Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan tidak
كَانَ
ada
ٱللَّهُ
Allah
لِيُضِلَّ
untuk Dia sesatkan
قَوۡمَۢا
kaum
بَعۡدَ
sesudah
إِذۡ
ketika
هَدَىٰهُمۡ
Dia memberi petunjuk mereka
حَتَّىٰ
sehingga
يُبَيِّنَ
Dia jelaskan
لَهُم
bagi mereka
مَّا
apa
يَتَّقُونَۚ
mereka takuti
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
وَمَا
dan tidak
كَانَ
ada
ٱللَّهُ
Allah
لِيُضِلَّ
untuk Dia sesatkan
قَوۡمَۢا
kaum
بَعۡدَ
sesudah
إِذۡ
ketika
هَدَىٰهُمۡ
Dia memberi petunjuk mereka
حَتَّىٰ
sehingga
يُبَيِّنَ
Dia jelaskan
لَهُم
bagi mereka
مَّا
apa
يَتَّقُونَۚ
mereka takuti
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah Dia memberinya petunjuk sampai Dia menjelaskan kepadanya apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
(Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka) kepada Islam (hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi) yakni amal-amal perbuatan mana saja yang harus mereka jauhi, akan tetapi ternyata mereka tidak menjauhinya, maka mereka layak menjadi orang-orang yang disesatkan. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) antara lain ialah mengetahui siapa yang berhak untuk disesatkan dan siapa yang berhak untuk mendapat hidayah-Nya.
Tafsir Surat At-Taubah: 115-116
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagi kalian selain Allah.
Ayat 115
Allah ﷻ menceritakan perihal Diri-Nya Yang Maha Mulia dan hukumNya yang adil, bahwa sesungguhnya Dia tidak akan menyesatkan suatu kaum, melainkan sesudah disampaikan kepada mereka risalah dari sisiNya, sehingga hujah telah ditegakkan atas mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk.” (Fushshilat: 17), hingga akhir ayat.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka.” (At-Taubah: 115), hingga akhir ayat. Hal ini merupakan penjelasan dari Allah ﷻ kepada orang-orang mukmin dalam masalah tidak memohonkan ampun kepada-Nya khusus bagi kaum musyrik. Dan di dalam penjelasan-Nya untuk mereka biasanya terkandung larangan dan perintah-Nya secara umum. Dengan kata lain, kerjakanlah atau tinggalkanlah.
Ibnu Jarir mengatakan, Allah ﷻ berfirman bahwa tidak sekali-kali Allah akan memutuskan terhadap kalian kesesatan karena kalian telah memintakan ampun kepada-Nya buat orang-orang mati kalian yang musyrik, padahal Allah telah memberikan hidayah kepada kalian dan memberikan taufik-Nya kepada kalian untuk beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Terkecuali jika Dia telah menyodorkan larangan hal itu kepada kalian, maka kalian harus meninggalkannya. Adapun sebelum dijelaskan kepada kalian bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian kalian melakukannya, maka kalian tidak akan dihukumi sebagai orang-orang yang melakukan kesesatan.
Sesungguhnya maksiat dan taat itu hanyalah berdasarkan perintah dan larangan. Adapun terhadap hal-hal yang tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang, maka melakukannya bukan terbilang sebagai orang yang taat, tidak pula sebagai orang yang durhaka.
Ayat 116
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagi kalian selain Allah.” (At-Taubah: 116)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian anjuran dari Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memerangi orang-orang musyrik dan pemimpin kekufuran. Dan hendaknyalah mereka percaya akan pertolongan Allah, Raja langit dan bumi; dan janganlah mereka merasa gentar dalam menghadapi musuh-musuhnya, karena sesungguhnya tidak ada pelindung bagi mereka dan tidak ada penolong bagi mereka selain Dia.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Dilamah Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Safwan ibnu Muharriz, dari Hakim ibnu Hizam yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berada di antara para sahabatnya, tiba-tiba beliau ﷺ bertanya kepada mereka, "Apakah kalian mendengar apa yang saya dengar?" Mereka menjawab, "Kami tidak mendengar sesuatupun." Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku mendengar suara gemuruh langit, tetapi tidaklah dicela bila langit mengeluarkan suara gemuruh, karena tiada suatu jengkal tempat pun darinya melainkan padanya terdapat seorang malaikat sedang sujud atau sedang berdiri.”
Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa tidak ada suatu tempat sebesar lubang jarum pun dari bumi ini melainkan padanya terdapat malaikat yang ditugaskan menjaganya dan melaporkan pengetahuan hal tersebut kepada Allah. Dan sesungguhnya jumlah malaikat langit benar-benar lebih banyak daripada bilangan pasir. Dan sesungguhnya malaikat penyangga 'Arasy itu panjang antara tumit kaki seseorang dari mereka sampai kepada betisnya sama dengan perjalanan seratus tahun.
Dan Allah Yang Mahaadil, Mahabijaksana sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah mereka diberi-Nya petunjuk dengan memeluk Islam, sehingga dapat dijelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Apabila sudah dijelaskan apa yang harus dijauhi lalu mereka melanggar, maka Allah akan memberi hukuman akibat kedurhakaan itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi.
Sesungguhnya Allah memiliki kekuasaan di langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dia yang menciptakan, menghidupkan, memelihara dan mematikan bila ajalnya sudah sampai. Tidak ada pelindung yang menghindarkan mudarat dan penolong yang mendatangkan manfaat bagimu selain Allah.
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa apabila satu kaum benar-benar telah diberi petunjuk, dan telah dilapangkan dada mereka untuk menerima agama Islam, maka Dia sekali-sekali tidak akan menganggap kaum tersebut sebagai orang-orang yang sesat, lalu Dia memperlakukan mereka sama dengan orang-orang yang benar-benar sesat, yang patut dicela dan disiksa. Allah tidak akan berbuat demikian apabila mereka hanya berbuat satu kesalahan, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang disebabkan kesalahan ijtihad mereka. Allah tidak akan mencela dan menyiksa mereka karena kesalahan semacam itu, sampai mereka benar-benar paham ajaran-ajaran agama, baik berupa larangan yang harus mereka hindari, maupun perintah yang harus dikerjakan.
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah amat mengetahui segala sesuatu, termasuk kebutuhan manusia terhadap keterangan dan penjelasan. Oleh sebab itu, Allah telah menjelaskan masalah-masalah yang penting dalam agama dengan penjelasan yang pasti dalam firman-Nya, sehingga kaum Muslimin akan dapat mencapai kebenaran dalam ijtihad mereka dan tidak akan tergoda oleh hawa nafsu mereka.
Itulah sebabnya Allah tidak menyalahkan Nabi Ibrahim ketika ia memohon ampun untuk bapaknya sebab hal itu dilakukan sebelum ia mendapat bukti dan keterangan yang jelas tentang keadaan ayahnya. Setelah ia mendapat keterangan dan bukti-bukti yang jelas, maka ia segera menghentikan doanya.
Demikian pula, Allah tidak akan menimpakan hukuman terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan orang-orang mukmin yang telah memohonkan ampun kepada Allah untuk ibu bapak dan kaum kerabat mereka yang telah mati dalam kekafiran, apabila hal itu dilakukan sebelum memperoleh keterangan yang jelas mengenai ketentuan Allah dalam masalah tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN
Pada ayat 80 di atas sudah dinyatakan oleh Allah kepada Rasu!-Nya bahwa dia tidak boleh memohonkan ampun untuk orang munafik. Karena baik pun dimintakannya ampun sampai 70 kali atau tidak dimintakannya ampun sama sekali, tidaklah munafik itu akan diberi ampun oleh Allah, kalau tidak si munafik itu sendiri yang memperbaiki pendirian dan memilih jalan yang benar, beriman dan mengikutinya dengan amal. Terhadap musyrikin pun demikian pula, telah tersebut di dalam surah an-Nisaa', dua kali, yaitu ayat 48 dan ayat 84 dan ayat 115 bahwa Allah tidaklah mau memberi ampun dosa mempersekutukan-Nya dengan yang lain, sedang dosa lain selain syirik itu bisa diampuni oleh Allah. Maka sekarang datanglah lagi ayat penegasan ini.
