Ayat
Terjemahan Per Kata
إِن
bahwa
تُصِبۡكَ
menimpamu/kamu mendapat
حَسَنَةٞ
suatu kebaikan
تَسُؤۡهُمۡۖ
menjadikan mereka tidak senang
وَإِن
dan jika
تُصِبۡكَ
menimpamu/kamu mendapat
مُصِيبَةٞ
suatu bencana/musibah
يَقُولُواْ
mereka berkata
قَدۡ
sesungguhnya
أَخَذۡنَآ
kami telah mengambil
أَمۡرَنَا
urusan/keputusan kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَيَتَوَلَّواْ
dan mereka berpaling
وَّهُمۡ
dan mereka
فَرِحُونَ
orang-orang yang gembira
إِن
bahwa
تُصِبۡكَ
menimpamu/kamu mendapat
حَسَنَةٞ
suatu kebaikan
تَسُؤۡهُمۡۖ
menjadikan mereka tidak senang
وَإِن
dan jika
تُصِبۡكَ
menimpamu/kamu mendapat
مُصِيبَةٞ
suatu bencana/musibah
يَقُولُواْ
mereka berkata
قَدۡ
sesungguhnya
أَخَذۡنَآ
kami telah mengambil
أَمۡرَنَا
urusan/keputusan kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَيَتَوَلَّواْ
dan mereka berpaling
وَّهُمۡ
dan mereka
فَرِحُونَ
orang-orang yang gembira
Terjemahan
Jika engkau (Nabi Muhammad) mendapat kebaikan (maka) itu menyakitkan mereka. Akan tetapi, jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (dengan tidak pergi berperang)” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.
Tafsir
(Jika kamu mendapat sesuatu kebaikan) seperti mendapat kemenangan dan ganimah (mereka merasa tidak senang karenanya dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana) yaitu keadaan yang kritis (mereka berkata, "Sesungguhnya kami telah memikirkan urusan kami) secara matang sewaktu kami tidak ikut berangkat (sebelumnya.") sebelum terjadinya bencana ini (kemudian mereka berpaling dengan rasa gembira) atas musibah yang telah menimpamu.
Tafsir Surat At-Taubah: 50-51
Jika kamu (Muhammad) mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata, "Sesungguhnya kami sebelumnya telah berhati-hati dengan urusan kami (tidak pergi berperang),'' dan mereka berpaling dengan rasa gembira.
Katakanlah (Muhammad), "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal.”
Ayat 50
Allah ﷻ memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal permusuhan yang terpendam di dalam hati orang-orang munafik itu bahwa apabila Nabi beroleh kebaikan (yakni kemenangan dan pertolongan serta ganimah dari musuh-musuhnya yang membuat Nabi ﷺ dan para sahabatnya hidup dalam kemudahan), maka hal itu membuat mereka tidak senang.
“Dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah berhati-hati dengan urusan kami (tidak pergi berperang)’." (At-Taubah: 50)
Yakni kami sebelumnya selalu menghindar untuk tidak mengikutimu.
“Dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (At-Taubah 50)
Ayat 51
Kemudian Allah ﷻ memberikan petunjuk kepada Rasulullah ﷺ bagaimana cara menjawab permusuhan mereka yang sangat keras itu. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
“Katakanlah.” (At-Taubah: 51) Wahai Muhammad, kepada mereka.
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (At-Taubah: 51)
Artinya, kami sepenuhnya berada di bawah kehendak dan kekuasaan Allah ﷻ.
“Dialah Pelindung kami.” (At-Taubah: 51)
Yaitu Tuhan kami dan tempat kami berlindung.
“Dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakal.” (At-Taubah: 51)
Yakni kami bertawakal kepada-Nya, Dialah yang mencukupi kami, Dia adalah sebaik-baik Pelindung.
Sifat munafik yang lain adalah bahwa jika engkau, wahai Nabi Muhammad, mendapat kebaikan seperti kemenangan dalam peperangan, juga kebaikan-kebaikan yang lain, mereka, kaum munafikin, tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, yakni kekalahan dalam peperangan, mereka berkata kepada engkau juga kepada kaum muslim yang lain, Sungguh, sejak semula kami telah mengetahui kalau kamu akan mengalami kekalahan, karena itu kami mengambil sikap berhati-hati dan mempertimbangkan secara masak-masak, makanya kami putuskan untuk tidak ikut pergi berperang. Dan, dengan ucapannya itu, mereka berpaling dengan lega dan gembira karena merasa telah berhasil mengelabui Rasulullah dan orang-orang mukmin. Karena itu, beliau diperintah untuk menanggapi ucapan mereka. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang munafik itu, Kami tidak akan mengucapkan sebagaimana apa yang kalian ucapkan, sebab menurut keyakinan kami tidak akan menimpa kami, kebaikan maupun keburukan, kekalahan maupun kemenangan, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah di Lauh Mahfudh bagi kami. Demikian ini, agar kami tidak merasa berbangga diri ketika berhasil dan tidak merasa sesak dada kami ketika tidak berhasil. (Lihat pula Surah al-a'adid/57: 22-23). Sebagai seorang mukmin, kami sadar bahwa Allah tidak mungkin menyengsarakan kami, sebab Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman dengan keimanan yang mantap bertawakkal setelah sebelumnya berusaha secara maksimal.
