Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
جَٰهِدِ
perangilah
ٱلۡكُفَّارَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ
dan orang-orang munafik
وَٱغۡلُظۡ
dan bersikap keraslah
عَلَيۡهِمۡۚ
atas mereka
وَمَأۡوَىٰهُمۡ
dan tempat mereka
جَهَنَّمُۖ
neraka jahanam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
جَٰهِدِ
perangilah
ٱلۡكُفَّارَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ
dan orang-orang munafik
وَٱغۡلُظۡ
dan bersikap keraslah
عَلَيۡهِمۡۚ
atas mereka
وَمَأۡوَىٰهُمۡ
dan tempat mereka
جَهَنَّمُۖ
neraka jahanam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
Terjemahan
Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah (neraka) Jahanam. (Itulah) seburuk-buruk tempat kembali.
Tafsir
(Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir) dengan senjata (dan orang-orang munafik itu) dengan memakai hujah dan lisan (dan bersikap keraslah terhadap mereka) dengan sikap keras dan benci. (Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya) yakni tempat yang paling buruk adalah neraka Jahanam.
Tafsir Surat At-Taubah: 73-74
Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya) kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka; dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.
Ayat 73
Allah ﷻ memerintahkan Rasul-Nya untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, memerintahkan pula agar bersikap keras terhadap mereka. Hal itu merupakan kebalikan dari apa yang telah diperintahkan-Nya terhadap orang-orang mukmin, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang mengikutinya, yaitu kaum mukmin. Dan Allah memberitahukan bahwa tempat kembali orang-orang kafir dan orang-orang munafik kelak di hari kemudian adalah neraka.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan sebuah hadits melalui Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah mengirimkan empat perintah berperang.
Pertama ditujukan kepada orang-orang musyrik, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram (suci) itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik.” (At-Taubah: 5) Lalu perang terhadap orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29) Kemudian perang terhadap orang-orang munafik, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik.” (At-Taubah: 73) Setelah itu perang terhadap para pemberontak, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” (Al-Hujurat: 9)
Hadits ini menunjukkan pengertian bahwa kaum mukmin diperintahkan untuk berjihad melawan orang-orang munafik bila mereka muncul, yaitu dengan perlawanan bersenjata. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Mas'ud telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.” (At-Taubah: 73) Yakni dengan kekuatan; dan jika tidak mampu, maka hadapilah pelakunya dengan wajah yang masam.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah ﷻ memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan senjata dan orang-orang munafik dengan lisan, serta meniadakan sikap lemah lembut terhadap mereka.
Adh-Dhahhak mengatakan, "Berjihadlah melawan orang-orang kafir dengan senjata, dan bersikap kasarlah terhadap orang-orang munafik dalam bertutur kata. Itulah cara mujahadah melawan mereka." Hal yang mirip telah diriwayatkan pula dari Muqatil serta Ar-Rabi'.
Al-Hasan, Qatadah, dan Mujahid mengatakan bahwa pengertian mujahadah melawan mereka ialah dengan menegakkan hukuman had terhadap mereka. Akan tetapi, dapat dikatakan pula bahwa tidak ada pertentangan di antara pendapat-pendapat ini; karena adakalanya mereka diperlakukan dengan salah satunya, adakalanya dengan hukum yang lainnya, segala sesuatunya disesuaikan dengan keadaan.
Ayat 74
Firman Allah ﷻ: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam.” (At-Taubah: 74)
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay. Pada awal mulanya ada dua orang lelaki yang salah seorangnya dari Bani Juhani, sedangkan yang lainnya dari kalangan Anshar; keduanya terlibat dalam suatu perkelahian. Lalu orang Juhani itu dapat mengalahkan orang Anshar yang menjadi lawannya. Maka Abdullah ibnu Ubay berkata kepada orang-orang Anshar, "Tidakkah kalian menolong saudara kalian? Demi Allah, tiada perumpamaan antara kita dan Muhammad melainkan seperti apa yang dikatakan oleh seseorang, bahwa gemukkanlah anjingmu, niscaya anjing itu akan memakanmu." Abdullah ibnu Ubay mengatakan pula, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, orang yang kuat benar-benar akan mengusir orang-orang yang lemah darinya."
Kemudian apa yang dikatakannya itu disampaikan kepada Nabi ﷺ oleh seseorang dari kalangan kaum muslim. Maka Nabi ﷺ memanggil Abdullah ibnu Ubay dan menanyainya. Lalu Abdullah ibnu Ubay mengingkari perkataannya itu dan bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa dia tidak mengatakannya. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Ismail ibnu Ibrahim ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari pamannya (yaitu Musa ibnu Uqbah) yang mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Fadl, bahwa ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia pernah bersedih hati atas musibah yang menimpa kaumnya di Al-Harrah. Lalu Zaid ibnu Arqam menulis surat kepadanya setelah mendengar kesedihan (kedukaan) yang sedang dialaminya.
Di dalam suratnya itu Zaid ibnu Arqam mengingatkan akan sabda Nabi ﷺ yang pernah didengarnya, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Ya Allah, berilah ampunan bagi orang-orang Anshar, juga bagi anak-anak mereka”. Ibnul Fadl merasa ragu tentang teks yang menyebutkan, "Anak-anak orang Anshar." Ibnul Fadl melanjutkan kisahnya, "Lalu Anas bertanya tentang Zaid ibnu Arqam kepada orang-orang yang ada di dekatnya. Maka ada seseorang yang mengatakan bahwa Zaid ibnu Arqam adalah seseorang yang pernah disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya, ‘Allah telah memperkenankan baginya berkat telinganya’." Itu terjadi ketika Zaid mendengar seorang lelaki dari kalangan orang-orang munafik mengatakan, “Jika dia (Nabi ﷺ) benar, berarti kita ini lebih buruk daripada keledai.” Saat itu Nabi ﷺ sedang dalam khotbahnya. Maka Zaid ibnu Arqam dengan spontan menjawab, “Dia, demi Allah, benar. Dan sesungguhnya kamu lebih buruk daripada keledai.”
Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, tetapi orang yang mengatakannya mengingkarinya, maka Allah menurunkan ayat ini membenarkan Zaid, yakni firman Allah ﷻ: 'Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakannya’.” (At-Taubah: 74), hingga akhir ayat.
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya dari Ismail ibnu Abu Uwais, dari Isma'il Ibnu Ibrahim ibnu Uqbah sampai dengan teks yang menyebutkan bahwa orang ini adalah orang yang telah dipenuhi oleh Allah dengan izin-Nya (yakni dibenarkan oleh Allah). Barangkali teks yang sesudahnya merupakan perkataan Musa ibnu Uqbah.
