Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَسۡتَـٔۡذِنُكَ
akan meminta kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَٱرۡتَابَتۡ
dan ragu-ragu
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
فَهُمۡ
maka mereka
فِي
didalam
رَيۡبِهِمۡ
keragu-raguan mereka
يَتَرَدَّدُونَ
mereka bimbang
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَسۡتَـٔۡذِنُكَ
akan meminta kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِ
akhirat
وَٱرۡتَابَتۡ
dan ragu-ragu
قُلُوبُهُمۡ
hati mereka
فَهُمۡ
maka mereka
فِي
didalam
رَيۡبِهِمۡ
keragu-raguan mereka
يَتَرَدَّدُونَ
mereka bimbang
Terjemahan
Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad untuk tidak berjihad) hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.
Tafsir
(Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu) untuk tidak ikut berjihad (hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian dan merasa ragu) yakni ragu-ragu (hatinya) akan kebenaran agama Islam (karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya) artinya mereka selalu bingung di dalam menentukan sikapnya.
Tafsir Surat At-Taubah: 43-45
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu. Karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.
Ayat 43
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Husain ibnu Sulaiman Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Mis'ar, dari Aun yang mengatakan, "Apakah kalian pernah mendengar suatu teguran yang lebih baik daripada ayat ini? Yaitu seruan yang menyatakan pemberian maaf sebelum penyaksian." Allah ﷻ telah berfirman: “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)?” (At-Taubah: 43)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Muwarraq Al-Ajali dan lain-lainnya.
Qatadah mengatakan bahwa Allah menegurnya sebagaimana yang kalian dengar, kemudian Dia menurunkan ayat yang terdapat di dalam surat An-Nur, maka diberikan rukhsah (keringanan) bagi Nabi ﷺ untuk memberi izin kepada mereka (untuk tidak ikut berperang) jika Nabi menyukainya. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman: “Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka.” (An-Nur: 62), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh ‘Atha’ Al-Khurrasani dalam suatu riwayat yang bersumberkan darinya. Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang yang mengatakan, "Mintalah izin kepada Rasulullah ﷺ. Apabila beliau memberi izin kepada kalian, maka tinggallah kalian di tempat kalian. Dan jika beliau tidak memberi izin kepada kalian, tetaplah kalian tinggal di tempat kalian." Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzuran-nya).” (At-Taubah: 43)
Yakni dalam alasan yang dikemukakannya.
“Dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)
Allah ﷻ berfirman bahwa mengapa engkau (Muhammad) tidak membiarkan mereka di saat mereka meminta izin kepadamu untuk tidak ikut perang. Yakni janganlah terlebih dahulu engkau beri izin seorang pun dari mereka untuk tinggal di tempatnya, untuk kamu ketahui siapa yang benar dan siapa yang dusta di antara mereka dalam mengemukakan alasannya. Karena sesungguhnya mereka tetap bertekad akan tinggal di tempat dan tidak mau ikut perang, sekalipun engkau tidak memberi izin kepada mereka untuk tinggal di tempat.
Karena itulah Allah ﷻ tidak memberi izin kepada seorang pun yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk tinggal di tempatnya dan tidak ikut perang.
Ayat 44
Allah ﷻ berfirman: “Tidak akan meminta izin kepadamu.” (At-Taubah: 44) untuk tidak ikut perang, melainkan tetap duduk di tempat tinggalnya.
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak akan meminta izin untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka.” (At-Taubah: 44)
Karena mereka berpandangan bahwa jihad merupakan amal pendekatan diri kepada Allah, maka ketika Allah menyerukan mereka untuk berjihad, mereka menyambutnya dengan segera dan mengerjakannya.
“Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu.” (At-Taubah: 44-45)
Yakni untuk tidak ikut perang tanpa ada alasan yang membenarkannya untuk tetap tinggal di tempatnya.