Sabab Nuzul: Diriwayatkan, bahwa orang-orang munafik yang tetap tinggal di Medinah dan tidak pergi berperang selalu menyiarkan berita-berita bohong yang menyangkut diri Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka berkata, "Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dalam perjalanan dan mereka dalam keadaan bahaya." Tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa apa yang disiarkan orang-orang munafik itu bohong belaka. Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap dalam keadaan baik, tidak kurang suatu apa pun. Berdasarkan kenyataan yang tidak dapat disangkal itu, timbullah kebencian orang-orang munafik itu dan turunlah ayat ini. (Fath al-Qadir 2/370).
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu kebohongan orang munafik itu apabila Rasulullah dan sahabat-sahabatnya memperoleh hal-hal yang menyenangkan seperti ganimah, kemenangan, dan lainnya, sebagaimana yang telah diperolehnya dalam Perang Badar, mereka menggerutu merasa kecewa dan gelisah, karena kebencian dan iri hati. Sebaliknya jika Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dan kekalahan, sebagaimana yang dialami dalam Perang Uhud, mereka senang dan memuji diri sendiri karena telah mengambil keputusan untuk menghindar dari perang. Mereka berkata, "Memang setiap menghadapi sesuatu, kami sangat hati-hati dan mempertimbangkan masak-masak jauh sebelumnya."
Masing-masing membanggakan pikiran dan pertimbangan yang telah dikemukakannya. Memuji-muji perbuatannya, merasa beruntung tidak ikut pergi berperang dan tidak mengalami kesulitan dan kebinasaan. Akhirnya mereka bubar dalam keadaan senang dan merasa gembira atas bencana yang telah menimpa Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 50
“Jika suatu kebaikan mengenai engkau, merasa sakitlah mereka."
Inilah satu gejala dari hati dengki. Sejak semula, baik sebelum Perang Tabuk maupun di saat itu ataupun sesudahnya, tidaklah mereka merasa senang hati kalau Nabi ﷺ dan umat Islam mendapat suatu kebaikan. Misalnya, kemenangan di dalam peperangan, kemajuan dan perkembangan yang tiada tertahan-ta-han. Kemenangan dalam Perang Badar dahulu, telah membuat hati mereka sakit; demikian pula penaklukkan Mekah yang berhasil baik."Dan jika suatu musibah menimpa engkau, mereka akan berkata, ‘Sesungguhnya kami telah berjaga diri terlebih dahulu.'"
Ini pun telah kejadian dalam Peperangan Uhud. Ketika 70 orang mujahid Islam telah meninggal dan Nabi ﷺ sendiri pun luka dalam peperangan itu, kelihatanlah gembira kaum munafik itu. Pemimpinnya Abdullah bin Ubay sampai mengatakan bahwa kekalahan itu sudah diperhitungkannya terlebih dahulu.
Sebab Quraisy lebih kuat, apatah lagi tidak mengikuti apa yang telah dianjurkannya, yaitu supaya bertahan dalam kota saja.
Sebab nasihatnya tidak dipedulikan, dia dan kawan-kawannya menarik diri. (Coba perhatikan kembali ayat 120 dari surah Aali ‘Imraan, yang pangkalnya serupa benar de-ngan ayat ini). Sekarang sikap mereka yang demikian berulang kembali. Menurut tafsir Ibnu Abbas, berangkatnya Rasulullah ﷺ memimpin tentara kaum Muslimin menuju Tabuk ini pun menimbulkan kembali sikap yang seperti itu dari kaum munafikin. Hati me-reka sakit saja karena mengharap Nabi ﷺ jangan menang hendaknya dalam peperangan itu. Mereka mengharap yang sekali ini kalah hendaknya Nabi ﷺ, sebab tentara Rum itu suatu tentara besar. Lebih besar berlipat ganda dari tentara musyrikin dan Yahudi yang telah dikalahkannya di zaman-zaman yang lampau. Mereka sudah menggembirakan hati sendiri dengan pengharapan sekali ini Muhammad pasti kalah. Kalau menang pula, sakitlah hati mereka. Demikian menurut riwayat Ibnu Abbas yang dibawakan Ibnu Jarir di dalam tafsirnya.
