Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
قَٰتِلُواْ
perangilah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَلُونَكُم
(mereka) mengelilingimu/sekitar kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡكُفَّارِ
orang-orang kafir
وَلۡيَجِدُواْ
dan agar mereka mendapati/menemui
فِيكُمۡ
pada kamu
غِلۡظَةٗۚ
kekuatan/kekerasan
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
bersama
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
قَٰتِلُواْ
perangilah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَلُونَكُم
(mereka) mengelilingimu/sekitar kamu
مِّنَ
dari
ٱلۡكُفَّارِ
orang-orang kafir
وَلۡيَجِدُواْ
dan agar mereka mendapati/menemui
فِيكُمۡ
pada kamu
غِلۡظَةٗۚ
kekuatan/kekerasan
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
bersama
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir di sekitarmu dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu) yakni mereka yang tinggal berdekatan dengan kalian, kemudian mereka yang dibilang tinggal berdekatan dengan kalian (dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripada kalian) artinya berlaku keraslah kalian terhadap mereka (dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa) bantuan dan pertolongan-Nya akan selalu menyertainya.
Tafsir Surat At-Taubah: 123
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap keras dari kalian, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Allah ﷻ memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk memerangi orang-orang kafir secara bertahap, mulai dari yang paling dekat jangkauannya dengan negeri Islam. Karena itulah Rasulullah ﷺ mulai memerangi kaum musyrik di Jazirah Arabia terlebih dahulu. Setelah selesai dari mereka, maka Allah memberikan kemenangan kepada Rasul-Nya atas kota Mekah, Madinah, Taif, Yaman, Yamamah, Hajar, Khaibar, dan Hadramaut serta lain-lainnya dari daerah-daerah yang terdapat di dalam Jazirah Arabia.
Dan orang-orang dari seluruh kabilah Arab Badui mulai masuk ke dalam agama Allah (Islam) secara berbondong-bondong. Kemudian Rasulullah ﷺ mulai memerangi ahli kitab. Untuk itu beliau membuat persiapan guna berperang melawan kerajaan Romawi yang merupakan daerah yang paling dekat dengan Jazirah Arabia; dan mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk mendapat dakwah Islam, mengingat mereka adalah ahli kitab. Hal ini telah dilakukan oleh Nabi ﷺ sampai di Tabuk. Kemudian beliau ﷺ kembali pulang karena melihat kondisi kaum muslim yang payah, negerinya sedang paceklik dan penghidupan yang sempit. Hal ini terjadi pada tahun sembilan Hijriah. Pada tahun sepuluh Hijriah Nabi ﷺ sibuk dengan haji wada'nya. Tidak lama kemudian, beliau wafat, yaitu delapan puluh satu hari sesudah menunaikan haji wada'nya. Allah telah memilihnya untuk tinggal di sisi-Nya.
Kemudian urusannya dipegang oleh penggantinya, yaitu Khalifah Abu Bakar As-Siddiq r.a. Saat itu agama mulai agak menyimpang dan hampir saja goyah, lalu ditegakkan lagi oleh Allah ﷻ melalui Khalifah Abu Bakar. Maka Abu Bakar mulai mengukuhkan pilar-pilarnya, memperkuat pondasi agama, menghajar orang-orang yang murtad dari agamanya hingga ke akar-akarnya, serta mengembalikan ahli riddah (orang-orang yang murtad) kepada Islam. Dia memungut zakat dari orang-orang yang membandel tidak mau bayar zakat, dan menjelaskan kebenaran kepada orang-orang yang tidak mengerti. Dia melanjutkan misi yang dirintis oleh Rasulullah ﷺ. Kemudian Khalifah Abu Bakar mulai mempersiapkan pasukan Islam untuk memerangi orang-orang Romawi penyembah salib, juga untuk memerangi orang-orang Persia penyembah api.
Maka Allah telah membukakan banyak negeri berkat kepemimpinannya, dan mengalahkan Kisra dan Kaisar serta orang-orang yang tunduk kepada keduanya, sehingga ia dapat membelanjakan perbendaharaan yang dihasilkan dari kedua negeri itu untuk perjuangan di jalan Allah. Perihalnya persis seperti yang pernah diberitakan oleh Rasulullah ﷺ sebelum itu. Urusan itu baru dapat diselesaikan secara sempurna di tangan khalifah sesudahnya, yaitu Umar Al-Faruq alias Abu Hafs Umar ibnul Khattab r.a. Melaluinya Allah mengalahkan kecongkakan orang-orang kafir yang atheis dan menekan orang-orang durhaka serta orang-orang munafik. Khalifah Umar berhasil menguasai berbagai kerajaan di belahan timur dan barat dan membawa perbendaharaan harta dari negeri-negeri yang dibukanya baik yang dekat maupun yang jauh ke Madinah. Lalu ia mengalokasikannya ke jalan-jalan yang diridai oleh syariat.
Setelah Khalifah Umar r.a. wafat sebagai seorang syahid yang selama hidupnya dijalani dengan sikap yang terpuji, maka para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Ansar sepakat untuk mengangkat Usman ibnu Affan r.a. sebagai khalifah yang menggantikannya. Dalam masa pemerintahannya dia memakaikan kepada Islam pakaian kepemimpinan (pengaruh) dan perhiasan yang berlimpah (kekayaan yang berlimpah) dan hujah Allah berhasil ia sebarkan ke seluruh antero negeri yang dikuasainya, sehingga Islam tampak menang di belahan timur dan barat dari bumi ini, kalimat Allah menjadi tinggi, dan agama-Nya berada di atas. Misi agama Islam yang hanif telah berhasil ia sampaikan kepada musuh-musuh Allah dengan cara yang paling tepat.
