Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
tidak
يَزَالُ
senantiasa
بُنۡيَٰنُهُمُ
bangunan-bangunan mereka
ٱلَّذِي
yang
بَنَوۡاْ
mereka bangun
رِيبَةٗ
keraguan
فِي
dalam
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
إِلَّآ
kecuali
أَن
telah
تَقَطَّعَ
putus/hancur
قُلُوبُهُمۡۗ
hati mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٌ
Maha Bijaksana
لَا
tidak
يَزَالُ
senantiasa
بُنۡيَٰنُهُمُ
bangunan-bangunan mereka
ٱلَّذِي
yang
بَنَوۡاْ
mereka bangun
رِيبَةٗ
keraguan
فِي
dalam
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
إِلَّآ
kecuali
أَن
telah
تَقَطَّعَ
putus/hancur
قُلُوبُهُمۡۗ
hati mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٌ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi penyebab keraguan (kemunafikan) dalam hati mereka sampai hati mereka terpotong-potong. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan) yakni keragu-raguan (dalam hati mereka kecuali bila telah hancur) tercabik-cabik (hati mereka itu) lantaran mereka mati. (Dan Allah Maha Mengetahui) tentang makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam perlakuan-Nya terhadap makhluk-Nya.
Tafsir Surat At-Taubah: 109-110
Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dia ke dalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat 109
Allah ﷻ berfirman bahwa tidak sama antara orang yang membangun bangunannya atas dasar takwa dan rida Allah dengan orang yang membangun Masjid Dirar untuk kekafiran dan untuk memecah belah orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Karena sesungguhnya mereka yang kafir itu membangun bangunannya di tepi jurang yang runtuh, yakni perumpamaannya sama dengan orang yang membangun bangunannya di tepi jurang yang longsor, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dia ke dalam neraka Jahanam.
“Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 109)
Artinya, Allah tidak akan memperbaiki amal perbuatan orang-orang yang merusak.
Jabir ibnu Abdullah mengatakan bahwa ia melihat masjid yang dibangun untuk menimbulkan mudarat terhadap orang-orang mukmin itu keluar asap dari dalamnya di masa Rasulullah ﷺ. Ibnu Juraij mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa pernah ada sejumlah kaum laki-laki membuat galian, dan mereka menjumpai sumber asap yang keluar darinya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah. Khalaf ibnu Yasin Al-Kufi mengatakan bahwa ia melihat masjid orang-orang munafik yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an, di dalamnya terdapat sebuah liang yang mengeluarkan asap. Di masa sekarang tempat itu menjadi tempat pembuangan sampah. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah.
Ayat 110
Firman Allah ﷻ: “Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka.” (At-Taubah: 110)
Yakni menjadi keraguan dan kemunafikan dalam hati mereka disebabkan kekurangajaran mereka yang berani melakukan perbuatan jahat itu.
Hal tersebut meninggalkan kemunafikan dalam hati mereka. Sebagaimana para penyembah anak lembu di masa Nabi Musa, hati mereka dijadikan senang dengan penyembahan mereka terhadap anak lembu itu.
Firman Allah ﷻ: “Kecuali bila hati mereka itu telah hancur.” (At-Taubah: 110)
Yaitu dengan kematian mereka.
Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Habib ibnu Abu Sabit, Ad-Dahhak, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
“Dan Allah Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 110)
Allah Maha Mengetahui semua amal perbuatan makhluk-Nya.
“Lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 110) dalam memberikan balasan terhadap perbuatan mereka, yang baik ataupun yang buruk.
Sepanjang masa bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi penyebab keraguan dalam hati mereka, yakni kemunafikan, karena niat dan motivasi mereka buruk, sampai hati mereka hancur, yaitu sampai mereka mati, sehingga tidak dapat bertobat lagi. Dan Allah Maha Mengetahui, segala sesuatu, Mahabijaksana dalam ketetapan-Nya.
Setelah dijelaskan orang yang mendirikan bangunan atas landasan kedurhakaan kepada Allah, maka pembangunnya akan hancur bersama bangunannya tersebut, lalu Allah memberi perumpamaan jual beli antara Allah dengan pejuang di jalan-Nya sebagaimana tertera pada ayat berikut: Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, yakni menjanjikan secara pasti kepada mereka yang secara tulus berjuang di jalan Allah, baik berupa diri, yakni jiwa maupun harta mereka, maka dengan pasti Allah akan memberikan balasan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah dengan harta bahkan jiwa; sehingga mereka mem-bunuh atau terbunuh. Masuknya mereka ke dalam surga adalah merupakan janji yang benar dari Allah sebagaimana tertulis di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah' Pasti tidak ada. Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, sehingga kamu mendapatkan surga, dan demikian itulah kemenangan yang agung.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa mesjid yang didirikan oleh kaum munafik itu senantiasa menimbulkan keragu-raguan dalam hati mereka terhadap agama, karena setelah bangunan itu berdiri mereka menggunakannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat, antara lain membuat rencana dan komplotan jahat yang ditujukan kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin. Hal ini menunjukkan kemunafikan dan kekafiran mereka. Setelah Rasulullah mengirim beberapa orang sahabat untuk merobohkan bangunan itu, kaum munafik itu semakin ragu-ragu tentang nasib mereka, serta merasakan ketakutan dan kegelisahan. Keadaan semacam ini baru berakhir setelah hati mereka seakan-akan hancur terpotong-potong, sehingga tidak dapat lagi mengetahui kebenaran, ini berarti bahwa selama mereka hidup senantiasa hati mereka dalam kebimbangan dan keraguan. Runtuhnya bangunan mesjid mereka menyebabkan runtuhnya pula pegangan hidup mereka, sehingga kegelisahan, ketakutan, dan keragu-raguan senantiasa menyelubungi hati mereka sampai mereka mati dan jasad mereka hancur berkeping-keping. Atau setelah mereka bertobat dan menyesali semua dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat.
