan mereka pun berpaling." Kalau tadinya dia seorang yang merasa dirinya anggota masyarakat, sekarang oleh karena takutnya akan diminta, kian lama dia pun kian berpaling menurutkan kehendak diri sendiri, dan melupakan janji dengan Allah dan melu-pakan hubungannya dengan masyarakat.
“Dan mereka pun tak acuh lagi."
Mulanya bakhil, sesudah itu berpaling, dan sesudah itu tak acuh lagi. Tidak peduli lagi kepada orang lain. Pikirannya hanya tertumpah kepada suatu soal saja, yaitu mengumpul harta sebanyak-banyaknya. Kemudian itu menaik lagi menjadi tak acuh. Tidak tergerak lagi hatinya bila terdengar seruan Allah. Tidak diteguhinya janji bahwa dia akan menjadi orang pemurah, suka bersedekah dan tidak dipenuhinya lagi janji bahwa dia akan menjadi orang yang saleh.
Lantaran pemungkiran janji dengan Allah itu, lalu bakhil dan berpaling dan tidak acuh, menimpalah kepada dirinya, dirasanya atau tidak, hukuman Allah.
Ayat 77
“Maka Allah akibalkanlah nifaq dalam hati mereka."
Artinya, bertambah lama karena menempuh tiga ting'kat kejahatan hati itu, bertambah pulalah hati mereka menjadi munafik, mudahlah mereka bercakap, untuk berdusta. Mudahlah mereka berjanji, untuk mungkir, dan mudahlah mereka memegang kepercayaan untuk mereka khianati. Mulailah mereka malas untuk mengerjakan shalat, mulailah me-reka sengaja menyisihkan diri dari masyarakat ramai dan mulailah mereka, kalau beramal, tidak lain daripada riya, ingin hendak dapat pujian orang banyak. “Sampai hari yang mereka akan bertemu dengan Dia." Yaitu sampai matinya dia akan bersikap demikian. Karena jurusan hidupnya telah terpaling dari tujuan yang benar, maka sampai ke akhir hayatnya pun mereka akan tersesat terus. Dan akan dahsyatlah pertanggunganjawaban yang akan mereka hadapi di hadapan Allah di akhirat kelak.
“Lantunan mereka telah menyalahi apa yang telah mereka janjikan dengan Allah dan dari sebab mereka itu telah berdusta."
Mereka akan sengsara, sebab janji dengan Allah mereka mungkiri dan kepada sesama manusia mereka mudah saja berdusta. Setelah bintang mereka naik, Allah mereka lupakan, Setelab mereka di puncak, mereka berdusta kepada sesama manusia yang telah turut menaikkan mereka kepada martabat yang tinggi itu. Jiwa mereka mulai kesepian, meskipun tidur di atas uang yang banyak. Karena adzab Allah telah datang sementara masih hidup, yaitu hati munafik, lupalah mereka bahwa salah satu dari dua pasti dicabut Allah dari tangan mereka, sedang mereka sangat mencintainya. Pertama harta itu sendiri, mudah bagi Allah satu waktu untuk mencabut. Atau dicabut kesehatan pada diri mereka sendiri sehingga uang habis hanya untuk berobat. Yang sekian lama ditahan-tahan, akhirnya diboroskan juga dengan tidak dapat pula ditahan-tahan guna mengembalikan kesehatan. Akhirnya, nyawa itu sendiri yang dicabut dan harta benda dikuasai oleh waris, atau pembayar utang. Dan di akhirat, wajib pula mengemukakan tanggung jawab.
Ayat 78
“Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya Allah itu mengetahui akan rahasia mereka dan bisik-desus mereka?"
