Ayat
Terjemahan Per Kata
لَقَدۡ
sesungguhnya
جَآءَكُمۡ
telah datang kepadamu
رَسُولٞ
seorang Rasul
مِّنۡ
dari
أَنفُسِكُمۡ
diantara/golonganmu sendiri
عَزِيزٌ
terasa berat
عَلَيۡهِ
atasnya/olehnya
مَا
apa
عَنِتُّمۡ
kamu derita
حَرِيصٌ
sangat menginginkan
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ
dengan/terhadap orang-orang mukmin
رَءُوفٞ
amat penyantun
رَّحِيمٞ
penyayang
لَقَدۡ
sesungguhnya
جَآءَكُمۡ
telah datang kepadamu
رَسُولٞ
seorang Rasul
مِّنۡ
dari
أَنفُسِكُمۡ
diantara/golonganmu sendiri
عَزِيزٌ
terasa berat
عَلَيۡهِ
atasnya/olehnya
مَا
apa
عَنِتُّمۡ
kamu derita
حَرِيصٌ
sangat menginginkan
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ
dengan/terhadap orang-orang mukmin
رَءُوفٞ
amat penyantun
رَّحِيمٞ
penyayang
Terjemahan
Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Tafsir
(Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri) dari kalangan kalian sendiri, yaitu Nabi Muhammad ﷺ (berat terasa) dirasa berat (olehnya apa yang kalian derita) yaitu penderitaan kalian, yang dimaksud ialah penderitaan dan musibah yang menimpa diri kalian (sangat menginginkan bagi kalian) hidayah dan keselamatan (lagi terhadap orang-orang mukmin amat belas kasihan) sangat belas kasihan (lagi penyayang) ia selalu mengharapkan kebaikan bagi mereka.
Tafsir Surat At-Taubah: 128-129
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keamanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arasy yang agung."
Ayat 128
Allah ﷻ menyebutkan limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang mukmin melalui seorang rasul yang diutus olehNya dari kalangan mereka sendiri, yakni dari bangsa mereka dan sebahasa dengan mereka.
Hal ini telah didoakan oleh Nabi Ibrahim a.s., seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 129) Dan firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.” (Ali Imran: 164) Adapun firman Allah ﷻ:
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-Taubah: 128)
Yakni dari kalangan kalian sendiri dan sebahasa dengan kalian.
Ja'far ibnu Abu Talib r.a. berkata kepada Raja Najasyi, dan Al-Mugirah ibnu Syu'bah berkata kepada Kaisar Romawi, "Sesungguhnya Allah telah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami sendiri. Kami mengenal nasab (keturunan)nya, sifatnya, tempat keluar dan tempat masuknya, serta kebenaran (kejujuran) dan amanatnya,” hingga akhir hadits.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-Taubah: 128) Bahwa tiada sesuatu pun dari perkawinan Jahiliah yang menyentuhnya.
Nabi ﷺ pernah bersabda: "Aku dilahirkan dari hasil pernikahan, dan bukan dilahirkan dari sifah (perkawinan ala Jahiliah).”
Melalui jalur lain secara mausul disebutkan oleh Al-Hafiz Abu Muhammad Al-Hasan ibnu Abdur Rahman Ar-Ramahurmuzi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Fasil Bainar Rawi wal Wa'i. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Yusuf ibnu Harun ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ia bersumpah bahwa ayahnya pernah menceritakan hadis berikut dari kakeknya, dari Ali yang mengatakan, "Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Aku dilahirkan dari hasil pernikahan dan bukan dilahirkan dari sifah, sejak Adam hingga ayah dan ibuku melahirkan diriku. Dan tiada sesuatupun dari sifat Jahiliah yang menyentuhku'.”
Firman Allah ﷻ: “Berat terasa olehnya penderitaan kalian.” (At-Taubah: 128)
Yakni terasa berat olehnya sesuatu yang membuat umatnya menderita karenanya. Karena itu, di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama Islam yang hanif lagi penuh dengan toleransi.”
Di dalam hadis sahih disebutkan: “Sesungguhnya agama ini mudah, semua syariatnya mudah, penuh dengan toleransi lagi sempurna. Ia mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah dalam mengerjakannya.”
Firman Allah ﷻ: “Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan)agi kalian.” (At-Taubah: 128)
Artinya, sangat menginginkan kalian beroleh hidayah dan menghantarkan manfaat dunia dan akhirat buat kalian.
Imam Tabrani mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Qutn, dari Abut Tufail, dari Abu Zar yang mengatakan, "Rasulullah ﷺ meninggalkan kami tanpa ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di langit melainkan beliau menyebutkan kepada kami ilmu mengenainya." Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tiada sesuatu pun yang tersisa dari apa yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan semuanya telah dijelaskan kepada kalian.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatn, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Al-Hasan ibnu Sa'd, dari Abdah Al-Huzali, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengharamkan sesuatu melainkan Dia telah mengetahui bahwa kelak akan ada dari kalian yang melanggarnya. Ingatlah, sesungguhnya akulah yang menghalang-halangi kalian agar jangan sampai kalian berhamburan terjun ke neraka sebagaimana berhamburannya laron atau lalat.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ dalam mimpinya kedatangan dua malaikat, salah seorangnya duduk di dekat kedua kakinya, sedangkan yang lain duduk di dekat kepalanya. Maka malaikat yang ada di dekat kedua kakinya berkata kepada malaikat yang ada di dekat kepalanya, "Buatlah perumpamaan orang ini dan perumpamaan umatnya." Malaikat yang satunya lagi menjawab, "Sesungguhnya perumpamaan dia dan perumpamaan umatnya sama dengan suatu kaum yang musafir, lalu mereka sampai di tepi Padang Sahara.
Saat itu mereka tidak mempunyai bekal lagi untuk menempuh Padang Sahara di hadapan mereka, tidak pula memiliki bekal untuk pulang. Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah kepada mereka seorang lelaki yang memakai pakaian kain Hibarah, lalu ia berkata, 'Bagaimanakah pendapat kalian jika aku bawa kalian ke taman yang subur dan telaga yang berlimpah airnya serta menyegarkan. Apakah kalian mau mengikutiku?' Mereka menjawab, 'Ya.'