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui perbuatan hamba-Nya dan Mahabijaksana dalam segala perbuatan-Nya. Salah satu kebijaksanaan-Nya ialah pemberitahuan-Nya kepada Rasulullah dan kaum Muslimin tentang kejahatan orang-orang munafik, sehingga dari sifat-sifat dan perbuatan jahat mereka dapat diketahui siapa mereka dan akibat dari kejahatan merekapun dapat dihindari.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MASJID DHIRAR
Diturunkan ayat yang empat ini untuk membuka rahasia perbuatan sekelompok kaum munafik Lagi yang berusaha hendak memecah persatuan kaum Muslimin. Yaitu mereka mendirikan sebuah masjid baru dengan maksud memecah. Beberapa ahli tafsir menyebutkan nama-nama dari 12 orang munafik dari kabilah yang menjadi penganjurnya ialah seorang yang bernama Abu Amir dari kabilah Khazraj. Penafsir Ibnu Katsir menguraikan sejarah pendek orang ini. Pada zaman jahiliyyah dia telah masuk Nasrani dan banyak mengerti seluk-beluk agama itu sehingga dia disebut orang Abu Amir ar-Rahib (Pendeta). Besar harapannya bahwa kaumnya akan sudi menuruti langkahnya, karena dia seorang yang disegani agar agama Nasrani dianut orang di Madinah. Dan hatinya bertambah kecewa setelah kaum Muslimin beroleh kemenangan yang gilang-gemilang pada Peperangan Badar. Melihat keadaan yang demikian, Abu Amir bertambah sakit hati sehingga dia keluar dengan sembunyi-sembunyi dari Madinah dan terus mencampurkan dirinya kepada kaum musyrikin Mekah dan menghasut mereka agar menuntut balas atas kekalahan di Badar itu. Menurut riwayat Ibnu Katsir juga, ketika kaum musyrikin telah datang hendak menyerbu Madinah pada Peperangan Uhud, dia pun ikut dalam pasukan Quraisy itu dan dialah yang menggali lubang-lubang perangkap sehingga Nabi ﷺ terjerembab ke dalam salah satu lubang itu, nyaris menemui kematian diserbu orang Quraisy sehingga sebagaimana kita ketahui beliau luka dalam peperangan itu, sampai patah salah satu gigi beliau.
Dalam berkecamuknya Perang Uhud itu, Abu Amir yang berusaha keras menghasut kaumnya supaya belot dari Nabi ﷺ. Tetapi usaha itu menemui kegagalan, sebab semua Anshar yang dia hubungi mengutukinya, sampai ada yang berkata kepadanya, “Mudah-mudahan matamu akan melihat perkara yang akan menambah sakit hatimu, hai fasik, hai musuh Allah!" Semua memaki dan menghinanya sebagai pengkhianat sehingga dia meng-undurkan walaupun— sebagai kita maklumi— dalam Peperangan Uhud itu kaum Muslimin boleh dikatakan kalah dan 70 orang yang meninggal. Ketika ternyata gagal usahanya, berkatalah Abu Amir, “Demi Allah, kaumku telah sangat berubah sejak aku tinggalkan."
Sebelum dia keluar dari Madinah dengan diam-diam atau lari malam itu, Rasulullah ﷺ sudah pernah juga mengajaknya agar memeluk Islam. Beliau berikan kepadanya beberapa keterangan tentang Islam, beliau bacakan Al-Qur'an, tapi dia tidak mau. Setelah mengetahui bahwa dia telah keluar dari Madinah, keluarlah ucapan dari mulut Rasulullah ﷺ bahwa dia akan mati jauh dari kampung halamannya sebagai orang yang terusir.
