Ayat
Terjemahan Per Kata
خُذۡ
ambillah
مِنۡ
dari
أَمۡوَٰلِهِمۡ
sebagian harta mereka
صَدَقَةٗ
sedekah
تُطَهِّرُهُمۡ
kamu membersihkan mereka
وَتُزَكِّيهِم
dan kamu mensucikan mereka
بِهَا
dengannya
وَصَلِّ
dan doakanlah
عَلَيۡهِمۡۖ
atas mereka
إِنَّ
sesungguhnya
صَلَوٰتَكَ
doa kamu
سَكَنٞ
ketentraman
لَّهُمۡۗ
bagi mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
خُذۡ
ambillah
مِنۡ
dari
أَمۡوَٰلِهِمۡ
sebagian harta mereka
صَدَقَةٗ
sedekah
تُطَهِّرُهُمۡ
kamu membersihkan mereka
وَتُزَكِّيهِم
dan kamu mensucikan mereka
بِهَا
dengannya
وَصَلِّ
dan doakanlah
عَلَيۡهِمۡۖ
atas mereka
إِنَّ
sesungguhnya
صَلَوٰتَكَ
doa kamu
سَكَنٞ
ketentraman
لَّهُمۡۗ
bagi mereka
وَٱللَّهُ
dan Allah
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka) dari dosa-dosa mereka, maka Nabi ﷺ mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya (dan berdoalah untuk mereka). (Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenangan jiwa) rahmat (bagi mereka) menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran tobat mereka diterima. (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Tafsir Surat At-Taubah: 103-104
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tidakkah mereka mengetahuibahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Ayat 103
Allah ﷻ memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka melalui zakat itu. Pengertian ayat ini umum, sekalipun sebagian ulama mengembalikan damir yang terdapat pada lafaz amwalihim kepada orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan yang mencampurbaurkan amal saleh dengan amal buruknya.
Karena itulah ada sebagian orang yang enggan membayar zakat dari kalangan orang-orang Arab Badui menduga bahwa pembayaran zakat bukanlah kepada imam, dan sesungguhnya hal itu hanyalah khusus bagi Rasulullah ﷺ. Mereka berhujah dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (At-Taubah: 103), hingga akhir ayat
Pemahaman dan takwil yang rusak ini dijawab dengan tegas oleh Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dan sahabat lainnya dengan memerangi mereka, hingga mereka mau membayar zakatnya kepada khalifah, sebagaimana dahulu mereka membayarnya kepada Rasulullah ﷺ hingga dalam kasus ini Khalifah Abu Bakar r.a. pernah berkata: “Demi Allah, seandainya mereka membangkang terhadapku, tidak mau menunaikan zakat ternak untanya yang biasa mereka tunaikan kepada Rasulullah ﷺ, maka sungguh aku benar-benar akan memerangi mereka karena pembangkangannya itu.”
Firman Allah ﷻ: “Dan berdoalah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)
Maksudnya, berdoalah untuk mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka.
Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Abu Aufa yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ apabila menerima zakat dari suatu kaum, maka beliau berdoa untuk mereka. Lalu datanglah ayahku (perawi) dengan membawa zakatnya, maka Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.” Di dalam hadis lain disebutkan bahwa seorang wanita berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah untuk diriku dan suamiku." Maka Rasulullah ﷺ berdoa: "Semoga Allah merahmati dirimu juga suamimu."
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Sebagian ulama membacanya salawatika dalam bentuk jamak, sedangkan sebagian ulama lain membacanya salataka dalam bentuk mufrad (tunggal).
“(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103) Menurut Ibnu Abbas, menjadi rahmat buat mereka.
Sedangkan menurut Qatadah, menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah Maha Mendengar.” (At-Taubah: 103) Yakni doamu.