Menurut riwayat dari Jabir bin Abdullah pula, yang disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim, kaum munafikin yang tinggal di Madinah dan meminta izin buat tidak pergi itu, sepeninggal Rasulullah ﷺ pergi telah menyebarkan berita bahwa dalam perjalanan yang sangat sulit dan panas terik itu, Muhammad ﷺ telah jatuh sakit dan banyak pula sahabatnya yang jatuh sakit Mereka pun telah berbesar hati dan meyakinkan diri sendiri, tentu akan mampuslah Muhammad ﷺ itu dalam perjalanan. Dan mulailah mereka bercakap-cakap dengan gembira memperkatakan hal itu dan mulailah mereka membela diri bahwa mereka meminta izin, tidak ikut pergi itu adalah satu sikap yang benar,
“Dan mereka pun berpaling dalam keadaan gembira."
Ujung ayat ini menggambarkan betapa sikap mereka, bercakap berkumpul-kumpul berdua, bertiga sambil menyatakan gembira, tertawa-tawa mendengar berita selentingan bahwa Nabi ﷺ telah sakit dan tentaranya banyak yang sengsara karena terlalu panas dan lain-lain, dan mungkin akan pulang dengan kekalahan dan kerusakan. Habis bercakap-cakap itu mereka berkeliling pula dengan sangat gembira ke tempat lain, mencari teman sepaham untuk membicarakan hal itu pula. Persis sebagai menjalarnya berita konon kabarnya secara beranting di zaman kita sekarang ini, yang dinamai orang juga radio dengkul. Tetapi hati mereka sakit kembali setelah datang berita yang sahih menyatakan bala tentara itu berjalan dengan selamat. Nabi ﷺ sendiri, walaupun usia beliau pada waktu itu telah lebih dari 60 tahun, tetap sihat wal afiat di dalam perjalanan yang sulit dan sukar itu.
Bagaimana sikap Rasulullah ﷺ menghadapi berita-berita demikian?
Ayat 51
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidaklah akan menimpa kepada kami, kecuali apa yang telah dituliskan Allah untuk kami.'"
Artinya, di dalam jihad dan perjuangan kami telah mempunyai keyakinan yang teguh bahwa Allah telah menuliskan suatu ketentuan yang pasti kami lalui. Kami akan ditimpa oleh senang dan susah, membunuh musuh atau dibunuh musuh. Ada di antara kami yang mati di dalam perjuangan, maka tertulislah dia di sisi Allah sebagai seorang yang mati syahid karena menegakkan agama.
Kami telah bersedia buat menerima senang dan susah, mudah dan sukar, memukul dan dipukul. Tetapi apa yang tidak ditakdirkan Allah buat kami, walaupun macam-macam pengharapan kamu, tidaklah itu akan kejadian. Jika ketentuan Allah datang yang berupa kemenangan, kami telah dididik buat bersyukur, Jika tulisan Allah dalam kitab bahwa kami akan terdesak, kami akan sabar. Tetapi kami tidak pernah mengaku tunduk dan kalah. “Dialah Pelindung kami." Tidak ada yang lain tempat kami berlindung melainkan Dia. Segala perjuangan kami ini adalah atas perintah dan kehendak-Nya dan untuk Dia. Dia komando kami dan Dia benteng pertahanan jiwa kami. Sebab itu janganlah kamu menyangka kami akan susah bila ada malapetaka datang, sebab malapetaka bagi kami adalah hubungan mata rantai saja dari kemenangan.
“Dan kepada Allah-lah hendaknya bertawakal orang-orang yang beriman,"
Sebagaimana kita ketahui, arti tawakal ialah penyerahan diri. Tawakal ialah puncak dari iman, sebagaimana yang telah kita ketahui dari penafsiran yang sudah-sudah. Dan, di dalam langkah-langkah yang ditempuh oleh Rasulullah ﷺ kelihatanlah bahwa tawakal itu tumbuh dengan sendirinya, sejalan dengan ikhtiar. Segala sesuatu dipersiapkan, segala daya upaya, sekadar tenaga yang ada pada manusia, semuanya dilengkapkan. Tidak ada yang dikerjakan dengan acuh tak acuh, selalu siap dan sedia. Dan, keputusan terakhir ter-serahlah kepada Allah. Orang yang Mukmin selalu tawakal, dan tawakalnya itu hanya kepada Allah. Dia tidak tawakal kepada yang lain.
Ayat 52
“Katakanlah, ‘Bukankah tidak kami tunggu-tunggu buat kami kecuali salah satu dari dua kebaikan?'"