Mulanya dia pergi ke kaum Quraisy, turut mematangkan pertempuran Uhud. Meskipun kaum Muslimin ditimpa malapetaka di Uhud, bukanlah Islam menjadi runtuh, melainkan kekalahan Uhud menjadi perangsang Muslimin agar memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi sehingga perjuangan selanjutnya dapat memperbaiki kekalahan yang sekali itu. Karena usahanya di Mekah telah gagal dan semarak Islam bertambah naik juga, dengan diam-diam dia berangkat ke Damaskus, datang menghadap Heraclius Kaisar Romawi itu, meminta bantuan untuk menghancurkan kekuatan Islam yang telah tumbuh itu. Lama dia berdiam di Syam dan selalu mendekati Heraclius agar usulnya diterima baginda, supaya tentara Rum menyerang Madinah. Heraclius memberikan harapan kepadanya bahwa satu waktu Madinah pasti diserang. Dalam pada itu selalu pula Abu Amir berkirim surat kepada kaumnya dari kalangan Anshar yang memang sudah ada dasar munafik dalam jiwa mereka. Dia menjanjikan, satu waktu tentara Rum yang besar pasti datang membebaskan Madinah dari kekuasaan Muhammad ﷺ. Dan dianjurkannya pula agar mereka segera mendirikan satu tempat berkumpul, yang di sana mereka dapat menerima kurirnya kalau dia mengirimkan berita-berita. Dan tempat itu pun akan menjadi tempat mengintip dan memerhatikan gerak-gerik Muhammad ﷺ kalau kelak dia datang kembali ke Madinah.
Kata Ibnu Katsir lagi, itulah sebabnya mereka mendirikan sebuah masjid tidak berapa jauh jaraknya dari Masjid Quba; masjid yang mula-mula didirikan Rasul ﷺ. Dan, setelah selesai mereka mendirikan masjid perpecahan itu sebelum Rasulullah ﷺ pergi ke Peperangan Tabuk. Dan ketika Rasulullah ﷺ akan berangkat ke Tabuk, mereka kirim utusan kepada beliau, mohon sekiranya beliau shalatke sana agak sekali, dengan maksud akan menjadi bukti bahwa beliau menyukai pendirian masjid itu. Dan mereka kemukakan pula alasan, maksud mendirikan masjid itu ialah untuk orang-orang lemah dan orang-orang sakit atau yang tidak dapat keluar malam-malam di musim dingin. Permohonan mereka itu dijawab Rasulullah ﷺ bahwa sekarang karena beliau hendak segera berangkat ke Tabuk, belum bisa permohonan mereka dikabulkan. In syaa Allah, bila kembali dari Tabuk kelak, akan beliau pertimbangkan permintaan itu. Kemudian setelah beliau kembali dari Tabuk, sehari dua, datanglah Jibril membawa wahyu bahwasanya masjid yang mereka dirikan itu ialah dhirar, artinya dengan maksud membahayakan bagi kaum Muslimin. Pendirinya mendirikan masjid itu ialah dengan maksud jahat, bukan atas dasar iman, melainkan atas dasar kufur, dan hendak memecah belah (tafriq) di antara Muslimin dan untuk tempat mengintip-intip (irshad) gerak-gerik Nabi ﷺ Maksud tafriq memecah belah itu ialah di antara Muslimin yang selama ini bersatu di Masjid Quba, sekarang mereka dirikan jamaah baru. Padahal Masjid Quba itulah yang sejak hari bermulanya didirikan atas dasar takwa. Kata Ibnu Katsir selanjutnya, setelah ayat-ayat ini turun dibawa Jibril, mengertilah Rasulullah ﷺ duduk perkaranya, lalu beliau perintahkan segera beberapa orang pergi ke tempat itu untuk meruntuh masjid itu dan menyamaratakannya dengan bumi.
Demikianlah kita salinkan secara bebas keterangan Ibnu Katsir tentang riwayat masjid Dhirar itu. Imam al-Baghawi pun menuliskan pula tentang riwayat yang sejalan dengan ini dalam tafsir beliau, terutama menerangkan siapa pribadi Abu Amir masih tetap berkumpul dan menghasut kalangan musyrikin bukan saja sampai sehabis Peperangan Uhud, sebagai terbayang pada riwayat Ibnu Katsir di atas, bahkan sampai kepada masa kekalahan paling akhir dari kaum musyrikin, yaitu hancurnya kekuatan Hawazin sesudah Peperangan Hu-nian. Sehabis Peperangan Hunain itu kekuatan musyrikin sudah patah sama sekali, barulah Abu Amir berangkat ke Syam menghubungi Heraclius dan menganjurkan baginda menyerang Madinah.
Menilik kedua riwayat ini, bisalah kita mengambil kesimpulan bahwa gerakan 30.000 tentara Islam di bawah Pimpinan Rasulullah ﷺ sendiri menuju Tabuk hendak meng-hadang tentara Rum, dan berita-berita yang sampai ke Madinah dari orang-orang Nabathi saudagar minyak bahwa Rum telah bersiap-siap dengan tentara besar untuk menyerang Madinah, lalu didahului oleh Nabi ﷺ Kemudian itu orang mendirikan suatu tempat lalu dinamai “masjid". Semuanya itu adalah hu-bung-berhubung di antara satu sama lain, terutama dalam usaha Abu Amir, penduduk Madinah dari Khazraj yang telah lama masuk Nasrani itu. Teranglah bahwa dia adalah spion atau kolone kelima yang telah lama ada hu-bungan dengan kekuasaan bangsa Romawi di Syam. Maka Rasulullah ﷺ dengan tepat dan cepat mendahului, memimpin sendiri tentara Islam menuju ke Tabuk sehingga tentara Rum tidak sampai masuk ke Madinah adalah satu strategi perang yang termasuk hebat. Rupanya melihat kegagahperkasaan Rasulullah ﷺ memimpin sendiri tentaranya dalam siasat mengejutkan itu, menjadikan siasat Heraclius gagal, sebab sudah didahului sehingga tidak jadi mereka menyerbu Madinah, bahkan tidak mereka sambut kedatangan tentara Islam ke Tabuk berhadap-hadapan (secara frontal).
