Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
jangan
تَعۡتَذِرُواْ
kamu beralasan
قَدۡ
sesungguhnya
كَفَرۡتُم
kamu telah kafir
بَعۡدَ
sesudah
إِيمَٰنِكُمۡۚ
imanmu/kamu beriman
إِن
jika
نَّعۡفُ
Kami maafkan
عَن
dari/terhadap
طَآئِفَةٖ
segolongan
مِّنكُمۡ
dari kamu
نُعَذِّبۡ
Kami akan mengazab
طَآئِفَةَۢ
segolongan
بِأَنَّهُمۡ
karena sesungguhnya mereka
كَانُواْ
adalah mereka
مُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
لَا
jangan
تَعۡتَذِرُواْ
kamu beralasan
قَدۡ
sesungguhnya
كَفَرۡتُم
kamu telah kafir
بَعۡدَ
sesudah
إِيمَٰنِكُمۡۚ
imanmu/kamu beriman
إِن
jika
نَّعۡفُ
Kami maafkan
عَن
dari/terhadap
طَآئِفَةٖ
segolongan
مِّنكُمۡ
dari kamu
نُعَذِّبۡ
Kami akan mengazab
طَآئِفَةَۢ
segolongan
بِأَنَّهُمۡ
karena sesungguhnya mereka
كَانُواْ
adalah mereka
مُجۡرِمِينَ
orang-orang yang berdosa
Terjemahan
Tidak perlu kamu membuat-buat alasan karena kamu telah kufur sesudah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa.
Tafsir
(Tidak usah kalian meminta maaf) akan hal tersebut (karena kalian kafir sesudah beriman) artinya kekafiran kalian ini tampak sesudah kalian menampakkan keimanan. (Jika Kami memaafkan) bila dibaca memakai ya berarti menjadi mabni maf'ul sehingga bacaannya menjadi ya'fa. Jika dibaca memakai huruf nun, berarti mabni fa'il, dan bacaannya seperti yang tertera pada ayat (segolongan daripada kalian) lantaran keikhlasan dan tobatnya, seperti apa yang dilakukan oleh Jahsy bin Humair (niscaya Kami akan mengazab) dapat dibaca tu`adzdzib dan dapat pula dibaca nu`adzdzib (golongan yang lain disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa) yakni, karena mereka selalu menetapi kemunafikannya dan selalu melancarkan ejekan-ejekan.
Tafsir Surat At-Taubah: 65-66
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
Ayat 65
Abu Ma'syar Al-Madini telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan lain-lainnya yang semuanya mengatakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan orang-orang munafik mengatakan, "Menurut penilaianku, mereka yang menjadi tamu kita tiada lain adalah orang-orang yang paling mengabdi kepada perutnya, paling dusta lisannya, dan paling pengecut di saat perang berkecamuk." Lalu hal itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, dan lelaki itu datang kepada Rasulullah ﷺ yang telah berada di atas untanya dan memacunya untuk berangkat, kemudian lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja."
Ayat 66
Maka Allah ﷻ menjawabnya melalui firman-Nya: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” (At-Taubah: 65) sampai dengan firman-Nya: “Mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 66)
Sedangkan kedua telapak kaki lelaki itu terseret di atas batu-batuan, tetapi Rasulullah ﷺ tidak menolehnya, dan lelaki itu bergantungan pada pedang Rasulullah ﷺ.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa seorang lelaki dalam Perang Tabuk mengatakan dalam suatu majelis, “Saya belum pernah melihat orang seperti tamu-tamu kita itu. Mereka adalah pengabdi perutnya, paling dusta lisannya, dan paling pengecut dalam perang." Maka seorang lelaki lain yang ada di dalam masjid berkata, "Kamu dusta, sebenarnya kamu adalah orang munafik. Aku benar-benar akan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ." Maka berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, dan Al-Qur'an yang mengenainya pun diturunkan. Abdullah ibnu Umar mengatakan, "Aku melihat lelaki itu bergantung pada tali pelana unta Rasulullah ﷺ dan dikenai oleh batu-batuan yang terlemparkan (oleh injakan kaki unta Nabi ﷺ) seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja’.” Lalu Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” (At-Taubah: 65), hingga akhir ayat.