Ayat 45
“Hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 45)
Maksudnya, mereka tidak mengharapkan pahala Allah di hari akhirat sebagai balasan amal (baik) mereka.
“Dan hati mereka ragu-ragu.” (At-Taubah: 45)
Yaitu merasa ragu terhadap kebenaran dari apa yang engkau sampaikan kepada mereka.
“Karena itu, mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.” (At-Taubah: 45)
Yakni mereka tenggelam di dalam kebimbangannya. Mereka melangkahkan satu kaki sedangkan dalam waktu yang sama mereka mengundurkan kaki yang lainnya (yakni dalam keadaan ragu). Tidak ada langkah yang tetap bagi mereka dalam suatu urusan.
Mereka adalah kaum yang bimbang lagi binasa, tidak cenderung kepada golongan kaum mukmin, tidak pula kepada kaum kafir. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka kamu tidak akan dapat menemukan jalan selamat baginya.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, wahai Nabi Muhammad, hanyalah orang-orang munafik yang sejatinya tidak beriman kepada Allah, mereka tidak mengenal keagungan-Nya dan juga tidak beriman kepada hari kemudian sehingga tidak terdorong untuk meraih kebahagiaan akhirat, dan bahkan hati mereka ragu atas balasan Allah di akhirat kepada para mujahid, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan, sehingga terkadang ikut berperang namun pada kali lain tidak ikut, tergantung keadaan serta ada atau tidaknya keuntungan duniawi di balik perintah berperang tersebut. Ayat sebelumnya menjelaskan perbedaan antara kaum mukmin dan munafik dalam menyikapi perintah berperang, maka ayat ini menyebutkan salah satu ciri orang munafik. Dan seandainya mereka, kaum munafik, mau berangkat untuk berperang, niscaya mereka akan menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu sebagaimana orang-orang mukmin yang lain, namun hal itu tidak akan pernah mereka lakukan, karena sejak awal mereka memang tidak ingin berangkat berperang. Akan tetapi seandainya mereka berangkat berperang dengan kondisi jiwa semacam itu justru hanya akan menciptakan kekacauan dalam barisan umat muslim dan melemahkan jiwanya, karena itu Allah tidak menyukai keberangkatan mereka untuk berperang beserta kaum mukminin, maka Dia melemahkan keinginan dan niat mereka untuk berangkat ke medan perang, dan seakan dikatakan dalam hati mereka, Jangan berangkat ke medan perang dan tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu, yakni bersama anak-anak, para wanita, dan orang-orang tua.
'
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk tidak turut berjihad tanpa alasan yang dapat diterima, adalah orang-orang munafik yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengakui keesaan-Nya, dan tidak percaya kepada hari akhir. Mereka menyangka bahwa membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah, adalah suatu kebodohan dan kerugian serta berjihad dengan mengorbankan jiwa adalah semata-mata kerugian dan penderitaan saja. Di dalam hati mereka tersimpan perasaan ragu kepada kebenaran agamanya. Mereka selalu bingung dan bimbang. Mereka mau bekerja sama dengan orang-orang mukmin dalam urusan yang mudah, tetapi dalam hal yang agak sulit dan berat seperti berperang, mereka mengelak dan mencari berbagai alasan yang dibuat-buat untuk menghindar atau membebaskan diri dari kewajiban tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 42
“Kalau ada satu tujuan yang dekat dan perjalanan yang pendek, maulah mereka mengikut engkau,"