Setelah menilik penafsiran fbnu Katsir dan al-Baghawi di atas, bertambah pentinglah penglihatan kita tentang kedudukan keempat ayat ini di dalam surah al-Bara'ah, khusus membicarakan orang-orang munafik. Bahwa selain dari ada munafik yang hendak mem-bunuh beliau di tempat curang di perjalanan pulang, ada pula yang menjadi kaki tangan asing (subversif) di Madinah sendiri, dengan membuat kamuflase (pura-pura) mendirikan masjid, padahal masjid palsu itu hendak dijadikan markas apabila tentara Rum datang.
Sekarang kita uraikan tafsir ayat-ayat ini,
Ayat 107
“Dan (begitu pula) orang-orang yang telah mengadakan suatu masjid untuk suatu bencana dan kekufuran dan memecah belah di antana orang-orang beriman dan untuk mengintip-intip bagi orang-orang yang memenangi Allah dan Rasul-Nya sebelumnya."
Setelah kita ketahui tadi siapa Abu Arnir ar-Rahib dan kita pertalikan dengan 12 orang munafik yang menjadi kaki tangannya di Madinah itu, mengertilah kita sekarang ba-gaimana duduk soal. Masjid baru ini didirikan ialah dengan empat maksud jahat. Pertama, hendak membuat dhirar. Artinya bencana atau bahaya. Terutama ialah bahaya niat jahat dan pengkhianatan yang dipelopori oleh seorang kafir yang telah mengkhianati kaumnya. Abu Amir bukan saja munafik lagi, tetapi lebih dari itu, musuh besar kaki-tangan Kerajaan lain. Yang munafik ialah 12 orang penyambutnya di Madinah itu. Yang kedua, niscaya teranglah bahwa maksud mendirikan masjid ini bukan dari knan, tetapi dari kufur. Ketiga, dengan mendirikan masjid ini masyarakat yang tadinya satu menjadi pecah. Sebab tempat berjamaah di dalam kota Madinah hanya satu masjid pula, yaitu Masjid Quba, yang mula didirikan beliau ﷺ ketika beliau berhenti di Quba beberapa hari sebelum masuk ke dalam kota Madinah, di waktu beliau hijrah. Maka mendirikan masjid yang ketiga, di luar ketentuan Rasul ﷺ, sudah teranglah membawa perpecahan kaum Muslimin.
Sebab, sebagaimana kita ketahui, dalam membangkitkan tenaga pimpinan Islam, masjidlah yang menjadi pusatnya. Baik urusan ibadah maupun muamalah, bahkan walaupun urusan siasat negara dan peperangan sekalipun. Yang keempat, telah terang lagi puncak kejahatan tertinggi dari maksud itu, yaitu hendak dijadikan tempat pengintip (irshad) gerak-gerik Rasul ﷺ dan orang-orang beriman, yang menjadi anjuran dari Abu Amir tadi. Yaitu orang yang sejak sebelumnya memang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, sejak Perang Uhud sampai Perang Hawazin dan berharap Madinah diserang Rum, supaya dengan paksa penduduk Madinah dapat dijadikan pemeluk Nasrani. Mungkin ada niat jika mereka menang, masjid itu langsung kelak dijadikan gereja dengan pengakuan Kerajaan Rum, dan Abu Amir diangkat menjadi uskupnya.
Kemudian datanglah sambungan ayat, “Namun mereka akan bersumpah, ‘Tidak ada maksud kami, kecuali kebaikan.'" Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Katsir tadi, ketika mengundang Nabi ﷺ supaya sudi shalat di sana, mereka menyatakan bahwa maksud mendirikan masjid itu adalah baik, yaitu untuk orang-orang lemah atau orang sakit, atau orang yang tidak tahan dingin keluar malam di musim dingin. Pendeknya ada-ada saja alasan yang mereka kemukakan.
“Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang bendusta."
Segala alasan yang mereka kemukakan itu adalah bohong belaka. Allah lebih mengetahui, walau mereka bersumpah bagaimana jua pun, Allah sendirilah yang jadi saksi atas kebohongan mereka itu.
Ayat 108
“Jangan engkau shalat padanya selama-lamanya."