Ayat 113
“Tidaklah ada bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa memohonkan ampun untuk orang-orang musyrik, meskipun adalah mereka itu kaum kerabat yang terdekat."
“Tidaklah ada." Di dalam bahasa Arab disebut nafi.'Dia mengabarkan tidak ada, atau tidak pernah kejadian, dan sekali-kali tidak akan kejadian bahwa Nabi dan orang-orang yang beriman, memohonkan ampun untuk orang musyrik. Di dalam rasa bahasa Arab ini dinamai nafyusya'an yang boleh dikatakan tidak mungkin. Sama dengan mengatakan ti-daklah ada kuda bertanduk. Sebab itu, meskipun dia hanya mengatakan tidak ada, artinya yang mendalam tidak boleh! Tidak boleh Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun buat musyrikin, walaupun musyrik yang akan dimintakan ampun itu adalah kerabat yang paling dekat dan paling dicintai sekalipun.
Apakah sebab sampai begitu keras? Sebabnya tentu sudah terang karena Allah sendiri di dalam firman-firman-Nya telah menjelaskan, sebagaimana tersebut dalam dua ayat di surah an-Nisaa' itu bahwa Allah tidak akan memberi ampun orang musyrik. Maka orang yang beriman kepada Allah niscaya tidak akan mau melanggar ketentuan yang telah ditentukan Allah. Itu sebabnya maka berani ulama-ulama besar sebagai Imamul Haramain al-Juaini, dan al-Qadhi Abu Bakar al-8aqillani dan Hujjatul Islam ai-Ghazali membantah sebuah hadits yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah memintakan ampun untuk Abdullah bin Ubay, sebab hal itu tidak mungkin. (Lihat kembali keterangannya di Juz 10).
Di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tersebut bahwa ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia di Mekah, yaitu paman yang amat beliau cintai dan mencintai beliau dan sangat banyak membantu beliau, beliau telah mengajaknya agar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi diganggu oleh Abu jahal dan Abullah bin Abu Umaiyah bin Mughirah, mereka hasut Abu Thalib agar jangan melepaskan agama nenek moyang sehingga sampai matinya Abu Thalib tetap dalam musyrik. Sangat sedih Rasulullah ﷺ lantaran pamannya mati dalam keadaan demikian. Datanglah wahyu Allah kepadanya, yang tersebut di dalam surah al-Qashash (yang
“Sesungguhnya tidaklah engkau dapat memberi petunjuk kepada orang yang sangat engkau cintai; akan tetapi Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk itu." (al-Qashash: 56)
Ketika menafsirkan ayat 74 dari surah al-An'aam pada juz 7 telah pula kita temui hadits-hadits tentang Rasulullah ﷺ yang sangat cinta kepada ibu kandungnya Aminah bahwa beliau meminta izin kepada Allah menziarahi kuburan ibu beliau itu, maka Allah telah memberi izin. Tetapi setelah Rasul ﷺ memohon izin hendak memintakan ampun untuk ibunya itu, Allah tidaklah memberinya izin.
“Sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu ahli neraka."