Tujuan yang dekat. Dengan menyebut tujuan ialah karena telah nyata ada keuntungan yang akan didapat, sedang perjalanan buat menempuh tujuan itu tidak panjang, dan perjalanannya tidak jauh, hanya dekat saja. Dalam perjalanan-perjalanan yang demikian, karena mudah dan enteng, mereka mau bersegera mematuhi perintah Rasul ﷺ. Diajak pergi perang yang dekat itu mereka mau saja, sebab mereka ada melihat tujuan, yaitu keuntungan untuk diri sendiri yang bernama harta rampasan (ghanimah). ‘Akan tetapi, te-lah menjauhkan atas mereka kesulitan." Artinya, kalau perjalanan itu akan dilakukan dalam serba kesulitan, mereka menjadi jauh atau merasa berat dan enggan. Perjalanan ke Tabuk itu memanglah akan menempuh kesulitan. Dari Madinah ke Tabuk, 11 marhalah atau 610 kilometer. Apatah lagi akan dilakukan di musim panas pula, dan mereka baru saja pulang dari penaklukan Mekah, pertempuran Hunain dan pengepungan Thaif. Mereka ingin hendak beristirahat dahulu, akan memetik kurma yang sedang musim memetik. Sebab itu maka seruan jihad ke Tabuk mereka pandang suatu perbuatan yang amat sulit, jauh dan sukar. Hati mereka menjadi jauh oleh sebab serba kesulitan itu. Maka segala ke-sulitan dan kesukaran itu mereka jadikan alasan kuat “memberatkan diri ke bumi", arti-nya, mereka tidak pergi! “Dan mereka pun akan bersumpah dengan nama Allah, jikalau kami sanggup tentu kami akan keluar bersama kamu.'" Artinya, lantaran alasan yang dicari-cari, mereka menyatakan keberatan pergi. Dan apabila tentara Islam itu kelak kembali dari peperangan itu, mereka akan bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak pergi itu benar-benar karena ada rintangan pribadi yang tidak dapat dielakkan. Kalau rintangan itu tidak ada, tentu mereka tidak mau ketinggalan. Maka datanglah lanjutan ayat, “Mereka membinasakan diri mereka." Artinya, dengan sebab keberatan dan alasan yang dicari-cari itu, mereka telah membinasakan diri sendiri, nilai diri mereka telah jatuh,
“Sedang Allah mengetahui, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berdusta."
Mereka telah membinasakan jiwa mereka sendiri dengan mengemukakan segala macam dalih itu. Mereka rusakkan kesucian jiwa mereka dengan berbuat dusta, padahal Allah tahu. Mereka tidak mau pergi itu tidaklah ada alasan yang kuat. Isi hati mereka tidak lain dari malas, hendak istirahat di rumah, atau rasa takut, sebab tentara Rum yang akan dihadapi itu adalah satu tentara besar yang telah beratus tahun menguasai seluruh utara Tanah Arab. Tetapi oleh karena peperangan di masa itu benar-benar bergantung kepada kesukarelaan yang timbul dari kesadaran iman, maka ketika mereka mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut itu, Nabi ﷺ pun menerima alasan-alasan itu sehingga mereka tidak pergi. Ayat ini membuka rahasia mereka pula bahwa kelak kalau Rasul ﷺ pulang, mereka akan bersumpah dengan nama Allah bahwa kalau tidak ada rintangan-rintangan dan kesukaran itu, tentu mereka tetap bersedia pergi.
Ayat 43
“Allah beri maaf engkau! Mengapa engkau izinkan mereka."
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Rasulullah ﷺ memberi izin orang-orang itu buat tidak ikut pergi ke Tabuk, telah disahkan oleh Allah. Tetapi, karena kesalahan Rasul ﷺ ini bukanlah karena melanggar suatu wahyu dari Allah; hanyalah karena kesalahan ijtihad karena Rasul ﷺ tidak hendak memaksa-maksa orang yang mengemukakan alasan maka sesalan Allah kepada Nabi ﷺ itu, tidaklah termasuk suatu dosa. Sebagai Kepala Perang Tertinggi, niscaya terdapat juga hal-hal yang sekali-sekali khilaf. Maka demi kasih cinta Allah kepada utusan-Nya yang dimuliakan-Nya itu, sebelum menyampaikan sesalan atas kesalahan beliau memberi izin orang itu, Allah terlebih dahulu menyatakan memberi maaf kepadanya. Kalau tidak didahulukan oleh Allah dengan ucapan, “Allah beri maaf engkau," niscaya terlalu berat jatuhnya penyesalan Allah itu atas diri beliau. Mengapa engkau beri izin mereka,
“Sebelum nyata bagi engkau orang-orang yang benar dan engkau ketahui orang-orang yang berdusta?"