Inilah larangan tegas dari Allah kepada Rasul ﷺ, supaya sekali-kali jangan shalat ke sana, walaupun sebelum berangkat ke Tabuk sudah dijanjikan akan shalat ke sana, sebab Rasul ﷺ waktu itu belum diberi tahu oleh Allah, dan beliau pun tengah repot. Malahan setelah mendapat wahyu ini, demi mengetahui keempat maksud jahat yang terkandung di dalam mendirikan masjid itu, terus Rasulullah ﷺ memerintahkan beberapa orang sahabat pergi ke tempat itu dan segera meruntuhkan masjid berbahaya (dhirar) itu, sampai rata dengan bumi. Lalu Allah melanjutkan firman-Nya, “Karena sesungguhnya sebuah masjid yang dibangun atas takwa pada permulaan harinya, di sanalah yang lebih benar engkau shalat padanya."
Jangan engkau shalat ke masjid yang didirikan atas maksud jahat itu, tetapi yang lebih benar engkau tetap shalat ialah di masjid yang sejak semula berdirinya, di hari pertama, telah didirikan atas dasar takwa. Menurut setengah riwayat masjid pertama yang dimaksud ialah Masjid Madinah itu sendiri, yang didirikan sejak hari pertama Rasulullah ﷺ sampai ke Madinah, hari Senin beliau sampai, hari Selasa masjid itu telah didirikan, di atas setumpuk tanah yang dihadiahkan oleh dua anak yatim Sahi dan Suhail, sebagai tersebut dalam riwayat sejarah Hijrah. Dan kata riwayat yang lain ialah Masjid Quba karena masjid itulah yang mula didirikan, terlebih dahulu kira-kira sepekan dari Masjid Madinah. Karena sebelum masuk ke Madinah, beberapa hari lamanya beliau berhenti di Quba, menunggu Muhajirin yang belum sampai semua dan supaya masuk ke Madinah dengan upacara yang baik. Maka di dalam tafsir kita yang kecil ini tidakiah hendak kita tarjihkan yang mana yang dimaksud, karena kedua-duanya itu memang berhak disebut masjid pertama yang didirikan sehari beliau sampai.
Setelah dinyatakan Allah bahwa hanya di masjid itulah Rasulullah ﷺ boleh shalat, lalu Allah menerangkan sebab alasannya.
“Karena di sana ada orang-orang laki-laki yang suka sekali membersihkan diri. Sedang Allah sangat suka kepada orang-orang yang menginginkan kebersihan."
Di ayat ini kita bertemu dua pokok mengapa hanya di masjid itu Rasul ﷺ diizinkan Allah mengerjakan shalat. Mengapa dilarang keras pada masjid “berbahaya" tadi, mes-kipun tempat itu oleh yang mendirikan diberi nama masjid juga. Sebab pertama ialah keadaan masjid itu sendiri, yaitu sejak semula dia didirikan, dasar niat mendirikan ialah takwa kepada Allah. Tidak ada terselip niat jahat sedikit jua. Dapatlah kita pahami ba-gaimana niat Muhajirin dan Anshar, baik di waktu mendirikan Masjid Quba atau ketika mendirikan Masjid Madinah. Bukankah sejak hari pertama mendirikan masjid itu mereka telah membebaskan diri dari pengaruh penyembah berhala di Mekah, dan Anshar me-nyambut pendatang baru itu karena hendak bergabung, berbakti dan bertakwa kepada Allah, dan di dalam masjid itu disatupadu-kan seluruh tenaga buat menyembah Allah. Sedang masjid Dhirar, sangat jauh maksud orang mendirikannya dari itu, bahkan hendak menandingi dan menghancurkan ketakwaan di masjid yang asli. Kedua, ialah siapa-siapa yang shalat ke masjid itu sendiri, yaitu orang-orang yang selalu mencintai, menginginkan kebersihan. Yaitu kebersihan zahir dan batin. Kebersihan batin karena mereka akan shalat dengan terlebih dahulu mengambil wudhu, dan tidak boleh masuk ke dalam masjid kalau sedang junub. Dan ada lagi tuntunan-tuntunan lain bila masuk ke dalam masjid hendaklah berhias, artinya memakai pakaian yang bersih. Tidak boleh oleh Rasul ﷺ jika shalat hanya dengan sehelai izar saja. (Lihat kembali tentang berhias ke masjid di surah al-A'raaf ayat 30 juz 8). Maka didikan kesukaan kepada yang bersih yang* dimulai dan wudhu dan istinja'
(membersihkan kemaluan sehabis berak dan kencing), sampai kepada mandi junub itu me-nyebabkan pula masjid itu sendiri pun jadi bersih apalagi jika dipertalikan lagi dengan ayat 18 dari surah ini sendiri, yaitu bahwa orang yang bersedia meramaikan masjid Allah itu lain tidak hanyalah orang-orang beriman kepada Allah, beriman kepada hari Kemudian, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan tidak ada tempat mereka takut melainkan Allah. Di samping kebersihan zahir itu ialah kebersihan batin, kesucian hati, ikhlas, jujur, khusyuk, dan tadharru' kepada Allah. Artinya, tempat suci bersih dan dishalati oleh orang yang suci bersih pula. Di tempat itulah Rasulullah ﷺ lebih benar menjadi Imam. Maka kalau Rasulullah ﷺ menjadi imam di Masjid Dhirar itu kedua syarat ini tidaklah akan bertemu. Mana masjidnya tidak didirikan di atas niat takwa, mana pula jamaahnya tidak dijamin kebersihan zahirnya, sebab mereka munafik, apatah lagi kebersihan batin mereka. Maka orang-orang atau jamaah yang mencintai kebersihan dan kesucian itulah yang sangat disukai Allah, dan orang-orang semacam itulah yang pantas menjadi makmum Nabi ﷺ
