Ayat
Terjemahan Per Kata
مَا
tidak
كَانَ
ada/patut
لِلۡمُشۡرِكِينَ
bagi orang-orang musyrik
أَن
bahwa
يَعۡمُرُواْ
mereka memakmurkan
مَسَٰجِدَ
masjid-masjid
ٱللَّهِ
Allah
شَٰهِدِينَ
mereka mengakui
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِهِم
diri mereka sendiri
بِٱلۡكُفۡرِۚ
dengan kafir
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
حَبِطَتۡ
sia-sia
أَعۡمَٰلُهُمۡ
pekerjaan/amal mereka
وَفِي
dan didalam
ٱلنَّارِ
neraka
هُمۡ
mereka
خَٰلِدُونَ
kekal
مَا
tidak
كَانَ
ada/patut
لِلۡمُشۡرِكِينَ
bagi orang-orang musyrik
أَن
bahwa
يَعۡمُرُواْ
mereka memakmurkan
مَسَٰجِدَ
masjid-masjid
ٱللَّهِ
Allah
شَٰهِدِينَ
mereka mengakui
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِهِم
diri mereka sendiri
بِٱلۡكُفۡرِۚ
dengan kafir
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
حَبِطَتۡ
sia-sia
أَعۡمَٰلُهُمۡ
pekerjaan/amal mereka
وَفِي
dan didalam
ٱلنَّارِ
neraka
هُمۡ
mereka
خَٰلِدُونَ
kekal
Terjemahan
Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka bersaksi bahwa diri mereka kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia amal mereka dan di dalam nerakalah mereka kekal.
Tafsir
(Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah) boleh dibaca mufrad dan boleh pula dibaca jamak, yakni dengan cara memasukinya dan duduk di dalamnya (sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia) batal (amal perbuatannya dan mereka kekal di dalam neraka).
Tafsir Surat At-Taubah: 17-18
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.
Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat 17
Allah ﷻ menyebutkan bahwa tidaklah layak bagi orang-orang musyrik memakmurkan masjid-masjid Allah yang dibangun atas nama-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya; sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir, yakni keadaan dan ucapan mereka mengungkapkan kekafiran mereka.
Sebagian ulama ada yang membacanya masjidallahi (dalam bentuk tunggal). Makna yang dimaksud ialah Masjidil Haram, masjid yang paling mulia di bumi ini, yang sejak pertama dibangun untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Orang yang membangunnya adalah kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu Nabi Ibrahim a.s.
As-Suddi telah mengatakan, "Seandainya Anda tanyakan kepada seorang Nasrani, 'Apakah agamamu?' Niscaya dia menjawab, 'Nasrani.' Dan seandainya Anda tanyakan kepada seorang Yahudi, 'Apakah agamamu?' Niscaya dia menjawab. 'Yahudi.' Dan terhadap orang sabiin, niscaya dia menjawab bahwa dia adalah pemeluk agama sabiah, dan terhadap orang musyrik dia akan menjawab sebagai seorang musyrik."
“Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya.” (At-Taubah: 17) karena kemusyrikan mereka.
“Dan mereka kekal di dalam neraka.” (At-Taubah: 17)
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman: “Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-Anfal: 34)
Ayat 18
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 18)
Allah ﷻ mempersaksikan keimanan orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid, seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris, bahwa Darij yakni Abus Samah pernah menceritakan kepadanya, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila kalian melihat seorang lelaki biasa pergi ke masjid, maka saksikanlah oleh kalian bahwa dia beriman.”
Allah ﷻ telah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 18)
Imam At-Tirmidzi, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkannya melalui hadits Abdullah ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Abdur Rahman ibnu Humaid telah mengatakan di dalam kitab Musnad-nya: Telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Murri, dari Sabit Al-Bannani, dari Maimun ibnu Siyah dan Ja'far ibnu Zaid, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah.”
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkannya dari Abdul Wahid ibnu Gayyas, dari Saleh ibnu Basyir Al-Murri, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah.” Kemudian Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahuinya diriwayatkan dari Sabit selain oleh Saleh."
Imam Daruqutni di dalam kitab Ifrad-nya meriwayatkannya melalui jalur Hikamah binti Usman ibnu Dinar, dari ayahnya, dari saudaranya yaitu Malik ibnu Dinar, dari Anas secara marfu': “Apabila Allah menghendaki azab atas suatu kaum, maka Dia memandang kepada ahli masjidnya (orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid); maka Allah berpaling dari mereka (tidak jadi mengazab mereka).”