Tadi sudah difirmankan Allah bahwa mereka mengemukakan beberapa dalih tentang kesukaran diri mereka sehingga tidak bisa ikut serta, adalah alasan yang dusta belaka. Mereka telah merusak diri sendiri, melunturkan nilai iman dalam dada mereka dengan mengemukakan alasan yang dusta itu. Maka Rasul ﷺ disesali oleh Allah, mengapa beliau tergesa saja memberi izin orang yang berdusta itu? Bukankah lebih baik jangan tergesa memberi mereka izin, supaya dengan terus terang mereka menyatakan sebab yang sebenarnya, atau diselidiki dahulu kebenaran alasan itu? Sebab orang-orang yang telah berdusta itu, diberi izin tinggal atau dimestikan ikut, namun mereka tidak juga akan mau pergi. Kalau tidak segera diizinkan, niscaya pendusta-pendusta itu akan kelihatan jelas.
Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Abi Hatim, dari Mujahid, ayat ini turun ialah karena ada beberapa orang yang minta izin buat tidak pergi. Mereka berkata sesama mereka, “Kalau kamu diberi izin tinggal, kamu tinggal. Tidak diberi izin tinggal, kamu pun jangan pergi!" Dan menurut tafsir Qatadah yang dirawikan Abd bin Humaid dan Ibnul Mundzir, “Mereka itu sanggup turut pergi, tetapi mereka malas dan telah memandang en-teng seruan jihad."
Untuk menjadi pendidikan sopan santun kepada kita umat Muhammad ﷺ, di ayat ini Allah menyesali Rasul-Nya yang cepat saja memberi izin orang-orang yang berdusta lantaran munafik itu, ketika mereka mengemukakan dalih untuk pergi. Pendidikan sopan santun itu ialah dengan memulainya Allah berfirman, “Allah maafkan engkau!" Begitu halus Allah bercakap kepada Rasul-Nya atas kekhilafan itu. Dia dahulukan memberi maaf sebelum menyampaikan sesal agar jangan terlalu berat dirasa Rasul ﷺ. Terlebih lagi ini hanya satu kekhilafan ijtihad. Seorang rasul, menurut pendapat ahli-ahli ushul fiqih, mungkin saja bisa khilaf dalam hal mengenai keduniaan, sama-sama telah pernah khilafnya beliau saat memilih tempat untuk melabuhkan tentara ketika Peperangan Badar, lalu beliau turuti usul salah seorang sahabat supaya pindah ke tempat yang lebih baik (strategis). Dengan permulaan Allah memberi maaf itu menunjukkan bahwa kesalahan itu telah ditegur, dan bukan suatu dosa.
Ayat 44
“Tidaklah akan meminta izin kepada engkau orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dari benjihad dengan harta benda mereka dan jiwa mereka"
Orang yang beriman sejati kepada Allah dan beriman pula kepada hari Kemudian, yaitu hari pembalasan pahala dan dosa, tidaklah akan meminta izin buat tidak ikut berperang, berjuang, dan berkorban menegakkan agama Allah dengan harta benda dan jiwa. Orang yang beriman, tidaklah mengemukakan keberatan diri sendiri, untuk menghentikan kepentingan Allah. Mereka yang beriman tidak akan memedulikan jauhnya perjalanan. Ataupun buah-buahan yang akan dipetik. Orang yang beriman selalu siap dan sedia bila panggilan dan nafir perang telah sampai kepadanya,
“Dan Allah mengetahui akan orang-orang yang bertakwa."