Al-Al-Laits meriwayatkan hal yang serupa dari Hisyam ibnu Sa'd.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa segolongan orang munafik yang antara lain Wadi'ah ibnu Sabit (saudara Bani Umayyah ibnu Zaid ibnu Amr ibnu Auf) dan seorang lelaki dari Bani Asyja' (teman sepakta Bani Salamah yang dikenal dengan nama Makhsyi ibnu Humair) berjalan bersama Rasulullah ﷺ yang saat itu sedang menuju ke medan Tabuk. Maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Apakah kalian menduga bahwa memerangi keperkasaan dan keteguhan Bani Asfar (orang-orang Romawi) itu sama dengan peperangan yang terjadi di antara orang-orang Arab sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain? Demi Allah, sesungguhnya kami dan kalian besok seakan-akan terjepit di bukit-bukit itu." Mereka mengatakan demikian dengan maksud menakut-nakuti dan melemahkan semangat kaum muslim.
Makhsyi ibnu Humair berkata, "Demi Allah, saya lebih suka bila diputuskan hukuman kepada setiap orang di antara kita dengan seratus kali deraan. Dan sesungguhnya kita pasti kalah bila diturunkan Al-Qur'an yang membeberkan perkataan kalian ini." Menurut berita yang sampai kepadaku (perawi), Rasulullah ﷺ bersabda kepada Ammar ibnu Yasir, "Susullah kaum munafik itu, karena sesungguhnya mereka telah terbakar; dan tanyailah mereka tentang apa yang telah mereka ucapkan itu. Jika mereka mengingkari ucapannya, maka katakanlah bahwa kalian telah mengatakan anu dan anu."
Maka Ammar berangkat menemui mereka dan mengatakan hal tersebut. Lalu mereka menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta maaf. Wadi'ah ibnu Sabit berkata kepada Rasulullah ﷺ yang saat itu telah berada di atas unta kendaraannya sedangkan Wadiah memegang tali pelananya seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Makhsyi ibnu Humair berkata, "Wahai Rasulullah, hapuslah namaku dan nama ayahku (yakni gantilah)." Dan tersebutlah bahwa di antara orang yang dimaafkan dalam ayat ini ialah Makhsyi ibnu Humair. Lalu ia mengganti namanya menjadi Abdur Rahman, dan memohon kepada Allah agar dirinya gugur sebagai syuhada tanpa diketahui tempatnya. Akhirnya ia gugur dalam Perang Yamamah dan tidak dijumpai bekas-bekasnya.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja’.” (At-Taubah: 65) Ketika Nabi ﷺ berangkat menuju ke medan Tabuk, sedangkan orang-orang munafik ikut berangkat bersamanya dengan mengambil posisi di depannya, lalu mereka berkata, "Orang ini (yakni Nabi) menduga bahwa dia dapat menaklukkan kerajaan Romawi berikut semua bentengnya. Alangkah jauhnya dari kenyataan." Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi-Nya apa yang mereka perbincangkan itu. Rasulullah ﷺ bersabda, “Hadapkanlah orang-orang itu kepadaku!" Maka mereka dipanggil, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, "Kalian telah mengatakan anu dan anu." Tetapi mereka bersumpah seraya berkata, "Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja."
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang dimaafkan jika Allah menghendakinya mengatakan dalam doanya, "Ya Allah, sesungguhnya aku mendengar suatu ayat yang ditujukan terhadap diriku sehingga membuat semua kulitku pucat dan hatiku bergetar ketakutan karenanya. Ya Allah, jadikanlah kematianku dalam keadaan membela jalan-Mu, tanpa ada seorang pun yang mengatakan, 'Saya telah memandikannya, saya telah mengafaninya, dan saya telah menguburnya'." Qatadah melanjutkan kisahnya, "Setelah itu ia gugur dalam Perang Yamamah, dan tidak ada seorang muslim pun yang mencarinya melainkan menemukan yang lainnya (yakni mayat orang lain, sedangkan mayatnya tidak diketemukan)."