“Lagi Maha Mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Yaitu terhadap orang yang berhak mendapatkan hal itu darimu dan orang yang pantas untuk memperolehnya.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abul Urnais, dari Abu Bakar ibnu Amr ibnu Atabah, dari Ibnu Huzaifah, dari ayahnya, bahwa Nabi ﷺ apabila berdoa untuk seorang lelaki, maka doa Nabi ﷺ itu mengenai dirinya, juga mengenai anak serta cucunya. Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abu Na'im, dari Mis'ar, dari Abu Bakar ibnu Amr ibnu Atabah, dari seorang anak Huzaifah.
Mis'ar mengatakan bahwa hadis ini telah disebutkannya dalam kesempatan yang lain, dari Huzaifah, bahwa sesungguhnya doa Nabi ﷺ benar-benar mengenai diri lelaki yang bersangkutan, juga anak serta cucunya.
Ayat 104
Firman Allah ﷻ: “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat.” (At-Taubah: 104)
Ayat ini mengandung makna perintah untuk bertobat dan berzakat, karena kedua perkara tersebut masing-masing dapat menghapuskan dosa-dosa dan melenyapkannya. Allah ﷻ telah memberitakan pula bahwa setiap orang yang bertobat kepada-Nya, niscaya Allah menerima tobatnya.
Dan barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah (zakat) dari usaha yang halal, sesungguhnya Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia memeliharanya untuk pemiliknya, hingga sebiji buah kurma menjadi seperti Bukit Uhud.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ. As-Sauri dan Waki' telah menceritakan, dari Ubadah ibnu Mansur, dari Al-Qasim ibnu Muhammad bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima sedekah dan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia memeliharanya buat seseorang di antara kalian (yang mengeluarkannya) sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya, hingga sesuap makanan menjadi besar seperti Bukit Uhud. Hal yang membenarkan perkara ini berada di dalam Kitabullah, yaitu di dalam firman-Nya:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat.” (At-Taubah: 104)
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
As-Sauri dan Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abdullah ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Abu Qatadah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya sedekah itu diterima di tangan Allah ﷻ sebelum sedekah itu diterima oleh tangan peminta." Kemudian Ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat.” (At-Taubah: 104)
Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh-nya pada Bab "Biografi Abdullah ibnusy Sya'ir As-Saksiki Ad-Dimasyqi” yang asalnya adalah Al-Himsi, salah seorang ulama fiqih. Mu'awiyah dan lain-lainnya banyak mengambil riwayat darinya.
Hausyab ibnu Saif As-Saksiki Al-Himsi pun telah mengambil riwayat darinya, bahwa di zaman Mu'awiyah r.a. orang-orang berangkat berperang di bawah pimpinan Abdur Rahman ibnu Khalid ibnul Walid. Kemudian ada seorang lelaki dari pasukan kaum muslim melakukan penggelapan harta rampasan sebanyak seratus dinar Romawi. Ketika pasukan kaum muslim kembali, ia menyesal; lalu ia datang menghadap panglimanya, tetapi si panglima tidak mau menerima hasil penggelapan itu darinya. Panglima mengatakan, "Semua pasukan telah pulang, dan aku tidak mau menerimanya darimu, hingga engkau menghadap kepada Allah dengan membawanya kelak di hari kiamat." Maka lelaki itu menghubungi para sahabat satu persatu, tetapi mereka mengatakan hal yang sama.
Ketika sampai di Damaskus, ia menghadap kepada Mu'awiyah untuk menyerahkannya, tetapi Mu'awiyah menolak, tidak mau menerimanya. Lalu ia keluar dari sisi Mu'awiyah seraya menangis dan mengucapkan istirja'. Akhirnya ia berjumpa dengan Abdullah ibnusy Sya'ir As-Saksiki yang langsung menanyainya, "Apakah gerangan yang membuatmu menangis?" Lalu lelaki itu menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Abdullah As-Saksiki berkata, "Apakah engkau mau taat kepadaku?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah berkata, "Pergilah kepada Mu'awiyah dan katakan kepadanya, 'Terimalah dariku khumusmu!', dan serahkanlah kepadanya dua puluh dinar, lalu tangguhkanlah yang delapan puluh dinarnya. Setelah itu sedekahkanlah yang delapan puluh dinar itu (kepada kaum fakir miskin) sebagai ganti dari pasukan tersebut. Karena sesungguhnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui tentang nama-nama dan tempat-tempat mereka." Lelaki itu mengerjakan apa yang dikatakannya, dan Mu'awiyah berkata, "Sesungguhnya jika aku memberikan fatwa demikian kepadanya, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang aku miliki sekarang ini. Lelaki itu sungguh telah berbuat baik.”