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa hadits ini gharib (asing). Al-Hafiz Al-Bahai di dalam kitab Al-Mustaqsa telah meriwayatkan dari ayahnya berikut sanadnya sampai kepada Abu Umayyah At-Tarsusi: Telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Safir, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Murri, dari Sabit, dari Anas secara marfu', bahwa Allah ﷻ telah berfirman: “Demi keagungan dan kebesaran-Ku, sesungguhnya Aku hendak menimpakan azab kepada penduduk bumi; namun ketika Aku memandang kepada orang-orang yang memakmurkan rumah-rumahKu dan memandang kepada orang-orang yang saling mencintai karena Aku, dan memandang kepada orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur, maka Aku palingkan azab itu dari mereka.”
Ibnu Asakir mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, telah menceritakan kepada kami Al-Ala ibnu Ziyad, dari Mu'az ibnu Jabal, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya setan itu adalah serigala manusia, sama halnya dengan serigala kambing; ia memangsa kambing yang jauh dan kambing yang memisahkan diri. Karena itu, hati-hatilah kalian terhadap perpecahan, berpeganglah kalian kepada jamaah (persatuan), publik, dan masjid.”
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun Al-Audi yang mengatakan bahwa ia sempat menjumpai masa sahabat Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan mereka sering mengatakan bahwa masjid-masjid itu adalah rumah-rumah Allah yang ada di bumi, dan sesungguhnya sudah merupakan hak Allah memuliakan orang-orang yang menziarahi-Nya di dalam masjid-masjid itu.
Al-Mas'udi telah meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Sabit dan Addi ibnu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Barang siapa yang mendengar seruan azan shalat, kemudian ia tidak memenuhinya dan tidak mendatangi masjid, lalu ia mengerjakan shalat (di rumahnya), maka tidak ada shalat baginya, dan ia telah berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya."
Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 18), hingga akhir ayat.
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih. Ia telah meriwayatkannya pula secara marfu' melalui jalur lain, dan atsar ini mempunyai syahid (bukti) yang menguatkannya, diriwayatkan melalui jalur-jalur lain yang bukan dalam kitab ini pembahasannya.
Firman Allah ﷻ: “dan mendirikan shalat.” (At-Taubah: 18)
Shalat merupakan ibadah badaniah yang paling besar.
“Dan menunaikan zakat.” (At-Taubah: 18)
Zakat adalah amal yang paling utama, manfaatnya mengalir sampai kepada orang lain dalam bentuk santunan.
Firman Allah ﷻ: “dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah.” (At-Taubah: 18)
Yakni tidak takut dan tidak gentar kecuali hanya kepada Allah ﷻ.
“Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18)
Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 18) Yakni orang yang mentauhidkan Allah dan beriman dengan adanya hari kemudian, yakni beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.
“dan mendirikan shalat.” (At-Taubah: 18)
Yaitu shalat lima waktu.
“dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah.” (At-Taubah: 18)
Maksudnya, tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18)
Yakni sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbahagia, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah ﷻ kepada Nabi-Nya: “Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-lsra: 79) Yaitu syafaat.
Semua lafal 'asa yang terdapat di dalam Al-Qur'an mengandung arti "hal yang pasti.”
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa 'asa (mudah-mudahan) yang dari Allah mengandung hal yang pasti.
Rangkaian ayat-ayat di atas menunjukkan pembatalan perjanjian dengan kaum musyrik, sedang ayat ini menegaskan pembatalan amalamal mereka yang selalu mereka banggakan, seperti memakmurkan masjid. Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik, setelah penaklukan kota Mekah, memakmurkan masjid Allah, yakni Masjidilharam dan juga masjid-masjid yang lain, padahal mereka mengakui sendiri kalau mereka itu kafir. Sebab, tanpa didasari iman yang benar, maka amal mereka itu akan sia-sia belaka, dan justru kekufurannya itu menjadikan mereka kekal di dalam neraka sedangkan amal-amal baiknya tidak ada manfaatnya bagi mereka. (Lihat: Surah Ibra'him/14: 18 dan an-Nur/24: 38). Inilah kriteria mereka yang berhak memakmurkan masjid. Sesungguhnya yang paling berhak memakmurkan masjid Allah hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap atau senantiasa melaksanakan salat, menunaikan zakat jika mampu dan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang bisa diharapkan untuk selalu mendapat petunjuk ke jalan yang benar.