Ayat 66
Firman Allah ﷻ: “Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 66)
Maksudnya, karena ucapan yang kalian katakan itu, yaitu yang kalian keluarkan untuk memperolok-olok Nabi ﷺ.
“Jika kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain).” (At-Taubah: 66)
Yakni kalian tidak dimaafkan secara keseluruhan, tetapi sebagian dari kalian tetap harus diazab.
“Disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 66)
Artinya, berdosa karena telah mengeluarkan kata-kata yang kotor dan keji itu.
Atas sikap dan perilaku burukmu itu tidak perlu kamu meminta maaf kepada siapa pun, sebab kamu sejatinya sudah tahu kalau alasan yang kamu ajukan itu tidak benar. Meski kamu mengajukan seribu satu alasan, kamu tetap tidak bisa terselamatkan dari dosa besar, karena kamu dengan sikapmu itu telah benar-benar kafir setelah kamu menampakkan dirimu sebagai orang beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu karena telah tobat, niscaya Kami akan tetap mengazab golongan yang lain karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa yang menjadikan mereka terhalang dari bertobat. Setelah memaparkan beberapa perilaku buruk orang-orang munafik, ayat ini menerangkan kesamaan orang munafik laki-laki dan perempuan dalam hal sifat, sikap, perilaku dan akhlak. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah memiliki kesamaan, yaitu mereka senantiasa menyuruh berbuat yang mungkar dan mencegah perbuatan yang makruf dan mereka selalu menggenggamkan tangannya karena kekikirannya. Mereka telah melupakan kebesaran Allah, petunjuk-petunjuk agama-Nya. Mereka juga lupa kalau semua perilaku buruknya akan mendapatkan balasan di akhirat kelak, maka Allah juga akan melupakan mereka di akhirat kelak dengan menjauhkan mereka dari rahmat-Nya. Sesungguhnya orang-orang munafik yang sudah jelas kemunafikannya itulah orang-orang yang fasik, yakni orang-orang yang benar-benar keluar dari ketaatan kepada Allah, bahkan sifat buruk mereka melebihi orang-orang kafir.
Ayat ini menerangkan bahwa tak ada gunanya mereka meminta maaf dengan mengemukakan dalih seperti tersebut pada ayat 65 karena sesungguhnya orang-orang munafik itu telah menjadi kafir sesudah beriman, mereka mengejek Nabi dan memandang rendah beliau. Sikap demikian itu terhadap Rasul menunjukkan kekosongan jiwa mereka dari keimanan. Mereka telah melakukan dosa yang sangat besar karena dengan sengaja menghina Nabi dan mengingkari Allah. Namun sekiranya orang-orang munafik itu mau bertobat atas dorongan iman yang sesungguhnya, seperti Makhsyi bin Humair, tentulah Allah menerima tobatnya dan Allah tetap mengazab orang-orang munafik yang masih terus bergelimang dalam kemunafikan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 61
“Dan dari kalangan mereka ada yang menyakiti Nabi, dan mereka berkata, Dia pendengar-dengar.
Maka ada pula dari kalangan mereka itu yang menyakiti Nabi ﷺ dengan tuduhan bahwa beliau itu udzunun. Arti pokok dari udzunun ialah telinga. Dipakai buat menghinakan orang atau menyakiti orang, kalau orang itu selalu suka mendengar dan menerima segala cakap orang, suka lekas percaya. Didengarnya cakap si fulan; lalu dengan tidak usul periksa, diterimanya dan diiyakannya saja. Nanti didengarnya pula yang lain, lalu diiyakannya pula. Orang Minangkabau menggelari orang yang demikian “Datuk Segala Iya".