Muhammad ibnu Falih telah meriwayatkannya dari Musa ibnu Uqbah berikut sanadnya, kemudian ia mengatakan bahwa Ibnu Syihab telah mengatakan, lalu disebutkan teks yang sesudahnya berasal dari Musa, dari Ibnu Syihab. Menurut pendapat yang terkenal sehubungan dengan kisah ini, kisah ini terjadi dalam perang melawan Banil Mustaliq. Barangkali si perawi menuturkan ayat ini hanya berdasarkan dugaan; pada mulanya dia hendak menyebutkan yang lainnya, tetapi pada akhirnya dia menyebutkan ayat ini.
Al-Umawi di dalam kitab Magazi-nya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan, "Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari medan perang, maka kaumku mendesakku melalui perkataan mereka, 'Sesungguhnya engkau adalah seorang penyair. Jika engkau menghendaki, dapat saja engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah ﷺ bahwa engkau berhalangan, tidak dapat ikut perang. Hal itu jelas merupakan suatu dosa, lalu kamu memohon ampun kepada Allah dari dosa itu'."
Selanjutnya disebutkan bahwa termasuk di antara orang-orang munafik yang tidak ikut berangkat berjihad dan diturunkan Al-Qur'an berkenaan dengan mereka terdapat seseorang yang berpihak kepada Nabi ﷺ, yaitu Al-Jallas ibnu Suwaid ibnus Samit. Al-Jallas adalah suami Ummu Umair ibnu Sa'd, saat itu Umair berada di dalam asuhannya.
Ketika Al-Qur'an yang menyebutkan perihal sikap orang-orang munafik diturunkan, maka Al-Jallas berkata, "Demi Allah, jika lelaki ini (Nabi ﷺ) benar dalam apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya kami ini lebih buruk daripada keledai." Dan perkataannya itu terdengar oleh Umair ibnu Sa'd. Maka Umair berkata, "Demi Allah, wahai Jallas, sesungguhnya engkau benar-benar orang yang paling aku sukai, paling membelaku, dan paling aku bela dari sesuatu yang tidak disukainya bila menimpa dirinya. Dan sekarang engkau telah mengatakan suatu ucapan yang bila aku tuturkan akan mempermalukan diriku; tetapi jika aku sembunyikan, niscaya akan membinasakanku. Dan sesungguhnya salah satu di antara dua pilihan itu ada yang lebih ringan bagiku."
Akhirnya Umair berangkat menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepadanya tentang semua yang telah dikatakan oleh Al-Jallas. Ketika hal itu terdengar oleh Al-Jallas, maka Al-Jallas datang menghadap Nabi ﷺ, lalu bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa dia tidak mengatakan apa yang telah diceritakan oleh Umair itu dan bahwa Umair telah berdusta terhadapnya.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhmu mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam.” (At-Taubah: 74), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah ﷺ memberlakukan Al-Jallas sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ayat ini. Dan mereka (para perawi) menduga bahwa Al-Jallas bertobat sesudah itu dan berbuat baik dalam tobatnya serta melucuti dirinya dari kemunafikan dengan baik.
Demikianlah kalimat yang disisipkan di dalam hadits yang muttasil sampai kepada Ka'b ibnu Malik. Akan tetapi, hanya Allah yang lebih mengetahui; seakan-akan hal ini merupakan perkataan Ibnu Ishaq sendiri, bukan perkataan Ka'b ibnu Malik.
Urwah ibnuz Zubair mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Jallas ibnu Suwaid ibnus Samit. Ia datang bersama anak tirinya (yaitu Mus'ab) dari Quba. Lalu Al-Jallas berkata, "Jika apa yang disampaikan oleh Muhammad ini benar, berarti kami lebih buruk daripada keledai yang kita naiki sekarang ini." Mus'ab berkata, "Ingatlah, demi Allah, wahai musuh Allah, sungguh aku akan menceritakan apa yang kamu katakan itu kepada Rasulullah ﷺ"
Ketika aku (Mus'ab) tiba di hadapan Nabi ﷺ, diriku merasa khawatir bila diturunkan Al-Qur'an yang menceritakan perihal diriku, atau aku akan tertimpa azab atau akan dilibatkan ke dalam kesalahannya. Akhirnya aku berkata, "Wahai Rasulullah, saya dan Al-Jallas datang dari Quba, lalu Al-Jallas mengatakan anu dan anu. Sekiranya saya tidak merasa takut akan dilibatkan ke dalam kesalahannya atau tertimpa suatu azab, niscaya saya tidak akan menceritakan hal ini kepadamu."
Maka Al-Jallas dipanggil, lalu Rasul ﷺ bertanya, "Wahai Jallas, apakah engkau telah mengatakan apa yang diceritakan oleh Mus'ab?" Al-Jallas bersumpah bahwa dia tidak mengatakannya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).” (At-Taubah: 74), hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, "Orang yang mengucapkan perkataan itu menurut apa yang sampai kepadaku ialah Al-Jallas ibnu Suwaid ibnus Samit. Lalu ucapan itu disampaikan kepada Nabi ﷺ oleh seorang lelaki yang berada di dalam asuhannya; lelaki itu dikenal dengan nama Umair ibnu Sa'd. Lalu Al-Jallas mengingkari ucapannya itu dan bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa dia tidak mengatakannya. Setelah diturunkan Al-Qur'an mengenainya, maka ia bertobat dan meninggalkan perbuatannya itu serta berbuat baik dalam tobatnya. Demikianlah berita yang sampai kepadaku."
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ayyub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Sa' id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk di bawah naungan sebuah pohon, maka beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya akan datang kepada kalian seorang manusia, lalu ia memandang kalian dengan pandangan mata setan. Maka apabila dia datang, janganlah kalian berbicara dengannya.” Tidak lama kemudian datanglah seorang lelaki yang bermata biru. Lalu Rasulullah ﷺ memanggilnya dan bertanya, "Mengapa engkau dan teman-temanmu mencaci maki diriku?" Lalu lelaki itu pergi dan datang kembali dengan teman-temannya, lalu mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa mereka tidak mengatakannya, hingga Rasulullah ﷺ memaafkan mereka. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).” (At-Taubah: 74). hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ: “Dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya.” (At-Taubah: 74)
Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Jallas ibnus Suwaid. Itu karena dia berniat membunuh anak tirinya di saat anak tirinya mengatakan kepadanya, "Sungguh aku akan menceritakan ucapanmu itu kepada Rasulullah ﷺ."
Menurut pendapat lainnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay yang berniat membunuh Rasulullah ﷺ. As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang yang hendak mengangkat Abdullah ibnu Ubay sebagai pemimpin, sekalipun Rasulullah ﷺ tidak rela.