Bukankah sudah kamu ketahui juga selama ini betapa sikap hidup kami? Kalau kami berjuang dan berperang, kami menunggu salah satu dari dua perkara yang telah dituliskan Allah buat kami di dalam kitab-Nya. Pertama menang dan dapat mengalahkan musuh, ke-dua mati syahid dalam medan pertempuran. Dengan kemenangan itu kami mendapat keba-hagiaan dunia, agama tegak, hukum Allah berlaku. Dengan mati syahid kami mendapat bahagia akhirat, masuk ke dalam surga dengan ridha Allah dan serba kemuliaan. “Sedang yang kami tunggu-tunggu buat kamu, ialah bahwa Allah akan menimpakan kepada kamu suatu adzab dari sisi-Nya, atau dengan perantaraan tangan kami." Lantaran itu, kalau kami menunggu tulisan dua kemungkinan, menang atau syahid, maka kamu pun kalau kamu masih tetap dalam sikap munafik ini saja, akan menghadapi salah satu dari dua kesengsaraan. Pertama, adzab akan didatangkan Allah kepada kamu, baik adzab dunia maupun adzab akhirat. Kedua, tangan kami dipergunakan Allah mengadzab kamu. Karena kalau kamu masih terus-terusan munafik saja, niscaya akhir kelaknya akan sampai juga kepada gunjai (klimaks)nya. Selama kamu masih bermuka dua, lain di mulut dan lain di hati dan kamu bercampur gaul juga dengan kami, tetapi belum mengganggu kemaslahatan umum, adzab Allah mengancam kamu. Tetapi kalau satu kali kemunafikanmu itu telah merusak kemaslahatan bersama, dengan tidak ragu-ragu lagi kami akan menghancurkan kamu.
“Maka tunggulah! Sedang kami pun menunggu (pula) bersama kamu."
Lantaran demikian keadaannya, marilah kita sama-sama menunggu apakah akibat yang akan datang di belakang hari, apakah kemenangan dan kejayaan kami atau kegagalan dan kehancuran kamu.
Satu ucapan yang benar-benar timbul dari teguhnya tawakal orang yang beriman,
Ayat 53
“Katakanlah, ‘Berbelanjalah dengan kepatuhan atau terpaksa, namun dia tidak jugalah akan diterima dari kamu.'"
Orang-orang yang munafik itu kalau datang perintah dari Allah buat berbelanja atau mengorbankan harta benda untuk maslahat umum, dalam hal ini untuk perbelanjaan perang ke Tabuk di Yaumul Usrah, hari yang banyak kesukaran itu, mereka pun ada yang sudi mengeluarkan harta benda. Ada yang memberikan dengan kepatuhan karena meng-ambil muka dan ada pula yang merasa terpaksa, karena takut dihukum.
Dalam satu riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu Abbas, dikatakan bahwa Jidd bin Qais yang mengemukakan alasan tidak mau pergi karena takut tersandung melihat perempuan-perempuan Rum yang cantik-cantik itu, berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Aku tak tahan melihat perempuan-perempuan Rum yang cantik-cantik itu. Sungguh pun aku tidak pergi, aku serahkan juga hartaku kepada engkau untuk bantuan perang ini" Maka ayat ini pun turun: baik pun dia memberikan dengan segala kepatuhan atau dengan terpaksa, patuh karena mengambil muka, terpaksa karena takut hukuman, namun kedua macamnya itu tidak juga akan diterima oleh Allah. Apa sebab?
“Karena sesungguhnya kamu adalah kaum yang fasik."
Dari orang yang fasik Allah tidak akan menerima pengorbanannya. Fasik artinya ialah keluar dari daerah iman. Sedang pengorbanan hanya akan diterima Allah dari orang yang bertakwa, bukan dari orang yang berpura-pura karena mengambil muka dan bukan pula dari orang yang merasa terpaksa karena takut dihukum.
Ayat ini baik benar untuk menyelidiki diri sendiri dari munafikin di zaman kita ini. Sebab ada orang yang mengeluarkan uang berjuta-juta karena ingin namanya dituliskan di surat-surat kabar dengan huruf-huruf besar bahwa si anu seorang hartawan yang dermawan. Dan, ada pula munafik yang mengeluarkan uangnya berjuta-juta karena takut dituduh tidak setia kepada pemerintah. Takut kalau-kalau kemudahan urusan (fasilitas) yang diberikan kepadanya selama ini akan dicabut.
Buktinya nanti, kalau pada suatu waktu datang orang meminta bantuan kepadanya secara ikhlas, bagi satu amalan yang tidak menimbulkan namanya sebagai reklame dan dia tidak merasa takut akan ada ancaman, macam-macam dalih dicarinya untuk mengelakkan diri. Bahkan kadang-kadang orang yang meminta bantuan itu dihinakannya.
Ayat 54
“Dan tidaklah ada yang menegah daripada diterima dari mereka, perbelanjaan-perbelanjaan mereka itu, kecuali karena bahwasanya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya."