Artinya Allah telah menegaskan bahwa sekalian dosa dapat diampuni-Nya, kecuali dosa syirik, mempersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau dosa syirik tidak terampun, teranglah orang musyrik itu ahli neraka. Maka Nabi dan orang Mukmin tidaklah mungkin melanggar batas dan garis pemisah yang telah ditentukan oleh Allah itu, walaupun yang nyata musyrik itu ayah kandung, ibu kandung, paman yang dicintai, anak yang disayangi, istri, kekasih, dan sebagainya. Kalau Allah sendiri tidak bertolak ansur dalam pasal yang sepasal ini, adakah mungkin Nabi dan orang-orang yang beriman bertolak ansur? Padahal yang diperjuangkan sejak semula memang perkara pokok yang satu ini, yaitu memberantas berhala dan menegakkan tauhid? Dalam hal ini pertimbangan akal yang sehatlah yang dikemukakan, bukan perasaan kasih sayang. Nabi Muhammad ﷺ bersedih hati atas kematian pamannya Abu Thalib, sampai tahun mati beliau, dinamai Tahun Duka cita. Duka cita atas kematian orang yang dikasihi tidaklah dapat dibendung, dan Allah pun tidak melarang Nabi menamai tahun itu tahun duka cita, apalagi tahun meninggalnya bersamaan pula dengan meninggal Khadijah muslimat pertama. Tetapi kasih dan cinta Nabi ﷺ tidaklah akan mengubah peraturan yang pokok dari Allah. Demikian pula, sebagai seorang putra yang cinta kepada ibunya, Nabi Muhammad ﷺ minta izin ziarah ke kuburan ibu kandungnya; Allah izinkan. Karena Allah tidak hendak membendung rasa kasih sayang yang jadi sebagian dari jiwa manusia. Tetapi oleh karena kecintaan itu lalu Nabi ﷺ memohon izin memintakan ampun buat ibunya; tidak diberi oleh Allah.
Di sini kita diajar membedakan urusan cinta keluarga dengan urusan menegakkan pendirian yang telah ditentukan Allah. Di dalam surah al-'Ankabuut yat 8 dan di dalam surah Luqman ayat 14 dan 15 dan kedua surah itu turun di Mekah, demikian juga dalam surah al-Baqarah ayat 83, surah an-Nisaa' ayat 35, surah al-An'aam ayat 151, al-Israa' ayat 23, al-Ahqaf ayat 15, dengan tegas sekali Allah menyuruh berkhidmat dan berbuat segala kebaikan kepada ibu-bapak, tetapi Allah tegaskan lagi bahwa betapa pun bersungguh-sungguhnya kedua ibu-bapak hendak mengajak supaya mempersekutukan yang lain ce-ngan Allah, jangan sekali-kali keduanya diikuti. Kalau sekiranya kedua ibu-bapak itu atau keluarga sedarah itu meningga. a: calarr. syirik, kuburkanlah dia sebaik-baiknya ^arer.a menguburkan itu pun termasuk ihsan yang diwajibkan Allah, tetapi jangan d-mintakan mereka ampun karena dia musyrik. karena itu telah merusak hubungan lena sendiri dengan Allah, sebab Allah telah menegaskan bahwa dia tidak akan mengampuni orang musyrik.
Ayat ini wajib kita perhatikan dan termasuk ayat muhkamat yang tidak mutasabih, yang bisa diartikan macam-macam, dan tidak pula mansukh, yaitu telah dibatalkan hukumnya oleh ayat yang lain. Kita berkata demikian, karena pada zaman modern kita ini, karena mengambil muka, karena tenggang-menenggang, kadang-kadang terhadap orang besar-besar, kita bermudah-mudah saja memintakan ampun bagi orang yang munafik atau musyrik, bahkan menshalatkan jenazahnya. Padahal terhadap ibu-bapak kandung sendiri lagi dilarang memintakan ampun kalau mereka musyrik atau munafik, apatah lagi orang lain. Kalau kita berbuat melanggar ketentuan-ketentuan ini, terbuktilah bahwa iman kita sendiri telah sumbing, dan kita tidak sebenarnya menjalankan bunyi ayat yang sebelumnya di atas, yaitu mengisi kehidupan Mukmin yang tujuan pokok tadi.
Pada saat Belanda masih berkuasa, pernah ada anjuran dari Pemerintah Kolonial Belanda, agar bershalat di gereja-gereja dan di masjid-masjid demi kebahagiaan Ratu Wil-helmina. Saat itu, penulis tafsir ini menjadi pengarang majalah Islam Pedoman Masyarakat di Medan. Dengan terus terang, penulis tafsir memandang dari segi agama semata-mata, penulis menyatakan pendapat bahwa shalat seperti itu tidak ada dalam Islam.
Hasilnya ialah bahwa penulis dipanggil oleh Controlueur Belanda di Medan dan diberi peringatan keras bahwa kalau lain kali masih menulis yang seperti itu, majalah penulis akan distop dan mungkin penulis sendiri dikirim ke Digoel.