Di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ada sejumlah orang munafik yang berniat hendak membunuh Nabi ﷺ dalam Perang Tabuk, yaitu di suatu malam ketika Rasulullah ﷺ masih berada dalam perjalanan menuju ke arahnya. Mereka terdiri atas belasan orang lelaki. Adh-Dhahhak mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka. Hal ini jelas disebutkan dalam riwayat Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Huzaifah ibnul Yaman yang menceritakan, "Saya memegang tali kendali unta Rasulullah ﷺ seraya menuntunnya, sedangkan Ammar menggiring unta itu; atau Ammar yang menuntunnya, sedangkan saya yang menggiringnya. Ketika kami sampai di' Aqabah, tiba-tiba kami berjumpa dengan dua belas lelaki penunggang kuda yang datang menghalangi jalan Rasulullah ﷺ ke medan Tabuk. Maka saya mengingatkan Rasul ﷺ akan sikap mereka itu, lalu Rasulullah ﷺ meneriaki mereka, dan akhirnya mereka lari mundur ke belakang.
Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami, 'Tahukah kalian siapakah mereka itu?' Kami menjawab, 'Tidak, wahai Rasulullah, karena mereka memakai cadar. Tetapi kami mengenali mereka dari pelana-pelananya.' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Mereka adalah orang-orang munafik sampai hari kiamat. Tahukah kalian apakah yang hendak mereka lakukan?' Kami menjawab, 'Tidak tahu.' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Mereka bermaksud mendesak Rasulullah ﷺ di 'Aqabah. Dengan demikian, maka mereka akan menjatuhkannya ke Lembah ‘Aqabah.' Kami (para sahabat) berkata. 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengirimkan orang kepada keluarga mereka sehingga masing-masing kaum mengirimkan kepadamu kepala teman mereka itu?' Rasulullah ﷺ bersabda, 'Jangan, aku tidak suka bila kelak orang-orang Arab mempergunjingkan di antara sesama mereka bahwa Muhammad telah berperang bersama suatu kaum, tetapi setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya bersama mereka, lalu ia berbalik memerangi mereka.' Kemudian Rasulullah ﷺ berdoa, 'Ya Allah, lemparlah mereka dengan Dahilah.' Kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah Dahilah itu?' Rasul ﷺ menjawab, 'Bara api yang mengenai bagian dalam hati seseorang di antara mereka, lalu ia binasa’.”
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abdullah ibnu Jami', dari Abut Tufail yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ kembali dari medan Tabuk, beliau memerintahkan kepada juru penyeru untuk menyerukan, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ akan mengambil jalan 'Aqabah, maka janganlah ada seseorang yang menempuhnya." Ketika unta kendaraan Rasulullah ﷺ dituntun oleh Huzaifah dan digiring oleh Ammar, tiba-tiba datanglah segolongan orang yang mengendarai unta, semuanya memakai cadar. Mereka menutupi Ammar yang sedang menggiring unta kendaraan Rasulullah ﷺ. Maka Ammar memukuli bagian depan pelana unta mereka, sedangkan Rasulullah ﷺ bersabda kepada Huzaifah, "Hentikanlah, hentikanlah." Setelah unta kendaraan Rasulullah ﷺ merunduk, maka Rasulullah ﷺ turun dari unta kendaraannya, dan saat itu Ammar telah kembali. Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Ammar, tahukah kamu siapakah kaum itu tadi?" Ammar menjawab, "Sesungguhnya saya mengenali pelana mereka, tetapi orang-orangnya kami tidak tahu karena mereka memakai cadar." Rasulullah ﷺ bertanya, “Tahukah kamu, apakah yang mereka maksudkan?" Ammar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ menjawab, "Mereka bermaksud melaratkan unta kendaraan Rasulullah, lalu menjatuhkannya dari atas unta kendaraannya." Lalu Ammar bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ. Untuk itu ia berkata, "Aku memohon kepadamu dengan nama Allah. Menurut pengetahuanmu ada berapakah jumlah orang-orang yang di 'Aqabah itu?" Orang itu menjawab, "Ada empat belas orang lelaki." Ammar berkata, "Jika engkau termasuk seseorang dari mereka, berarti jumlah mereka ada lima belas orang." Rasulullah ﷺ mengecualikan tiga orang di antara mereka. Ketiga orang itu berkata, "Demi Allah, kami tidak mendengar juru seru Rasulullah, dan kami tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh kaum itu." Maka Ammar berkata, "Saya bersaksi bahwa kedua belas orang itu mengobarkan peperangan terhadap Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan di dunia dan pada hari semua saksi bangkit tegak (yakni hari kiamat).”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah ibnuz Zubair. Disebutkan pula bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan kaum muslim untuk menempuh jalan perut lembah. Sedangkan beliau sendiri bersama Huzaifah dan Ammar menaiki lembah menempuh jalan 'Aqabah. Maka mereka diikuti oleh segolongan orang-orang yang hina itu seraya memakai cadar, lalu mereka menempuh jalan 'Aqabah. Tetapi Allah ﷻ memperlihatkan niat mereka kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada Huzaifah untuk kembali kepada mereka (turun), lalu Huzaifah memukuli bagian depan pelana unta mereka sehingga mereka terkejut dan kembali dalam keadaan tercela. Rasulullah ﷺ memberitahukan kepada Huzaifah dan Ammar tentang nama-nama mereka serta niat mereka yang jahat itu, yaitu hendak mencelakakan diri Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada keduanya agar menyembunyikan nama mereka itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Yunus ibnu Bukair, dari Ibnu Ishaq, hanya di dalam riwayatnya disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menyebutkan nama sejumlah orang dari mereka. Hal yang sama telah diriwayatkan pula di dalam kitab Mu'jam Imam Ath-Thabarani, menurut Imam Baihaqi.
Kesahihan riwayat ini disaksikan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Jami', telah menceritakan kepada kami Abut Tufail yang mengatakan bahwa di antara seorang lelaki dari kalangan ahli 'Aqabah dengan Huzaifah terdapat sesuatu hal yang biasa terjadi di kalangan orang banyak.