Setiap kali mereka beroleh kemenangan atas suatu umat, maka mereka beralih kepada umat yang lainnya, kemudian beralih lagi kepada umat lainnya yang durhaka lagi zalim, demi mengamalkan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada di sekitar kalian itu.” (At-Taubah: 123)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah mereka merasakan sikap keras dari kalian.” (At-Taubah: 123) Maksudnya, hendaklah orang-orang kafir itu merasakan adanya sikap yang keras dari kalian dalam perang kalian melawan mereka. Karena sesungguhnya orang mukmin yang kamil ialah orang yang lemah lembut terhadap saudaranya yang mukmin dan keras terhadap musuhnya yang kafir seperti yang telah disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman Nya:
“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 54)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku adalah orang yang banyak tertawa, tetapi banyak berperang.” Artinya, banyak tertawa di hadapan kekasihnya dan banyak berperang melawan musuh-musuhnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 123)
Yakni perangilah orang-orang kafir dan bertawakallah kepada Allah serta ketahuilah bahwa Allah selalu beserta kalian jika kalian bertakwa dan taat kepada-Nya. Demikianlah keadaan di masa tiga generasi yang merupakan sebaik-baik umat ini. Mereka sangat lurus dan mengerjakan ketaatan kepada Allah ﷻ sehingga mereka selalu mengalami kemenangan atas musuh-musuh mereka. Kemenangan demi kemenangan berhasil mereka raih dengan sangat banyak, dan musuh-musuh mereka masih tetap berada di bawah dan selalu mengalami kerugian.
Tetapi setelah terjadi banyak fitnah, kecenderungan golongan mulai muncul, dan perselisihan di antara raja-raja Islam terjadi di mana-mana, maka musuh-musuh Islam mulai berani mengganggu perbatasan-perbatasan negeri Islam. Lalu musuh-musuh Islam maju menyerangnya dan tidak menemukan perlawanan yang berarti karena para raja sedang sibuk satu sama lainnya dengan urusan yang terjadi di antara sesama mereka. Kemudian musuh lebih berani lagi majunya, lalu mereka merebut banyak negeri yang terletak jauh dari pusat.
Mereka maju terus dan menguasai banyak negeri yang tadinya di bawah kekuasaan Islam. Semuanya itu terjadi atas kehendak Allah ﷻ. Setiap kali muncul seorang raja Islam yang taat kepada perintah-perintah Allah serta bertawakal kepada-Nya, maka Allah memberikan kemenangan kepadanya dan berhasil merebut kembali negerinya dari tangan musuh-musuh Islam berkat ketaatannya kepada Allah ﷻ. Hanya kepada Allah sajalah kita berharap, semoga kaum muslim dapat mengalahkan musuh-musuh-Nya yang kafir dan meninggikan kalimat Islam di seluruh negeri. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Setelah dijelaskan pentingnya memperdalam pengetahuan agama dan menyebarluaskannya kepada masyarakat luas, lalu dijelaskan sikap ketika menghadapi orang kafir yang memusuhi orang mukmin. Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu apabila mereka memerangi kamu, dan hendaklah mereka merasakan, mengetahui dan menyaksikan sikap tegas dan semangat juang yang tinggi darimu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu jangan pernah putus asa apalagi menyerah. Setelah dijelaskan kebolehan orang mukmin memerangi orang yang melakukan penyerangan, lalu dijelaskan perbedaan antara orang munafik dengan orang yang beriman apabila mendengar bacaan AlQur'an. Dan apabila diturunkan suatu surah dari Al-Qur'an yang berisi ajakan beriman, maka di antara mereka, yakni orang-orang munafik ada yang berkata sebagai nada ejekan, Siapakah di antara kamu, sesama munafik, yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini' Adapun orang-orang yang beriman, maka surah yang diturunkan ini menambah imannya yang selama ini sudah tertanam di dada mereka, dan mereka merasa gembira dengan bertambahnya pengetahuan mereka lantaran ayat-ayat tersebut.
Pedoman dan petunjuk berperang yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin adalah lebih dahulu memerangi musuh-musuh Islam yang berada pada garis lingkaran yang terdekat dengan pusat kedudukan umat Islam, kemudian dilanjutkan kepada lingkaran yang lebih jauh.
Hal ini didasarkan kepada prinsip, bahwa peperangan yang dilakukan umat Islam hanyalah untuk mengamankan jalannya dakwah Islamiyah dan untuk melindungi keselamatan umat Islam, sedang dakwah tersebut juga dimulai dari orang-orang yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang lebih jauh. Dengan demikian, terlihat adanya keselarasan antara dakwah Islamiyah dan peperangan tersebut.
Petunjuk ini telah dilaksanakan dengan baik oleh Rasulullah saw, baik dalam bidang dakwah, maupun peperangan yang berfungsi untuk meng-amankan dakwah tersebut. Mengenai dakwah, beliau telah melaksanakannya lebih dahulu kepada keluarganya yang terdekat dan sahabat-sahabat karibnya, sesuai dengan petunjuk Allah.
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (asy-Syu'ara/26: 214)
Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:
?dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. (al-An'am/6: 92)
Kemudian, dakwah ini beliau lanjutkan kepada masyarakat yang lebih luas, tidak saja dalam lingkungan negeri Arab, bahkan kepada raja-raja dan bangsa-bangsa sekitar Jazirah Arab.
Demikian pula dalam hal peperangan, sesuai dengan ayat-ayat sebelum-nya dimulai dari musuh-musuh Islam yang terdekat, yang selalu melakukan tipu daya untuk menghalang-halangi kelangsungan dakwah Islamiyah. Kemudian dilanjutkan kepada suku-suku Arab yang lebih jauh dari pusat kedudukan atau basis umat Islam. Sesudah Rasulullah ﷺ wafat, maka para khalifah sesudahnya meneruskan peperangan tersebut ke daerah-daerah yang lebih jauh, yaitu ke negeri Syam (Syria) dan Irak. Kemudian menyusup ke benua Afrika (sebelah Barat) dan Persia, Khurasan, bahkan sampai ke pegunungan Hindukust (sebelah Timur) sesuai dengan perluasan dakwah Islamiyah.
Musuh-musuh Islam yang terdekat kepada Rasulullah dan kaum Muslimin ketika itu ialah orang-orang kafir yang terdiri dari kaum Yahudi yang berdiam di kota Medinah, kemudian di Khaibar, dan selanjutnya mereka yang memerangi kaum Muslimin di Perang Tabuk, dan sesudah itu musuh-musuh Islam di daerah-daerah Syam yang ketika itu berada dalam kekuasaan Romawi Timur yang berpusat di Bizantium.