Beratus-ratus yang lain, baik Muhajirin cerita. Tidak beriman bahwa dia akan diterima Allah di akhirat sebagai seorang syahid. Kalau sekiranya selama ini mereka menyatakan dengan mulut bahwa mereka beriman, cuma sehingga mulut itu sajalah, tidak datang dari lubuk hati.
Ayat 45
“Maka mereka di dalam keraguan itu adalah mundur maju."
Lantaran ragu itulah, di dalam segala langkah hidupnya, mereka mundur maju, tidak tetap dan tidak tegas. Mereka tidak ketinggalan bersama dengan orang-orang yang beriman sejati di dalam amal yang mudah-mudah, yang tidak banyak merugikan. Apa salahnya bahwa mereka pun taat shalat, sebab shalat tidak meminta banyak pengorbanan. Tetapi misalnya di dalam shalat jamaah itu sendiri pun, kalau datang anjuran supaya mengorbankan harta, mereka akan diam saja dalam seribu bahasa. Mereka tidak keberatan jadi orang Islam, tetapi jangan hendaknya Islam itu terlalu banyak meminta kepadanya, apalagi kalau diminta pengorbanan harta dan jiwa. Kalau datang suatu anjuran yang minta pengorbanan, mereka akan mengelakkan diri dengan mengemukakan berbagai macam dalih.
Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa yang mencari dalih meminta izin supaya tinggal dan tidak turut berperang ke Tabuk itu ialah 39 orang banyaknya,
Ayat 46
“Dan jikalau mereka ingin keluar, niscaya mereka akan menyiapkan persediaan."
Artinya, kalau memang mereka ada ke-mauan yang baik buat ikut serta pergi ke pe-perangan itu, niscaya mereka bisa menyiapkan segala keperluan. Mereka dapat menyediakan belanja dan bekal, bisa menyediakan kuda tunggangan atau unta dan bisa pula melengkapi diri dengan senjata seperlunya."Tetapi Allah tidaklah mau mereka turut keluar; lantaran itu Dia telah menghambat mereka."
Artinya, Allah tidak menyukai mereka itu turut keluar bersama-sama dengan orang-orang yang beriman, lantaran itulah maka Allah telah menimbulkan hambatan dalam hati mereka sendiri, sebab keragu-raguan dan ketidaktulusan mereka. Lantaran itu pulalah maka mereka tidak mau bersiap buat bersama pergi karena mereka tidak mempunyai niat yang bulat. Mereka meminta izin itu hanyalah semata-mata untuk menutupi isi hati mereka yang sebenarnya, yaitu ragu dan takut mati.
“Dan dikatakan,'Duduklah kamu bersama orang-orang yang duduk."
Artinya, tinggallah kamu bersama-sama orang yang tinggal. Bersama-sama orang yang memang tidak dapat pergi karena telah sangat tua, atau sakit larut, atau orang-orang lemah atau kanak-kanak dan perempuan. Dengan demikian, jatuhlah mutu kamu.
Siapa yang berkata begini? Di sini terdapat beberapa tafsir. Pertama, berarti sebagai akibat dari mereka meminta izin itu sehingga mereka tinggal; sama derajat dengan orang sakit, orang-orang tua, kanak-kanak dan perempuan-perempuan.
Tafsir yang kedua yang mengatakan begitu ialah bisikan setan kepada mereka. Tafsir ke-tiga ialah bahwa demikianlah percakapan di antara mereka satu dengan yang lain. Tafsir-an keempat ialah sebagai menjelaskan bahwa karena keizinan yang telah diberikan Rasul ﷺ kepada mereka itu, mereka diizinkan tinggal, tetapi izin itu bukanlah diberikan de-ngan hati ridha, melainkan benci.
Ayat 47
“Jikalaupun mereka keluar bersama kamu, tidaklah mereka akan menambah untuk kamu selain dari kekacauan."