Menurut riwayat Ibnul Ishaq dan Ibnul Mundzir dari Ibnu Abbas, ada seorarg bernama Nabtal bin al-Harits datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu dia duduk mendengarkan Nabi bercakap. Setelah selesai mendengarnya, maka pergilah si Nabtal itu kepada kawan-kawannya yang sama munafik dengan dia, dan dia katakan bahwa Muhammad ﷺ itu adalah seorang yang udzunun; apa saja percakapan orang yang didengarnya, langsung diiyakannya.
Menurut riwayat as-Suddi pula, yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim. Satu ketika berkumpul-kumpullah orang-orang munafik itu; di antara yang hadir ialah Jallas bin Suaid bin Shamit, dan Mukhayi bin Hutnair dan Wadi'ah bin Tsabit. Mereka bermufakat hendak membunuh Nabi ﷺ, tapi yang setengah melarang, karena takut akan sampai berita itu kepada Nabi ﷺ lalu merekalah yang dihantam. Lalu menjawablah yang menyatakan hendak membunuh itu: “Muhammad ﷺ itu udzunun, lekas percaya kalau kita bercakap dengan bersumpah." Maksudnya, walaupun kita bermufakat hendak membunuhnya, kalau kita bersumpah dengan dia dan kita bersumpah-sumpah memungkiri maksud kita itu, dia akan lekas percaya saja.
Dengan kedua riwayat ini dapatlah kita ketahui bagaimana pandangan mereka dalam sikap kemunafikan itu kepada Rasul ﷺ, seorang rasul yang besar, pemimpin umat yang demikian agung, mengendalikan beribu-ribu manusia dengan berbagai ragam coraknya, ada sahabat karib, ada musuh dari luar dan ada musuh dalam selimut. Janganlah seorang rasul, sedangkan manusia yang bukan rasul, kalau jadi pemimpin besar, tidaklah mungkin lekas percaya kepada cakap segala orang yang didengarnya. Maka untuk membantah tuduhan yang menyakiti itu, yang menuduh seakan-akan Rasul itu seorang yang lemah tidak berpendirian, disuruhlah beliau oleh Allah, dengan wahyu, menjawab tuduhan yang amat menyakiti itu: “Katakanlah, ‘(Dia memang) pendengar-dengar kebaikan bagi kamu.'" Memang, dia suka menjadi pendengar yang baik bagi kamu, segala perkataanmu akan beliau dengarkan. Kalau dia bercakap dengan orang, walaupun orang itu bukan sahabatnya yang karib, akan didengarnya juga orang itu bercakap. Sebagai seorang budiman besar berakhlak tinggi, tidaklah dia akan membuang muka kalau berhadapan dengan orang yang tengah bercakap dengan dia. Adalah suatu perbuatan yang tidak pantas, kalau orang bercakap, beliau acuh tak acuh.
Tetapi belum tentu kalau percakapan itu semua diterimanya. Pasti semuanya ditim-bangnya baik-baik terlebih dahulu di dalam hatinya. Cuma karena kamu itu munafik, ha-timu tidak jujur, kamu tidak mengerti keadaan itu."Dia percaya kepada Allah." Sebab dia percaya kepada Allah, dia telah dapat menimbang dalam hatinya; apakah percakapan itu benar atau dusta. Kalau dia mengangguk-angguk, janganlah segera kamu artikan bahwa perkataan itu telah diterimanya semua. Dia beriman kepada Allah sebab itu dia memiliki timbangan atas segala sesuatu. Dan berkali-kali telah terjadi, datang munafik membawa suatu berita, maka setelah si munafik pergi, ayat Allah pun turun membohongkan per-cakapan munafik itu. Sebagai tersebut di dalam surah al-Munafiquun ayat 7 dan 8, per-kataan si munafik mengakui bahwa beliau Rasulullah ﷺ, datang wahyu menjelaskan bahwa pengakuan itu adalah dusta, sebab tidak sungguh-sungguh keluar dari hati mereka.