Maka lelaki itu berangkat bersama mereka hingga membawa mereka sampai di taman yang subur dan telaga yang berlimpah airnya lagi menyegarkan. Lalu mereka makan dan minum hingga menjadi gemuk. Kemudian lelaki itu berkata kepada mereka, 'Bukankah aku menjumpai kalian dalam keadaan yang sengsara, lalu kalian berserah diri kepadaku; bahwa jika aku membawa kalian ke taman yang subur dan telaga yang berlimpah airnya, maka kalian akan mengikutiku?' Mereka menjawab, 'Memang benar.'
Lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya di hadapan kalian terdapat taman lain yang lebih subur daripada taman ini, dan terdapat pula telaga yang lebih berlimpah airnya daripada ini.
Maka kalian ikutilah aku.' Segolongan dari mereka berkata, 'Demi Allah, lelaki ini berkata benar, kami sungguh akan mengikutinya.' Golongan yang lainnya mengatakan, 'Kami rela dengan orang ini dan kami akan tetap mengikutinya'."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib dan Ahmad ibnu Mansur. Keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Aban, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ikrimah, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta tolong kepadanya tentang sesuatu yang menyangkut masalah diat (kata Ikrimah).
Maka Rasulullah ﷺ memberinya sesuatu seraya bersabda, "Aku berbuat baik kepadamu." Tetapi lelaki Badui itu menjawab, "Tidak, engkau belum berbuat baik." Maka sebagian dari kalangan kaum muslim yang ada pada waktu itu marah dan hampir bangkit menghajar lelaki Badui itu, tetapi Rasulullah ﷺ memberikan isyarat kepada mereka untuk menahan dirinya. Ketika Rasulullah ﷺ bangkit meninggalkan majelisnya dan sampai di rumahnya, maka beliau mengundang lelaki Badui itu untuk datang ke rumahnya. Lalu beliau bersabda (kepada lelaki Badui itu), “Sesungguhnya engkau datang kepada kami hanyalah untuk meminta dari kami, lalu kami memberimu, tetapi engkau mengatakan apa yang telah engkau katakan tadi." Lalu Rasulullah ﷺ memberi tambahan pemberian kepada lelaki Badui itu seraya bersabda, "Bukankah aku telah berbuat baik kepadamu?" Lelaki Badui itu menjawab, "Ya, semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadamu atas perbuatan baikmu kepada ahli dan famili(mu)."
Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya engkau datang kepada kami, lalu kami memberimu dan engkau mengatakan apa yang telah engkau katakan tadi, maka karena perkataanmu itu dalam diri sahabat-sahabatku terdapat ganjalan terhadap dirimu. Karena itu, apabila engkau menemui mereka, katakanlah di hadapan mereka apa yang tadi baru kamu katakan, agar ganjalan itu lenyap dari dada mereka." Lelaki Badui itu menjawab, "Ya."
Setelah lelaki Badui itu datang, maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya teman kalian ini pada awal mulanya datang kepada kita, lalu ia meminta kepada kita dan kita memberinya, tetapi ia mengatakan apa yang telah dikatakannya tadi. Lalu aku memanggilnya dan aku beri lagi dia, dan ternyata dia mengungkapkan pengakuannya bahwa dirinya telah puas dengan pemberian itu. Bukankah demikian, hai orang Badui?" Lelaki Badui itu menjawab, "Ya, semoga Allah membalasmu atas kebaikanmu kepada ahli dan famili(mu) dengan balasan yang baik."
Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perumpamaanku dengan orang Arab Badui ini sama dengan perumpamaan seorang lelaki yang memiliki seekor unta, lalu untanya itu larat dan kabur. Kemudian orang-orang mengejarnya, tetapi unta itu justru makin bertambah larat. Maka lelaki pemilik unta itu berkata kepada mereka, ‘Biarkanlah aku sendirian dengan unta itu, karena aku lebih sayang kepadanya dan lebih mengenalnya.’
Maka lelaki itu menuju ke arah untanya dan mengambil rerumputan tanah untuknya serta memanggilnya, hingga akhirnya unta itu datang dan memenuhi seruan tuannya, lalu si lelaki itu mengikatkan pelananya di atas punggung untanya itu. Dan sesungguhnya aku jika menuruti kemauan kalian karena apa yang telah dikatakannya tadi, niscaya dia akan masuk neraka.”
Hadis ini merupakan riwayat Al-Bazzar, kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui si perawi meriwayatkan hadis ini melainkan hanya dari jalur tersebut. Menurut kami, hadis ini daif karena keadaan Ibrahim ibnul Hakam ibnu Aban.
Firman Allah ﷻ: “Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu. maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian kerjakan. Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang’.” (Asy-Syu'ara: 215-217)
Hal yang sama diperintahkan oleh Allah dalam ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya:
Ayat 129
“Jika mereka berpaling.” (At-Taubah: 129)
Maksudnya, berpaling dari apa yang engkau sampaikan kepada mereka, yakni dari syariat yang agung, suci, sempurna lagi global yang engkau datangkan kepada mereka.
“Maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia’.” (At-Taubah: 129)
Yakni Allah-lah yang memberikan kecukupan kepadaku. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan hanya kepada-Nya aku bertawakal. (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib, tidak ada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil:9)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arasy yang agung.” (At-Taubah: 129)
Dialah yang memiliki segala sesuatu, dan Dia pulalah yang menciptakannya, karena Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arasy yang agung yang merupakan atap dari semua makhluk.
Semua makhluk mulai dari langit, bumi, dan segala sesuatu yang ada pada keduanya serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya berada di bawah 'Arasy dan tunduk patuh di bawah kekuasaan Allah ﷻ. Pengetahuan (ilmu) Allah meliputi segala sesuatu, kekuasaan-Nya menjangkau segala sesuatu, dan Dialah yang melindungi segala sesuatu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas r.a., dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir penurunannya ialah firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-Taubah: 128), hingga akhir surat.
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Abdul Mu'min, telah menceritakan kepada kami Umar ibny Syaqiq, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b r.a., bahwa mereka menghimpunkan Al-Qur'an di dalam mushaf-mushaf di masa pemerintahan Abu Bakar r.a. Dan tersebutlah orang-orang menulisnya, sedangkan yang mengimlakannya kepada mereka adalah Ubay ibnu Ka'b. Ketika tulisan mereka sampai pada ayat surat At-Taubah ini, yaitu firman-Nya: “Sesudah itu mereka pun pergi, Allah telah memalingkan hati mereka.” (At-Taubah: 127), hingga akhir ayat.