Di sini kita melihat betapa luasnya arti kafir. Meskipun seseorang mengakui dengan mulutnya bahwa dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kalau pengakuan itu hanya di mulut, sedang memikul tanggung jawab yang berat, mengorbankan diri untuk kepentingan agama, seumpama mengelak dari panggilan turut dalam Peperangan Tabuk itu, orang itu pun adalah kafir. Munafik adalah sebagian dari kafir, malahan lebih jahat daripada kafir yang melawan terang-terangan sehingga mudah dihadapi. Dan, jelas bahwa dia lawan. Tetapi bagaimana menghadapinya? Mulutnya manis, sakunya dijahit, kunci peti sengaja hilang. Orang yang seperti itu, segala pengorbanannya menjadi sia-sia, sebab tidak akan diterima oleh Allah.
“Dan tidaklah mereka mengerjakan shalat, melainkan dalam keadaan malas, dan tidak (pula) mereka membelanjakan melainkan dalam keadaan merasa terpaksa."
Di sini dibukalah dua gejala dari kemunafikan yang telah berupa kafir itu. Pertama, apabila akan mengerjakan shalat, mereka malas. Sedangkan shalat—sebagaimana kita ketahui—adalah tiang agama. Runtuh tiang, runtuhlah agama. Malasnya mengerjakan sha-lat telah menjadi tanda dari mundur imannya kepada Allah. Dan kedua, mengeluarkan harta benda untuk keperluan umum, di sini untuk keperluan perang, mereka merasa terpaksa, sebab itu dalam hati kedinya mereka merasa keberatan.
Di ayat ini sudah lebih banyak ditekankan peringatan ini kepada tiap-tiap diri kita, sudah mulai patut diselidiki jiwa kita sendiri adakah pada kita gejala-gejala munafik? Karena rasa malas shalat, walaupun shalat juga. Dan rasa keberatan mengeluarkan harta, walaupun dikeluarkan juga, sudahlah gejala yang terang dari munafik. Sebab cinta sudah lebih lekat kepada diri dan harta, daripada kepada Allah.
Shalat dan zakat adalah dua rukun dari Islam. Maka baiklah kita masing-masing menilik dalam jiwa kita bagaimana shalat kita, shalat malaskah atau shalat taat. Zakat keberatankah atau zakat yang timbul dari rasa taat kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia? Di dalam surah an-Nisaa' ayat 142 juz 15, telah kita lihat tambahan tanda mu-nafik itu, yaitu kalau mereka beramal lebih banyak karena riya (ingin dilihat orang atau menonjol-nonjolkan diri) dan ingat kepada Allah hanya sedikit sekali.
Ayat 55
“Lantaran itu janganlah engkau terpesona oteh harta benda mereka dan jangan (pula) oleh anak-anak mereka."
Takjub atau kagum atau terpesona. Mentang-mentang harta benda orang yang semacam itu banyak dan anak-anak mereka pun banyak atau muda-muda, gagah dan menarik hati. Janganlah lantaran itu kamu terpesona atau kagum."Lain tidak, karena kehendak Allah hanyalah hendak mengadzah mereka dengan dia pada hidup di dunia (ini)" Meskipun mereka banyak harta dan banyak anak, dari keduanya itu mereka akari menderita siksa di dunia ini. Harta yang banyak itu akan membuat mereka tidak mengenal istirahat. Banyak siksaan batin yang akan menimpa mereka karena harta.
Harta yang tadinya disangka karunia Allah rupanya menjadi bala bencana. Badan payah mengumpulkannya, tetapi nikmat diri jadi hilang. Dikumpulkan harta, tetapi tidak tahu lagi guna apa dia dikumpulkan. Kekayaan banyak tampak di luar, padahal batin sendiri miskin dari iman.
Anak-anak pun demikian pula. Dibesarkan anak, disangka akan menyambung usaha diri; rupanya anak lepas dari tangan. Seumpama Abdullah bin Ubay sendiri, yang jadi pemim-pin dari kaum munafik menentang Rasulullah ﷺ. Dia hendak membanggakan anaknya, yang terkenal ialah Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salui. Tatkala dia masih hidup, dia sendiri telah merasa tersiksa oleh anak. Sebab Abdullah anaknya itu adalah seoranganak yang baik, beriman, dan setia kepada Rasulullah ﷺ Dia bersedia membunuh ayahnya itu daripada tangan orang lain yang membunuhnya, kalau Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadanya. Apakah ini bukan siksaan?
“Dan akan mampus jiwa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafa."