Menurut suatu riwayat yang dinukilkan oleh as-Sayuthi di dalam tafsirnya, ad-Darrul Mantsur, Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada penduduk Quba itu, apakah amalan kebersihan yang istimewa yang mereka kerjakan sehingga mereka mendapat pujian se-tinggi itu dari Allah, yaitu “Di dalamnya ada beberapa orang laki-laki yang suka sekali akan kebersihan." Maka menjawablah mereka bahwa mereka kerjakan yang biasa juga, akan shalat berwudhu dan sehabis janabah mereka mandi. Kemudian, Rasulullah ﷺ bertanya, “Tidakkah ada lagi tambahan lain?" Mereka menjawab, “Ada! Yaitu kami kalau membersihkan sesudah buang air besar dan buang air kecil, meskipun telah kami beristinja' dengan batu, selalu kami ikuti membasuhnya dengan air." Maka bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Itu bagus sekali, teruskanlah begitu."
Terlepas dari kuat atau tidaknya sanad riwayat ini, tetapi dia dapat dijadikan petunjuk betapa arti kebersihan bagi orang yang hatinya telah terpaut ke masjid. Didikan kebersihan tubuh yang sokong-menyokong dengan kebersihan hati, walaupun telah beristinja' dengan batu, kalau bertemu air, mereka ulang sekali lagi membersihkannya. Dengan demikian, mereka merasa lebih bersih menghadap Allah. Maka datanglah lanjutan ayat,
Ayat 109
“Maka apakah orang yang mendirikan bangunannya atas (dasa'i) takwa dari Allah dan karena ridha-Nya yang lebih baik? Ataukah orang yang mendirikan bangunannya di atas tepi jurang yang dalam, lalu bangunan itu membawanya ke dalam neraka Jahannam.'"
Pangkal ayat ini berbentuk sebagai suatu pertanyaan, yang disuruh Allah Rasul-Nya menanyakan kepada umat, untuk membangkitkan mereka berpikir. Mana yang lebih baik mendirikan bangunan atas dasar takwa dan ridha Allah, dengan mendirikan bangunan di tepi jurang neraka karena niat mendirikannya adalah jahat? Pertanyaan ini mengajak ber-pikir bagi tiap orang yang beriman jika hendak mengadakan suatu bangunan baik masjid atau bangunan yang lain. Sebab bangunan itu sendiri tidaklah salah. Bahkan berdirinya satu masjid tidaklah salah. Yang akan ditinjau ialah niat ketika mendirikan. Oleh sebab itu, maka tiap-tiap bergerak hendak membangun, ditegaskan oleh ayat ini supaya bertanya terlebih dahulu ke dalam hati sanubari sendiri, apa niat yang terkandung di dalamnya? Apakah hendak memecah-belah? Apakah karena jiwa kufur? Maka apabila suatu bangunan didirikan benar-benar atas dasar takwa, iman dan ikhlas, bangunan itulah yang akan berkat dan selamat. Tetapi bangunan yang didirikan atas niat memecah-belah tenaga umat, atau untuk kemegahan diri sendiri, mencari nama, mempertontonkan kekayaan, membela golongan sehingga putus tali silaturahim yang mestinya selalu berhubung, samalah halnya dengan mendirikan bangunan itu, di tepi jurang, di bibir lurah yang curam. Bagaimanapun bagus bentuknya, dia pasti hancur dan runtuh, menghimpit pendiri-pendiri itu sendiri dan membawa mereka ke dalam neraka Jahannam.
Niscaya kita lihat sekarang ini bahwa masjid yang asal pertama, baik Masjid Quba atau Masjid Rasulullah ﷺ, yang oleh kaum munafik hendak ditandingi dengan masjid Dhirar itu, tidaklah dapat disamaratakan pengiasannya dengan masjid-masjid pada zaman kita. Imam Syafi'i sendiri dalam fatwanya yang qadim, tetap bertahan bahwa di dalam satu Madinah (kota besar) cukup satu masjid saja. Tetapi setelah beliau melihat kedudukan kota Baghdad sendiri yang di kala itu mempunyai dua bagian kota seberang-menyeberang sungai Dajlah, beliau pun meninjau fatwanya itu kembali. Sehingga walaupun kedengaran adzan di seberang sungai, karena sukar menempuhnya dengan perahu, bolehlah mendi-rikan masjid pula di seberang satu lagi. Dalam fatwa beliau yang jadid, setelah berpindah ke Mesir, condonglah beliau kepada pendapat bahwa di dalam kota-kota yang besar, bolehlah berbilang masjid, asal diatur oleh imam (kepala negara).