Maka mereka menduga bahwa ayat ini merupakan ayat yang paling akhir penurunannya. Maka Ubay ibnu Ka'b berkata kepada mereka, "Sesungguhnya sesudah ayat ini Rasulullah ﷺ membacakan dua ayat lainnya kepadaku," yaitu firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-Taubah: 128), hingga akhir ayat berikutnya. Lalu Ubay ibnu Ka'b berkata bahwa ayat Al-Qur'an inilah yang paling akhir penurunannya, kemudian dia mengakhirinya dengan apa yang biasa dipakai sebagai pembukaan oleh Allah ﷻ, yaitu dengan firman-Nya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kalian.” (Al-Anbiya: 25)
Hadits ini berpredikat garib.
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad, dari ayahnya (yaitu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair) yang menceritakan bahwa Al-Haris ibnu Khuzaimah datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab dengan membawa kedua ayat dari surat At-Taubah ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri.” (At-Taubah: 128) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Siapakah yang menemanimu membawakan ayat ini?" Al-Haris menjawab, "Saya tidak tahu. Demi Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku benar-benar mendengarnya dari Rasulullah, lalu aku resapi dan aku hafalkan dengan baik." Umar berkata, "Aku bersaksi, aku sendiri benar-benar mendengarnya dari Rasulullah ﷺ." Selanjutnya Umar berkata, "Seandainya semuanya ada tiga ayat, niscaya aku akan menjadikannya dalam suatu surat tersendiri. Maka perhatikanlah oleh kalian surat Al-Qur'an mana yang pantas untuknya, lalu letakkanlah ia padanya." Dan mereka meletakkannya di akhir surat At-Taubah.
Dalam-pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa Umar ibnul Khattablah yang memberikan saran kepada Abu Bakar As-Siddiq r.a. untuk menghimpun Al-Qur'an. Lalu Khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid ibnu Sabit untuk menghimpunnya, sedangkan Umar saat itu ikut hadir bersama mereka di saat mereka menulis hal tersebut. Di dalam atsar yang sahih disebutkan bahwa Zaid berkata, "Maka aku menjumpai akhir surat Baraah berada pada Khuzaimah ibnu Sabit atau Abu Khuzaimah."
Dalam pembahasan terdahulu disebutkan bahwa sejumlah sahabat ingat akan hal tersebut di saat mereka berada di hadapan Rasulullah ﷺ, yakni seperti yang dikatakan oleh Khuzaimah ibnu Sabit di saat ia mengutarakan ayat-ayat itu kepada mereka.
Abu Daud telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Muhammad ibnu Abdur Razza ibnu Umar (salah seorang yang siqah lagi ahli ibadah), dari Mudrik ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Yazid seorang syekh yang tsiqah telah meriwayatkan dari Yunus ibnu Maisarah. dari Ummu Darda, dari Abu Darda yang mengatakan, "Barang siapa yang mengucapkan kalimat berikut di saat pagi dan petang hari sebanyak tujuh kali, niscaya Allah akan memberinya kecukupan dari apa yang menyusahkannya, yaitu Hasbiyallahu la ilaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsyil ‘azhim (Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arasy yang agung)."
Ibnu Asakir di dalam biografi Abdur Razzaq telah meriwayatkannya dari Umar melalui riwayat Abu Zar'ah Ad-Dimasyqi, dari Abdur Razzaq, dari Abu Sa'd Mudrik ibnu Abu Sa'd Al-Fazzari, dari Yunus ibnu Maisarah ibnu Hulais, dari Ummu Darda; ia pernah mendengar Abu Darda berkata bahwa tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan: Hasbiyallahu la ilaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsyil ‘azhim (Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arasy yang agung) sebanyak tujuh kali baik ia membenarkannya ataupun berdusta melainkan Allah memberinya kecukupan dari apa yang menyusahkannya.
Tambahan ini dinilai gharib. Kemudian ia meriwayatkannya pula dalam biografi Abdur Razzaq (yakni Abu Muhammad), dari Ahmad ibnu Abdullah ibnu Abdur Razzaq. dari kakeknya (yaitu Abdur Razzaq ibnu Umar) berikut sanadnya sehingga menjadi marfu', lalu ia menyebutkan hal yang serupa berikut tambahannya. Tetapi riwayat ini berpredikat mungkar.
Demikianlah akhir tafsir surat Baraah (At-Taubah). Segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah.
Ayat yang lalu diakhiri dengan penegasan bahwa hati orang munafik dipalingkan dari kebenaran karena sesungguhnya mereka tidak mau memahami kebenaran walaupun yang membawa kebenaran tersebut adalah Nabi Muhammad yang sangat penyantun dan penyayang sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut ini. Demi kebesaran dan keagungan Tuhan, sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul yang mulia dari kaummu sendiri sehingga tidak asing bagi kamu, sangat berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami baik derita lahir maupun batin, dia sangat menginginkan kebaikan, kabahagiaan dan keselamatan bagimu, yakni bagi kamu semua baik yang muslim maupun yang kafir, dia sangat penyantun dan penyayang, yakni memberi kebaikan secara melimpah melebihi kebutuhan maupun sesuai kebutuhan terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling dari keimanan dan menolak mengikuti ajaranmu wahai Nabi Muhammad, maka katakanlah kepada mereka Cukuplah Allah bagiku, Dia yang akan membela dan melindungiku; tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, yakni berserah diri setelah berusaha sekuat tenagaku, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki, mencipta, dan mengatur 'Arsy singgasana yang agung.
Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia. Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-Qur'an pertama kali disampaikan, karena Al-Qur'an itu dalam bahasa Arab, tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian sastra Al-Qur'an. Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Al-Qur'an, tentu orang-orang selain Arab lebih sukar mempercayainya.
Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab, sebagaimana isinya yang berbunyi, "Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang Rasul dari bangsamu sendiri yang kamu ketahui sepenuhnya asal-usul dan kepribadian-nya, serta kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain."
Sebagian mufassir menafsirkan perkataan "Rasulun min anfusikum" dengan hadis:
Bersabda Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim." (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Wasilah bin Asqa)
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad saw, yang berasal dari suku-suku pilihan dari bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini.