Tidakkah si munafik itu insaf bahwasanya sampai ke dalam hati sanubarinya itu senan-tiasa tidak lepas dari penilikan dan pengetahuan Allah? Apa perlunya mereka main komidi, lain di mulut lain di hati, lain kata lain perbuatan? Kalau berkumpul sesama mereka, mereka pun berbisik-desus mempergunjingkan Rasulullah ﷺ, kalau datang orang beriman, mereka kembali diam dan ber-senyum-simpul mengambil muka? Dan tidakkah mereka mengetahui?
“Dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui akan perkara-perkara yang tersembunyi."
Banyak hal lain yang gaib tersembunyi, tetapi mereka tidak insaf akan hal itu. Gaib bagi mereka bahwasanya kalau satu waktu perniagaan mereka berlaba besar dan pada waktu lain bisa rugi. Bagaimanapun perhitungan mereka, satu kali pasti juga digagalkan oleh kuasa Allah yang gaib. Bagi mereka pun gaib pula bahwa tiba-tiba malaikat maut pasti akan datang. Kalau sudah munafik, hal-hal seperti ini tidak diingat lagi. Sebab Allah hanya ada dalam ucapan lidah, tetapi tidak ada dalam hati mereka.
Maka dengan ketiga ayat ini, Allah membongkar lagi tingkah laku orang-orang munafik. Ini telah bertemu pada zaman Rasulullah ﷺ dan akan bertemu terus-menerus dalam masyarakat manusia.
Sebelum dikeluarkan Allah dari dalam lembah kesengsaraan, banyaklah janji yang muluk-muluk, baik dengan Allah ataupun dengan masyarakat. Tetapi setelah yang dicita berhasil: “Kacang pun lupa di kulitnya." Oleh sebab itu, ketiga rangkaian ayat ini dapatlah kita jadikan koreksi bagi diri kita sendiri.
Kalau sudah sampai demikian maka besarlah bahaya yang akan menimpa diri, sebab iman akan bertukar dengan nifaq.
Tentang sebab turun (asbabun nuzul) ayat ini tertulislah di dalam kitab-kitab tafsir dan riwayat. Riwayat yang pertama ialah yang dari Ibnu jarir dan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah, yaitu dari Ibnu Abbas. Katanya, “Sebab turun ayat ini, ada seorang Anshar, namanya Tsa'labah. Pada satu hari masuk ke satu majelis, lalu berkata, ‘Kalau Allah memberiku rezeki dari karunia-Nya, akan aku beri tiap-tiap orang yang berhak akan haknya dan aku akan bersedekah dan aku akan membantu keluarga.' Rupanya apa yang dimintanya itu dikabulkan Allah. Dia dicobai dengan banyak karunia. Tetapi janjinya itu dimungkirinya. Maka murkalah Allah kepadanya sebab dia memungkiri janji-janjinya itu dan datanglah Al-Qur'an menceritakan perangainya itu."—Sekian riwayat dari Ibnu Abbas.
Tetapi ada lagi sebuah riwayat lebih panjang, dikeluarkan oleh banyak perawi, yaitu al-Hasan bin Sufyan, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, dan al-Askari di dalam kitabnya, al-Amtsal, dan ath-Thabrani, Ibnu Mandah, al-Barudi, dan Abu Nu'aim di dalam kitabnya, Ma'rifatush Shahabah, dan Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah, dan Ibnu Asakir. Riwayat ini dari sahabat Nabi ﷺ Abu Amamah al-Bahili. (Kita salinkan secara bebas).
“Datang Tsa'labah bin Hathib kepada Rasulullah ﷺ Dia memohon agar Rasulullah ﷺ mendoakannya agar diberi rejeki kekayaan harta. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Bagaimana engkau ini Tsa'labah? Apakah engkau tidak senang seperti aku int saja! Aku, jika Allah menyuruhkan gunung ini berjalan beserta aku, dia akan berjalan!' Tetapi Tsa'labah masih berkeras juga meminta Rasulullah ﷺ mendoakan supaya dia kaya, dan di waktu itulah dia berjanji, kalau dia kaya, ‘Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, ya Rasulullah saw,, aku berjanji akan memberikan hartaku itu kepada setiap orang yang berhak menerimanya.'