Setelah agama Islam menjadi anutan orang-orang di tanah air kita, maka terdapatlah susunan-susunan masyarakat yang disesuaikan dengan agama. Misalnya, satu Mukim di Aceh, satu Korea (Qaryah) di Mandahiling dan Nagari di Minangkabau. Di jawa pun sejak Kerajaan Demak, dalam ibukota Kabupaten berdiri sebuah Masjid Besar. Dalam pepatah Minangkabau yang disebut sebuah Nagari ialah “Yang berbalairung yang seruang, ber-masjid yang sebuah." Artinya, tidak boleh berbilang masjid atau jum'at, mesti hanya sebuah. Tetapi setelah anak buah bertambah kembang berdasar kepada paham Madzhab Syafi'i itu.
pada 1890 Tuan Syekh Muhammad Yunus (ayah dari almarhum Zainuddin Labay dan almarhumah Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah) mengeluarkan fatwa bahwa di dalam negeri Pandai Sikat boleh berdiri lagi sebuah masjid, yaitu di kampung Pandai Sikat yang jauh dari Masjid Jami itu. Demikian juga mendirikan Masjid Kubu Sungai Batang, padahal dahulu hanya satu di Jorong Nagari saja, atas fatwa ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah.
Di negeri Negara di Kalimantan Selatan terjadi pembahasan ulama-ulama berpuluh tahun lamanya karena satu golongan hendak mendirikan sebuah masjid lagi di seberang sungai yang membelintang di tengah negeri.
Karena persoalan menambah masjid dari satu menjadi dua di sebuah negeri itu amat hebat pada permulaan abad kedua puluh ini, maka Tuan Syekh Ahmad Khathib di Mekah mengeluarkan sebuah kitab dalam bahasa Arab, bernama Shul-hul Jama'atain (Perda-maian Dua Jamaah), yang ringkasan isinya ialah bahwa boleh menambah bilangan masjid dalam satu negeri, atau korea atau mukim itu, asal saja dengan musyawarah yang baik dan karena sebab-sebab yang masuk akal, bukan karena hendak menimbulkan perpecahan di antara dua golongan.
Di kota-kota besar di Jawa menjadi tradisi bahwa istana kedudukan bupati (kabupaten) berhadap-hadapan dengan sebuah Masjid Jami' Di tengah-tengahnya sebuah tanah lapang (alun-alun). Tetapi setelah zaman penjajahan, tangan penjajah masuk ke dalam masjid itu dan kiai penghulu adalah seorang ambtenar yang biasanya terpilih dari orang yang bertali darah kekeluargaan dengan bupati sehingga masjid-masjid menjadi sumber kebekuan pikiran, maka kalangan kaum muda Islam mendirikan lagi masjid-masjid sendiri, sebab memandang bahwa amalan di Masjid Besar itu sudah banyak dicampuri bid'ah atau pengaruh penjajah.
Tadi kita katakan bahwa keadaan masjid kita sekarang tidak boleh langsung diserupakan dengan Masjid Quba dan Masjid Madinah, yang hendak dipecahkan oleh orang munafik dengan mendirikan Masjid Dhirar itu. Berbilang masjid, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta dan lain-lain kota besar itu, tidaklah salah. Menambah masjid di satu negeri, mukim, korea, dan sebagainya itu tidaklah salah asal jamaah kaum Muslimin ja-ngan terpecah belah. Asal imam-imamnya seia sekata di dalam menghadapi tugas bersama mengadakan dakwah. Yang salah ialah jika mendirikan suatu bangunan timbul daripada niat sebagai niat munafik yang empat perkara tadi.
Di Kota Payakumbuh, berdirilah masjid-masjid kepunyaan satu golongan. Ada masjid orang Banuhampu, masjid orang Sianok, masjid orang Pariaman. Yaitu orang-orang dari daerah Minangkabau sendiri, yang berniaga di Payakumbuh. Pada 1946 Penulis Tafsir ini berulang-ulang datang ke Payakumbuh dan memberi pengertian bahwa memakai nama kampung mereka untuk masjid, tidaklah layak. Lalu semuanya ditukar namanya, menjadi Masjid Mujahidin, Mukarrabin, Muttaqin, dan sebagainya.
Bertalian dengan ini tentu tidak layak juga kalau satu masjid yang didirikan oleh satu perkumpulan Islam, diberi nama dengan nama perserikatan itu. Misalnya Masjid Mu-hammadiyah, Masjid Persis, Masjid Nandla-tul Ulama, dan sebagainya. Takut kalau-kalau timbul niat yang tidak baik, yaitu memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin.