Ayat ini menerangkan bahwa tidak pantas bagi kaum musyrikin memakmurkan Masjidilharam dan mesjid-mesjid lainnya. Memakmurkan mesjid Allah hanyalah dengan menjadikan tempat itu untuk mengesakan dan mengagungkan Allah serta menaati-Nya. Hal ini dilakukan hanya oleh orang-orang mukmin. Memakmurkan mesjid, ialah membangunnya, mengurusnya, menghidupkannya dengan amal ibadah yang diridai Allah. Memakmurkan yang dilarang untuk orang bukan Muslim, ialah penguasaan terhadap mesjid, seperti menjadi pengurusnya. Adapun mempergunakan tenaga orang bukan Muslim untuk membangun mesjid, seperti memakai tukang bangunan dan sebagainya tidak dilarang. Begitu juga kaum Muslimin boleh menerima mesjid yang dibangun oleh orang bukan Muslim atau yang membangunnya diwasiatkan oleh orang bukan Muslim, atau memperbaiki-nya selama tidak mengandung tujuan yang membikin mudarat kepada kaum Muslimin.
Sekalipun para mufasir berbeda pendapat tentang mesjid yang dimaksud dalam ayat ini, apakah Masjidilharam saja, sesuai dengan turunnya ayat ini, seperti tersebut pada permulaan tafsir ayat ini, dan sesuai pula dengan bacaan sebagian ulama qira'at yang membacakan dengan masjid artinya lafal mufrad (tunggal) yaitu Masjidilharam, atau yang dimaksud semua mesjid Allah, sesuai dengan lafal jamak masajid. Tetapi semua pendapat, baik Masjidlharam ataupun mesjid-mesjid lainnya, tidak pantas dan tidak boleh bagi musyrikin untuk memakmurkannya.
Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa amal dan pekerjaan orang-orang kafir yang mereka bangga-banggakan, yaitu memakmurkan Masjidilharam, memberi minum orang-orang haji, dan lain-lain akan sia-sia selama mereka di dalam kesyirikan. Firman Allah:
Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. (al-Anam/6: 88)
Akhir ayat ini menerangkan bahwa orang-orang musyrik itu kekal dalam neraka, karena tidak ada amal mereka di dunia yang berguna dan dapat menolong mereka di hari akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 17
“Tidaklah ada bagi orang-orang musyrikin itu bahwa mereka akan meramaikan masjid-masjid Allah."
Orang-orang musyrikin tidak mungkin akan dapat meramaikan atau memakmurkan masjid-masjid Allah, walau masjid yang mana pun. Sebab masjid artinya ialah tempat sujud, sedang yang hendak disujudi itu ialah hanya Allah saja, tidak yang lain. Bagaimana mungkin orang yang musyrikin, artinya orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, akan dapat meramaikan masjid Allah, padahal masjid hanya untuk Allah? Tentu saja hal ini suatu hal yang oleh ahli ilmu manthiq dinamai tanaqudh, atau bertentangan atau kontradiksi. Suatu hal yang tidak masuk akal. Tidak masuk akal orang musyrik akan sanggup meramaikan barang mana masjid pun, sebab masjid hanya tempat menyembah Allah yang Satu.
“Untuk mereka memperlihatkan apa yang ada dalam jiwa-jiwa mereka dari kekufuran." Persambungan dari ayat ini menjelaskan lagi bahwa hal itu tidak mungkin. Sebab kalau orang musyrikin yang meramaikan masjid, niscaya yang akan mereka perlihatkan, atau yang akan mereka kerjakan, tidak lain daripada perbuatan kufur. Meskipun masjid mereka ramaikan, niscaya memuja berhalalah yang akan mereka kerjakan di sana, sebab mereka memang musyrik. Maka kalau musyrik yang jadi pengurus masjid, perbuatan kufurlah yang akan mereka upacarakan di sana."Mereka itu telah gugur amal-amal mereka." Percuma saja kalau mereka yang mengurus dan meramaikan masjid, sebab mereka musyrik. Sebab amal-amal mereka tidaklah akan diterima Allah, sebab dasarnya tidak ada. Kalau misalnya mereka beramal mengurus masjid, tidaklah amal itu akan diterima Allah, sebab semua yang mereka kerjakan bukan karena Allah, melainkan karena hendak mempertahankan berhala.
“Dan di dalam neraka mereka itu akan kekal."
Ke nerakalah tempat mereka kelak, walaupun mereka beramal meramaikan masjid, oleh karena mereka musyrik dan sebab yang mereka ramaikan dalam masjid itu tidak lain daripada ibadah yang syirik.
Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, saat ayah kandungnya, Abbas bin Abdul Muthalib, telah tertawan dalam Peperangan Badar, orang-orang Muslimin telah mencela dan menyalahkan perbuatannya sebab dia turut pula dalam peperangan itu. Khusus kesalahannya sebab dia telah memutuskan silaturahim, sampai hati berperang dengan anak saudaranya sendiri, Muhammad saw, dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Ali sendiri sampai mengata-ngatai pamannya itu. Lalu Abbas menjawab, “Kalau hanya membangkit-bangkit kesalahan kami saja, tidak kalian ingat bahwa pada kami ada juga kebaikan" Kemudian, Ali bertanya, “Apakah ada kalian mempunyai kebaikan?" Abbas menjawab, “Banyak kebaikan kami! Kamilah yang memakmurkan Masjidil Haram dan kamilah yang memegang kunci Ka'bah dan kami pun memberi minum orang-orang yang mengerjakan haji." Berkata Ibnu Abbas, “Maka turunlah ayat ini bahwa musyrikin tidaklah mungkin meramaikan masjid-masjid Allah!" Yang membangga begini bukan Abbas bin Abdul Muthalib saja, pada zaman dia masih jahiliyyah, tetapi pemuka-pemuka Quraisy yang lain-lain pun. Mereka hendak membangga bahwa mereka pun berjasa, sebab kalau tidak mereka, niscayalah masjid itu tidak akan terpelihara. Tetapi ayat ini telah menegaskan bahwa pekerjaan mereka semuanya itu tidak ada artinya. Sebab yang mereka kerjakan di sana ialah menyembah berhala, bukan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa. Sebab itu segala amal mereka ini tidaklah sah dan tidaklah diterima oleh Allah.
MEMAKMURKAN MASJID
Ayat 18
“Orang-orang yang akan menamatkan masjid-masjid Allah itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan tidak ada tempat takutnya melainkan kepada Allah."
Di sini terdapat kalimat innama yang dalam bahasa Arab disebut adatu hashr, artinya alat pembatas. Kita artikan hanya, maka terbataslah orang-orang yang bisa meramaikan dan memakmurkan masjid Allah, yaitu hanya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, yang shalat dan berzakat, dan tidak ada tempat takutnya melainkan Allah. Di luar orang-orang yang mempunyai syarat itu selengkapnya, tidaklah bisa meramaikan dan memakmurkan masjid.
Memakmurkan masjid atau ta'mirul ma-sajid, atau meramaikan masjid ialah selalu menghidupkan berjamaah di dalamnya, tempat beribadah di dalamnya, berkhidmat kepa-danya, memelihara dan mengasuhnya, membersihkannya dan memperbaiki kalau ada yang rusak, mencukupkan mana yang kekurangan, dan berziarah kepadanya untuk beribadah. Dan, khusus untuk Masjidil Haram yang di Mekah ialah untuk umrah dan haji, yang ter-masuk di dalamnya thawaf keliling Ka'bah dan sai (berjalan) di antara Shafa dan Marwah. Maka di dalam ayat ini telah ditegaskan bahwa yang dapat mengerjakan itu hanyalah orang yang hidupnya telah dibentuk satu pikiran yang memang telah terikat ke sana. Orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhirat, hari penentuan dosa dan pahala, niscaya tidak tergetar hatinya buat meramaikan masjid. Dan, orang yang tidak shalat. tentu tidak suka mendekati masjid. Orang yang bakhil mengeluarkan zakat, tentu takut ke masjid, sebab di masjid itu akan bertemu kelak orang-orang miskin atau sekalian yang berhak menerima zakat. Sebab di masjid segala golongan masyarakat bisa bertemu dan sama rata sama rasa. Dan, di dalam ayat ditekankan lagi bahwa sesudah dia beriman kepada Allah, tidak pula ada tempatnya takut melainkan Allah, Hanya orang yang begini sikap hidupnya yang bisa meramaikan masjid; di luar dari ini tidaklah akan ada perhatiannya kepada masjid.
Maka datanglah penutup ayat:
“Maka mudah-mudahan mereka itulah yang akan jadi daripada orang-orang yang mendapat petunjuk."