Artinya, orang yang munafik itu, yang kekayaan harta benda dan anak mereka membuat kagum takjub dan terpesona orang yang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya, di dunia akan selalu tersiksa oleh harta dan anaknya itu. Mereka akan selalu makan hati berulam jantung. Mereka memerlukan obat ketika jiwa menderita. Biasanya harta dan anak yang menjadi obat, namun bagi mereka harta dan anak itulah pangkal penyakit, meracun hati. Mereka memerlukan bujukan, namun yang membujuk tidak ada. Dan tiba-riba maut pun datang. Mereka pun mati dalam keadaan kecewa, dalam keadaan gelap. Kemanan mereka di dalam ayat ini disebut tazhaqa anfu-suhum. Yaitu mati dalam cara yang seram dan ngeri. Napas meninggalkan badan, di waktu hati masih lekat kepada dunia. Kita pilih saja mampus sebagai arti dari mati di sini, supaya agak berdekat maksud artinya dengan tazhaqa itu. Sebab di dalam kalimat itu terkandung juga arti hancur, atau jatuh berserakan. Dalam bahasa daerah Minangkabau, ada yang lebih dekat arti tazhaqa itu, yaitu jangkang.
Ayat 56
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya mereka adalah dari golongan kamu, padahal tidaklah mereka dari golongan kamu."
Di sini dijelaskan pula salah satu dari kelakuan mereka. Mereka tidak keberatan ber-sumpah dengan nama Allah untuk mengatakan bahwa mereka adalah masuk golongan Rasulullah ﷺ juga. Memang, orang-orang munafik mudah benar bersumpah. Bertambah munafik orang, bertambah banyak dia bersumpah. Bertambah banyak sumpahnya karena dalam hati kecilnya dia pun telah tahu bahwa orang tidak percaya lagi kepadanya. Mereka berkata bahwa mereka tetap dalam golongan Rasulullah ﷺ, golongan orang Mukmin, padahal mereka bukan golongan orang Mukmin.
‘Tetapi adalah mereka itu kaum yang pengecut"
Kalimat yafraqun kita artikan pengecut. Artinya, yang asal ialah faraq dengan makna pecah. Hati yang pecah, hati yang tidak bulat, karena goyangnya iman kepada Allah, menyebabkan mereka jadi pengecut menghadapi tanggung jawab. Meskipun mereka bersumpah dengan nama Allah, mengatakan masuk golongan orang-orang yang beriman, dustalah pengakuan itu. Sebab pengecut bukanlah sifat dari orang yang beriman.
Ayat 57
“Jikalau mereka mendapat tempat berlindung, atau gua-gua atau (lubang) tempat sembunyi, tentu mereka berpaling kepadanya dalam keadaan terburu-buru."
Inilah bukti dari kepengecutan itu, takut turut bertanggung jawab dan takut mati.
Kalau ada tempat berlindung, entah di batik bukit ataupun laksana lubang perlindungan dari bahaya udara pada zaman kita ini, atau kalau ada gua-gua dan kalau di puncak bukit atau di kakinya, atau lubang dalam tanah yang sukar dilalui, tentu mereka akan lari menyembunyikan diri ke sana, karena sangat takut dan pengecut mereka menghadapi ba-haya. Mereka lari dalam keadaan terburu-buru sehingga berdesak-desak, atau panik menurut kata-kata orang di zaman sekarang. Sehingga lari mereka tidak teratur lagi, saking sangat takutnya. Orang-orang yang semacam ini di waktu keadaan tenang akan bersumpah mengatakan beriman, masuk golongan orang-orang Mukmin; tetapi setelah ada bahaya, mereka lari pontang-panting karena ingin menyelamatkan nyawa. Sebab itu ujian yang sejati atas pengakuan iman, walaupun dengan sumpah, ialah ketika adanya bahaya itu.
Cara yajmahun, (kita artikan—lari berdesak-desak karena ketakutan). Dalam sejarah perjuangan bangsa kita sudah dua tiga kali menyaksikan atau mengalami lari takut men-cari perlindungan itu. Ingatlah, ketakutan dan berdesak mencari lubang perlindungan, waktu Belanda akan kalah dahulu. Disebut juga panik!
(58) Dan sebagian dari mereka ada yang menyesali engkau tentang sedekah. Yaitu, jika mereka diberi sebagian darinya, mereka senang; dan jika tidak diberi sebagian darinya, tiba-tiba mereka pun kecewa.
(59) Alangkah baik sekiranya mereka senang menerima apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka berkata, “Cukuplah bagi kami Allah! Allah akan mengaruniai kami dengan anugerah-Nya, dan Rasul-Nya pun. Sesungguhnya kami ini kepada Allah-lah kami hendak menuju."