Nabi Muhammad ﷺ yang berasal dari keturunan yang baik dan terhormat mempunyai sifat-sifat yang mulia dan agung, yaitu:
1. Nabi merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dihinakan karena dijajah dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum Muslimin, sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.
2. Nabi sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong. (an-Nahl/16: 37)
Dan Allah berfirman:
Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)
3. Nabi selalu belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum Muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan akhirat nanti.
Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad, kedua sifat itu juga merupakan sifat Allah sendiri, yang termasuk di antara "asmaul husna", yaitu sifat "rauf" (amat belas kasihan) dan sifat "rahim" (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya:
..Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (al-Baqarah/2: 143)
Pemberian kedua sifat itu kepada Muhammad menunjukkan bahwa Allah menjadikan Muhammad sebagai Rasul yang dimuliakan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 128
“Sungguh telah datang kepada kamu seorang nasul dari antana dinimu sendinL “
Menurut jumhur ahli-ahli tafsir yang dimaksud dengan kepada kamu di sini, ialah seluruh bangsa Arab. Disesuaikan juga dengan maksud yang terkandung dengan ayat 2 dari surah al-Jumu'ah, yang berbunyi bahwa Allah telah membangkitkan seorang rasul di kalangan orang-orang yang ummi. Oleh karena itu, bangsa Arab pada umumnya dan Quraisy pada khususnya, sebagai bangsa yang ummi, yang tadinya belum terkenal di kalangan bangsa-bangsa, tetah diberi nikmat kemuliaan Allah, bahwa seorang rasul telah dibangkitkan atau diutus dari kalangan mereka sendiri.
Menurut jumhur ahli tafsir itu, yang dimaksuc dengan kamu di sini ialah orang Arab, dengar, ukuran dari daerah yang terdekat terlebih dahulu kepada Nabi ﷺ yang terdekat sekali, yaitu kabilah yang menurunkan beliau ialah Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib. Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib bernama Asyi-rah Rasul Quraisy bernama Qabiiah (Kabilah). Dari Quraisy ini, yang sebagian besar menjadi Muhajirin mengikuti Rasulullah ﷺ ketika hijrah ke Madinah, menjalarlah ajaran yang dibawa oleh Rasul ﷺ ini kepada seluruh Arab, baik keturunan Adnan maupun keturunan Qahthan Muhajirin umurnya keturunan Adnan dan Anshar umumnya keturunan Qahthan. Sedang bangsa Arab adalah keturunan dari kedua rumpun ini, yang tetah dipertautkan oleh Isma'il anak Ibrahim karena perkawinannya dengan jurhum. Maka seluruh Arab itu menampung dakwah Rasulullah ﷺ. Arab menyebarkannya kepada ajam, yaitu selain Arab. Segala contoh teladan yang diberikan Rasul ﷺ ditiru dan dituruti oleh Arab dan mereka ajarkan pula kepada ajam.
Az-Zajjaj menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kamu di sini ialah seluruh umat manusia. Sebab Rasul ﷺ diutus bukan kepada bangsa Arab saja. Beliau ini menafsirkan bahwa kamu di sini bukan khusus untuk Arab saja, ialah karena ujung surah al-Bara'ah yang turun di Madinah itu bersangkut-paut juga dengan pangkal surah Yuunus yang turun terlebih dahulu di Mekah, yaitu ayat 2 yang menegur manusia mengapa mereka heran jika Allah memberikan wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka sendiri.
Akan tetapi, dengan segala kerendahan hati dapatlah penulis tafsir ajami ini mem-persatukan kedua penafsiran itu, penafsiran jumhur dengan penafsiran az-Zajjaj. Yaitu bahwa memang Rasulullah ﷺ diutus menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan Arab saja. Dan, ini telah terjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan Arab saja. Dan ini telah terdapat buktinya dikala Rasul ﷺ sendiri masih hidup, dengan adanya tiga orang yang bukan Arab, yang menunjukkan corak warna bangsa pada masa itu, yaitu Bilal al-Habsyi yang berkulit hitam, Shuhaib ar-Rumi yang berkulit putih, dan Salinan al-Farisi (Iran) yang berkulit kuning. Ketiga beliau ini mendapat tempat-tempat yang istimewa menurut bakat mereka masing-masing di kala Rasulullah ﷺ hidup. Oleh karena itu, termasuklah ketiga beliau di dalam lingkungan kamu yang terdapat di dalam ayat ini, dengan pengakuan bahwa memang di waktu itu yang berbangsa Arablah yang terlebih banyak dan merekalah alas dasar pertama dan utama dalam menyambut Islam. Dan berlakulah terus panggilan kamu ini kepada seluruh umat Muhammad ﷺ, yang pada zaman kita sekarang ini, yang berbangsa Arab hanya seperlima saja dari seluruhnya.
Tetapi sungguh pun pada zaman kita ini orang Arab hanya seperlima dari seluruh pemeluk Islam, Islam sendiri mengajar kita mengakui kelebihan yang ada, ada orang atau bangsa, dengan tidak merasakan iri hati sedikit juga. Bahasa Al-Qur'an tetap bahasa Arab, dan asli hadits Rasulullah ﷺ pun masih tetap bahasa Arab. Kalau sekiranya pusaka Rasul, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah dalam keasliannya ini tidak ada lagi, niscaya kucar-kacirlah agama ini. Dan Ka'bah, sebagai kiblat seluruh kaum Muslimin terletak di Mekah, pusat Arabia pula. Kelebihan Arab tentang itu hanya akan diingkari oleh pemeluk agama lain yang dengki melihat kesatuan corak kaum Muslimin, atau dari kaum yang pada zahir me-reka masih bernama pemeluk Islam, tetapi jiwanya lebih dipenuhi oleh kebangsaan yang sempit.