Maka timbullah pertanyaan orang, mengapa sekeras ini peraturannya? Padahal Nabi Ibrahim sendiri pernah memohonkan ampun untuk ayahnya yang musyrik, tukang membuat berhala dan pemuka penyembah berhala? Maka datanglah ayat lanjutan,
Ayat 114
“Dan tidaklah permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya, melainkan karena sesuatu janji yang telah dijanjikan kepadanya."
Artinya, memang tempo dahulu Ibrahim sendiri, sebagai pelopor terbesar dari ajaran tauhid pernah memohonkan ampun untuk ayahnya kepada Allah. Dia mohonkan ampun ayahnya kepada Allah, karena ayahnya itu mulanya telah berjanji akan memper-timbangkan segala nasihat dan keterangan anaknya. Di surah ai-Mumtahanah diterangkan, Ibrahim memang pernah memohonkan ampun untuk ayahnya, tetapi dia pun mengakui bahwa memberi petunjuk kepada ayahnya itu dia tidak kuasa, karena itu adalah semata-mata Hak Allah.
Di dalam surah asy-Syu'araa' pun dengan tegas pada ayat 86 dituliskan doa Ibrahim memohonkan ampun buat ayahnya, karena ayahnya itu telah sesat. Dan janganlah kiranya dia diberi malu dan kehinaan di hari Kiamat (ayat 87), yaitu pada hari harta benda dan anak kandung pun tidak akan memberi manfaat kepada seseorang, kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera, suci bersih dari syirik (ayat 88). Tetapi apa yang kejadian? Meskipun sudah demikian kasih sayang putranya kepadanya, namun Azar, ayah Ibrahim, itu sampai matinya tidak juga mau mengubah pendirian. Maka datanglah sambungan ayat: “Tetapi tatkala telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah, berlepas dirilah dia darinya."
Dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Abbas, “Senantiasa Ibrahim memohonkan ampun untuk ayahnya, sampai ayahnya itu meninggal dunia. Setelah dia meninggal, nyatalah oleh Ibrahim bahwa ayahnya itu musuh Allah, maka dia pun berlepas dirilah dari ayahnya itu."
Penafsiran Qatadah memperjelas lagi: “Setelah ayahnya itu mati, barulah Ibrahim tahu bahwa ayahnya mati kafir dan tobatnya tidak diterima Allah. Maka pada masa itu Ibrahim pun berlepas dirilah dari ayahnya, dan ditinggalkannyalah buat selama-lamanya memintakan ampun ayahnya itu."
Dan tersebutlah di dalam hadits bahwa kelak Ibrahim akan melihat ayahnya dalam neraka, lalu bermohonlah Ibrahim kepada Allah, mengapalah aku diberi malu dan kehinaan semacam ini, ya Allah? Padahal Engkau berjanji tiadakan menghina daku? Maka ditentukan Allah-lah bahwa ayahnya itu menjadi seekor anjing hutan yang hina lagi panjang bulunya, sehingga tidak kelihatan lagi rupanya yang asli oleh Ibrahim. Demikian satu riwayat dari Bukhari.
Kemudian di ujung ayat diterangkanlah tabiat Ibrahim sehingga dia sampai memohonkan ampun untuk ayahnya itu.
“Sesungguhnya Ibrahim itu adalah seorang yang sangat pengiba, lagi penyabar."
Inilah yang menjadi sebab Ibrahim selalu memintakan ampun ayahnya, yaitu karena dia sangat pengiba, kata kita sekarang tidak sampai hati, dan sangat halim, yaitu sangat me-nahan hati, tidak lekas marah, dan selalu berusaha menahan marahnya.