Strategi perang dengan cara memulai dari yang terdekat kepada yang jauh, adalah tepat sekali, ditinjau dari berbagai segi, yaitu: dari segi kemungkinan fasilitas pengangkutan, perbekalan, dan biaya. Semakin dekat tempatnya, semakin mudah cara-cara pengangkutan, dan dengan demikian semakin kecil pula biaya dan perbekalan yang diperlukan. Semakin jauh tempat yang harus didatangi, semakin sukar pula pengangkutan, dan semakin banyak pula waktu dan perbekalan yang diperlukan. Dengan sendirinya semakin banyak biaya dan tenaga yang dibutuhkan.
Perang dalam tuntunan ajaran Islam adalah perjuangan yang harus dipersiapkan untuk terciptanya perdamaian sebagaimana pepatah dalam bahasa Arab, yang diungkapkan dalam kalimat:
Perdamaian yang dipersenjatai
Dalam kaidah umum biasa dikatakan, kita harus selalu siap berperang untuk menciptakan perdamaian. Jika kita tidak dalam keadaan siap perang maka musuh setiap saat dapat menyerang kita, tetapi jika kita dalam keadaan siap perang maka musuhpun tidak berani menyerang kita.
Karena itulah dalam Al-Qur'an, terutama Surah at-Taubah banyak mengungkapkan persoalan perang dan petunjuk-petunjuk kepada umat Islam untuk selalu siap berperang dengan berbagai stretegi untuk mewujudkan perdamaian.
Allah memberikan petunjuk-Nya, agar kaum Muslimin mampu meng-gunakan kekerasan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah, apabila jalan diplomasi dan perlakuan yang lemah lembut dan ramah tamah tidak bermanfaat lagi untuk mereka. Kaum Muslimin diperintahkan untuk bersikap adil, kasih sayang, dan ramah tamah kepada orang-orang bukan Islam. Akan tetapi bila mereka tetap mengganggu kepentingan umat Islam, terutama dakwah Islamiyah, maka kaum Muslimin harus menggunakan kekuatan dan kekuasaan, sehingga mereka menghentikan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Hal ini tersebut pula dalam firman Allah pada ayat yang lain:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (at-Taubah/9: 73)
Dengan demikian jelaslah bahwa kaum Muslimin harus siap mengguna-kan dua macam sikap dalam menghadapi orang kafir dan munafik yaitu, pertama sikap diplomasi yang luwes, lembut, dan ramah tamah jika mereka mau diajak berdamai. Orang kafir dalam hubungan ini disebut sebagai kafir mu'ahidi atau kafir zimmi, jika mereka termasuk warga negara kita. Kedua, tegas dan bila perlu mempergunakan kekuatan, apabila mereka tidak mau diajak hidup berdampingan secara damai. Orang kafir dalam kondisi demikian disebut sebagai kafir harbi, sehingga tidak ada jalan menghadapi mereka kecuali dengan kekuatan dan peperangan.
Pada akhir ayat ini Allah meyakinkan orang-orang yang bertakwa, bahwa Dia senantiasa bersama mereka. Artinya Allah memberikan jaminan kepada orang-orang yang bertakwa, yaitu yang senantiasa menjaga hukum-hukum dan ketentuan Allah, bahwa Dia akan selalu memberikan bantuan dan pertolongan-Nya. Ketentuan-ketentuan Allah yang perlu diperhatikan dalam masalah peperangan ialah agar umat Islam tidak lalai dalam mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk mencapai kemenangan, yaitu kekuatan fisik dan mental. Kekuatan fisik mencakup: prajurit yang berbadan sehat dan kuat, alat-alat senjata yang efektif, kubu-kubu pertahanan yang tangguh, serta perbekalan dan perlengkapan yang cukup. Sedang kekuatan mental ialah: niat yang ikhlas, semangat yang tinggi, kesabaran dan keuletan yang tangguh, serta siasat perang yang jitu serta disiplin yang kuat, dan persatuan yang kokoh. Termasuk pula etika perang dan moral yang tinggi, yaitu tidak berlaku zalim terhadap wanita, anak-anak, orang tua yang lemah, serta tidak pula berlaku kejam terhadap orang-orang yang sudah menyerah atau tertawan, selama mereka ini tidak membahayakan bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Untuk mencapai kemenangan ini diperlukan iman yang kokoh, serta ingat dan tawakkal kepada Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PEMBAGIAN TUGAS
Pada ayat 38 (Juz 10) sudah datang teguran Allah kepada seluruh orang yang beriman bahwa kalau nafir atau seruan berperang telah datang, apakah mereka akan memberatkan diri ke bumi? Apakah mereka lebih ridha akan hidup di dunia, padahal hidup di dunia itu dibandingkan dengan akhirat, hanya sedikit saja, tidak ada artinya! Ayat 43 memberi per-ingatan bertambah jelas lagi, yaitu kalau nafir peperangan telah tiba, segeralah bersiap, baik secara ringan maupun secara berat. Tidak ada yang boleh ketinggalan. Setelah itu datanglah perintah khusus pada ayat 120 terhadap penduduk Madinah dan Arab yang tinggal sekelilingnya bahwa mereka tidak pantas berpangku tangan dan mencecerkan diri, acuh tak acuh, untuk pergi bersama Rasulullah ﷺ
Sekarang datang ayat 122 yang berbunyi begini,
Ayat 122
“Dan tidaklah (boleh) orang-orang yang beriman ikut semuanya."
Seperti juga ayat-ayat 113 dan 120, di sini sama bunyi pangkal ayat. Yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata ke medan perang."Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama."
Dengan susun kalimat faiaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Allah telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan maupun secara berat. Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian (fiqih) tentang agama, sebab tidaklah pula kurang penting jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi. Apa yang diperjuangkan di garis muka, kalau tidak ada di belakang yang mengisi ruhani?
Suatu hal yang terkandung dalam ayat ini yang mesti kita perhatikan, yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama.