Pada ayat sebelumnya dijelaskan adanya sekelompok orang yang mengakui dosa-dosa mereka lalu bertobat kepada Allah. Karena penyebab dosa mereka adalah kecintaan kepada harta, maka dalam ayat ini dijelaskan tentang wujud tobat dan ketaatan diantaranya dengan menunaikan zakat. Diperintahkan kepada Nabi Muhammad, Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan jiwa mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta, dan menyucikan hati agar tumbuh subur sifat-sifat kebaikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka yang sudah lama gelisah dan cemas akibat dosa-dosa yang mereka kerjakan. Sampaikan kepada mereka bahwa Allah Maha Mendengar permohonan ampun dari hamba-Nya, Maha Mengetahui tulus atau tidaknya tobat mereka.
Allah menegaskan dalam bentuk pertanyaan, Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat yang tulus dari hamba-hambaNya dan menerima zakat mereka dengan memberinya pahala, dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah Maha Penerima tobat orang-orang yang menyesali dosa yang telah mereka lakukan, lagi Maha Penyayang kepada mereka yang benar dalam tobatnya'.
Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, agar Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai sedekah atau zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin.
Di samping itu, dapat dikatakan bahwa penunaian zakat berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari sifat kikir dan tamak. Menunaikan zakat akan menyebab-kan keberkahan pada sisa harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan.
Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim, untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk memungut zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerima-nya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat. Doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka.
Semoga Allah memberi pahala terhadap apa-apa yang kamu berikan, dan memberkahi apa yang kamu tinggalkan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya yang bertobat, Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya, seperti rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 103
“Ambillah dari harta benda mereka sebagai sedekah."
Pada khususnya yang disebut mereka di sini ialah golongan yang tersebut di ayat yang sebelumnya tadi, yaitu orang yang masih campur aduk baginya di antara amalan yang baik dengan yang buruk, tetapi dia sadar akan kekurangan dirinya dan ingin perbaikan. Tadi Allah telah menjanjikan bahwa semoga Allah dapat memberi tobat kepada mereka. Berfirmanlah Allah dalam ayat ini; salah satu usaha guna menaikkan orang yang masih terletak di tengah itu sehingga bisa mencapai martabat lebih tinggi, yaitu pengikut orang-orang yang mendahului yang mula-mula dengan baik, ialah supaya Rasulullah ﷺ meng-ambil sebagian tertentu dari harta benda mereka untuk sedekah. Lalu di lanjutan ayat diterangkan hikmah pengambilan itu. “Untuk membersihkan mereka dan menyucikan mereka dengan dia."
Di ayat ini dinyatakan suatu rahasia penting yang amat dalam, salah satu sebab mengapa manusia itu menjadi degil, sampai ada juga yang masih senang mencampur aduk amal baik dengan amal buruk, dan tidak juga insaf, sehingga akhirnya bisa jatuh jadi munafik atau fasik. Sebab yang terutama ialah pengaruh harta.