Bahwa orang-orang yang sudah macam itu hati mereka, meskipun mereka turut pergi, tidak juga mereka akan membawa keteguhan barisan, melainkan akan mengacau juga. Semangat mereka yang telah patah dari rumah itu, sampai ke medan perang akan mereka bawa juga. Mereka akan berjuang dengan setengah hati."Dan mereka akan segera masuk ke dalam celah-celah kamu karena menginginkan fitnah." Mereka masuk ke tengah-tengah barisan, lalu mereka pindahkan-lah keraguan hati, omelan dan umpat, rasa tidak puas, keluhan, dan lain-lain yang bisa mematahkan semangat. Karena hati mereka yang pecah itu tentu mereka akan mengecilkan kekuatan pihak kita dan membesar-besarkan kekuatan pihak musuh. Sebentar-sebentar mereka akan mengeluh mencela mana yang ku-rang."Sedang di dalam kamu ada orang-orang yang suka mendengarkan mereka." Di dalam angkatan perang yang demikian besarnya, selalu terdapat segolongan orang yang hanya menurut saja karena imannya masih lemah atau pandangan mereka tidak begitu jauh. Mereka akan menurut saja perkataan orang yang lebih pintar bercakap. Terhadap orang yang seperti itu, mudah saja masuk pengaruh orang-orang yang datang hendak mengacau. Maka orang-orang yang lemah itu bisa tertarik oleh manis omongannya. Maka munafikin yang kurang iman dan berhati ragu itu, yang meminta izin buat tinggal saja di rumah, tidak ikut pergi berperang, meskipun mereka pergi, namun mereka akan berbahaya juga. Dia akan dapat membahayakan orang-orang yang jujur, tetapi lemah imannya atau kurang cerdas akalnya dan tidak jauh pandangannya.
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim."
Allah telah tahu tentang kezaliman mereka, ketidakjujuran hati mereka, berbeda yang di mulut dengan yang di hati. Ilmu Rasul ﷺ hanyalah sekadar ijtihad belaka, sedang ilmu Allah meliputi lebih luas; bahwa turutnya mereka keluar adalah berbahaya juga, bukan bermanfaat. Masuknya mereka dalam barisan, bukanlah akan memperkuat, melainkan akan memperlemah'.
Ayat 48
“Sesungguhnya mereka telah mengada-adakan fitnah sebelumnya."
Jika sekarang mereka berbuat begitu saat akan menghadapi Peperangan Tabuk, maka lama sebelum Perang Tabuk ini, mereka yang munafik itu telah berbuat perangai demikian pula. Ingat saja saat Peperangan Uhud. Bukankah mereka kembali di tengah jalan, sebelum sampai ke medan perang? Karena mereka merasa tidak akan menang! Bukankah Abdullah bin Ubay bersama pengiringnya 300 orang pulang saja, sebab merasa bahwa usulnya tidak diterima? Dan Rasul ﷺ mengambil keputusan menyerang ke luar kota, menurut suara terbanyak, sedangkan Abdullah bin Ubay berpendapat bertahan di dalam kota saja. Nabi ﷺ sendiri pun sepaham dengan Abdullah bin Ubay, tetapi setelah dimusyawarahkan bersama, sebab suara terbanyak saat itu ialah menyerang keluar, usul itulah yang beliau putuskan. Abdullah bin Ubay dan pengikutnya tidak bersenang hati, dan menarik diri. Nyaris Bani Salamah dari kabilah Aus dan Bani Haritsah dari kabilah Khazraj turut ter-bawa mundur oleh sikap Abdullah bin Ubay itu. Syukurlah Allah memelihara kedua ke-luarga itu dari fitnah yang ditimbulkan oleh kemunduran Abdullah bin Ubay dan peng-ikutnya itu."Dan mereka pun telah memutarbalikkan perkara-perkara terhadap engkau" Bila timbul suatu persoalan, dan Rasul ﷺ mengatur persoalan ini dengan sebaik-baik-nya, namun kaum munafik berusaha memutar batik, meningkah dan membangkang. Misal-nya, ketika terjadi pengepungan atas benteng Yahudi Bani Nadhir. Rasul ﷺ sudah menganjurkan supaya mereka menyerah saja, tetapi kaum munafik melarang dan berjanji hendak membantu mereka. Tetapi setelah Bani Nadhir itu kalah dan diusir habis dan Madinah, tidak seorang juga munafik itu yang muncul buat membela mereka.