Maka Huzaifah bertanya, "Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, ada berapakah jumlah orang-orang itu ketika di Aqabah?" Ia teringat akan pesan kaum itu yang mengatakan kepadanya, "Ceritakanlah kepadanya bila dia bertanya kepadamu." Maka ia menjawab, "Kami mendapat berita bahwa jumlah mereka semuanya ada empat belas orang. Jika aku dimasukkan bersama mereka, berarti seluruh kaum berjumlah lima belas orang. Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa dua belas orang di antara mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan di dunia sampai hari para saksi bangkit (yakni hari kiamat) nanti. Tiga orang diantara mereka dimaafkan. Merekalah yang mengatakan, 'Kami tidak mendengar seruan juru seru Rasulullah, dan kami tidak mengetahui pula apa tujuan dari kaum itu’. Lelaki itu pada mulanya berada di Harrah sedang berjalan, lalu ia berkata, "Sesungguhnya air sedikit, maka sebaiknya jangan sampai ada seorang pun yang mendahuluiku ke tempat air itu." Tetapi ia menjumpai suatu kaum telah mendahuluinya, maka ia melaknati mereka pada hari itu.
Imam Muslim juga meriwayatkan melalui hadits Qatadah, dari Abu Nadrah, dari Qais ibnu Abbad, dari Ammar ibnu Yasi yang mengatakan bahwa Huzaifah telah menceritakan kepadanya dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Di antara sahabatku terdapat dua belas orang munafik, mereka tidak dapat masuk surga dan tidak pula dapat mencium baunya hingga unta dapat masuk ke dalam lubang jarum (yakni mustahil mereka masuk surga). Delapan orang di antaranya telah cukup dibalas dengan Dahilah, yaitu pelita api yang muncul di antara kedua belikat mereka, lalu menembus dada mereka.”
Karena itulah maka Huzaifah dijuluki sebagai pemegang rahasia yang tidak boleh diketahui oleh seorang pun, yakni berkenaan dengan ciri-ciri dan diri orang-orang munafik yang terlibat dalam peristiwa itu. Rasulullah ﷺ telah memberitahukan kepadanya mengenai mereka, tidak kepada selainnya.
Imam Ath-Thabarani di dalam musnad Huzaifah telah menyebutkan nama orang-orang yang terlibat dalam peristiwa 'Aqabah itu. Kemudian ia meriwayatkan dari Ali ibnu Abdul Aziz, dari Az-Zubair ibnu Bakkar, bahwa mereka adalah Mu'tib ibnu Qusyair, Wadi'ah ibnu Sabit, Jad ibnu Abdullah ibnu Nabtal ibnul Haris dari kalangan Bani Amr ibnu Auf, Al-Haris ibnu Yazid At-Ta'i, Aus ibnu Qaizi, Al-Haris ibnu Suwaid, Sa'd ibnu Zurarah, Qais ibnu Fahd, Suwaid ibnu Da'is dari kalangan Banil Habali, Qais ibnu Amr ibnu Sahi, Zaid ibnul Lasit, dan Sulalah ibnul Hamam; kedua orang yang terakhir ini dari kalangan Bani Qainuqa', mereka menampakkan dirinya seolah-olah masuk Islam.
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.” (At-Taubah: 74) Yakni Rasulullah ﷺ tidak mempunyai kesalahan apa pun kepada mereka, kecuali karena Allah telah memberikan kecukupan kepada mereka berkat kemurahan dan karunia-Nya. Seandainya nikmat Allah telah disempurnakan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapat petunjuk dari Allah untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ.
Seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada orang-orang Anshar: “Bukankah aku menjumpai kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberi kalian petunjuk melaluiku; dan kalian dalam keadaan berpecah belah, lalu Allah mempersatukan kalian dengan melaluiku; dan kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah memberikan kecukupan kepada kalian dengan melaluiku.” Pada setiap kalimat yang diucapkan oleh Nabi ﷺ, mereka (orang-orang Anshar) selalu berkata, "Hanya kepada Allah dan Rasul-Nya kami beriman."
Ungkapan ayat ini diucapkan dalam keadaan tidak ada dosa, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain melalui firman-Nya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah.” (Al-Buruj: 8), hingga akhir ayat. Demikian pula dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: “Tidak sekali-kali Ibnu Jamil mencela (Allah dan Rasul-Nya) kecuali karena pada asal mulanya ia fakir, lalu Allah memberinya kecukupan.”
Kemudian Allah ﷻ menyeru mereka untuk bertobat. Hal ini diungkapkan melalui firman-Nya:
“Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka; dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (At-Taubah: 74) Dengan kata lain jika mereka berkelanjutan dalam menempuh jalannya, maka Allah akan mengazab mereka dengan siksaan yang pedih di dunia, yaitu dengan dibunuh, beroleh kesusahan, dan kesengsaraan; juga siksaan di akhirat, yaitu dengan azab dan pembalasan Allah, serta kehinaan dan diremehkan.
“Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (At-Taubah: 74)
Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat membahagiakan mereka, tidak ada pula orang yang dapat menyelamatkan mereka; mereka sama sekali tidak akan mendapat suatu kebaikan pun, dan tidak ada seorang pun yang dapat membela mereka dari keburukan.
Setelah Allah menjelaskan secara beriringan sifat orang-orang munafik dan orang-orang mukmin disertai balasan masing-masing, maka ayat ini menyeru kepada Nabi Muhammad agar berjihad menghadapi mereka. Hal ini, disebabkan perilaku buruk mereka terhadap Rasulullah dan kaum mukminin, yang sudah berulang kali menyakitinya secara fisik maupun psikis, bahkan tidak jarang tindakan mereka mengancam keselamatan beliau. Karena itu, wahai Nabi dan kaum mukmin, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik disebabkan perkataan dan perbuatan mereka yang nyata-nyata menantang kamu, dan bersikaplah keras dan tegas terhadap mereka dalam berjihad agar mereka menghentikan perilaku buruknya sehingga tidak berani mengulanginya. Jika mereka terbunuh dan mati dalam keadaan kafir dan munafik, maka tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburukburuk tempat kembali. Perintah jihad itu bersifat kondisional dan bukan semata-mata tanpa sebab. Orang-orang munafik akan melakukan apa saja demi menutupi keburukan perilaku dan ucapannyanya. Bahkan, mereka berani bersumpah dengan nama Allah di hadapan engkau, wahai Nabi, bahwa mereka tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakiti engkau, padahal sumpah itu bohong belaka. Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, yaitu mencela Nabi Muhammad dan agama Islam, dan telah menjadi kafir dengan terkuaknya kebusukan hati mereka setelah sebelumnya mereka menutupinya dengan pura-pura mengikuti ajaran Islam, dan mereka juga sangat menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, yaitu membunuh Rasulullah. Mereka tidak mencela, melainkan didorong oleh rasa iri dan dengki karena Allah dan Rasul-Nya melimpahkan karunia-Nya kepada mereka dengan jumlah lebih kecil, tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Maka, jika mereka bertobat dari sikap kemunafikan dan menyesalinya, sehingga tobatnya akan diterima, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling dari iman serta tetap dalam kemunafikannya, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dengan berbagai bentuk dan di akhirat dengan neraka Jahanam, dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di bumi jika azab menimpa mereka.