Oleh sebab itu, jadikanlah masjid menjadi sumber iman dan tauhid, sumber untuk me-nyatu-padukan aqidah dan ibadah umat, yang didirikan sejak semulanya atas dasar yang takwa dan ikhlas, jangan hendaknya menjadi sumber dari perpecahan dan dosa, jangan pula seperti orang kaya yang mendirikan sebuah masjid untuk kemegahan diri sendiri. Sebab ujung ayat telah memberi ketegasan.
“Dan Atlah tidaklah akan membelikan petunjuk kepada orang yang zalim."
Orang yang zalim ialah yang keluar dari batas yang ditentukan Allah, lagi zhulm, yaitu gelap tidak terang apa yang mereka tuju. Orang mendirikan masjid untuk menyembah Allah, mereka mendirikan masjid untuk memecah, untuk mengintip bagi memerangi Allah dan Rasul. Maka oleh sebab sejak semula niat sudah tidak baik, sampai kepada akhirnya mereka pun akan tetap dalam gelap, tidak diberi petunjuk oleh Allah.
Ayat 110
“Senantiasalah bangunan mereka yang mereka dirikan itu menimbulkan keraguan dalam hati mereka."
Pangkal ayat ini telah memberi pelajaran kepada kita tentang perasaan yang menimpa hati orang yang munafik. Oleh karena maksud mereka mendirikan bangunan itu tidak jelas karena Allah, tidak karena takwa dan tidak karena mengharapkan ridha Allah, mereka se-lalu akan tertekan batin. Mereka selalu akan digoncangkan perasaan hati sendiri. Sebab pada zahir Allah yang disembah, mereka shalat juga. Padahal batin bukan menghadap kepada Allah, melainkan mengatur maksud-maksud yang jahat."Kecuali apabila telah terpotong-potong hati mereka." Artinya adalah dua tiga macam. Satu, ialah kalau mereka masih ada berhati berjantung, tegasnya masih ada perasaan, keraguan itu akan tetap ada. Itulah yang kita di zaman sekarang menamainya tekanan batin. Baru akan berhenti rasa ragu-ragu itu jika mereka tidak ada hati lagi. Kedua, selama Masjid Dhirar itu masih ada, maka selama itu pula hati pembangun-pembangunnya itu tetap ragu-ragu, dan baru akan berhenti apabila hati jantung mereka telah dirobek-robek oleh siksaan Allah. Yaitu adzab neraka Jahannam. Dan sebagaimana kita ketahui pada hadits, syukurlah Rasulullah ﷺ segera setelah dua tiga hati kembali dari Tabuk menyuruh meruntuhkan masjid palsu itu.
Dan ayat ini menjadi pengajaran bagi kita bahwasanya suatu bangunan yang didirikan tidak atas dasar yang ikhlas, selalu akan menggelisahkan perasaan orang yang mem-bangunnya. Dan ini kerap kali kita lihat pada orang-orang yang demikian. Sehingga selalu mereka membela diri, mengatakan maksudnya adalah baik, bukan maksud memecah, bukan membawa bencana dan bahaya, walaupun tidak ada orang yang bertanya. Sebab hati kecilnya sendiri mengakui bahwa perbuatannya salah, baru dia akan terlepas dari tekanan batin itu kalau dia mengakui satahnya terus terang dan segera bertobat. Kalau tidak, maka hatinya akan terus laksana terpotong-potong!
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Allah Maha Mengetahui, Allah lebih tahu, walaupun maksud-maksud jahat itu mereka dinding dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Akhirnya, kelak apa yang mereka sembunyikan itu akan dibuka juga oleh Allah. Tetapi Allah pun Bijaksana, sehingga penyakit tekanan batin itu bisa juga diobat, yaitu dengan tobat dan kembali ke dalam jalan yang benar.
Tersebut di dalam satu riwayat bahwa setelah Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Majma bin Haritsah, bacaannya fasih dan dia bisa menjadi imam jamaah. Maka keluarga Bani Amin bin Auf, yaitu penduduk kampung Quba yang meramaikan Masjid Quba meminta izin kepada beliau agar Majma bin Haritsah itu di-izinkan menjadi imam jamaah mereka. Amirul Mu'minin mulanya tidak memberi izin dia dijadikan imam; sebab dia pernah diangkat kaum munafik itu menjadi imam di Masjid Dhirar itu. Mendengar larangan itu datanglah Majma menghadap khalifah, lalu berkata, “Ya
Amirul Mu'minin, janganlah lekas saja menyalahkan aku. Demi Allah, memanglah aku pernah shalat menjadi imam mereka, tetapi Allah tahu bahwa aku sendiri waktu itu tidak tahu niat jahat mereka. Aku waktu itu masih kanak-kanak dan bisa membaca Al-Qur'an, sedang mereka itu adalah orang tua-tua yang tidak seorang pun yang pandai membaca Al-Qur'an!"
Mendengar keterangannya yang demikian, dapatlah khalifah memahami dan percayalah beliau akan keterangannya itu, lalu diizinkanlah dia menjadi imam. Sebab nyata bahwa sebagai seorang anak kecil, dia tidak mengerti duduk soal yang sebenarnya.