Nyaris terjadi perpecahan di antara Muhajirin dengan Anshar karena perkelahian budak-budak berebut air, kaum munafik itu juga yang menghasut-hasut. Syukur Rasulullah ﷺ dapat memadamkan perselisihan itu segera. Di dalam memfitnahkan istri Rasul ﷺ, yaitu Aisyah—sebagai diuraikan dalam surah an-Nuur—mereka juga yang mengembus-embus-kan fitnah. Pendeknya selalu mereka memutar balik keadaan."Sampai datang kebenaran dan jelaslah kehendak Allah." Meskipun telah berkali-kali mereka memutar balik keadaan, namun bertambah diputar balik, Islam bertambah menang juga, karena segala kesulitan selalu dapat diatasi oleh Nabi ﷺ, dan kehendak Allah berlaku, puncaknya ialah takluknya Mekah.
“Sedang mereka tidaklah menyukai itu."
Islam, selama sembilan tahun di Madinah, dari setaraf ke setaraf mencapai kemenang-annya. Musuh-musuh telah bisa dipatahkan satu demi satu, mulai dari kabilah-kabilah Yahudi sampai pada musyrikin Mekah dan musyrikin Arab yang lain. Mereka sebenarnya tidak bersenang hati dengan segala kemajuan itu. Itulah sebabnya, sekarang ini setelah menampak peluang lagi untuk memutar balik keadaan, mereka mencoba lagi. Perang Ta-buk adalah permulaan akan menghadapi musuh yang lebih besar, bangsa Rum. Perang akan terjadi pada zaman susah, dinamai Yaumul Usrah, artinya Hari Kesukaran. Mereka berusaha hendak memperkecil hati perlawanan Islam terhadap bangsa yang besar dan amat ditakuti di masa itu, dan di saat seperti inilah mereka mencoba lagi menghalangi maksud berperang itu dengan mengemukakan zaman susah, musim panas, belanja kurang, kebun sedang memetik buah dan sebagainya. Di sini sekali lagi Abdullah bin Ubay mengambil peranan penting, dengan lempar batu sembunyi tangan, menyokong perasaan dan termasuk dalam 39 orang yang minta izin tidak ikut itu.
Ayat 49
“Dan diantara mereka ada yang berkata, ‘Izinkanlah aku (tinggal), dan janganlah engkau fitnahi aku.'"