.
Ayat ini mengandung perintah kepada Nabi Muhammad agar melakukan jihad terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan memperlakukan mereka itu dengan perlakuan yang keras. Melakukan jihad kepada orang-orang kafir adalah dengan pedang, sedang melakukan jihad kepada orang-orang munafik ialah menyadarkan mereka sebaik-baiknya dengan mengemukakan hujjah-hujjah yang diperlukan. Orang kafir seperti orang Yahudi menyakiti Nabi dengan cara yang menyakitkan perasaan; mereka mengucapkan kalimat salam kepada Nabi dengan mengubah kata "Assalamualaikum" dengan "Assamulaikum", ucapan yang berarti "Juga kematian atas kamu" dan Nabi pun tentulah membalasnya dengan ucapan: "Waalaikum" yang berarti "Juga kematian atas kamu". Di samping itu mereka sering pula melanggar perjanjian. Terhadap orang-orang munafik Nabi selalu memperlakukan mereka dengan lemah-lembut sebagaimana halnya memperlakukan orang-orang mukmin. Tetapi sebaliknya orang-orang munafik selalu menyakiti Nabi, misalnya dengan melancarkan tuduhan-tuduhan yang mengutarakan bahwa Nabi itu pilih kasih dalam membagi harta rampasan perang dan zakat. Nabi mudah percaya kepada laporan tanpa diteliti dan sebagainya yang maksudnya mengejek Nabi. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad bertindak keras kepada mereka dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka dengan harapan agar mereka menjadi sadar.
Sikap keras yang Nabi jalankan itu suatu siasat yang diatur oleh Allah dan kenyataannya berhasil.Dengan perlakuan seperti itu banyak orang-orang yang kafir dan munafik bertobat dan kembali beriman. Tetapi orang-orang yang masih belum sadar karena hanyut dan tenggelam dalam kemunafikan atau kekufuran, tempat mereka adalah neraka Jahanam untuk selama-lamanya, tempat paling buruk di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JIHAD TERHADAP KAFIR DAN MUNAFIK
Sebagaimana telah kita maklumi dalam keterangan yang sudah-sudah, kalimat jihad berarti berjuang bersungguh-sungguh atau bekerja keras, tidak peduli payah. Oleh sebab maka al-harb yang berarti perang, hanyalah sebagian dari jihad. Maka tersebutlah dalam ayat ini;
Ayat 73
‘Wahai Nabi! Jihadilah kafir-kafir dan munafik-munafik itu, dan berlaku gagahlah terhadap mereka."
Apabila telah kita pahamkan pertalian ayat ini dengan ayat-ayat yang sebelumnya, dapatlah kita mengerti apa yang dimaksud dengan jihad di sini dan kepada kafir dan mu
nafik yang mana dia akan dihadapkan. Di ayat-ayat yang telah lalu, Rasulullah ﷺ telah diperintahkan memerangi musyrikin. Dan di ayat 29, Rasul telah disuruh pula memerangi Ahlul Kitab sampai mereka tunduk dan membayar jizyah. Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini datanglah perintah jihad. Nyatalah bahwa jihad lebih luas lagi daerahnya daripada perang, yang perang pun termasuk di dalamnya. Di dalam ayat ini Rasul ﷺ disuruh berjihad kepada kafir dan munafik. Dengan ini sudah nyata bahwa kedudukan munafik sudah disamakan dengan kafir. Tingkah laku mereka adalah menentang Rasul ﷺ dari dalam, sedangkan orang kafir sudah nyata dari luar. Hendaklah mereka itu dijihad. Dilawan, dihadapi, dan ditangkis tantangan mereka dengan berbagai cara. Satu di antaranya hendaklah bersikap keras atau gagah kepada mereka. Artinya, jangan mereka diberi hati.
Dalam sejarah, kita melihat betapa lebih sukarnya menghadapi munafik itu. Mereka tidak boleh langsung diperangi dengan pedang, kecuali kalau mereka memberontak. Sama pendapat ulama-ulama bahwa sikap terhadap munafikin dalam hukum-hukum syari'at disamakan dengan sikap terhadap kaum Muslimin. Mereka tidak boleh diperangi kalau tidak terang-terang menyatakan kufur dengan sikap murtad. Mereka tidak boleh diperangi kalau mereka tidak mengacaukan kaum Muslimin dengan bughat,yaitu memecah persatuan jamaah kaum Muslimin. Mereka tidak boleh diperangi kalau mereka tidak terang-terang menentang hukum Islam dan tidak mau menjelaskannya, sebagaimana telah diperangi oleh Khalifah Pertama, Sayyidina Abu Bakar, orang-orang Islam yang tidak mau mengeluarkan zakat.
Oleh sebab itu, selain dari keterangan Ibnu Abbas tadi bahwa kafir dijihad dengan pedang dan munafik dijihad dengan lidah, Ibnu Mas'ud, menafsirkan pula bahwa jihad terhadap munafik ialah dengan sikap. Rasul ﷺ disuruh berjihad dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah berjihad dengan lidahnya, dan kalau tidak sanggup pula, hendaklah berjihad dengan hatinya, dan hendaklah ditunjukkan pada wajah, rupa yang tidak senang terhadap mereka. Tandanya tidak setuju atau benci kepada tingkah laku atau perangainya.
Kadang-kadang Rasulullah ﷺ terpaksa merekan perasaan di dalam menghadapi munafik itu. Menahan perasaan itu pun termasuk jihad. Tirmidzi, dari Aisyah Pada suatu hari me-nurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, serta dan Abu Dawud dan Tirmidzi, dari Aisyah—Ada seorang laki-laki meminta izin hendak menghadap Rasulullah. Setelah Rasulullah melihat orang yang akan menghadap itu dari dalam rumahnya, beliau berkata dan didengar Aisyah, “Orang ini adalah saudara yang paling buruk dari kaumnya. Orang ini anak yang paling buruk dari kaumnya!" Tetapi setelah orang itu masuk menghadap beliau, beliau sambut juga dengan muka jernih dan diladeninya juga dengan baik. Setelah orang itu selesai menghadap dan pergi, Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah ﷺ! Sebelum orang itu masuk, engkau berkata begitu-begini tentang orang itu. Tetapi setelah dia duduk menghadap, engkau sambut dia dengan baik dan jernih juga muka engkau melihatnya. Apa sebab begitu?" Langsung Rasulullah ﷺ menjawab, “Pernahkah engkau melihat aku bersikap keji kepada orang? Sungguh yang sejahat-jahat kedudukan manusia di sisi Allah di hari Kiamat ialah orang yang ditinggalkan manusia karena takut akan kejahatan sikapnya."