Karena mereka telah beriman kepada Allah, percaya bahwa Allah ada, dan kepercayaan itu diikuti oleh amal, dan percaya pula akan hari Akhirat dan mereka shalat dan mereka pun berzakat, dan tempatnya takut tidak ada selain Allah, ringanlah hatinya masuk masjid tempat beribadah kepada Allah itu, walaupun di masjid yang mana jua pun. Sebab tempatnya takut hanya Allah, niscaya tidaklah mereka akan menyembah berhala dalam masjid. Dan, kalau terdengar adzan, seruan shalat, meskipun apa yang menghalangi, dengan tidak ada takut atau segan-segan, mereka pun segera ke masjid. Dia mendirikan jamaah, dia bershaf-shaf di belakang imam, yang kaya bersama dengan yang miskin sehingga sehabis shalat dia berkesempatan pula mengeluarkan zakat kepada yang mustahik menerimanya. Di dalam masjid dia dapat i'tikaf, yaitu bertekun beribadah, berdzikir mengingat Allah dan mengerjakan shalat yang sunnah (nawafil) dan membaca Al-Qur'an. Ujung ayat menegaskan bahwa mudah-mudahan orang itu akan jadi atau akan termasuk orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Kata ‘asaa yang kita artikan mudah-mudahan atau moga-moga, adalah mengandung raja', yaitu pengharapan. Ada harapan mutu keislaman dan keimanan orang itu akan'bertambah naik, sebab suasana masjid akan sangat besar pengaruhnya atas jiwanya. Akan timbul di dalam jamaah masjid itu suatu masyarakat yang dipenuhi kasih dan sayang, gotong royong dan tolong-menolong, sama dalam perasaan kasih kepada Allah. Di dalam masjid timbul kedamaian pikiran. Sebab seorang jenderal berdiri bersentuh bahu dengan seorang prajurit, dan seorang jutawan dengan seorang tukang becak. Bahkan segala kegiatan masyarakat, sampai kepada ekonomi, politik, dan sosial (iqitishad, siasat, dan ijtima'), dapat berkembang dengan subur, semuanya dapat ramai pula karena ramainya masjid. Di dalam surah asy-Syuuraa (Musyawarah), ayat 38 yang telah diturunkan terlebih dahulu di Mekah, dijelaskan secara berikut; pertama, menyambut panggilan Allah supaya beribadah dan beramal, kedua bersama-sama mendirikan shalat, ketiga bermusyawarah dan bermufakat di antara mereka, keempat membelanjakan rezeki yang dianugerahkan Allah. Boleh dimulai dalam ukuran kecil dalam sebuah masjid atau langgar kecil, sampai kepada sebuah masjid besar dan orang di tengah kota sehingga di dalam masjid itulah tempat menenteramkan jiwa, bersedia menerima petunjuk dan hidayah Allah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lain dalam kehidupan.
Maka banyaklah pula hadits-hadits yang menganjurkan, menggalakkan supaya seorang beriman menambatkan hatinya pada masjid.
Diriwayatkan dari Bukhari, Muslim, Tir-midzi, dan Ibnu Majah, dari Utsman bin Affan r.a., yaitu tatkala beliau memperluas masjid Rasulullah ﷺ, banyak orang yang mengomel (sebab mereka tidak mau masjid buatan dan pusaka Rasulullah ﷺ diubah-ubah; Pen). Dan, setelah beliau mendengar penyesalan itu beliau pun berkata, “Kalian banyak memercakapkan hal ini, padahal aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang membina sebuah masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangun untuk dia sebuah rumah dalam surga.'"
Hadits yang diterima dari Sayyidina Utsman ini menunjukkan bahwa memperluas masjid yang telah ada, karena penduduk sudah bertambah ramai, sama juga pahalanya dengan memulainya pertama kali. Kalau diturutkan omelan orang karena masjid pusaka Rasulullah ﷺ diperluas, niscaya Masjid Madinah tidak akan dapat seluas yang sekarang.
Menurut riwayat Imam Ahmad dan Tir-midzi dari Samurah bin Jundub r.a.; dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ menyuruh kami menganggap masjid sebagai rumah kami sendiri dan disuruhnya kami membersihkannya. Dan, di dalam hadits lain dari Aisyah, Nabi ﷺ pun menyuruh mewangikannya, memberinya harum-haruman. Niscaya perintah Rasulullah ﷺ menyuruh mengharum-harumi masjid ini sudah sangat berlawanan dengan perbuatan kita di zaman sekarang, yang masjid menjadi berbau amis karena ada orang yang membuang kencing atau kotorannya di kolam yang kotor di pinggir masjid.
Tersebut pula dalam suatu hadits dari riwayat Bukhari dan Muslim dan Abu Dawud dan Ibnu Majah, pada zaman Nabi ﷺ ada seorang perempuan yang suka sekali datang ke masjid dan membersihkannya dan menyapunya, Satu waktu perempuan itu tidak datang lagi, lalu Rasulullah ﷺ menanyakan ke mana dia. Orang menjawab bahwa perempuan itu telah meninggal. Lalu, Nabi ﷺ menyesali, “Mengapa tidak kamu beri tahu kepadaku kematiannya? Supaya aku turut menshalat-kannya?" Kemudian beliau tanyakan di mana kuburan perempuan itu, maka beliau pun pergilah ke sana dan dishalatkannyaiah perem-puan itu di kuburnya. Menunjukkan bagaimana penghargaan beliau atas kesukaan perempuan itu menyapu dan membersihkan masjid.