“Dan dia percaya kepada orang-orang yang berimanMaka perkataan-perkataan dari orang yang beriman, memang banyak diterimanya, sebab dia percaya bahwa orang yang beriman tidak akan bercakap bohong. Ketika Perang Badar, diterimanya dengan tidak berpikir panjang usul al-Habbab bin al-Mundzir, supaya memindahkan tempat-tempat berkemah menghadapi musuh, sebab beliau tahu bahwa al-Habbab seorang Mukmin, sebab itu usulnya mesti jujur. Dalam Perang Uhud, walaupun dia sepaham dengan Abdullah bin Ubay, lebih baik bertahan dalam kota saja, namun di dalam mengambil keputusan, dia campakkan usul Abdullah bin Ubay dan diturutinya usul golongan terbesar untuk menempuh perang ke luar. Karena dia tahu bahwa usul Abdullah bin Ubay itu tidak timbul dari hati jujur. Dan kemudian ternyata memang dia tidak jujur, sebab sebelum sampai ke Uhud, dia mundur dan mengajak 300 pengikutnya bersama dia.
“Dan jadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu." Rahmat terbesar yang dibawakan Rasulullah ﷺ untuk orang-orang yang beriman, ialah karena di dalam urusan-urusan duniawi, beliau tidak pernah meninggalkan masyarakat, suka mendengar dan mempertimbangkan usul yang baik. Adapun bagi orang yang munafik, keadaan Rasul ﷺ sudi mendengarkan dan memerhatikan percakapan sahabat-sahabatnya itu tidaklah akan membawa rahmat. Sebab kalau Rasul sendiri karena jujurnya—kadang-kadang tidak diketahui bahwa orang itu munafik, namun wahyu akan datang memberinya peringatan.
Akhir ayat ialah peringatan keras kepada si munafik yang menyakiti Rasul ﷺ itu,
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah ﷺ, bagi mereka adalah … yang pedih."
Ujung ayat ini adalah satu penegasan dari Allah. Sampai disebut jabatan, beliau. Beliau datang dan beliau memberikan pelajaran, bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi Ra
sul dari Allah, utusan dari Allah Menyakiti utusan Allah adalah suatu kesalahan besar. Baik menyakiti badannya maupun menyakiti hatinya. Menyakiti dengan kata-kata atau dengan perbuatan.
Semua itu telah menafikan iman. Orang yang telah mengucapkan kalimah syahadat, tidaklah mungkin menyakiti Rasulullah ﷺ. Menyakiti Rasul ﷺ sama dengan menyakiti yang mengutusnya. Sebab ada perintah yang jelas sebagai timbalan dari itu, yaitu: “Barang siapa yang taat kepada Rasul maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah." (Lihat surah an-Nisaa' ayat 80).
Malahan bukan saja di kala beliau masih hidup. Setelah dia wafat pun janganlah ada sikap kita atau perkataan kita yang akan menyakiti beliau. Itu sebabnya maka istri beliau tidak boleh dinikahi setelah beliau wafat. Dan kita kaum Muslimin, jangan membiarkan orang lain melontarkan kata-kata yang bersifat menghina kepada Rasul ﷺ, terutama sebagai yang pada zaman kini kerap kali dilakukan oleh musuh-musuh Islam buat menyakitkan hati kita dan menghinakan agama kita. Karena kalau pemeluk agama lain itu bersopan santun, tidaklah mereka akan berbuat demikian. Sebab kita pun tidak boleh menghinakan orang lain. Malahan disebut juga jangan menyakitinya dengan menghinakan ayah dan bundanya atau anak-anak dan keluarganya yang lain. Misalnya kita katakan, “Lihatlah Abu Lahab, itu pun paman Nabi!" Karena kata-kata demikian pun mengandung perasaan menyakiti. (Lihat kembali tafsir ayat 74 dari surah al-An'aam, dalam Juz 7).