Di ayat 42 telah tersebut bahwa kalau seruan peperangan (nafir) telah datang, hendaklah pergi berperang, biar ringan atau berat, muda ataupun tua, bujang belum berumah tangga atau sudah berkeluarga. (Lihat kembali pada Juz 10 ketika menafsirkan ayat 42). Jika dilihat sepintas lalu seakan-akan ada perlawanan di antara ayat 42 tersebut dengan ayat 122 ini. Sebab di ayat 122 ini dijelaskan bahwa tidaklah baik jika orang yang beriman itu turut semuanya. Padahal tidaklah kedua ayat ini bertentangan atau berlawan dan tidak pula terjadi nasikh mansukh. Sebab di ayat 122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu keluar jika panggilan sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah ﷺ mendaftarkan dirinya, ringan maupun berat, muda ataupun tua. Namun hendaklah dari golongan-golongan yang banyak itu, yang pada waktu itu datang berbondong kepada Rasulullah ﷺ, ada satu kelompok (thaifaturi), yang bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya dalam hal agama.
Tegasnya adalah bahwa semua golongan itu harus berjihad, turut berjuang. Tetapi Rasulullah ﷺ kelak membagi tugas mereka masing-masing. Ada yang berjihad ke garis muka dan ada yang berjihad di garis belakang. Sebab itu, kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah sebagian dari jihad juga.
Terdapatlah hadits-hadits yang memberi kedudukan seorang yang alim dalam hal agama sama atau tinggi setingkat dari orang yang berjihad fi sabilillah.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Manusia yang paling dekat kepada derajat nubuwwat ialah ahli ilmu dan ahli jihad. Adapun ahli ilmu, merekalah yang menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh rasul-rasul. Dan adapun ahli jihad, maka merekalah yang berjuang dengan pedang-pedang mereka, membawa apa yang dibawa oleh rasul-rasul itu." (HR Abu Nu'aim dari Ibnu Abbas)
Dan sabda Rasulullah ﷺ pula,
“Ditimbang di hari Kiamat tinta orang-orang yang aJim dengan darah orang-orang yang mati syahid." (HR Ibnu Abdil Bar dari Abu Darda')
Kedua hadits ini, meskipun sanadnya lemah, telah disalinkan oleh Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumiddin. Meskipun kedua hadits ini dhaif. Oleh karena di dalam ayat Al-Qur'an, baik ayat 42, yang menyuruhkan semua wajib tampil ke medan perang, atau ayat 122 yang tengah kita tafsirkan menyuruh adakan pembagian tugas di antara setiap Mujahidin, maka kedua hadits ini tidaklah perlu disingkirkan lagi karena terdapat dha'if sanadnya. Sebab dia telah kembali bernilai tinggi karena sudah asal ayat Al-Qur'an yang memberikan keterangan tegas. Malahan di ayat ini sudah jelas bahwa orang-orang yang beriman itu tidaklah semua berbondong ke garis depan, bahkan mesti ada yang menjaga garis belakang, garis benteng ilmu pengetahuan.
Bolehlah kita perhatikan di dalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ sendiri setelah beliau wafat. Khalifah-khalifah yang besar yang berempat, meskipun mereka mempunyai pengetahuan agama yang dalam, tetapi mereka menjadi pimpinan umum dalam kenegaraan dan peperangan. Apabila terdesak dalam soal-soal yang pelik, mereka memanggil ahli-ahli untuk bermusyawarah. Sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang pada tingkat kedua, meskipun mereka itu ahli juga dalam peperangan, tetapi mereka menjuruskan perhatian kepada soal-soal ilmu agama. Sebab itu sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, lebih mendalam penyelidikan mereka dan diberi waktu yang luas memahamkan agama. Abdullah bin Mas'ud yang membunuh dalam Perang Badar, adalah ulama! Demikian juga Zaid bin Tsabit dan Hassan bin Tsabit. Zaid bin Tsabit terkenal sebagai sahabat Rasulullah ﷺ yang ahli dalam ilmu faraidh (pembagian harta pusaka). Ibnu Abbas didoakan Rasulullah ﷺ agar diberi Allah pengertian yang mendalam dari hal agama.
Ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Dan golongan yang besar itu adakan satu kelom-pok; cara sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan khusu', yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam soal-soal keagamaan belaka.
Boleh dikatakan, selama Rasulullah ﷺ masih hidup, keadaan selalu di dalam keadaan perang. Cara sekarangnya ialah selalu berevolusi. Musuh-musuh mengepung dari segala penjuru. Maka ayat ini memberi tuntunan jangan lengah tentang nilai apa yang sebenarnya diperjuangkan.
Yang diperjuangkan adalah agama. Oleh sebab itu, semua orang harus ada pengertian tentang itu. Cara sekarangnya mesti ada indoktrinasi ideologi. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader yang selalu siap sedia.
“Supaya mereka memberi ancaman kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka itu, supaya mereka berhati-hati"
Itulah inti kewajiban dari kelompok yang tertentu memperdalam paham agama itu, yaitu supaya dengan pengetahuan mereka yang lebih dalam, mereka dapat memberikan peringatan dan ancaman kepada kaum mereka sendiri apabila mereka kembali pulang.
Ayat inilah yang telah menjadi pokok pedoman di dalam masyarakat Islam, yang telah digariskan oleh Rasul sendiri, diteruskan oleh khalifah-khalifah yang datang di belakang, baik Khulafaur Rasyidin, atau Bani Umaiyah atau Bani Abbas, dan menjadi pegangan terus-menerus dari zaman ke zaman. Yaitu tentang adanya tenaga-tenaga yang dikhususkan untuk memperdalam pengertian tentang agama. Kadang-kadang terjadi pergolakan politik, perang saudara, perebutan kekuasaan, pergelaran Bani Umaiyah kepada Bani Abbas. Namun seluruh yang berkuasa itu mengkhususkan dan menganjurkan ahli-ahli penyelidik agama. Itu sebabnya maka kita mendapati nama-nama ulama besar seperti Atha dan Mujahid. Said bin jubair, Said bin al-Musayyab, dan Hasan al-Bishri, di samping nama-nama raja-raja Bani Umaiyah sebagai Mu'awiyah, Abdul Malik bin Marwan, dan lain-lain. Itu sebabnya kita melihat nama Imam Malik bin Anas di samping kekuasaan besar dari Khalifah al-Manshur dari Bani Abbas. Demikian juga nama Imam Abu Hanifah di zaman itu juga. Dan nama Imam Syafi'i di samping nama Khalifah Harun al-Rasyid, dan nama Imam Ahmad bin Hanbal di samping nama Khalifah al-Ma'mun dan al-Mu'tashim
Di dalam Islam tidak ada kependetaan, yang ada ialah orang yang mengambil lapangan keahlian dalam hal agama. Mereka menjaga hukum agar tegak. Khalifah sendiri datang bertanya kepada mereka. Mereka bukanlah advisur, pemberi nasihat raja dalam satu hal, dan diikuti advisnya kalau raja suka mendalam sehingga berhak diberi gelar ulama, sesudah mendapat tugas belajar secara mendalam, mendapat tugas lanjutan, yaitu memim-pin kaumnya, sarjana belum tentu pemimpin. Tetapi ulama berkewajiban memimpin.