Maka tersebutlah bahwa meludah di dalam masjid adalah satu perbuatan yang tercela. Maka tersebutlah pula bahwa beliau pernah melihat suatu kotoran pada lantai masjid, maka kelihatanlah muka beliau marah. Dan tersebutlah dalam kitab-kitab fiqih bahwa menghilangkan kotoran dari masjid dan membuatnya selalu bersih, adalah wajib. Dan, se-telah dia disapu ataupun disiram (dipel; kata orang sekarang), sunnah pulalah jika dia diharum-harumi. Sebab itu membakar setanggi atau kemenyan dengan maksud menyebarkan bau harum dalam masjid, adalah suatu hal yang terpuji. Semuanya itu dalam rangka menegakkan jamaah tadi. Semuanya itu dalam rangka membuka hati, mudah-mudahan selalu mendapat petunjuk dan kenaikan martabat iman yang amat diharapkan itu. Lantaran itu pula maka tersebut di dalam hadits yang shahih, riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lain, bahwa makruh (dibenci) memakan suatu macam makanan yang akan membawakan bau busuk di dalam masjid.
Akhirnya dengan rasa bahagia kita salinkan sebuah hadits yang dirawikan Ahmad dan Tirmidzi dan dikatakannya hasan (hadits bagus) dan Ibnu Majah dan al-Hakim dikatakannya shahih, dan lain-lain; dari Abu Said al-Khudri,
Berkata Rasulullah ﷺ,
“Apabila kamu lihat seorang laki-laki telah beradat baginya masuk masjid-masjid, maka saksikanlah olehmu bahwa orang itu telah mencapai iman." (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim)
Masjid adalah tempat menegakkan jamaah. Supaya di dalam masjid dikerjakan shalat bersama-sama. Shalat menjadi tarikan buat berkumpul. Jamaah paling penting buat mengikis hidup yang nafsi-nafsi, egoistis, mementingkan diri sendiri sehingga putus de-ngan masyarakat. Kalau shalat berjamaah tidak terdapat pada suatu kampung, tandanya syiar agama tidak tegak, tandanya agama akan berangsur habis.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya orang-orang yang meramaikan masjid itu, mereka itulah yang sebenar-benar ahli Allah." (HR Abd bin Humaid dan al-Bazzar)
Dan sabda Nabi saw, pula,
“Demi kebesaran-Ku dan kemuliaan-Ku; sesungguhnya Aku telah bermaksud hendak mendatangkan adzab-Ku kepada penduduk bumi. Tetapi setelah Aku lihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, dan orang-orang yang bercinta-cintaan sesamanya lantaran Aku, dan kepada orang-orang yang memohon ampun-Ku di waktu parak-siang (sahur), Aku palingkanlah adzab itu dari mereka." (HR Ibnu Asakir)
Dan sabda Rasulullah ﷺ pula,
“Sesungguhnya setan itu adalah serigala terhadap manusia. Sama dengan serigala menerkam kambing, yang diterkamnya ialah kambing-kambing yang menjauh-jauh dan menyisih-nyisih. Oleh sebab itu, sekali-kali janganlah kamu menempuh jalan sendiri, dan hendaklah kamu berjamaah dan berkumpul dengan orang banyak dan ke masjid." (HR Imam Alimad)
Menurut Ibnu Abbas, barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) untuk shalat, tetapi tidak dijawabnya seruan itu dan tidak dia segera datang ke masjid, dan dia shalat saja di rumah, maka samalah dengan tidak shalat, dan sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Abdurrazaq yang diterimanya dari Ma'mar bin Ishaq dari Amar bin Maimunal-Audi. Dia berkata (seorang tabi'in), “Aku masih mendapati beberapa sahabat Rasulullah ﷺ. Umumnya mereka berkata, ‘Masjid-masjid itu adalah Rumah Allah di atas bumi ini!' Maka adalah menjadi hak bagi Allah memuliakan setiap orang yang berziarah ke rumah-Nya “ Itulah beberapa hadits kita salinkan, untuk menjelaskan tafsir dari ayat ini, sebagaimana pentingnya jamaah buat meneguhkan iman, dan yang sanggup mendirikan jamaah hanyalah orang-orang yang beriman. Bertambah kendur iman orang, bertambah menjauhkan dirilah dia dari jamaah.
Ayat 19
“Apakah kamu sangka memberi minum orang haji dan meramaikan Masjidil Haram, akan sama dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan orang yang berjihad pada jalan Allah?"