Hadits Aisyah ini pun menunjukkan satu rupa dari jihad Rasulullah ﷺ terhadap orang-orang yang munafik.
Maka melihat perjalanan hidup Rasulullah ﷺ dalam berbagai sikap beliau, dapatlah kita ketahui di mana tempat beliau bermanis muka kepada kafir dan munafik, dan di mana tempat beliau bersikap keras. Kita bertemu
beberapa hadits bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab berkata karena marahnya melihat sikap dan kesalahan seseorang, baik dia kafir sebagai Yahudi yang meminta piutangnya kepada Nabi ﷺ dengan kasar, maupun yang menuduh Nabi tidak adil membagi sedekah atau yang lain. Umar berkata “Biar aku potong saja leher orang ini, ya Rasul ﷺ" Lalu di-larang Nabi. Di antara contoh kata beliau, “Apa kata orang nanti? Dikatakan orang nanti Muhammad membunuh sahabatnya."
Yang menjadi biang keladi, sumber fitnah menuduh istri Rasulullah ﷺ Aisyah yang shiddiqah putri Abu Bakar yang shiddiq, berbuat jahat (haditsul ifkt), ialah Abdullah bin Ubay, Ketika telah turun ayat-ayat Allah membela kesucian Aisyah maka segala penuduh yang menyebar fitnah bohong itu dihukum, di antaranya penyair Hassan bin Tsabit maka Rasulullah ﷺ tidak menjalankan hukum itu atas diri Abdullah bin Ubay.
Ini pun satu macam jihad kepada munafik. Kepadanya dijatuhkan saja hukuman batin, yaitu bertimpanya rasa kebencian masyarakat Madinah atas dirinya sehingga matinya dia tidak dipercaya orang lagi. (Lihat tafsir surah an-Nuur, Juz 18).
Tetapi apabila satu waktu sudah sangat keterlaluan, baik terhadap kafir atau terhadap munafik, beliau tunjukkan sikapnya yang gagah dan kelihatan seram, sehingga mereka ta-kut menentangnya. Di waktu yang demikian kelihatanlah sikap beliau yang tidak menge-nal lemah lembut. Pamannya sendiri, Abbas, ketika meminta tebusan dirinya dari tawanan di Peperangan Badar, beliau kenakan uang tebusan itu dua setengah kali lipat daripada yang lain, dan diwajibkan pula menebus dua orang anak saudaranya.
Terhadap munafik yang lancang mulut, yang oleh orang sekarang biasa disebut plintat-plintut, memang muka beliau kelihatan seram, gagah, dan menimbulkan takut. Dalam keadaan muka beliau beginilah agaknya, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits shahih, seorang laki-laki datang, dan demi melihat wajah Nabi ﷺ dia hampir pingsan ketakutan.
Maka contoh yang dari Nabi ﷺ ini, tentang menunjukkan muka tidak senang terhadap kafir dan munafik, hendaklah menjadi teladan pula bagi kita umatnya.
Kita tidak akan bermasam muka kepada segala kafir dan segala munafik sebagaimana banyak terjadi pada zaman sekarang, hendaklah kita lawan dengan tegas, dan tunjukkan muka tidak senang. Sebab ada juga kafir yang beradab, kita pun hormat. Tetapi ada juga kafir dan munafik yang kurang ajar! Kita kurang mutu sebagai umat Muhammad, kalau kita tidak menunjukkan muka tidak senang terhadap perangainya yang demikian. Malahan telah kita terima tuntunan sikap kita di dalam surah an-Nisaa' ayat 100 (lihat tafsir Juz 5) dan surah al-An'aam ayat 68 (Tafsir Juz 7), bahwa kalau dalam satu majelis ada orang menyatakan tantangan (kafir) kepada Allah dan mengolok-olok, kalau mereka tidak segera mengalihkan kata kepada yang lain, dan kalau kita tidak sanggup membantah mereka, hendaklah segera tinggalkan tempat itu, sebagai menunjukkan protes.
Di zaman sekarang kerap kali orang menuduh kita fanatik karena sikap kita yang keras, dalam rangka jihad menuruti jejak Nabi ﷺ. Apabila kita tidak senang atau tidak mau meladeni mereka; baik dia kafir lain agama maupun orang yang mengaku Islam, tetapi mengolok-olok agama, yaitu munafik. Maka kalau kita takut dituduh fanatik dalam saat yang seperti itu, berhentilah jadi orang Islam. Lalu berkata lanjutan ayat:
“Sedang tempat pulang mereka adalah Jahannam, dan itulah yang seburuk-buruk kesudahan."
Di akhirat, tidakada tempat bagi kafir-kafir dan munafik yang menentang kebenaran itu. Di akhirat tidak ada tempat bagi munafik itu, yang mereka disangka termasuk orang dalam, padahal mereka mengacau dari dalam. Tempat mereka kembali hanyalah neraka Jahannam, yaitu seburuk-buruk tempat kembali. Dan sesuai dengan tingkah laku mereka di dunia ini, tidak ada pendirian yang tetap, hanya sebagai pucuk aru, ke mana angin yang deras ke sanalah dia rebah.
Ayat 74
“Mereka akan bensumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidaklah pernah berkata (begitu), padahal mereka telah pennah mengatakan kalimat kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam."
Diulangi lagi dalam ayat ini salah satu kekerdilan jiwa munafik itu, sebagai yang telah diterangkan di ayat 62 di atas tadi. Yaitu mudahnya mereka bersumpah, membawa-bawa nama Allah untuk membersihkan diri. Dan di ayat 62 telah diterangkan sebab turunnya ayat, yaitu darihal seorang yang bernama Julias, yang mempertahankan kaumnya yang minta izin, tidak suka mengikuti Rasul ﷺ ke Perang Tabuk. Dan dikatakannya pula bahwa kalau perkataan Nabi itu benar, niscaya orang-orang yang tidak pergi itu sudah dianggap sebagai keledai. Perkataannya yang sudah jelas menentang sabda Rasulullah ﷺ itu, ditegur oleh anak tirinya yang bernama Umair bin Said, “Hai, paman! Tobatlah kepada Allah!" Lalu oleh anak tirinya itu disampaikan perkataannya yang telah berbau kekafiran itu kepada Nabi ﷺ Dia pun dipanggil dan ditanyai, apa benar dia berkata demikian. Lalu Julias menjawab sambil bersumpah-sumpah bahwa dia tidak pernah berkata begitu; dituduhnya anak tirinya itu yang berkata begitu. Tetapi anak itu menjawab pula dengan tegas, “Memang, ya Rasulullah ﷺ, begitulah bunyi katanya. Sebab itu tobatlah kepada Allah, hai paman! Moga-moga biarlah turun ayat Al-Qur'an untuk menyaksikan bahwa aku mendengar apa yang engkau katakan itu."