Setelah bangsa-bangsa Eropa bisa mengalahkan Napoleon di pangkal abad XIX, me-luaplah rasa kebangsaan (nasionalisme) di Eropa. Sedang pada masa itu negeri-negeri Islam banyak yang sudah mulai dijajah bangsa-bangsa ‘Eropa itu. Meskipun negeri-negeri Islam itu terjajah, namun rasa kesatuan Muslim seluruh dunia itu belum padam. Dan penghargaan kepada Arab sebagai sumber pelopor Islam masih tidak hilang. Tetapi setelah bangsa Turki Utsmani meneladan Barat dalam soal nasionalisme, datanglah nasionalisme Turki yang dipelopori oleh Zhia Kuk Alp, yang mengajarkan bahwa bangsa Turki hendaklah sadar akan kebangsaannya dan lebih menilik kepada sumber sejarahnya se-belum masuk pengaruh Islam. Oleh karena bangsa Turki dengan bangsa-bangsa Mongol adalah satu keturunan dari Thauran, Zhia Kuk Alp dan kawan-kawannya mengajarkan bahwa kebesaran Jengis Khan bagi Turki iebih penting daripada kebesaran Khalid bin Walid. Tetapi mereka payah untuk menyingkirkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri dari tempat beliau yang mulia, sebab mereka pun belum bermaksud menghilangkan Islam sama sekali.
Tetapi yang terang, dengan timbulnya gerakan Turki Muda, penghargaan akan kedudukan Arab dalam sejarah Islam itu mulailah menurun. Apatah lagi pada masa itu negeri-negeri Arab masih banyak dalam jajahan Turki.
Di Mesir pun pernah tumbuh gerakan nasionalisme Mesir yang ingin kembali pada kebesaran-kebesaran Fir'aun. Waktu gerakan ini naik, mereka berusaha menghilangkan pengaruh Arab, padahal sebagian besar penduduk Mesir adalah orang Arab dan bahasa mereka pun Arab. Waktu kebanggaan-kebanggaan itu memuncak, orang Mesir memandang bahwa bangsa Arab dari Jazirah Arab sebagai bangsa kelas dua, yang belum tinggi kecerdasannya. Barulah Mesir mendapat kepribadiannya kembali setelah Presiden Gamal Abdul Nasser menegaskan bahwa Mesir adalah sebagian dari Arab.
Pada zaman sekarang ini, setelah beberapa kerajaan tumbang dan beberapa republik berdiri, terutama sesudah Perang Dunia Kedua, gerakan kebangsaan Arab itu memuncak kembali. Namun, di sana-sini kadang-kadang kelihatan gejala bahwa kebangsaan Arab yang mereka bangun itu, yang disebut al-Qu miyatul Arabiyah dicampuri lagi oleh bau busuk jahiliyyah. Ada yang berusaha hendak menghindarkan peranan Islam dan peranan Nabi Muhammad ﷺ dari bangkitnya bangsa Arab. Mereka hendak naik kepada yang lebih atas lagi. Padahal sejarah Arab tidak akan ada, kalau tidak karena Islam.
Di zaman dahulu di sekitar satu kurun setelah Rasulullah ﷺ wafat, di Iran timbul satu gerakan yang bernama Syu'abiyah, yaitu satu gerakan sebagai tantangan pada kelebihan orang Arab dari orang Ajam. Kitab-kitab tarikh yang dikarang oleh orang Arab sendiri banyak membicarakan tentang gerakan itu, sebagai suatu gerakan anti-Arab. Tetapi kita yang datang di belakang ini tidak mendapat bahan yang memadai banyaknya, untuk me-ngetahui apa sebab gerakan itu timbul. Cuma beberapa butir-butir terselip dalam kitab-kitab tarikh yang dikarang oleh orang Arab sendiri, dapat ditemui bahwa orang Arab pada masa itu memang ditumbuhi oleh perasaan kelas tertinggi atau uber alles. Sebab Nabi Muhammad ﷺ Arab, Al-Qur'an bahasa Arab, dan bangsa-bangsa Ajam yang lain ini “rendah" semua. Perasaan ini memuncak pada zaman Bani Umayyah. Salah satu sebab bangsa Iran yang telah menerima Islam menyokong gerakan Syi'ah yang dipusatkan pada negeri-negeri Iran (Khurasan) ialah karena benci pada perasaan sebagai “golongan yang dipertuan" yang memengaruhi berpikirnya orang Arab pada zaman itu. Oleh karena itu, setelah Bani Umayyah jatuh dan Bani Abbas naik, meskipun Bani Abbas jelas keturunan bangsawan Bani Hasyim Arabi, namun orang Persia (Iran) memasukkan pengaruh Persia sebesar-besarnya ke dalam istana.
Sekarang kita kembali pada ayat yang sedang dibicarakan. Ayat ini adalah umum untuk seluruh umat yang percaya kepada Muhammad ﷺ. Ketika ayat diturunkan memanglah orang Arab yang mula-mula menyambutnya. Dan, Nabi ﷺ kita sendiri pun mengakuinya, sebagaimana tersebut di dalam beberapa hadits yang shahih bahwa beliau adalah keturunan dari inti-intinya orang-orang Arab. Nenek paling atas ialah Isma'il. Yang lebih terkemuka dan terhormat dari keturunan Isma'il itu ialah Kinanah. Yang lebih terhormat dari keturunan Kinanah itu ialah Quraisy. Dan yang lebih terkemuka dan terhormat dari keturunan Quraisy itu ialah Bani Hasyim. Dan, Bani Hasyim itulah yang melahirkan Muhammad ﷺ. Dan suku-suku Arab mengakui pula di zaman itu bahwasanya langgam gaya bahasa Arab yang paling baik, diakui di seluruh tanah Arab ialah langgam Quraisy. Maka dalam langgam Quraisy itu pula Al-Qur'an diturunkan.
Untukmenghindarkan salah paham tentang ketinggian martabat suatu bangsa atau suatu kaum atau suatu kabilah, bukanlah sekali-kali karena mereka itu memiliki darah lain daripada darah bangsa dan suku lain. Keturunan manusia adalah dari satu, semua dari Adam. Dan semua pun dari tanah asalnya. Yang melebihkan suatu bangsa dari yang lain adalah karena ada suatu jasa pada bangsa atau kaum itu yang akan diingat orang. Misalnya Isma'il, menjadi ingatan seluruh Arab karena beliaulah yang meleburkan diri ke dalam bangsa Arab karena perkawinannya dengan Jurhum, lalu memelihara Ka'bah. Maka orang pun hormat kepada anak cucunya, karena mengingat jasa beliau. Kemudian, timbullah nama Kabilah Kinanah sebagai keturunan Isma'il, yang menjadi buah mulut seluruh bangsa Arab. Mereka menjadi terkenal karena di kalangan mereka banyak timbul orang-orang dermawan dan hikmah, menyayang kepada orang melarat, penyantun kepada yang miskin dan menghormati tetamu yang datang ke negerinya. Sehingga menjadi tempat mengadu, tempat bertanya, tempat minta tolong dari seluruh bangsa Arab dalam jazirah itu.