Seorang dari antara yang meminta izin tinggal itu bernama Jidd bin Qais. Dia meminta izin pula buat tidak ikut ke Tabuk, tetapi alasan yang dikemukakannya “lain dari yang lain". Sebagaimana diketahui warna kulit orang Rum ialah ashfar, yaitu arti asalnya dalam bahasa Arab ialah kuning, dan dalam logat kita Melayu Indonesia disebut orang kulit putih. Di Semenanjung Tanah Melayu, bangsa Barat itu disebut orang putih. Perempuan-perempuan Rum itu pun berkulit demikian, artinya cantik-cantik. Maka Jidd bin Qais berkata kepada Rasulullah ﷺ bahwa dia minta izin saja tidak pergi karena dia tidak akan tahan kena fitnah kecantikan perempuan-perempuan Rum. Berfirmanlah lanjutan ayat, “Ketahuilah bahwa ke dalam fitnah itulah mereka telah jatuh." Artinya, kalau mereka mengatakan bahwa melihat kecantikan perempuan Rum kelak ketika berhadapan dengan orang Rum, mereka katakan satu fitnah, ketahuilah bahwa sebelum bertemu dengan fitnah melihat wajah perempuan Rum yang belum terjadi itu, mereka telah tenggelam terlebih dahulu ke dalam fitnah. Yaitu fitnah kelemahan hati, fitnah mencari-cari dalih. Sedangkan fitnah perempuan di dalam perang, bukanlah fitnah. Sebab perang mempunyai peraturan. Kalau musuh kalah dan mereka tertawan, niscaya perempuan-perempuan pun tertawan. Dan aturan terhadap para tawanan pun sudah ada. Tentara Islam yang menang boleh melepaskan raja tawanan itu (mannan) dan boleh pula menyuruh tebus (fida-an), dan boleh pula mengikat janji bertukar tawanan. Perempuan-perempuan yang keluarganya telah tewas, baik ayahnya atau saudaranya atau suaminya, boleh dijadikan ghanimah, menjadi hamba sahaya. Lantaran itu apa sulitnya buat pergi perang? Tujuan pertama pergi berperang, bukanlah untuk menangkapi dan menjarah perempuan musuh. Sebab itu nyatalah bahwa dalih si Jidd bin Qais hanyalah alasan yang dicari-cari sebab jiwanya telah kena fitnah terlebih dahulu oleh kekurangan iman dan ragu-ragu.
“Dan sesungguhnya neraka Jahannam akan mengepung orang-orang yang kafir itu."
Karena segala dalih minta izin tidak ikut serta itu semuanya bukanlah timbul dari ke-jujuran, termasuk alasan si Jidd bin Qais karena takut terganggu urat sarafnya melihat perempuan-perempuan Rum yang cantik-cantik. Semuanya itu adalah dusta belaka dan sikap munafik belaka maka tempat mereka kelak adalah neraka Jahannam. Mereka akan terkepung di dalamnya, mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari dalamnya.
Sebelum kepungan neraka Jahannam di akhirat, masih di dalam dunia ini pun pada hakikatnya orang yang munafik telah dikepung oleh dosa-dosanya sendiri. Sikapnya yang ragu-ragu, yang hanya melihat angin, yang dicampuri dendam, benci, mengambil muka, bicara di belakang lain daripada berhadapan, menyebabkan mereka kian lama kian diketahui orang. Mereka dipandang sebagai penyakit kanker yang menjalar dalam tubuh, lalu dipotong dan dipisahkan. Sikap mereka tidak dapat menghalangi kemajuan zaman dan kebesaran Islam. Akhirnya mereka terpencil dan terkepung. Demikianlah nasib mereka sampai kepada kehidupan akhirat kelak.
Jelaslah betapa Allah dalam ayat ini telah membuka rahasia dari hati yang telah mulai hilang kejujuran. Dengan dalih takut kena fitnah perempuan kulit putih Jidd bin Qais tidak mau pergi berperang. Seakan-akan perempuan kulit putih itu cantik benar dan membahayakan iman. Bagaimana dengan sahabat-sahabat* Rasulullah ﷺ yang lain? Bu
kankah mereka pun akan bertemu dengan perempuan-perempuan kulit putih itu?
Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum fitnah kulit putih itu, dia telah kena fitnah. Fitnah yang lebih berbahaya, yaitu hatinya yang ragu atau pengecut. Ragu kalau-kalau Rasulullah ﷺ tidak akan menang. Sebab itu dia pun ragu akan arti syahid fi sabilillah. Kalau tewas di medan perang, syahidlah yang akan didapatnya. Kalau menang, harta rampasanlah yang akan dibawanya pulang.
Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya serta ayat-ayat berikutnya, menjadi peringatan bagi sekalian mujahidin fi-sabilillah di tiap masa.