(60) Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang miskin dan pengurus-pengurus sedekah itu dan orang-orang yang ditarik hatinya dan untuk melepaskan perbudakan dan orang-orang yang berutang dan pada jalan Allah dan orang-orang perjalanan. (Ialah) sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah adalah Mahatahu, lagi Mahabijaksana.
Macam-macam sikap dan tingkah laku orang yang munafik. Kalau pada ayat-ayat yang di atas tadi diterangkan tentang orang yang meminta izin tidak hendak ikut berperang dengan alasan yang dibuat-buat, atau karena pengecut, ada lagi munafik lain. Mereka ikut berperang, lalu perang itu mendapat kemenangan. Dengan kemenangan, dapatlah harta rampasan. Sebagaimana telah diketahui di dalam surah al-Anfaal, ghanimah atau anfal itu adalah hak sepenuhnya bagi Rasul ﷺ untuk membagi-baginya. Maka adalah yang munafik, mereka menyesali Nabi ﷺ atau mengomel, mengapa dibagi sedikit dan kawan yang lain dibagi banyak, atau mengapa dia diberi tidak memuaskannya. Inilah yang diuraikan pula dalam ayat ini.
Ayat 58
“Dan sebagian dari mereka ada yang menyesali engkau tentang sedekah."
Sedangkan mengandung arti yang umum daripada pemberian yang berhak diterima. Zakat juga sedekah, dan kelak di ayat 60 akan ada keterangannya. Pembagian ghanimah pun sedekah. Maka ada munafik itu yang menyesali Nabi ﷺ, mengomel atau lebih kasar lagi mencela Nabi. Di dalam ayat ini diterangkan lebih dahulu kerakusan mereka: “Yaitu jika mereka diberi sebagian darinya mereka senangGembira benar mereka karena rakus mereka akan harta benda.
“Dan jika mereka tidak diberi sebagian daiinya, tiba-tiba mereka pun kecewa."
Padahal pertimbangan pembagian itu adalah terserah belaka kepada kebijaksanaan Rasulullah ﷺ. Tersebut di dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan an-Nasa'i dan dalam beberapa tafsir yang terpandang, dari riwayat Abu Said al-Khudri, satu kali saat Rasulullah ﷺ membagi-bagi sedekah, dan seorang bernama Dzul Khuwaisharah dari Bani Tamim, datang kepada Rasulullah ﷺ sambil mengomel, “Engkau hendaklah adil ya Rasulullah ﷺ!" Tercengang Nabi ﷺ mendengar perkataannya itu sampai beliau ber-kata, “Wailaka! Celaka engkau, kalau aku tidak berlaku adil, siapa lagi yang akan berlaku adil?" Umar bin Khaththab yang hadir dalam majelis itu, lantaran marahnya mendengar perkataan orang itu, sampai berkata, “Biarkan aku potong lehernya, ya Rasulullah!" Tetapi kemarahan Umar itu dapat ditenangkan oleh Nabi ﷺ Beliau berkata, “Biarkanlah dia! Karena orang ini pun mempunyai kawan-kawan yang lain, yang kamu tidak akan senang melihat mereka. Shalat dia bersama, shalat mereka, puasa dia bersama puasa mereka, tetapi mereka telah terlepas dari dalam agama laksana terlepasnya anak panah dari busurnya." Kata Abu Said al-Khudri, pada waktu kejadian itulah ayat ini turun.
Menurut riwayat Ibnu Mardawaihi dari ibnu Mas'ud, ayat ini turun ketika Rasulullah ﷺ membagikan ghanimah dalam Perang Hunain karena ada suara-suara mengatakan bahwa pembagian ini tidak karena Allah. Dan ada pula seorang dari Anshar mengatakan pembagian ini tidak adil.
Apabila ditilik bunyi ayat ini dan kejadian di Hunain, ayat ini tidaklah mencela Muhajirin atau Anshar yang tua-tua. Di Hunain pun walau ada Anshar yang mengomel, setelah Rasulullah ﷺ membuka isi hati bahwa akan pulang ke Madinah bersama mereka, dan hidup mati bersama mereka, mereka pun puas.