Kemudian teristimewa pulalah Quraisy dari keturunan Kinanah. Di antara keistimewaan mereka ialah bahwa mereka tidak pernah dapat ditundukkan oleh bangsa Rum dan Persia. Arab di Utara dan di Selatan pernah dijajah bangsa Rum atau Persia ataupun Habsyi, tetapi Quraisy tidak. Quraisy menjadi keseganan seluruh bangsa Arab karena di kalangan mereka banyak yang kaya-kaya, memegang tampuk perniagaan, menghubungkan Utara dan Selatan. Di zaman seorang pemuka mereka yang bernama Qushai, seluruh ‘Asyirah Quraisy dipersatukan, lalu membuat perjanjian untuk mempertahankan kesucian Tanah Haram sebagai pusaka Ibrahim dan Isma'il, bahwa barangsiapa yang masuk ke dalam wilayah itu dijamin keamanannya. Lalu Quraisy membagi-bagi tugas guna menyambut dan menghormati orang yang naik Haji, ada yang memegang kunci Ka'bah (al-Hijab), ada yang memberi minuman orang haji (Siqayah) dan ada yang memberi makanan dan bekal bagi orang-orang miskm yang kekurangan bekal ketika akan pulang (Rifaadah), dan mereka dirikan suatu balairung bernama Darun Nadwah tempat mereka musyawarah.
Kemudian dari Quraisy itu teristimewalah pandangan seluruh kabilah kepada Bani Ha-syim. Nenek mereka yang bernama Hasyim itu pernah diutus seluruh kabilah Quraisy membuat perjanjian dengan Kaisar Rum bahwa kekuasaan Rum di Syam memberi jaminan dan perlindungan kafilah-kafilah saudagar Quraisy yang berniaga ke Syam dalam perniagaan Musim Panas. Dan dia juga yang dikuasakan membuat perjanjian dengan Penguasa Kerajaan Yaman (Selatan) pada waktu itu, guna melindungi perniagaan ke Yaman di musim dingin. Dan putra dari Haysim yang bernama Abdul Muthalib diangkat pula menjadi ketua oleh kabilah Quraisy, dan beliaulah yang menghadapi saat Abrahah mencoba datang hendak meruntuhkan Ka'bah. Dan dia juga yang datang mengucapkan selamat kepada Raja Saif Ibnu
Dzi Yazn, yang menang pemberontakannya melepaskan Yaman dari jajahan Habsyi.
Dari keturunan seperti inilah Nabi kita Muhammad ﷺ dilahirkan. Jadi, bukan karena keturunan Quraisy itu lain darahnya dari darah Nabi Adam. Bukan sebagai kepercayaan beberapa negeri Jahiliyyah, seumpama di Jepang yang mengatakan raja turun dari matahari dan kepercayaan Tiongkok kuno bahwa Kaisar Tiongkok adalah Anak Langit. Ini untuk menjadi peringatan kepada bangsa Arab sendiri supaya jangan menyombong karena mereka keturunan orang yang berjasa, padahal mereka tidak membuka jasa yang baru. Dan keturunan Sayyid dan Syarif, dari keturunan Hasan dan Husain, jangan pula menyombong karena mereka keturunan Fatimah Putri Rasul ﷺ sebagai pernah diperingatkan oleh Imam Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumiddin.
Kalau mereka menyambung jasa nenek moyang mereka, beriipatlah kemuliaan yang akan mereka terima, sebagaimana diingat orang jasa Sayyid Jamaluddin al-Afghani karena membangkitkan kembali semangat Islam yang telah pudar. Nama Sayyidnya menjadi gi-lang-gemilang karena jasanya. Demikian juga as-Sultan Sayyid Abdul Qadir al-Jazairi, yang terkenal pada pertengahan abad kesembilan belas karena perlawanan baginda terhadap kekuasaan Perancis yang merampas kemerdekaan tanah airnya. Tetapi kalau mereka mengakui keturunan Arab pada umumnya, atau keturunan Rasulullah ﷺ pada khususnya, tetapi bergerak melangkah pada yang merugikan Islam, berlipat dualah dosa dan kutuk yang akan mereka terima, sebagaimana pesan peringatan Allah kepada istri-istri Rasulullah ﷺ di dalam surah al-Ahzaab, ayat 30.
Sekarang kita teruskan lanjutan ayat. Yaitu Allah menerangkan bagaimana sikap dan laku Rasul ﷺ yang telah diutus Allah di dalam kalangan diri kamu itu.
Allah berfirman,
“Berat baginya apa yang kamu susahkan. Sangat ingin akan kebaikan kamu. Dan kepada orang-orang yang beriman dia sangat belas kasihan lagi penyayang
Di dalam ayat ini diterangkan tiga sifat yang pokok dan istimewa pada Rasul ﷺ itu, Muhammad ﷺdi dalam memimpin umatnya. Yaitu sifat-sifat utama dan mulia yang menjadi syarat mutlak dari jayanya pimpinan seorang pemimpin kaumnya. Pertama, berat baginya apa yang kamu susahkan. ‘Aziz, berat nian baginya, jika kamu ditimpa oleh suatu kesusahan. Siang dan malam yang beliau pikirkan hanyalah keadaan nasib umatnya. Berat baginya kalau umatnya ini miskin atau menjadi jajahan orang asing. Berat rasanya bagi beliau kalau umat ini celaka di dunia dan sengsara pula di akhirat. Dapatlah dibuktikan hal ini dalam sabda-sabda beliau, baik terhadap kepada perseorangan sahabat-sahabat beliau, ataupun terhadap keseluruhan.
Sampai pun nyawanya akan cerai dari badannya, perasaan ini jugalah yang memenuhi pikiran beliau. Sampai beliau berpesan bahwa kelak bilangan umatku ini akan banyak, laksana banyaknya buih ketika banjir besar, tetapi mereka lemah, meskipun banyak Sehingga mereka diancam oleh kehancuran dari dalam, laksana layu dimakan bubuk. Se-babnya ialah karena kamu telah mengalih cinta kamu kepada dunia dan takut menghadapi maut.