Ajaran Islam itu mengutamakan akhlak bersamaan dengan ilmu. Bagi seorang ulama Islam, ilmu bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga buat dipimpinkan.
Setelah diterangkan pembagian tugas itu, sehingga ilmu dan pengertian agama bertambah mendalam, datanglah lanjutan ayat,
Ayat 123
“Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang yang sekeliling kamu dari kafir-kafir itu, dan hendaklah mereka dapati pada kamu ada kekerasan sikap."
Setelah ada pembagian tugas, garis belakang dan garis depan, yang memperdalam pengertian agama dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu perang, maka hendaklah seluruh kekuatan itu dibulatkan untuk menghadapi musuh. Dalam ayat ini, sebagai sebab turun ayat, diterangkan bahwa yang wajib diperangi oleh kaum beriman penduduk Ma-dinah dan kampung-kampung sekelilingnya di bawah pimpinan Nabi ﷺ itu ialah kafir-kafir yang mengelilingi mereka.
Menurut riwayat ibnu Abi Hitam dari Ibnu Zaid, yang dimaksud dengan kafir-kafir yang di sekeliling mereka itu ialah seluruh Arab, sampai mereka takluk semua kepada satu hukum, yaitu Hukum Allah. Menurut riwayat yang diterima dari Qatadah, yang dimaksud ialah setapak demi setapak dari yang lebih dekat sampai meluas. Menurut Ibnu Mardawaihi dari riwayat yang diterimanya dari Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar pernah menanyakan kepada Rasulullah ﷺ, siapa yang dimaksud dengan kafir-kafir yang di sekeliling ini. Rasululllah menjawab, ialah orang Rum! Ini pun dapat dipahamkan, sebab ayat ini turun ialah setelah selesai menghadapi Yahudi Tanah Arab yang telah selesai menundukkan mereka dengan Perang Khaibar, dan telah selesai pula mematahkan kekuatan musyrikin Arab dengan jatuhnya Mekah dan Hawazin dan Thad. Ayat ini turun setelah mulai berhadapan dengan bangsa Rum. Dan kekuatan Rum baru dapat dipatahkan di zaman pemerintahan Sayyidina Abu Bakar Shiddiq, dengan kekalahan mereka di Yarmuk. Dan Persia dihancurkan dengan kekalahan mereka di Qadisiyah dan jatuhnya pusat pemerintahan mereka di Madain.
Di dalam ayat ditunjukkan sikap dalam berperang, yaitu sikap keras dan bengis, kelihatan kejam, menakutkan dan menggentarkan musuh. Suasana perang tidaklah mengizinkan orang hidup seakan-akan dalam damai. Tetapi kekerasan sikap di dalam suasana perang, dalam peraturan Islam bukanlah berarti berlaku aniaya dengan semena-mena. Sayyidina Abu Bakar ketika melepas tentara ke medan perang memberikan perintah bahwa gereja dan orang yang tengah beribadah jangan diganggu. Perempuan dan kanak-kanak jangan dibunuh. Dan orang yang menyatakan mau berdamai, wajib segera disambut dan diselenggarakan. Oleh karena itu, kekerasan sikap yang dikehendaki Islam, bukanlah se-bagai kekerasan sikap bangsa-bangsa di zaman perang modern sekarang ini. Bukan menja-tuhkan bom atom sehingga akan hancurlah seluruh peradaban manusia bila perang nuklir terjadi.
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah adalah beserta orang-orang yang bertakwa."
Di dalam perang berkecamuk betapa hebatnya sekalipun, namun Muslim di medan perang wajib terus memegang ketakwaan. Takwa berarti memelihara, awas, dan waspada, baik dalam menjaga hubungan dengan Allah, ataupun di dalam memelihara disiplin, atau persediaan senjata dan perbekalan. Sehingga telah kita ketahui pada surah an-Nisaa' ayat 102 bagaimana memelihara kedua ketakwaan itu. Jika perang terjadi, takwa kepada Allah dilakukan terus dengan mengerjakan shalat dalam caranya sendiri, berbeda dengan shalat di waktu damai dan di luar medan perang, dan senjata tidakboleh lepas dari tangan, walaupun sedang mengerjakan shalat. Takwa yang lain lagi ialah kepatuhan kepada pimpinan, supaya kemenangan tercapai. Jangan terulang lagi kekalahan yang terjadi di Perang Uhud, sebab ada yang tidak patuh kepada pimpinan, lalu meninggalkan pos penjagaan, karena loba akan harta rampasan. Dan ketakwaan yang lain lagi menjaga tujuan berperang, yaitu tidak lain dari menegakkan jalan Allah, bukan karena maksud memperkaya diri sendiri.
• Dan apabila diturunkan satu surah, maka di antara mereka itu ada yang akan berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya oleh surah ini?' Maka adapun orang-orang yang telah beriman, bertambah-tambahlah iman mereka dan mereka pun merasa gembira.
• Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka berpenyakit maka bertambahlah atas mereka sesuatu kekotoran di atas kekotoran mereka, padahal mereka di dalam kafir.
• Dan tidaklah mereka perhatikan bahwa mereka dicoba pada tiap-tiap tahun sekali atau dua kali, kemudian tidak juga mereka tobat, dan tidak juga mereka ingat.