Tetapi ini bukan berarti bahwa keturunan-keturunan beliau tersunyi dari salah, atau maksum dari dosa. Niscaya kita akan bertemu dengan keturunan Ali bin Abi Thalib dari istrinya, Fatimah binti Rasulullah, yang berjuta banyaknya di seluruh dunia ini. Dan kita saksikan, ada di antara mereka yang baik dan ada yang ‘ashi tidak mengerjakan agama. Ada yang mengkhianati tanah air dan agama, dan ada yang membela tanah air dan agama. Di mana-mana ada manusia baik dan ada manusia buruk. Tetapi janganlah sampai kita bersikap yang menyakiti hati Nabi ﷺ jika berjumpa keturunannya itu yang bersalah. Misalnya kita katakan, “Hai cucu Rasulullah, mengapa engkau jadi pengkhianat begini!"
Dan mereka yang telah dianugerahi Allah kemuliaan itu, disebut zurriyat Rasulullah, se-bab dia keturunan Fatimah, sebab Rasulullah ﷺ tidak mempunyai keturunan dari anak laki-laki, hendaklah menjaga pula lebih dari orang lain, supaya jangan perbuatan, tingkah laku dan perangai, dan perkataan mereka menyakiti Rasul ﷺ Yaitu mengotori darah keturunan yang mulia itu dengan perbuatan yang tidak beliau ridhai.
Ayat 62
“Mereka akan bersumpah dengan nama Allah kepada kamu, untuk menyenangkan kamu."
Ini pun salah satu sikap munafik, yang terjadi di sekitar Peperangan Tabuk itu.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah, bahwa salah seorang munafik itu bernama Julias, pernah membela kawan-kawannya yang mencari dalih sehingga tidak turut pergi ke Tabuk itu. Katanya, “Semua orang itu adalah orang baik-baik di antara kami dan orang mulia-mulia. Jika perkataan Muhammad tentang mereka itu benar, tentu mereka lebih jahat dari keledai."
Seorang beriman yang mendengar perkataannya itu langsung menjawab, “Apa yang dikatakan oleh Muhammad ﷺ itu pasti benarnya, sedang engkau sendiri adalah lebih jahat dari keledai." Berita pertengkaran ini, disampaikan oleh orang Mukmin ini kepada Nabi ﷺ Lalu si munafik itu dipanggil oleh Nabi dan ditanyai, apa sebab dia sampai ber-cakap seperti itu. Lalu dia bersumpah-sumpah, demi Allah, dan dilaknati-Nya dirinya sendiri kalau ada dia bercakap demikian!
Di sini terbongkar lagi rahasia sifat munafik. Mudah bercakap yang tidak bertanggung jawab, dan tidak mengenal akibatnya. Nanti setelah dipertemukan secara terus terang (konfrontasi) mereka mengelakkan diri, dan mudah saja bersumpah. Terbayang di sini jiwa kecil. Mereka mudah bersumpah buat menyenangkan hati kaum yang beriman. Kalau mendengar mereka telah bersumpah, tentu orang-orang Mukmin yang jujur sudah senang hati. Tetapi bagaimana terhadap Allah dan Rasul?
“Padahal Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih patut mereka sukakan." Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih patut mereka harapkan ridhanya, sebab Allah dan Rasul ﷺ tidak bisa didustai, rahasia itu akan terbuka juga.
“Jika adalah mereka orang yang beriman."
Artinya, kalau mereka orang yang beriman, tidaklah mereka akan mempermudah-mudah sumpah untuk membela diri, sesama manusia bisa dikecoh, namun Allah dan Rasul ﷺ tidak bisa dikecoh. Orang yang beriman tidaklah akan berbuat demikian. Hanya orang yang munafik yang berperangai begitu.
Ayat 63
“Apakah mereka tidak mengetahui bahwasanya batangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka untuk dia adalah neraka Jahannam."
Menentang Allah dan Rasul ﷺ, ialah menentang peraturan dan batas-batas yang telah ditentukan Allah disampaikan Rasul. Berapa banyak perbuatan mereka yang menentang. Sampai mengomel dan mencela karena merasa sedikit mendapat bagian zakat. Sampai menyakiti hatinya mengatakan dia cepat percaya akan percakapan segala orang. Meskipun mereka telah bersumpah-sumpah mengaku Islam, namun mereka adalah munafik, musuh dalam selimut, tuma di dalam baju. Sebab itu ke nerakalah mereka akan dikirim."Kekal dia di dalamnya." Tidak akan keluar-keluar lagi dari sana, selama mereka itu masih ada.