Demikianlah jawaban Umair bin Said.
arti-arti yang terpakai di tempat lain, disebutkan bahwa kata hammu mengandung juga maksud jahat. Maka berartilah bahwa dalam kalangan munafik itu ada suatu komplot yang jahat maksudnya terhadap kepada Rasulullah ﷺ, namun maksud itu tidak dapat mereka capai.
Tentang maksud jahat mereka ini, ada diceritakan oleh Ibnul Qayyim al-jauziyah di dalam kitabnya, Zaadul Ma'ad, kita salinkan secara bebas, sebagai berikut.
Kata Ibnul Qayyim,
“Disebutkan oleh Abui Aswad di dalam kitabnya, al-Maghazi, yang riwayatnya diterima dari Urwah, demikian bunyinya: ‘Rasulullah ﷺ kembali ke Madinah dari Peperangan Tabuk. Setelah sampai di pertengahan jalan, beberapa orang munafik membuat suatu mu-kafat jahat hendak membunuh Rasulullah ﷺ. Ada satu tempat yang baik sekali mereka pandang buat melaksanakan maksud jahat itu, yaitu di sebuah jalan pendakian faqabah) yang sempit dan curam. Maksud mereka, bila sampai ke tempat yang curam itu, mereka atur hendak berdesak-desakkan untuk mendesak Nabi ﷺ Kalau maksud mereka itu berhasil, Rasulullah ﷺ akan terdesak ke tepi jurang, lalu jatuh dan hancur. Tetapi setelah sampai di tempat yang ditentukan, berkatalah Rasulullah ﷺ, ‘Siapa di antara kamu yang suka berjalan melalui lembah yang di bawah, lebih baik lalulah dari sana. Sebab di sana lebih lapang. Di jalan ini terlalu sempit dan berbahaya.' (Rupanya jalan yang curam berbahaya itu adalah jalan pintasan yang cepat sampai ke seberang. Dan jalan yang di lembah lapang, tetapi terlalu panjang yang harus dilalui).
Dan hari ketika itu telah mulai malam.
Mendengar seruan Rasulullah ﷺ itu, sahabat-sahabat yang banyak, menjuruskan jalan mereka ke lembah. Sedang Rasulullah ﷺ sendiri melalui tempat curam itu diiringkan oleh dua orang sahabat, yaitu Hudzaifah bin al-Yamaan dan Amar. Hudzaifah menuntun
kendaraan beliau dan Amar berjalan di belakang kendaraan. Tetapi, di belakang beliau melihat ada serombongan orang yang masih menuruti jalan dengan sikap yang men-curigakan. Muka mereka dililit serban sehingga hanya mata mereka saja yang kelihatan. Mereka mengejar tunggangan Rasulullah ﷺ supaya dapat bertemu di tempat yang sempit itu. Namun, Hudzaifah dengan penggada yang ada dalam tangannya sudah waspada. Sehingga setelah rombongan itu dekat benar pada kendaraan Rasulullah ﷺ diayunkannya penggadanya, sehingga kendaraan-kendaraan mereka tidak dibiarkan mendekat Ada di antara tunggangan itu yang kena oleh penggada sehingga lari terbirit-birit Sehingga tidaklah berhasil maksud mereka karena kewaspadaan Hudzaifah. Melihat keadaan yang demikian, timbullah keragu-raguan mereka untuk meneruskan maksud mereka. Takut rahasia maksud jahat mereka akan ketahuan. Mereka cepat-cepat lari menuju bawah, ke lembah yang dilalui orang banyak, dan hilang ditelan malam di tengah-tengah orang banyak itu. Setelah melakukan perbuatan berani itu Hudzaifah segera kembali ke dekat kendaraan Rasulullah ﷺ sedang penggada itu tidak lepas-lepas dari tangannya.
Maka berserulah Rasulullah ﷺ memanggil Hudzaifah, ‘Ke mana engkau tadi Hudzaifah. Segeralah tuntun tungganganku ini! Dan engkau Amar halaulah dia dari belakang!'
Hudzaifah melaksanakan perintah Rasul ﷺ bersama Amar sehingga dengan cepat tempat berbahaya curam itu sudah dapat dilintasi, terlepas dengan selamat. Sampai di tempat aman, beliau tunggulah kedatangan rombongan sahabat-sahabat yang besar itu, yang melalui lembah.
Dan di tempat itu bertanyalah Rasulullah ﷺ kepada Hudzaifah, ‘Adakah engkau kenal wajah orang-orang itu tadi?'
Hudzaifah menjawab, ‘Muka mereka kurang jelas, semuanya ditutupi sehingga hanya mata dan hidung saja yang kelihatan, apatah lagi hari sangat gelap. Saya kira ada si fulan dan si fulan. Barangkali mereka tidak tahu jalan, atau tidak mendengar perintah Rasulullah ﷺ supaya rombongan besar jalan di lembah saja.'
Lalu Nabi ﷺ bertanya, ‘Tidakkah engkau ketahui apa maksud mereka itu tadi?'
‘Saya tidak tahu, ya Rasulullah ﷺ!' Dengan tegas Rasulullah ﷺ berkata, ‘Niat mereka sangat jahat. Mereka hendak membinasakan daku di pendakian curam itu. Mereka iringkan bersama dari belakang, dan sesampai di tempat curam itu hendak mereka desakkan bersama kendaraanku, sampai aku terjerumus masuk jurang dalam itu.'
Bukan main marahnya Hudzaifah mendengar maksud jahat yang segera diketahui oleh Rasulullah ﷺ itu sehingga dia berkata, ‘Izinkanlah kami mencari mereka dan kami potong leher mereka.'
Nabi ﷺ menjawab, ‘jangan! Aku tidak suka jika dikatakan orang bahwa setelah Muhammad menang menghadapi musuhnya di Tabuk, dibunuhinya sahabat-sahabatnya yang tidak disenanginya.'"
Beliau hendak menjaga agar rahasia ini jangan sampai tersebar luas. Ibnu Katsir, di dalam tafsirnya sengaja menyalinkan nama-nama orang berkomplot jahat yang gagal itu, yang disebutnya Ash-Haabul ‘Aqabah (orang-orang yang tersangkut dalam peristiwa Aqabah; tempat curam). Ibnu Katsir menyalinnya dari yang diriwayatkan ath-Thabrani, yaitu 12 (dua belas) orang banyaknya sebagai berikut.