• Dan apabila diturunkan suatu surah, memandanglah yang sebagian mereka kepada yang yang sebagian, “Adakah seseorang yang melihat kamu?" Kemudian itu merekapun berpaling pergi. Allah pun memalingkan hati mereka karena sesungguhnya mereka itu kaum yang tidak mau mengerti.
Telah banyak ayat terlebih dahulu menyebut perangai, kelakuan dan sikap jiwa dan orang munafik, dengan berbagai tingkatnya. Maka sekarang datanglah peringatan penghabisan dalam surah al-Bara'ah ini tentang suatu sikap jiwa mereka lagi, yang dapat kita jadikan alat untuk penyelidikan diri sendiri kalau-kalau ada pula terdapat perangai demikian pada kita, agar kita jauhi.
Ayat 124
“Dan apabila diturunkan satu sunah, maka diantara mereka itu ada yang akan berkata, ‘Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya oleh sunah ini?'"
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang yang munafik itu selalu turut hadir di dalam majelis Rasulullah ﷺ, selalu mendengar ucapan-ucapan dan sabda beliau dan selalu pula mendengar ketika suatu surah atau ayat-ayat diturunkan.
Tetapi karena jiwa mereka munafik, mereka mendengar bukanlah buat mematuhinya, melainkan untuk mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri darinya. Sebab itu kalau suatu ayat turun, adalah di antara orang yang munafik itu yang bertanya sehabis pertemu-an kepada temannya, “Adakah di antara kamu yang percaya akan ayat itu? Apakah itu sebenarnya? Apakah itu semua cuma omong kosong Muhammad ﷺ saja?" Dan lain-lain pertanyaan menunjukkan keraguan hati, atau untuk menimbulkan ragu dalam hati orang lain,
“Maka adapun orang-orang yang, telah beriman, bertambah-tambahlah iman mereka dan mereka pun merasa gembira."
Munafik dengan Mukmin sama-sama mendengar ketika suatu surah diturunkan. Tetapi kesan pada munafik adalah bertambah bangkitnya keraguan, dan kesan pada orang yang beriman, ialah bila ayat turun, iman mereka bertambah. Tiap-tiap suatu surah turun, tiap bertambah pula pengertian iman mereka. Apa sebab jadi demikian? Apakah yang dikatakan Rasul itu, atau surah yang turun itu tidak benar? Sehingga si munafik itu tidak mau menerima, atau mengajak orang lain supaya ragu, sebagai mereka ragu pula?
Di dalam surah al-An'aam ayat 33 (juz 7) yang diturunkan di Mekah, Allah sudah men-jelaskan kepada Rasul-Nya bahwa musyrikin Mekah itu bukanlah mendustakan engkau. Tetapi, orang-orang yang zalim itu memangnya telah ingkar pada ayat-ayat Allah. Demikian juga setelah Nabi Muhammad ﷺ pindah ke Madinah, dan di Madinah beliau bertemu dengan orang-orang munafik. Mereka pun tidak mendapat alasan yang teguh buat mengatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ itu seorang yang berdusta. Tidak bertemu tanda-tanda bahwa dia pembohong. Pernah kita salinkan pengakuan dari Abdullah bin Salam, yang dahulunya seorang Yahudi, maka setelah Rasulullah ﷺ pindah ke Madinah dan dilihatnya wajah beliau dan didengarnya dia bercakap, dia tertarik. Yang amat menarik hatinya ialah sikap Nabi ﷺ sendiri. Dia mendapat kesan bahwa orang ini tidak mungkin berdusta. Adapun munafik-munafik itu lain halnya. Mereka bertanya kepada teman mereka, siapa di antara kalian yang bertambah iman karena mendengar surah ini. Bukanlah karena Muhammad bohong, melainkan me
reka sendinlah yang ingkar, atau juhud kepada ayat itu. Terutama apabila Al-Qur'an mem-beberkan rahasia kebusukan mereka, sakitlah telinga mereka mendengar, sebab tepat-tepat saja pukulan terhadap diri mereka. Jauh bedanya dengan orang yang memang telah tertanam iman. Setiap surah bagi mereka adalah satu kegembiraan hati, sebab jiwa yang sepi menjadi ramai karena mendengar suara kalimat Allah, dan hati yang menderita menjadi terobat.
Lantaran itu hendaklah iman yang telah mulai tumbuh itu dipupuk, sehinga bila suatu ayat terdengar dibaca orang, atau suatu surah, menghunjam hendaknya pengaruhnya ke dalam jiwa raga kita, ke dalam hati sanubari kita.
Ayat 125
“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka berpenyakit"
Kemajuan penyelidikan tentang ilmu jiwa telah membuktikan bahwa hati atau jiwa itu memang bisa ditumbuhi penyakit. Kalau ada orang sakit jantung, atau sakit paru-paru (TBC), atau penyakit limpa (lever), penyakit buah punggung, usus buntu (blindedarm), maka ada lagi sakit jiwa. Maka tumbuhlah ilmu-ilmu yang dinamai psikoanalisa (menurut teori Freud) atau psikoterapi atau psikosomatik, Karena jiwa yang ditimpa suatu penyakit, yang soalnya misalnya dari sedih hati, kecewa, atau terkejut oleh suatu kejadian yang mengerikan, membekaslah dia kepada jiwa itu, dan kerap kali sakit jiwa itu membekas pula kepada badan. Ada orang yang ditimpa sakit merana, padahal setelah diperiksa seluruh tubuh jasmaninya oleh dokter, dan kadang-kadang diselidiki bahagian dalam badannya dengan sinar X (rontgen), dokter tidak menemukan penyakit itu. Tetapi setelah si pasien dibawa kepada dokter ahli jiwa, barulah ternyata bahwa badan jasmaninya tidak ada penyakit, tetapi penyakit telah mengenai jiwanya sendiri.