Perangai sangat pengiba dan penahan marahnya inilah yang menyebabkan dia pernah meminta dengan sungguh-sungguh kepada para malaikat yang hendak menurunkan adzab kepada negeri Sadum dan Gamurrah, umat Nabi Luth, supaya negeri itu sedapat-dapatnya jangan dihukum, sebab di situ ada Luth, dan Luth itu adalah anak saudara kandungnya. Dia berharap moga-moga jangan adanya Luth di sana, hukum itu diringankan. (Lihat surah al-'Ankabuut, ayat 32). Tetapi betapa pun iba dan belas kasihannya Ibrahim kepada ayah-nya, namun ayahnya masuk neraka juga karena musyrik. Dan meskipun demikian belas kasihannya, karena di Sadum ada Luth, namun hukum Allah berlaku juga kepada pen-duduk Sadum, sampai termasuk istri Luth sendiri, dan Luth diselamatkan. Oleh sebab itu, janganlah kita mengambil alasan kepada
permohonan ampun. Ibrahim untuk ayahnya itu karena hendak memintakan ampun bagi orang-orang yang kita sayangi, padahal sudah terang dia musyrik.
Dan Nabi Muhammad ﷺ sendiri pun tidak kurang pengiba pengasih sayang dan penyabarnya dari Ibrahim, sampai ditungguinya pamannya Abu Thalib ketika akan mati, memohon pamannya menerima Islam agar selamat, tetapi pamannya tidak mau. Maka betapa pun iba kasihan Nabi ﷺ kepada pamannya, pamannya tetap dalam syirik.
Menurut beberapa riwayat sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ pun dahulunya harap juga memohonkan ampun ayah mereka atau saudara mereka yang terang-terang dalam syirik, tetapi sejak ayat ini turun, dan melihat cara yang ditempuh Rasul ﷺ terhadap pamannya di Mekah dahulu dan ketika beliau menziarahi kubur ibunya, maka mereka pun tidak pernah lagi memohonkan ampun pada keluarga yang mati dalam syirik itu. Sudah mati dalam syirik, tetaplah mereka syirik. Serahkanlah urusannya kepada Allah dan tak usah dimintakan ampun lagi. Tekan perasaan cinta keluarga karena ada cinta yang lebih tinggi, yaitu menjunjung tinggi apa yang telah ditentukan Allah. Demikianlah orang yang beriman.
Ayat 115
“Dan sekali-kali tidaklah Allah akan menyesatkan suatu kaum sesudah Dia memberi petunjuk mereka."
Artinya, bahwasanya Allah Yang Maha-rahman dan Rahim itu, karena kasih dan cinta-Nya kepada hamba-Nya, tidaklah akan menyesatkan orang atau menjatuhkan hukuman kepada mereka, sesudah mereka diberi petunjuk. Kalau petunjuk telah datang, kesesatan yang disengaja tidaklah akan ada lagi. Mungkin ada kesalahan, tetapi hanya kesalahan ijtihad, di dalam menempuh maksud yang baik dan tujuan yang mulia. Adapun kesesatan, maksud jahat, niat buruk, penganiayaan yang sengaja dari melanggar, tidaklah akan terjadi apabila dada insan telah bersih karena adanya petunjuk Islam di dalamnya."Sehingga Dia jelaskan kepada mereka apa yang mesti mereka awasi." Artinya, dijelaskan Allah mana kata yang baik dan mana perbuatan yang baik, dengan senyata-nyatanya dan tidak ada keraguan lagi.
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
Lantaran pengetahuan Allah yang Mahaluas itu, diatur-Nyalah peraturan dan Dia sampaikan dengan perantaraan rasul-rasul-Nya, sampai manusia mendapat pokok petunjuk.