“Yang demikian itulah kehinaan yang besar,"
Kehinaan yang akan mereka dapati di akhirat, sebab hina sikap mereka di dunia,
Ayat 64
“Amat takut orang-orang munafik itu bahwa akan diturunkan ke atas mereka suatu surah yang mengabaikan kepada mereka atas apa yang ada dalam hati mereka."
Di sini dibuka Lagi rahasia mereka. Mereka kian lama kian takut bahwa rahasia yang tersembunyi dalam hati mereka dan segala kecurangan mereka, lain di mulut Lain di hati itu, akan terbongkar. Pembongkaran rahasia itu ialah dengan turunnya ayat-ayat kepada Nabi ﷺ lalu dibacakan di hadapan mereka. Tandanya dalam hati kecil mereka, masih percaya bahwa Rasulullah ﷺ adalah memang menerima wahyu dari Allah.
Berkali-kali rahasia hati mereka itu telah dibongkar. Kita bertemu pembongkaran rahasia itu pada surah-surah yang sebelum al-Bara'ah, Dan perangai mereka dibongkar pada surah al-Baqarah, Aali ‘imraan, al-Ahzaab, surah al-Munafiquun, dan lain-lain. Tikaman ayat-ayat itu amat pedih. Sesudah Tabuk ini mereka cemas lagi, kalau-kalau datang pula ayat-ayat demikian, mereka takut. Sebab jiwa mereka mengakui salah mereka, tetapi perangai sudah sangat rusak.
“Katakanlah, ‘Perolok-olokkanlah! Sesungguhnya Allah akan mengeluarkan apa yang kamu takutkan itu.'"
Di ayat ini tampak lagi kekecilan jiwa mereka. Mereka lekas perasa hati, sebab memang banyak bersalah. Di dalam surah al-Munafiquun dikatakan lebih jelas. “Tiap ada sorak-sorai, mereka sangka merekalah yang dituju." (Lihat'surah al-Munafiquun, ayat 4).
Orang berbisik, mereka sangka merekalah yang diperbisikkan. Orang bercakap, mereka sangka bahwa mereka sedang disindir. Oleh sebab itu, ayat in» memberi peringatan kepada mereka bahwa kalau mereka masih terus berolok-olok atau memperolok-olokkan kebenaran Allah, memandang enteng segala pimpinan Rasul ﷺ, pastilah Allah akan membongkar rahasia-rahasia hati busuk yang mereka sembunyikan itu. Dan inilah yang telah berlaku sehingga hampir separuh dari ayat-ayat surah Bara'ah, sebagai surah terpanjang yang terakhir diwahyukan, berisi pembongkaran rahasia munafik itu. Yang bagi kita umat Muhammad ﷺ yang datang di belakang ini amat perlu dan berguna untuk menjadi bahan mengetahui ilmu jiwa, terutama jiwa kita sendiri.
Ayat 65
“Dan jika engkau tanyakan kepada mereka, tentulah mereka akan berkata, ‘Kami ini hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main.'"
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnul Mundzir dan Abusy-Syaikh dari Qatadah, bahwa dalam perjalanan ke Tabuk itu, di dekat-dekat beliau ada beberapa orang munafik berbisik-bisik. Ada yang berkata, “Apakah orang semacam dia ini hendak menaklukkan istana-istana di Syam dan benteng-bentengnya? Haihata, Haihata! (Sekali-kali tidak)." Ini pun satu cemooh besar dari munafikin itu kepada Rasulullah ﷺ. Mereka memandang enteng diri dan kekuatan tentara beliau, mereka agungkan kebesaran dan kekuatan orang Rum.