Di sini firman Allah berupa pertanyaan, yang bernama istifham inkari, yaitu tanya-bantah, yang menunjukkan artinya bahwa tidak sama. Maka janganlah kamu sangka bahwa orang yang memberi minum orang-orang haji dan meramaikan Masjidil Haram, sama mar-tabatnya dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan orang yang pergi berjuang berjihad pada jalan Allah. Tidak Sama! Bahkan lanjutan ayat adalah ketegasan sebagai jawab Allah atas pertanyaan-Nya sendiri, sehingga sebelum dijawab, telah Allah sendiri menjawab: “Tidaklah mereka itu sama di sisi Allah."
Menurut Ibnu Abbas, sebab turun ayat telah kejadian di Perang Badar juga. Abbas yang telah tertawan berkata, “Jika kamu telah mendahului kami dengan sebab Islam dan hijrah dan jihad, kami telah meramaikan Mas-jidil Haram dan memberi minum orang haji, dan kami telah menebus orang-orang yang ditawan." Maka turunlah ayat ini!
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, diterimanya dari riwayat Ka'ab al-Qurazhi, pada saat hari bersibangga-banggaan di antara Thalhah bin Syaibah bin Abdi Daar dan Abbas bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Thalhah berkata, “Aku yang menguasai Rumah Suci (Ka'bah), di tanganku kuncinya, kalau aku kehendaki, bisa aku tiduri." Menjawab Abbas, “Aku yang memegang urusan minuman orang haji, dan kalau aku mau, aku bisa tidur di masjid." Menjawab pula, “Apa yang kalian percakapkan ini? Aku telah shalat menghadap enam bulan sebelum orang lain, dan aku pun turut di dalam berjihad." Demikian kata riwayat itu. Maka turunlah ayat ini!
Ayat ini bukanlah menunjukkan bahwa memberi minum orang haji atau memegang kunci pintu Ka'bah itu tidak baik. Bahkan menurut riwayat bersibangga-banggaan sahabat-sahabat utama itu telah terjadi setelah semuanya dalam Islam, tandanya segala perbuatan itu diakui baiknya oleh Rasulullah ﷺ. Bahkan tersebut dalam riwayat bahwa setelah Mekah ditaklukkan, kunci Ka'bah diserahkan kembali kepada Thalhah bin Syaibah itu, Ko-nonnya sampai ke zaman kita sekarang ini, turunan-turunan Syaibah itu juga yang me-megang kunci Ka'bah, yang dikenal dengan sebutan Syaibi. Dan memberi minum orang haji itu pun diteruskan oleh Abbas beberapa masa kemudian. Tetapi, karena anak keturunannya kemudian sudah tersebar-sebar di seluruh dunia, tidak ada lagi yang menyambung, memberi minum orang haji. Tetapi jejak dan bekasnya masih dapat dilihat sampai sekarang, sudah menjadi sebuah bilik lapangan sebelah selatan sumur Zamzam. Sedang kewajiban itu telah diterima oleh Abbas dan Thalhah bin Syaibah mulai dari nenek moyang mereka, yaitu Qushai bin Kilab. Setelah Rasulullah ﷺ diutus dan Islam bangun, sebab adat kebiasaan itu tidak ada salahnya, beliau akui.
Meskipun perbuatan itu baik dan terpuji semua, akan samakah mulia dan tingginya de-ngan iman kepada Allah dan hari Kemudian?
Akan samakah derajatnya dengan orang yang berjuang ke medan perang mempertahankan agama Allah?
Tidak sama!
Sebab ada orang yang meramaikan Mas-jidil Haram atau memegang kunci Ka'bah, atau memberi minum orang haji, hanya karena keturunan belaka, menjabat pusaka nenek moyang, padahal mereka menyembah berhala di zaman jahiliyyah. Ada juga orang yang beriman kepada Allah dan pada hari Kemudian, tetapi mereka tidak ikut berjuang ke medan perang. Sebab itu meramaikan Masjidil Haram dan memberi minum orang haji itu, barulah menjadi naik martabatnya dan menjadi tinggi, kalau timbul dari iman kepada Allah, dan hari Kemudian, shalat dan zakat dan tauhid yang teguh tadi. Dan, kalau datang perintah berjihad fi-sabilillah dari Imam al-A'zham, dia bersedia meninggalkan tugas yang kecil itu, jika dibandingkan, dengan besarnya bahaya musuh.