Di dalam bahasa yang kita pakai sehari-hari terdapat “Sakit hatiku", atau “si anu sakit hati kepada si anu" atau “makan hati berulam jantung" Teranglah bahwa yang disebut sakit hati itu, bukanlah hati sebagai segumpal darah yang ada dalam dada itu ditimpa oleh suatu penyakit, melainkan jiwalah yang sakit. Maka di ayat ini disebutkanlah bahwa orang-orang yang munafik adalah orang yang di dalam hatinya ada sakit. Munafik itu adalah kumpulan dari orang-orang yang sakit hati. Sakit hati karena dendam, dengki, iri hati, rasa tidak puas. Sebab itu perjalanan hidup mereka tidak normal lagi. Yang benar mereka anggap salah, yang salah mereka pandang benar."Maka bertambahlah atas mereka sesuatu kekotoran di atas kekotoran mereka." Artinya, kalau orangnya memang telah sakit hati, atau jiwa berpenyakit, datangnya suatu surah dari Al-Qur'an bukanlah akan menambah sembuh mereka, melainkan menambah sakit. Kekotoran lama yang telah ada, akan bertambah lagi dengan suatu kekotoran baru. Suatu surah bagi mereka bukanlah akan menyembuhkan, melainkan menambah sakitnya,
“Dan mereka pun mati, padahal mereku di dalam kafir."
Di dalam ayat ini kita teringat kembali beberapa pengajaran di dalam Al-Qur'an, tentang bagaimana memelihara iman yang telah ada, supaya hati jangan ditumbuhi penyakit Di dalam surah al-Muthaffifin ayat 14 kita bertemu kalimat yang disebut ji; (…), yang berarti suatu selaput halus yang menutup hati. Selaput atau kerut halus ini, atau boleh juga disebut lendir, selalu mengelilingi dan mencoba menyelubungi hati atau jiwa kita. Maka raana ini wajiblah selalu kita bersihkan. Setiap waktu diwajibkan menyervis jiwa kita, menggosok selalu sehingga jangan sampai raana itu menyelubungi hati, dan janganlah dibiarkan berlarut-larut sehingga raana itu jadi tebal, dan payah untuk membersihkannya. Shalat lima waktu yang dimulai dengan wudhu, adalah salah satu ikhtiar yang pokok untuk membersihkan raana itu. Puasa pun untuk membersihkan raana yang datang dari syahwat perut dan faraj. Zakat pun adalah untuk membersihkan raana yang datang dari sudut harta dari kelobaan. Kalau pembersihan ini dilalaikan, raana bisa bertumpuk membalut dan menyelubungi hati, sehingga dengan tidak disadari kita menjadi munafik atau fasik sama sekali. Kalau munafik telah datang artinya penyakit telah mendalam. Walaupun telah diminumkan obat yang baru atau disuntikkan, tidaklah dia akan menyembuhkan, melainkan menambah parah penyakit. Kadang-kadang dokter berani mengatakan bahwa ini bukan obat minuman lagi, melainkan dipotong (operasi).
Tetapi kalau pembersihan selalu dijalankan, dan kalau datang penyakit menimpa dengan tiba-tiba berani meminum obat betapa pun pahitnya, akan tercapailah kesehatan hati yang tinggi mutunya, iman yang diridhai di sisi Allah.
Coba perhatikan kembali salinan hadits Ka'ab bin Malik salah seorang dari yang bertiga. Di hadits itu diakuinya sendiri bahwa penyakit telah menimpa dirinya, yaitu malas pergi berperang menurutkan Rasulullah ﷺ ke Tabuk. Tetapi, setelah Rasulullah ﷺ pulang, insaflah dia bahwa penyakit atau raana yang telah menimpa hatinya itu dia sendirilah yang wajib mengobatinya. Sebab itu dia bercakap yang benar dan jujur di hadapan Rasulullah ﷺ walaupun dia tahu beliau akan murka karena kesalahannya itu. Dan memang dia pun dihukum, 50 hari lamanya dikucilkan dan masyarakat, tidak ditegur sapa orang ke mana pergi. Tengah dia menderita puncak hukuman kucil itu, datang pula cobaan hebat, yaitu rayuan dari Raja Ghassan supaya berkhianat dan meninggalkan Nabi ﷺ. Dia tidak mau! Dia yakin bahwa dia tengah menjalankan pengobatan atas dirinya, dan dia yakin bahwa telah Rasul ﷺ datang membawa keterangan Al-Qur'an yang jelas itu, dia pun dengan hati terbuka memeluk Islam, dan menjadi orang Islam yang baik.
Setelah ayat itu dibacakan Rasulullah ﷺ, Ubay bin Ka'ab bertanya, “Dan Allah pun menyebut namaku?"
Rasul ﷺ menjawab, “Ya! Namamu disebut Allah."
Menurut satu riwayat lagi, Ubay bertanya lagi, “Allah menyebut namaku kepada engkau, ya Rasulullah ﷺ?" Nabi jawab sekali lagi, “Ya!"
“Dan namaku telah menjadi sebutan di sisi Rabbul ‘Alamin?"
Sekali lagi Nabi ﷺ menjawab, “Ya!" Tidak dapat Ubay bin Ka'ab menahan hatinya, air matanya pun bercucuran. Demikianlah kegembiraan orang beriman apabila ayat turun, kadang-kadang disertai oleh air mata.
Mengingat ayat ini terasalah betapa pentingnya kita sebagai Muslim yang telah jauh dari zaman Rasul ﷺ dan bahasa Arab bukan bahasa kita. Sedangkan orang Arab sendiri, yang mengerti bahasa itu, sebab Rasul dilahirkan di kalangan mereka, kalau di dalam hati ada penyakit, namun bahasa Arab wahyu yang begitu tinggi mutunya, hanyalah akan menambah penyakit mereka yang telah ada saja. Tetapi kita yang datang di belakang ini, asal iman kita pupuk, dan rasa bacaan Al-Qur'an kita resapkan ke dalam hati sejak kecil, in syaa Allah akan dapatlah kita memelihara iman kita yang telah ada dan mempertinggi mutunya. Benarlah bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi ketahuilah bahwa petunjuk Al-Qur'an itu telah merata kepada seluruh umat manusia yang percaya.