Ada dua tabiat yang tumbuh pada manusia karena keinginan memiliki harta. Pertama, tamak atau loba; kedua, bakhil atau kikir. Mau mengaut dan mengumpul sebanyak-banyaknya, dan mau mengeluarkan kembali sesedikit-sedikitnya. Perangai-perangai yang lain pun timbul adalah karena kedua perangai dasar yang utama ini. Biar mengecoh dan menipu asal mendapat laba. Biar bohong dan kadang-kadang timbul hati dengki melihat orang lain mendapat banyak. Kadang-kadang tak keberatan menganiaya orang lain, asal harta orang itu jatuh ke tangan awak. Yang paling rendah ialah menipu dan mencuri. Semuanya ini adalah kekotoran di dalam jiwa manusia karena pengaruh harta. Dia terdapat dalam ukuran kecil pada pribadi, dan dia terdapat dalam ukuran besar pada bangsa-bangsa. Sehingga perang di antara bangsa dan bangsa, atau penjajahan bangsa kuat atas bangsa lemah, atau pemerasan tenaga manusia atas manusia, atau revolusi si lemah tertindas kepada si kuat penindas berasal dari perebutan harta ini. Sehingga di zaman kita ini terkenallah ajaran Karl Marx, yang menyimpulkan bahwa seluruh kegiatan
hidup manusia di dalam segala bidang tidak lain ialah karena memperebutkan hak milik. Marx mengatakan bahwa sejak manusia mulai memakai istilah “ini aku punya" dan “itu engkau punya", sejak zaman itulah timbulnya pertentangan di antara yang mempunyai de-ngan yang tidak mempunyai. Sebab itu Marx mengambil kesimpulan bahwa pertentangan di antara yang berpunya dengan yang tidak mempunyai, adalah hukum besi sejarah yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Baru akan habis semuanya itu apabila tidak ada lagi kata-kata “ini aku punya" dan “itu engkau punya".
Sebagaimana telah dimaklumi, Karl Marx memperhitungkan soal ini dari segi kebendaan (materialisme) semata-mata. Dia tidak mengakui ada lagi segi di balik benda. Dia tidak mengakui adanya Allah, atau agama, atau moral, dan lain-lain yang bersifat kejiwaan. Tetapi Marx juga ingin perbaikan keadaan. Maka ujung dari ajaran Marx untuk memperbaiki keadaan itu ialah dengan melalui pertentangan tadi, dalam ajaran dia-tektika, yang akhirnya mencapai kepada habisnya segala pertentangan, karena kelas yang mempunyai itu habis dimusnahkan oleh kelas yang tidak mempunyai apa-apa. Untuk itu hendaklah si tidak punya, yang bernama proletar merebut kuasa dari kelas si berpunya. Setelah kekuasaan didapat hendaklah diadakan pemerintahan diktator proletariat, yaitu gabungan kelas buruh dan tani. Dengan cara diktator, dicabut segala hak tiap-tiap pribadi dari mempunyai dan semua menjadilah hak kepunyaan pemerintahan yang berkuasa. Dan diktator proletariat itu tetap dipertahankan, sampai kelak datang masanya, sesudah mela-lui sosialisme, mencapai komunisme, itulah dia menurut Marx dan orang-orang yang me-mercayainya, suatu zaman surga dunia yang gilang-gemilang, di mana kata hak milik tidak ada lagi.
Tidak ada yang mempunyai khusus, sebab
ngan seluruh rakyat, pihak-pihak Komando Penumpasan mengakui terus-terang bahwa pekerjaan mereka menumpas bahaya itu berjalan dengan lancar pada daerah-daerah yang di sana agamanya kuat.
Niscaya bahaya besar itu tidak akan terulang lagi apabila umat Islam dengan sadar menjalankan dan mempraktikkan ajaran agamanya, seperti 14 pokok yang diuraikan di atas itu. Sebab tidak ada di antara kita yang merasa dari umat Islam yang tidak cemas kalau-kalau hal yang ngeri itu berulang kembali. Maka untuk membendungnya tidak lain ialah mengamalkan ajaran agama dengan kesadaran, apatah lagi jika diperkuat oleh negara.
Sekarang kita teruskan tafsir.