• Mut'ab bin Qusyair.
• Wadi'ah bin Tsabit.
• Wajad bin Abdultah bin Nabtal bin at-Harits dari Bani Amer bin Auf.
• Al-Harits bin Yazid ath-Thaa'i.
• Aus bin Qaizhi.
• Al-Harits bin Suwaid.
• Sa'ad bin Zararah.
• Qaid bin Fahad.
• Suwaid bin Da'is dari Bani al-Hably.
• Qais bin Amr bin Sahal.
• Zaid bin al-Lushait.
• Sullalah bin al-Hammam.
Dua yang terakhir adalah dari Yahudi Bani Qainuqa yang pura-pura masuk Islam.
Menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam al-Manar-nya, makanya Ibnu Katsir sengaja menderetkan kedua belas nama itu dalam tafsirnya, ialah untuk memelihara saha-bat-sahabat Rasulullah ﷺ yang utama dan setia dari tuduhan-tuduhan yang kerapkali diperbuat oleh kaum Syi'ah terhadap sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ di dalam usaha me-reka menegakkan nama Ali bin Abi Thalib dan mengurangkan, derajat yang lain. Nyatalah bahwa dalam 12 nama itu tidak ada termasuk nama-nama sahabat yang terkemuka, melainkan orang-orang munafik yang dari semula sudah diragukan juga ketulusan hati mereka.
Rasulullah ﷺ telah mengatakan bahwa kehidupan orang-orang ini akhir kelaknya tidak juga akan selamat. Mereka akan mati dalam kemurungan dan kemelaratan belaka.
Kemudian datanglah lanjutan ayat bertanya untuk membangkitkan perhatian orang-Orang yang beriman, mengapa sampai demikian kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang yang munafik itu kepada Rasulullah saw?
“Dan tidaklah mereka berdendam, melainkan karena mereka telah dikaya-rayakan oleh Allah dan Rasul-Nya, dengan karuniaNya." Susunan ayat ini sangat pedih buat dipikirkan. Kaum munafik itu berani berbuat demikian, bahkan berani juga berkomplot hendak mem-bunuh Nabi ﷺ, karena mereka kini telah kaya.
Sejak Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, telah berkali-kali terjadi peperangan dan telah bertimbun-timbun harta rampasan (ghani-mah) masuk ke dalam kota Madinah. Mereka mendapat pembagian dari harta rampasan itu.
Dahulu sebelum Nabi Muhammad ﷺ datang, mereka itu adalah orang-orang miskin yang menyandarkan nasib kepada orang Yahudi. Tetapi sekarang mereka telah kaya raya. Rupanya kekayaan itu bukanlah menambah iman mereka, melainkan benar-benar sebagai pepatah Melayu: “Setelah hari panas terik, kacang telah lupa kepada kulitnya"
Susunan ayat seperti ini serupa dengan bunyi ayat 8 dari surah al-Buruuj yang men-ceritakan Ashabul-Ukhdud orang-orang yang dimasukkan ke dalam sebuah lubang, lalu dibakar hidup-hidup. Dalam ayat itu dikatakan, “Tidaklah mereka itu membalaskan dendam kepada orang-orang itu, hanyalah karena mereka beriman kepada Allah. Tuhan Yang Mahakuasa lagi Maha Terpuji." Kesalahan orang-orang yang dibakar itu hanya satu, yaitu mereka percaya kepada Allah. Kesalahan Rasulullah ﷺ kepada kaum munafik itu sehingga mereka mengandung dendam yang mendalam itu, sampai hendak membunuhnya, tidak lain hanyalah karena Rasulullah ﷺ telah membuat mereka sesudah bertahun-tahun menderita kemiskinan, sekarang telah kaya raya.
Susunan kata seperti ini di dalam ayat, menjelaskan benar bagaimana rendah budi orang-orang itu. Tidaklah mereka mengucap syukur atau berterima kasih, karena mereka sekarang telah pada kaya raya sebab kedatangan Islam, melainkan masih saja menyatakan tidak puas. Sehingga sebelum itu mereka ini jugalah yang berbisik-bisik menyatakan tidak puas ketika terjadi Peperangan Hunain, mengapa Rasulullah ﷺ membagikan seluruh harta ghanimah kepada orang-orang Mekah yang baru masuk Islam, dan kepada orang-orang Anshar tidak diberi, walaupun sepotong barang atau seekor kambing pun.
Loba tamak kepada harta itulah yang merusakkan akhlak mereka.
Namun demikian, pintu untuk tobat masih tetap tefbuka. Sambungan ayat berbunyi,
“Tetapi jika mereka bertobat, itulah yang baik bagi mereka." Moga-moga datang masanya mereka insaf akan kerendahan budi itu, lalu tobat kepada Allah. Kalau demikian mereka akan diberi maaf."Dan jika mereka berpaling." Artinya, tidak mereka acuhkan, tidak mereka pedulikan seruan tobat itu, bahkan mereka membuang muka: “Niscaya akan diadzab mereka oleh Allah, adzab yang pedih di dunia dan di akhirat" Adzab di dunia ialah mereka telah terhitung “runcing tanduk"; tidak lagi akan dibawa sehilir semudik oleh orang-orang beriman. Hidup mereka pun akan melarat karena tersisih. Sebab agama itu ialah pergaulan, bukan pemencilan. Adzab akhirat, tentu saja api neraka yang bernyala-nyala."Dan tidak ada untuk mereka di dalam bumi ini, dari seorang pelindung pun." Yang akan melindungi sehingga kehidupan mereka tetap terjamin dan tidak terganggu, sebagaimana banyak terjadi pada kaum koruptor yang tidak dapat ditangkap oleh pihak penguasa, karena ada orang yang berpangkat tinggi yang akan melindunginya.
“Dan tidak pula seorang penolong."
Yaitu yang akan menolong dan membela jika kelak dihadapkan di hadapan Pengadilan Allah Yang Mahaadil.
Tidak ada lagi yang akan sanggup melindungi kejahatan mereka dan menolong mereka. Sebab Muhammad ﷺ telah menang. Riwayat kebesaran Yahudi telah lampau dan di kala itu Khaibar telah jatuh ke tangan Islam. Sebelum itu riwayat kemegahan musyrik telah pula runtuh dengan takluknya Mekah di tahun kedelapan. Dan dengan tidak datangnya tentara Rum menghadang kedatangan tentara Islam di bawah pimpinan Nabi ﷺ sendiri di Tabuk, menjadi alamat pula bahwa kemegahan bangsa Rum di Syam pun mulai menurun. Kaum munafik hanya menghadapi dua kemungkinan; esa tobat, dua hancur.