Meskipun dia telah berjanji demikian kata riwayat itu, namun Rasulullah saw, masih mem-berinya nasihat, ‘Wahai Tsa'labah, harta yang sedikit yang sanggup engkau mensyukurinya, lebih baik daripada banyak, tetapi engkau tak sanggup mensyukuri.' Tetapi Tsa'labah masih saja memohonkan supaya Rasulullah ﷺ mendoakannya. Akhirnya permintaannya itu dikabulkan Nabi dan beliau pun mendoa, ‘Ya Allah, berilah dia ini kekayaan.'
Tsa'labah mulailah berniaga, lalu dibelinya kambing. Maka diberkati Allah-lah ternak itu sehingga berkembang, laksana berkembangnya ulat sutra layaknya sehingga sempitlah jalan di Madinah oleh kambing-kambingnya yang banyak. Lantaran kambing telah banyak, dibawanyalah ke luar kota. Maka mulailah dia turut shalat siang bersama Rasulullah ﷺ, tetapi malam tidak lagi. Kambingnya kian berkembang biak juga dan dia pun bertambah jauh ke luar kota. Maka shalat Jum'at dia sudah tidak datang-datang lagi dan shalat jenazah pun tidak. Dia sudah bertambah jauh sehingga hanya bertanya-tanya saja tentang hal-ihwal di Madinah kepada orang-orang yang lalu di tempatnya yang jauh itu, Rasulullah ﷺ merasai kehilangan Tsa'labah, lalu beliau tanyakan apa kabarnya sekarang. Lalu orang katakan kepada beliau bahwa dia telah membeli kambing dan kambing itu telah berkembang biak sehingga telah sempit di Madinah. Dan telah pindah ke luar kota Madinah. Mendengar itu Nabi ﷺ berkata, ‘Sayang Tsalabah!"‘
Riwayat itu berkata selanjutnya, “Maka datanglah perintah Allah pada Rasul, tentang perintah berzakat. Maka Rasulullah ﷺ pun mengirim dua orang pergi untuk memungut zakat itu. Seorang dari Bani Juhainah dan seo
rang dari Bani Salamah. Beliau tuliskan satu catatan gigi-gigi unta atau kambing yang akan dipungut dan bagaimana cara memungutnya. Keduanya disuruh juga pergi kepada Tsa'labah dan kepada seorang lain dari Bani Salim.
Kedua utusan itu pun pergilah dan mereka pun singgah kepada Tsa'labah, memintanya membayar zakat (sebagai peraturan baru itu). Lalu Tsa'labah menyuruh orang-orang itu memperlihatkan suratnya. Setelah dilihatnya, dia pun berkata, ‘Ini tidak lain adalah jizyah. Pergilah kalian dahulu kepada yang lain, nanti kalau kembali singgah kepadaku!' Kedua orang itu pun meneruskan perjalanan menuju orang dari Bani Salim itu. Setelah kedua utusan itu memperlihatkan surat Rasulullah ﷺ, lalu orang itu berkata, ‘Pilihlah oleh kalian mana yang patut untuk dijadikan zakat dari catatan-catatan ini.' Lalu orang berdua itu menjawab, ‘Yang tidak segemuk-gemuk ini pun jadilah.' Bani Salim itu menjawab, ‘Aku tidak mau bertaruh kepada Allah melainkan dengan hartaku yang bagus-bagus.' Maka kedua utusan Nabi ﷺ itu pun membawalah unta-unta bagus itu dan mereka singgah kembali kepada Tsa'labah. Sekali lagi dia minta diperlihatkan surat catatan Nabi saw, itu, dan setelah dibacanya, dia berkata pula, ‘Ini tidak lain dari jizyah. Kalian boleh pulang dahulu karena aku hendak berpikir.' Kedua utusan itu pun pulanglah ke Madinah. Setelah kedua utusan itu ada di hadapan Rasulullah ﷺ, sebelum mereka menceritakan hasil perjalanan, Nabi telah berkata, ‘Wahai, malang Tsa'labah!' Setelah itu Rasulullah ﷺ mendoakan orang Bani Salim itu," Maka turunlah ketiga ayat:
“Dan sebagian dari mereka ada yang berjanji kepada Allah, sesungguhnya jika Dia berikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya, tentu kami akan bersedekah." (at-Taubah: 75)
Berkata riwayat itu selanjutnya, “Setelah turunnya ayat ini didengar keluarga Tsa'labah, mereka pun pergi kepada Tsa'labah dan menerangkan bahwa ayat Alah telah turun mem-perkatakan kesalahan perbuatannya.