Sifat kepemimpinan beliau yang kedua ialah “Sangat ingin akan kebaikan kamu." Per-tama, merasa sangat berat dalam jiwanya jika kamu ditimpa bahaya. Kedua, merasa sangat ingin, sangat mengharap agar kamu mendapat kebaikan. Perhatiannya siang dan malam hanyalah bagaimana supaya kamu baik, bagaimana supaya kamu maju, selamat hubunganmu dengan Allah dan selamat pula hubunganmu sesama manusia.
Kedua sifat itulah yang menentukan sikap dan gerak langkah beliau, baik ketika me-nangkis serangan musuh atau saat menyerbu negeri lawan. Dan kedua sifat itu diiringi lagi oleh dua perasaan yang sangat mulia, yaitu belas kasihan dan penyayang. Kedua sifat ini, di dalam ayat ini, disebut oleh Allah terhadap diri Muhammad ﷺ menurut contoh teladan sifat Allah sendiri, yaitu Rauf dan Rahim: belas kasihan dan hati sayang yang mencapai puncak yang tertinggi sekali, melebihi dan sifat belas kasihan dan hati sayang manusia biasa. Sehingga telah mendekati sifat Allah.
Panjang lebar juga perbincangan ahli-ahli logat tentang arti Rauf dan Rahim ini. Kata mereka, Rauf yang kita artikan belas kasihan ini ialah khusus kepada yang lemah. Belas kasihan kepada yang miskin, yang melarat, yang sakit, yang gagal, anak yatim kematian ayah, dan se-bagainya. Dapatlah kita baca satu di antara riwayat belas kasihan beliau itu, yaitu seketika Ja'far bin Abi Thalib telah mencapai syahid di Perang Mu'tah. Beliau suruhkan orang-orang mengantarkan makanan beramai-ramai, bergotong royong kepada keluarga Ja'far itu, karena mereka tengah ditimpa sedih. Dan dibu-juknya anak-anak ja'far yang masih kecil-kecil.
Bercerita Abdullah bin Ja'far, “Tiga hari setelah berita kematian ayahku sampai, beliau pun datang ke rumah kami. Lalu beliau berkata kepada kami, ‘Jangan kalian tangisi juga saudaraku itu sejak hari ini' Dan kami beliau panggil dengan sebutan, Anak saudaraku!'"
Kata Abdullah selanjutnya, “Kami dibawa ke hadapan beliau, masih laksana anak ayam yang sedang menciap-ciap karena masih kecil. Lalu beliau suruh panggil seorang tukang cukur, kepala kami pun dicukur. Setelah kami habis bercukur, beliau dumi kami lalu beliau berkata, ‘Si Muhammad ﷺ ini wajahnya serupa nian dengan wajah paman kami Abi Thalib, tetapi yang Abdullah ini serupa bentuk badannya dan perangainya dengan daku.' Kemudian itu beliau ambil tanganku diremas-remasnya dengan lemah lembutnya dan beliau pun berdoa,
“Ya Allah, semoga Engkau adakan silihan Ja'far kepada anaknya, dan berilah kiranya ya Allahku, limpahan berkat bagi Abdullah dalam usaha hidupnya kelak.' Beliau doakan demikian sampai tiga kali!"
Berkata Abdullah selanjutnya, “Kemudian muncul ibu kami, sambil meneteskan air mata, ibu mengeluh tentang keyatiman kami. Maka berkatalah Rasulullah ﷺ kepadanya, ‘Apa yang engkau takutkan kepada kemiskinan? Padahal yang akan menjadi wali mereka di dunia dan di akhirat ialah aku?'
Berpuluh tahun kemudian, terkenallah Abdullah bin Ja'far itu sebagai salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang hartawan dan dermawan. (Tengok sejemput kisahnya di per-mulaan tafsir Juz 4).
Contoh-contoh begini sebagai perangai Rauf beliau amatbanyak. Bukankah beliau yang bersenda-gurau dengan seorang perempuan tua, dikatakannya bahwa perempuan kalau sudah tua tidak boleh masuk surga, lalu perempuan itu menangis. Maka beliau bujuk kembali dan beliau katakan, perempuan tua tidak boleh masuk surga, sebab itu segala perempuan yang telah tua akan dimudakan terlebih dahulu, baru boleh masuk ke surga. Perempuan tua itu tersenyum kembali.
Bukankah beliau tatkala hidupnya membuat peraturan bahwa orang Muslim yang mati dalam berutang, beliau yang akan membayar utangnya?
Kemudian ahli logat menyatakan bahwa sifat Rahim lebih umum dari sifat Rauf. Kasih dan sayang meliputi dan merata, kepada yang miskin dan kepada yang kaya. Kepada yang gagal atau kepada yang jaya. Maka ketiga sifat ini, merasa berat kalau umat yang dipimpin mendapat celaka, dan merasa sangat ingin agar yang dipimpin beroleh jaya, ditambah dengan belas kasih dan hati sayang, adalah syarat yang mutlak dari berhasilnya pimpinan seorang pemimpin. Muhammad ﷺ mencapai puncak sifat itu, sehingga Allah sendiri yang dengan
ayat ini menjelaskan bahwa bagi Muhammad ﷺ sifat itu, sudah menyerupai sifat Allah. Kemudian datanglah ayat yang terakhir,
Ayat 129
“Maka jika sekiranya mereka berpaling, katakanlah, ‘Cukuplah bagiku Allah.'"
Alangkah terharunya kita melihat pertalian ayat yang dua ini. Lebih dahulu Allah bercerita, khusus untuk kita umat Muhammad saw, ini, tentang siapa Nabi kita itu. Dia adalah kita, sebab timbul dalam kalangan kita. Orang Arab boleh menafsirkan bahwa beliau adalah dari kalangan mereka, sebab beliau orang Arab. Kita umat manusia keturunan Adam, boleh pula berkata, dia adalah kita, sebab satu keturunan dengan kita. Bukan malaikat dan bukan dewa, dan lagi bukan Allah. Setelah itu Allah sendiri memuji kemuliaan budinya, cinta kasihnya kepada kita, umatnya. Dia merasa sangat berat, sebagai suatu tekanan jiwa kalau melihat kita ditimpa susah. Siang malam beliau menginginkan agar kita beroleh kebajikan dan kemajuan. Beliau belas kasihan dan kasih sayang, sehingga telah mendekati Rauf dan Rahim-Nya Allah.