Apatah lagi satu potong kecil barang pun Rasulullah ﷺ tidak ada mengambil untuk dirinya. Meskipun berhak beliau mengambil seperlima, seperlima itu pun beliau berikan habis. Ayat ini adalah mengenai perangai umum dari orang-orang munafik. Kalau bukan karena munafik, tidaklah mereka akan sekasar itu. Kalau diberi agak banyak, mereka senang sekali. Kalau diberi sedikit, mereka mengomel. Tidak ada rasa ridha yang sejati kepada Rasul, masih ada rasa cemburu bahwa Rasul bersikap berlebih berkurang kepada sahabatnya. Padahal kalau misalnya beliau memberikan ghanimah Hunain dan Hawazin sampai berlimpah-limpah kepada orang-orang yang baru saja masuk Islam di Mekah, yang kebanyakannya adalah thulaqa' yaitu orang-orang yang mestinya ditawan karena mereka kalah perang, ketika menaklukkan Mekah, lalu dimaafkan Nabi ﷺ, akal yang sihat dari iman, akan tahu bahwa pemberian itu hanyalah pemberian siasat penarik hati. Orang beriman sejati, niscaya tidaklah akan tertarik hatinya menerima pemberian banyak, kalau maksud pemberian itu hanya untuk itu. Tetapi orang yang hanya mementingkan keuntungan diri sendiri, memikirkan banyak bilangan, bukan mutu pemberian, tidaklah dia akan mengomel jika dia diberi'berapa adanya ataupun tidak diberi sama sekali. Lihatlah contoh Anshar, sehabis Perang Hunain itu. Mereka merasa ke-puasaan jiwa pulang ke Madinah tidak membawa apa-apa. tetapi membawa yang lebih mahal dari segala apa pun, yaitu Nabi ﷺ pulang ke Madinah bersama mereka, dan akan mati bersama mereka.
Sebab itu berkatalah ayat selanjutnya.
Ayat 59
“Alangkah baik-sebaiknya mereka senang menerima apa yang dibelikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya."
Sedikitkah atau banyakkah pemberian, kalau Allah dan Rasul ﷺ yang memberikan, dia akan senang menerimanya. Sebab meski pun mereka terima dari tangan Rasul, Rasul memberikan ialah dengan kehendak Allah. Sebab itu, dia adalah pemberian Allah dan Rasul-Nya. Bukan jumlahnya yang penting, melainkan berkat dari pemberian itu. Iman kepada Allah dan Rasul adalah puncak dari segala kekayaan, “Dan mereka berkata, ‘Cu-kuplah bagi kami Allah! Allah akan mengur-niai kami dengan anugerah-Nya, dan Rasul-Nya pun.'" Inilah ucapan yang sangat mulia dan menunjukkan mutu iman yang tinggi dari seorang Mukmin. Banyak atau sedikit, kaya ataupun miskin, semuanya perkara kecil. Cukup Allah bagi kami. Allah akan selalu menjamin rejeki kami, kami tidak akan canggung dan kecewa kalau sedang kekurangan. Meskipun kurang di hari ini, besok atau lusa akan dapat lagi. Rezeki tidak tentu di mana pintunya. Dan Rasul sendiri pun, di atas nama Allah, bila telah melihat kejujuran orang Mukmin itu, tentu di lain waktu akan memberi anugerah juga. Perasaan yang begitu tinggi ditutupnya dengan ucapan yang sangat agung:
“Sesungguhnya kami ini, kepada Allah-lah kami hendak menuju."
Kalau sudah ingat bahwa tujuan perjalanan hidup ini tidak lain hanyalah kepada Allah, apalah artinya sedikit atau banyak mendapat pembagian sedekah. Segala kepentingan harta benda telah kecil belaka karena hidup seluruhnya tertumpah kepada tujuan yang sejati, yaitu Allah. Apa yang tidak ada di sisi Allah kelak di akhirat? Semuanya lengkap, semuanya cukup. Dan puncak dari semuanya itu ialah ridha Allah yang akan diterima di surga kelak.
Sungguh pun demikian, perangai yang umum dari manusia ialah keinginan kepada harta benda. Kelobaan kepada harta benda itu tidaklah ada batasnya. Kalau sekiranya tidaklah ada didikan akhlak agama yang mendalam, tidaklah akan dapat dibatasi kelobaan pada harta itu. Bertambah orang menjadi kaya, bertambahlah lobanya akan harta. Orang yang lemah imannya tidaklah merasa puas dengan yang telah ada. Sebab itu, kalau ada yang mengomel dan menyesali Rasul ﷺ lantaran pembagian ghanimah, yang mengomel itu pun biasanya bukanlah orang yang sangat miskin.
Orang yang diberi kewajiban membagikan harta, baik zakat atau ghanimah pun kadang-kadang memberikan harta dengan rasa berat. Hanya Nabi ﷺ-lah yang maksum dari keberatan itu, sebab beliau telah yakin bahwa harta itu, meskipun dia yang menguasai, bu-kanlah dia yang empunya. Maka untuk menghilangkan kelobaan mendapat pembagian tiap-tiap ada pembagian dan untuk jadi pedoman bagi yang membagi, datanglah ayat yang menyatakan siapa-siapa yang mustahak menerima pembagian zakat atau sedekah itu. Dengan adanya ketentuan, orang yang merasa dirinya berhak, tidak perlu khawatir tidak akan mendapat. Dan orang yang tidak terdaftar menjadi orang yang berhak, tidak pula lagi mengharap-harap.