Oleh karena itu, ayat ini sekali lagi menegaskan ayat yang di atas tadi bahwa meramaikan masjid atau memberi minum orang haji, hanyalah semata-mata akibat dari iman yang sempurna. Bukan meramaikan masjid karena menyembah berhala, atau memberi minum orang haji karena inginkan pujian. Oleh sebab itu maka ujung pengunci ayat berbunyi: “Dan Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Walaupun masjid ramai, padahal isinya musyrik, tidaklah akan diberi petunjuk oleh Allah. Walaupun ada orang kaya mengirimkan minyak tanah sepuluh kaleng tiap bulan puasa, padahal dia sendiri tidak pernah berjamaah dan bertarawih, tidaklah itu akan menolong kepadanya, sebab dia zalim.
Meskipun ada hartawan mendirikan masjid yang besar-besar atau mengirim hambal dan karpet, tikar permadari yang besar-besar sebagai waqaf ke masjid, padahal jiwanya sendiri tidak ada perhatian kepada jamaah, tidaklah akan ada faedahnya. Sebab mungkin amalnya itu hanya mencari nama (riya) atau reklame. Sebab itu mendirikan masjid yang besar-besar mudah saja; yang sukar ialah mencari siapa orang yang akan meramaikan dan menyemarakkan masjid itu. Masjid al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan (yang kepadanya tafsir ini dibangsakan), berdiri dengan megah; di sekelilingnya rumah-rumah gedung yang indah, padahal yang meramaikannya pada umumnya bukanlah tetangga masjid itu, sebab tetangga masjid kebanyakan bukan orang Islam, atau orang yang hanya namanya Islam, tetapi tidak mengenal jamaah.
Masjid adalah hasil dari iman dan pemupuk tumbuhnya iman dan dasar utama dari kemakmuran masyarakat Mukmin. Sebab itu maka ayat selanjutnya menerangkan siapa saja orang beriman itu.
Ayat 20
“Orang-orang yang … dan terhijrah dan terjihad pada jalan Allah."
Tiga serangkai dari keutamaan iman yang menjadi sifat dari Mukmin pertama di zaman Nabi ﷺ dan kesediaan pengikut Nabi setelah beliau tidak ada lagi.
Pertama, iman.
Kedua, sanggup berhijrah meninggalkan kampung halaman karena mempertahankan Iman.
Ketiga, sanggup berjihad dan berperang untuk menegakkan jalan Allah.
“Dengan harta benda mereka dan jiwa-jiwa mereka." Artinya selalu bersedia, selalu bersiap menunggu apa yang diperintahkan Allah, walaupun yang diminta itu harta kita, ataupun nyawa kita."Amat besarlah derajat mereka di sisi Allah." Sebab seluruh hidupnya lahir dan batin telah tersedia untuk Allah, sebab mereka percaya kepada Allah.
“Dan mereka itu, merekalah orang-orang yang beroleh kejayaan."
Kejayaan yang luas sekali; jaya dunia dengan kedudukan dan martabat yang tinggi di tengah segala bangsa dan agama, dan jaya di akhirat.
Ayat 21
“Mereka akan diberi kegembiraan oleh Tuhan mereka dengan rahmat dari-Nya."
Kegembiraan itu ialah berita yang dibawakan Rasul ﷺ buat mereka. Gembira karena paham tidak sempit dan jelas tujuan hidup, terang benderang dunia akhirat. Rahmat me-ngandung anugerah yang banyak sekali, kekayaan harta, kemerdekaan jiwa, dan ilmu pengetahuan yang tinggi dan kemerdekaan dari pengaruh lain."Dan keridhaan dan surga-surga." Itu yang akan mereka dapati kelak sesudah meninggal dunia.
“Untuk mereka di dalamnya," yaitu di dalam surga-surga itu,
“Adalah nikmat yang tetap."
Yang tidak akan dicabut-cabut lagi, tidak menyebabkan berdebar dada kalau-kalau akan hilang lagi. Nikmat dua sejoli tidak berpisah, pertama; ridha Allah untuk hati, kedua; nikmat yang kekal untuk diri.
Ayat 22
“Kekal mereka di dalamnya untuk selama-lamanya."
Yang menjadi ujung dari harapan pada hidup dunia yang terbatas ini:
“Sesungguhnya Allah, di sisi-Nya adalah ganjaran yang besar."
Ganjaran yang besar yang disediakan oleh Allah itu, dalam hidup surga yang kekal, itulah inti dari kepercayaan kepada hidup hari Kemudian. Sehingga hidup kita tidaklah selesai habis sehingga ini raja. Inilah yang menyebabkan timbulnya pengharapan atau optimisme dalam hati orang yang beriman. Alangkah gelapnya suatu hidup yang tidak mempercayai adanya hari esok!