Kemudian datanglah ayat ini, sekarang Allah menolehkan kata-Nya kepada beliau sendiri. Di dalam bahasa Arab pertalian kata ini disebut iltifaat.
Seakan-akan demikianlah arti dan tafsir kelengkapan ayat ini."Wahai Muhammad! Meskipun sudah demikian kasih sayangmu kepada mereka itu, kalau masih ada juga yang berpaling, yang menyambut cintamu dengan kebencian, yang laksana bertepuk sebelah ta-ngan, janganlah engkau pedulikan itu. Sebab benci manusia dan sikap mereka yang tidak membalas budi, tidak akan memengaruhi jalan perjuanganmu. Katakanlah bahwa bagiku, orang sayang atau benci, orang menerima atau menolak, tidaklah akan dapat menggeser pendirianku. Sebab bagiku Allah itu sudah cukup tempat aku berlindung. Walaupun ada manusia yang berpaling dari seruanku, belas kasihanku mereka sambut dengan kebencian, namun bagiku kasih sayang Allah kepadaku, cukuplah dari segala apa pun yang ada di dunia ini."
Sebab “Tidak ada Allah melainkan Dia." Aku tidak menyembah yang lain, melainkan menyembah Allah. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari yang lain. Yang aku harapkan hanyalah ridha Allah. Aku pun tidak takut kepada siapa, sebab tempat aku takut hanya Allah."Kepada-Nyalah aku bertawakal." Menyerah diri. Disambut orang pesanku, adalah itu dengan karunia Allah, maka aku pun bersyukur. Ditolak orang dakwahku; aku pun bersabar, sebab Allah mencobaiku. Senang dan susah dalam perjuangan tidak akan bersandar kepada yang lain. Tempat aku berserah diri, bertawakal dan bersandar, hanya Dia. Allahku!
“Dan Dia adalah yang empunya Ansy yang Agung"
Arsy kadang-kadang diartikan singgasana, atau mahligai, atau takhta, kursi kebesaran ke-rajaan tempat seri baginda raja bersemayam. Oleh sebab itu, apabila Allah disebut sebagai Allah dari Arsy yang Besar, artinya ialah bahwa Allah-lah yang menguasai segala-galanya, mengatur, mengendalikan. Arsy-Nya adalah ‘Azhim, Besar dan Agung. ‘Azhim di sini kita artikan agung, dari segala macam keagungan. Bahkan tidak ada satu Arsy pun di dalam dunia ini, selama masih Arsy alam, yang patut disebutkan agung. Arsy raja-raja berganti naik dan berganti tumbang. Arsy Fir'aun Amun-teheb yang bertakhta di istana Mesir 4.000 tahun yang telah lalu, setelah digali orang dari dalam tanah, sekarang telah menjadi penghias museum barang-barang kuno di Mesir. Kursi emas singgasana tempat bersemayam as-Sultan Adam al-Watsiq bil-Lahi, kayu ulin yang mahal bersalutkan emas, ketika baginda berkuasa di Banjarmasin sebelum ditaklukkan Belanda, sekarang ada di dalam Museum Jakarta. Tongkat Komando Marsekal Goering, orang kedua Nazi sesudah Hitler, sekarang dapat ditonton di dalam museum Sekolah Miter di New Haven, Conecticut Amerika Serikat. Jatuh ke tangan Amerika, sebab yang memimpin penaklukkan Jerman ialah Jenderal Eishenhouwer.
Tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah Arsy Allah,
Kononnya menurut riwayat Ubay bin Ka'ab, ayat inilah yang paling akhir turun. Dan tersebut pula di dalam riwayat bahwasanya ketika Sayyidina Abu Bakar telah membentuk sebuah panitia menyusun Al-Qur'an menjadi satu naskhah (mushaf), meskipun banyak sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang hafal ayat ini, yang memang mendengar di waktu beliau bacakan tidak ada yang mencatat. Maka setelah seluruh catatan-catatan para sahabat dikumpulkan, paling akhir bertemulah catatan kedua ayat ini di tangan dua orang saja, yaitu Khuzaimah bin Tsabit dan Abu Khuzaimah. Cuma ada selisih pendapat, meskipun sepakat semuanya dan hafal semuanya ayat ini, yaitu di manakah agaknya turunnya, di Mekah atau di Madinah. Kalau turun di Mekah, tentu akan disusunkan kepada surah yang turun di Mekah. Kalau dia turun di Madinah, tentu akan dicantumkan pada salah satu surah yang turun di Madinah.
Kalau ada di kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yang berpendapat bahwa ayat yang dua ini turun di Mekah, sedang Ubay bin Ka'ab banyak ingatannya dan hafalannya tentang surah-surah yang turun di Madinah, lalu Sayyidina Utsman bin Affan memutuskan dan memerintahkan meletakkan kedua ayat itu. Dan kepada Zaid bin Tsabit, setelah menerima catatannya dari Khuzaimah bin Tsabit dan Abu Khuzaimah, maka tepatlah perintah Sayyidina Utsman itu. Sebab sebagai kita ketahui penyusunan surah Bara'ah ini adalah tauqif, artinya dihentikan Rasulullah ﷺ sebab beliau telah dekat wafat dan diserahkan kepada kebijak-saan penggantinya. Dan, di dalam surah-surah yang lain karena menilik pada suasana susunan dan isi ayat-ayat, pernah juga Rasulullah ﷺ menyuruh mencatat ayat yang turun di Madinah di dalam surah yang turun di Mekah, sebagai dilihat pada ayat-ayat terakhir dari surah asy-Syu'araa' (turun di Mekah), di sana dimasukkan dari hal ahli-ahli syair. Sedangkan ayat itu turun di Madinah.
Sebagai penutup dari surah ini, ingin juga kita menyalinkan isi dari sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Abu Dawud dari Abu Darda dan dari riwayat lain yang dirawikan oleh Ibnus Sunni dari Abu Darda juga. Berkata Nabi ﷺ,
“Barangsiapa yang menyebut ketika pagi dan seketika petang: “Hasbiyallahu laa Itaaha itlla huwa ‘alaihi tawakaltu, wa huwa, Rabbul Arsyil Aazhim, sampai tujuh kali, akan dicukupkan oleh Allah, atasnya apa yang membuatnya susah dalam urusan dunia dan akhirat." (HR Abu Dawud dan Ibnus Sunni)