Kata riwayat Qatadah selanjutnya, datang isyarat Allah kepada Rasul ﷺ tentang perca-kapan bisik-bisik itu. Lalu beliau panggil segala orang yang berbisik-bisik itu supaya men-dekatkan kendaraan mereka kepada beliau. Lalu beliau berkata, “Kamu telah bercakap begini dan kamu telah bercakap begitu; yaitu mengentengkan kekuatan Rasulullah saw, bahwa dia tidak akan sanggup menaklukkan istana-istana di Syam dan benteng-bentengnya itu."
Tetapi apa jawab mereka? Dengan mudah saja mereka menjawab, “Kami hanya bersenda-gurau, kami hanya bermain-main!"
“Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah dan ayat-ayat-Nya dan (dengan) Rasul-Nya kamu hendak berolok-olok?'"
Laksana kata orang zaman sekarang, pada bangsa Arab di waktu itu masih ada suatu dongeng atau mitos yang telah berurat berakar, yaitu bahwa bangsa Rum itu sangat kuat. Mereka selalu pergi pulang ke Syam. Mereka melihat kebesaran bangsa Rum, dan mereka tahu bahwa orang Arab bagian utara sudah banyak yang tunduk takluk kepada kekuasaan besar itu. Padahal kalau mereka orang beriman, mereka niscaya akan percaya penuh kepada Rasul ﷺ bahwa betapa pun besar kuasa dan pengaruh bangsa Rum, orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak akan takut menghadapinya. Itu sebab maka Nabi memimpin sendiri perang menghadapi mereka ke Tabuk: “Esa hilang dua, terbilang", atau dalam bahasa agama: “Esa menang, kedua syahid". Si munafik pergi juga berperang, tetapi hati mereka ragu menurutkan Rasul, mereka tidak yakin akan menang, tetapi mereka menurut juga. Setelah ditanyai berhadapan, mereka jawab bahwa mereka hanya bercakap bersenda-gurau, berolok-olok tidak sebenar dari hati. Di sinilah datang teguran keras bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak boleh diperolok-olokkan. Apalagi di dalam menghadapi peperangan, bisik-desus kata olok-olok yang akan melemahkan semangat, adalah merusak disiplin perang. Perjalanan pergi perang ini bukan pergi berdarmawisata, bukan pergi bermain-main atau berpiknik.
Ayat 66
“Janganlah kamu mencari-cari alasan."
Ketika ditanya, kamu menjawab bahwa itu hanya senda gurau dan main-main saja. Ini namanya alasan yang dicari-cari, yang menambah tingginya tempat jatuh kamu saja: “Karena sesungguhnya kamu telah kafir sesudah iman." Dengan percakapan memandang enteng kekuatan Rasulmu sendiri dan tenaga kaummu sendiri, berarti kamu telah kafir sesudah iman. Tadinya kamu telah mengakui beriman, sebab itu kamu turut pergi. Tetapi di tengah jalan, hatimu menjadi ragu, lalu kamu pandang enteng kekuatan Rasul ﷺ. Dengan demikian, kamu tidak percaya lagi kepada pimpinannya. Maka dengan demikian pula, sadar atau tidak sadar, kamu telah kembali jadi kafir.
“Jika Kami maafkan suatu golongan daripada kamu, niscaya akan Kami adzab sego-longan yang lain." Ada segolongan dari kamu yang tadinya telah munafik, tetapi lekas sadar dan lekas tobat. Mereka itu akan dimaafkan oleh Allah. Tetapi, ada segolongan lagi yang akan mendapat adzab.
“Karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang berdosa."
Berdosa terus, sebab bagaimanapun telah diajar dan disindir, dibongkar rahasia oleh wahyu, namun mereka tidak juga mau berubah.
Ialah seumpama Abdullah bin Ubay sendiri, yang sampai kepada saat matinya, masih tetap bersikap bermuka dua, mencemooh di belakang, menikam dari rusuk, tidak berterus terang. Sebagaimana kelak akan bertemu lagi pada ayat-ayat yang selanjutnya.