Ayat 126
“Dan tidaklah mereka perhatikan bahwa mereka dicoba pada tiap-tiap tahun sekali atau dua kali, kemudian tidak juga mereka tobat, dan tidak juga mereka ingat"
Peringatan lagi kepada orang yang munafik sebenarnya di dalam kemunafikan itu tidaklah mereka sunyi dari percobaan. Mentang-mentang mereka munafik yang bermaksud hendak mengelakkan diri dan tanggung jawab, namun mereka tidaklah sunyi dari percobaan Allah. Sebab tidaklah hidup di dunia itu senang saja. Kalau kiranya pada pagi hari kelihatan langit cerah, ingatlah mungkin tengah hari nanti akan turun hujan lebat, jika pelayaran tenang saja, pada permulaan pelayaran, mungkin nanti akan datang badai besar. Dan khusus dalam hal kaum munafik ini, tidaklah mereka perhatikan bahwa dalam sekali atau dua kali ada saja perubahan baru dan kemajuan baru dalam perjuangan Nabi Muhammad ﷺ dan kebesaran Islam. Si munafik telah mengharapkan beliau akan kalah, rupanya menang juga. Demikian terjadi semasih sekali atau dua kali tiap tahun, selama tahun-tahun yang dilalui. Namun mereka masih saja berdiri di tepi jalan, mencemooh, mengolok-olok. Segala usaha mereka menghalangi telah gagal, setiap rencana tidak ada yang jadi, melainkan kekalahan bagi mereka juga, sebab di dalam hati mereka ada penyakit. “Kemudian tidak juga mereka tobat." Agar kembali ke dalam jalan yang benar, lalu kepada Rasul dengan sebenar-benarnya taat."Dan tidak juga mereka ingat." Bahwa kalau kemunafikan ini mereka lanjutkan juga, mereka jualah yang akan sengsara dan kehinaan akan menimpa mereka, dunia dan akhirat.
Ayat 127
“Dan apabila diturunkan suatu surah, memandanglah yang sebagian mereka kepada yang sebagian."
Bila suatu surah turun, terutama yang menyindir kecurangan mereka, membuka rahasia keburukan mereka, bersipandang-pandanglah satu dengan yang lain, karena merasa mereka pula yang kena, mereka lagi yang tersindir. Lalu mereka berbisik-bisiklah di belakang karena biasanya orang-orang munafik itu setengah hati saja, tidak berani duduk agak ke muka, karena datangnya bukan buat menampung pengajaran yang baik, melainkan membawa hati yang berpenyakit. Setengah tentu bercu-bit-cubitan dengan temannya, mengatakan kita telah kena celaan, dan setengah mungkin ada yang ngeluyur lari dengan diam-diam, menyelundup saja meninggalkan majelis. Setelah begitu timbullah pertanyaan di antara satu sama lain."Adakah seseorang yang melihat kamu?" Mereka bertanya demikian karena merasa bahwa sikap mereka yang tidak jujur dan munafik itu telah diketahui orang. Seakan-akan ada saja mereka rasakan orang melihat dan mengintip mereka. Sebab hati yang berpenyakit itu lekas cemburu."Kemudian itu mereka pun berpaling pergi." Mereka tinggalkan majelis sambil menggerutu. Lantaran mereka pergi itu, tentu ujung surah tidak mereka dengar lagi, sehingga keadaan mereka bukan semakin terang, melainkan semakin gelap. Dan sebagaimana disebutkan tadi, mereka bertanya sesama kawan, adakah orang yang melihat kamu? Kalau kawannya menjawab tidak ada yang melihat, maka dengan diam-diam mereka pun berpaling meninggalkan majelis. Inilah perangai orang munafik. Maka selanjutnya berfirmanlah Allah, “Allah pun memalingkan hati mereka." Artinya, dipalingkan Allah-lah mereka dari tujuan hidup, yaitu iman yang sempurna, Islam yang hanya tinggal nama. Oleh sebab mereka sendiri yang membelokkan yang mereka tuju kemudian itulah mereka akan sampai.
“Kanena sesungguhnya mereka itu kaum yang tidak mau mengerti."
Artinya, mereka telah kehilangan sifat pengertian, tidak mau mengerti bahwa nilai hidup ditentukan amal yang diperbuat. Akal sehat tidak mereka pakai. Adakah patut Rasulullah ﷺ dimusuhi, padahal Rasul ﷺ datang memberi pengajara'n yang baik, bagi keselamatan me
reka di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat. Lantaran mereka sendiri yang telah menyelubungi hati mereka dengan benci, dendam, sakit hati, dan sebagainya itu, walau ayat apa pun yang turun, surah panjang atau surah pendek, tidaklah ada yang masuk ke dalam.
Sama juga dengan pemeluk agama lain di zaman sekarang, yang telah berurat berakar rasa kebencian kepada Islam, karena diajarkan nenek moyang turun-temurun, bagaimanapun diberikan kepada mereka keterangan yang masuk akal tentang pokok ajaran tauhid Islam, mereka tidak mau menerima. Misalnya, pendeta-pendeta mereka mengajarkan bawa Muhammad ﷺ itu Nabi yang gila perempuan, sebab istrinya sampai sembilan. Lalu kita berikan keterangan, baik dari segi sejarah, atau segi diri Nabi Muhammad ﷺ sendiri, atau dari segi susunan masyarakat di zaman itu, mereka tidak juga mau menerima. Terkadang ketika berhadapan kalah dan jatuhlah segala tuduhannya yang rendah itu, dan tunduklah dia. Tetapi, dia telah berpaling ke tempat lain, plat atau kaset lama yang dipusakakan nenek moyang mereka itu, mereka putar pula kembali. Sehingga tuduhan kepada Islam tentang istri Nabi ﷺ sembilan, tentang orang Islam boleh beristri sampai empat orang, atau tuduhan bahwa Islam dimajukan dengan pedang dan sebagainya, telah dibantah 100 tahun yang lalu, timbul lagi pada zaman sekarang. Dan dibantah 50 tahun yang lalu, timbul lagi pada zaman sekarang. Dan dibantah pada zaman sekarang, nanti 20 tahun yang akan datang timbul pula. Sebab kebencian itu telah ditanamkan berurat ber-akar sehingga keterangan yang masuk akal buat membantahnya, namun ke dalam akal mereka tidaklah akan masuk. Sebab akal itu benarlah yang mereka tutup dengan kebencian. Kebencian yang telah ditanam beratus bahkan beribu tahun.