Rupanya dia sadar akan kesalahannya, lalu dia datang kepada Rasulullah ﷺ, minta supaya zakatnya diterima. Tetapi Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Allah telah melarang aku menerima zakat engkau/ Mendengar jawab Rasulullah ﷺ itu, menangislah Tsa'labah menyesali dirinya, sampai diambilnya tanah, disiramkannya ke kepalanya sendiri (menye-sali diri). Maka berkatalah Rasulullah ﷺ, ‘Engkau berbuat begini, sebab engkau telah diperintah oleh nafsumu sehingga engkau tidak taat lagi kepadaku/ Maka tidaklah zakat itu diterima Nabi sehingga sampailah Rasulullah ﷺ wafat. Kemudian dia pun datang kepada Abu Bakar, dan dia berkata, ‘Ya Abu Bakar! Terimalah zakatku, engkau telah tahu bagaimana kedudukanku dalam kalangan Anshar.' Abu Bakar menjawab, ‘Kalau Rasulullah ﷺ sendiri tidak mau menerimanya, bagaimana pula aku akan mau menerima?' Maka tidaklah diterima oleh Abu Bakar. Kemudian memerintahlah Umar bin Khaththab. Tsa'labah pun datang menghadap beliau dan berkata, ‘Wahai Abu Hafash, ya Amirul Mu'minin. Terimalah zakatku!' Bersamaan dengan itu ditemuinya pula beberapa orang Muhajirin dan Anshar, bahkan ditemuinya pula istri-istri Rasulullah ﷺ meminta tolong kepada semuanya supaya turut melunakkan hati Sayyidina Umar. Tetapi Umar berkata, ‘Kalau Rasulullah ﷺ tidak mau menerima dan Abu Bakar pun tidak, mengapa aku akan menerimanya?'
Kemudian Sayyidina Umar meninggal pula dan Sayyidina Utsman menggantikan. Maka sebelum Tsa'labah sempat menghadap beliau pula, Tsa'labah pun meninggal."
Di dalam segala tafsir lama, senantiasa bertemu cerita Tsa'labah ini. Tetapi penafsir zaman kita, yaitu Sayyid Rasyid Ridha masih membanding dan menilai riwayat ini, di dalam Tafsir al-Manar-nya. Kata beliau, kalau benar ayat ini turun di zaman Peperangan Tabuk dan kisah Tsa'labah terjadi pada waktu itu, tidaklah ada hubungannya dengan perintah mengeluarkan zakat. Sebab Perang Tabuk terjadi pada tahun kesembilan Hijriah, padahal syari'at zakat diturunkan pada tahun kedua Hijriah.
Dan kemusykilan Sayyid Rasyid Ridha yang kedua ialah, dalam riwayat ini dijelaskan bahwa Tsa'labah telah tobat. Dia telah datang sendiri kepada Rasulullah ﷺ memohon agar zakatnya diterima, sampai disiramkannya tanah ke atas kepalanya sendiri sebagai kebiasaan orang Arab apabila mereka mengakui kesalahan dan menyerah. Namun zakatnya itu tidak juga beliau terima. Padahal di dalam ayat-ayat sebelumnya (ayat 74) sudah diterangkan, “Kalau mereka bertobat, itulah yang lebih baik buat mereka," sudah jelas bahwa kalau mereka tobat, namun tobatnya diterima. Padahal di dalam riwayat ini jelas bahwa Nabi ﷺ tidak menerima tobatnya, dan dua khalifah yang di belakangnya (Abu Bakar dan Umar), melanjutkan pula sikap Nabi ﷺ itu.
Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan, “Cara yang seperti ini jarang sekali kejadian dalam Islam."
Akan tetapi, komentar dari Sayyid Quthub di dalam tafsirnya, Di Bawah Lindungan Al-Qur'an, mengomentari demikian.
“Sama ada kejadian ini bertepatan dengan turunnya ayat, atau berlainadanya.namunnash ayat ini adalah umum, atau menggambarkan keadaan yang umum. Mengemukakan suatu contoh berulang dari hal jiwa-jiwa yang tidak mau yakin, iman yang belum kukuh. Dan jika riwayat ini benar bertali dengan turunnya ayat, maka kita harus yakin bahwa ilmu Rasulullah ﷺ telah sampai kepada bahwa memungkiri janji dan berdusta terhadap Allah tetap meninggalkan bekas kemunafikan dalam hati orang yang menyalahi perintah Allah, sampai kelak datang masanya orang itu dihadapkan di hadapan Allah di akhirat. Pengetahuan beliau atas keadaan yang demikianlah yang menyebabkan beliau tidak mau menerima zakat dan tobat Tsa'labah yang sudah nyata itu. Ilmu yang dalam itu tidak didapatnya secara lahir menurut syari'at, melainkan ilmu langsung yang tidak dikeragui lagi, yang diterima dari al-Alim al-Khabir: Yang Mahatahu dan Maha-teliti. Dan sikap Rasulullah ﷺ menolak zakat itu, adalah sebagai pendidikan semata-mata. Si Tsa'labah tidak dihukumnya murtad dari Islam sehingga patut dihukum dengan hukuman murtad. Dan tidak pula dipandang Muslim sejati, sebab zakatnya tidak diterima. Dan ini pun bukan berarti orang munafik tidak diterima lagi zakatnya menurut syari'at. Kalau syari'at sudah jelas sikapnya, yaitu menghukum manusia menurut yang .nyata kelihatan (zahir). Adapun dalam hal yang tidak mengenai ilmu yang yakin, sebagai terlihat pada kejadian Tsa'labah ini, tidaklah boleh diambil menjadi qiyas karena kejadian ini adalah kejadian yang khusus.
Cuma satu hal dalam riwayat ini yang membukakan kepada kita di zaman sekarang, bagaimana kaum Muslimin yang dahulu itu memandang pungutan zakat yang wajib itu. Mereka memandang suatu nikmat besar bagi diri mereka, kalau zakat mereka diterima. Dan orang-orang yang zakatnya dipandang haram membayarnya atau haram menerimanya, merasakan pulalah bahwa mereka adalah seorang yang hina, dan orang yang lain sangatlah kasihan melihat orang yang zakatnya ditolak itu."
Demikian tafsiran Sayyid Quthub tentang kejadian ini. Setelah kita lihat tafsir-tafsir tertua, hampir semuanya menulis riwayat Tsa'labah ini tanpa komentar. Zaman baru kita ini, datang komentar Sayyid Rasyid Ridha yang meragukan nilai riwayat itu. Tetapi Sayyid QuthUb yang datang sesudah Sayyid
Rasyid Ridha menguatkan riwayat itu kembali dengan suatu keterangan yang tidak lagi meragukan kebenaran riwayat Tsa'labah.
Kedua keterangan itu, dari Sayyid Rasyid dan Sayyid Quthub memperlihatkan bagaimana perkembangan ijtihad ulama-ulama besar Islam pada zaman modern, yang tidak mengurangi iman kita kepada kitab Allah.