Sungguh pun begitu disuruh pula mereka memakai ijtihad sendiri di dalam perkara-perkara yang tafshil, yang terperinci kecil-kecilan. Mungkin kadang-kadang di dalam perkara-perkara yang mengenai ijtihad itu terdapat kesalahan, tetapi itu dimaafkan oleh Allah, sebab bukan timbul dari maksud hendak melanggar hukum Allah. Maka ayat ini memberikan penjelasan bahwasanya Allah tidaklah menyalahkan jika Ibrahim memohon-kan ampun ayahnya sebelum dia tahu bahwa ayah itu terang seorang musuh Allah. Kalau dari semula dia telah tahu bahwa ayahnya musuh Allah, bagaimana boleh jadi dia mau memintakan ampun? Demikian juga Nabi kita ﷺ mendesak-desak Abu Thalib atau merayu-rayunya masuk Islam sebelum pamannya itu meninggal dunia, ialah karena dia masih mempunyai harapan bahwa pengaruh cintanya kepada paman itu, akan dapat memberi petunjuk pamannya kepada jalan yang benar. Tetapi setelah nyata pamannya itu mati musyrik, dia pun tidak memintakannya ampun lagi. Bahkan ketika akan menziarahi ibunya karena dia sudah tahu duduk persoalan, meminta izin dia dahulu kepada Allah, lalu diberi izin. Dan dicobanya lagi meminta izin memohonkannya ampun, tidak diberi izin oleh Allah. Dia pun tunduk pada ketentuan Allah itu, langsung tidak dimintakannya ampun lagi untuk ibunya. Demikian jugalah kaum beriman yang lain. Mereka tidak lagi akan memintakan ampun buat orang musyrikin, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang itu adalah ahli neraka. Sejak itu awaslah mereka dan dengan amat hati-hati mereka pelihara ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan Allah. Dengan ini ditegaskan bahwa berjihad boleh selama belum ada ketentuan atau nash dari Allah. Kalau nash sudah datang ijtihad hentikan dan tunduklah kepada nash.
Ayat 116
“Sesungguhnya Allah, bagi-Nyalah kerajaan semua langit dan bumi."
Hukum peraturan Allah itu mutlak dan luaslah adanya, meliputi semua langit, dengan bintang-bintangnya, matahari dengan bulannya yang beredar, sampai kepada awan yang berarak dan angin yang berembusdan hujan yang turun. Sampai kepada perputaran bumi ini pun. Dan sampai kepada peraturan yang mengenai manusia sebagai penduduk bumi. Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia. Semua orang, tidak ada yang terkecuali dari peraturan itu, walaupun keluarga terdekat dari Nabi ﷺ sendiri, sehingga di dalam surah al-Ahzaab ayat 30, terhadap istri-istri Rasul ﷺ sendiri, kalau mereka berbuat perbuatan yang buruk, mereka pun dihukum, bukan saja sebagai hukuman yang dijatuhkan kepada orang lain, bahkan lipat dua."Menghidupkan dan mematikan." Memberi anugerah kehidupan kepada segala yang hidup, baik binatang maupun tumbuh-tumbuhan, apatah lagi manusia dengan keistimewaan akal yang ada padanya. Dan bila datang masanya, Dia pula yang menentukan maut bagi mereka. Maka macam-macamlah corak hidup itu. Ada manusia yang hidup dalam mati, atau mati dalam hidup. Ada manusia yang tubuh masih hidup, tetapi
akal mati, sebagai orang tua yang telah pikun berhenti akalnya, dan ada pula orang yang telah lama jasmaninya mati, tetapi namanya yang harum masih hidup menyerbak wangi.
“Dan tidaklah ada bagi kamu, selain Allah, pelindung, dan tidak penolong."
Oleh karena itu, tegakkanlah mukamu menghadap kebesaran Allah wahai Mukmin. Tidak akan ada harga dan nilai dari kehidupanmu yang dianugerahkan Allah ini, dan tidak pula matimu kelak akan berharga, kalau kamu menghadapkan muka kepada yang lain. Cobalah tengok orang yang musyrik itu, bagi mereka segala pintu tertutup. Berhala yang mereka sembah, atau manusia yang mereka dewa-dewakan, sehingga jiwa mereka sendiri menjadi pecah belah, tidaklah ada yang dapat melindungi. Jangankan mengatur langit dan bumi, jangankan memberi perlindungan dan pertolongan kepada manusia, sedangkan kepada diri mereka sendiri pun mereka tidak berkuasa. Oleh sebab itu, bulatkanlah hatimu kepada Allahmu wahai Mukmin. Jangan kamu raguragu lagi. Sebab tidak ada yang berkuasa mengatur, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang berkuasa melin-dungi dan menolong, kecuali Allah.