“Dan shalawatkanlah atas mereka, (karena) sesungguhnya shalat engkau itu adalah membawa tenteram bagi mereka." Sesudah Rasulullah ﷺ diperintahkan Allah untuk mengambil atau memungut sedekah (zakat) mereka yang beriman itu, disuruhlah lagi Rasul ﷺ memberi shalawat bagi mereka, artinya mendoakan mereka kepada Allah agar mereka diberi karunia, berkat dan rahmat dari Allah, karena doa Nabi atau shalawat Nabi bagi mereka itu adalah akan menambah tenteram hati mereka, membuat mereka berasa bahagia sebab sedekah mereka disambut baik oleh Nabi.
Dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Auf, bahwa Nabi ﷺ apabila datang kepada beliau suatu kaum mengantarkan zakat, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, berilah shalawat atas si fulan."
Maka kata Abdullah bin Abi Aufa selanjutnya, “Datang pula ayahku membawa sede-kahnya, lalu beliau ucapkan pula:
“Ya Allah, berilah shalawat atas keluarga Abi Aufa." (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut riwayat dari an-Nasa'i pernah juga seketika seorang mengantarkan zakat seekor unta yang bagus, beliau ucapkan:
“Ya Allah, beri berkatlah padanya dan pada untanya" (HR an-Nasa'i)
Oleh sebab itu, Imam Syafi'i pun bertafwa bahwa imam (kepala negara) kalau menerima zakat baiklah dia menuruti sunnah Nabi ﷺ ini, yaitu mendoakan pembawa zakat itu, mo-ga-moga diberi Allah pahala dan diberi berkat.
Di dalam ayat ini Allah menyatakan kepada Rasul-Nya bahwasanya shalawat atau doa dari Nabi ﷺ yang beliau berikan ketika beliau menyambut penyerahkan sedekah atau zakat itu, adalah membawa tenteram bagi hati mereka. Hilanglah segala jerih payah mereka itu, jika mereka datang membawa zakat, disambut Rasul ﷺ dengan muka jernih dan dia didoakan. Muka jernih dan shalawat dari Rasul ﷺ itu menyebabkan barang yang berat menjadi ringan, dan yang jauh menjadi hampir. Mereka akan sudi selalu berzakat dan berkorban, karena sambutan Rasul ﷺ yang baik itu.
Soal yang tampaknya kecil ini jadi bincangan juga di kalangan ulama. Setengah me-ngatakan hanya sunnah, tetapi ada juga yang mengatakan wajib. Meskipun tampaknya kecil, namun dia menjadi, satu teladan yang baik bagi kita umat Islam yang mengurus sendiri soal-soal agama kita, misalnya dengan membentuk panitia-panitia atau perkumpulan yang memungut zakat dan membagikan kepada yang mustahak, yakni agar disambut dengan baik si pemberi zakat itu, ditunjukkan muka yang jernih, diiringkan dengan doa, yaitu suatu servis atau penyelenggaraan yang berpokok dari agama. Adakah tidak patut dihormati dan dihargai orang yang telah sudi mengeluarkan sebagian hartanya karena demi menjunjung tinggi perintah Allah, pada zaman ini, yaitu zaman tidak ada khalifah lagi yang berhak memungut dengan paksa kepada yang tidak mau dan amal terserah kepada kesadaran beragama seseorang? Mereka sendiri yang mengantarkan zakat dengan sukarela kepada panitia.
Di penutup ayat berfirmanlah Allah,
“Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Mengetahui."
Sesudah Allah memerintahkan Rasul-Nya supaya sedekah umat-Nya dengan shalawat dan doa untuknya, Allah mengatakan bahwa Dia mendengar. Artinya, shalawat Nabi untuk umat itu didengar oleh Allah, sebab itu akan dikabulkan-Nya. Maka bertambah tenteramlah hati si Mukmin tadi. Dan Allah pun mendengar suara tobat hamba-Nya—yang bertali dengan ayat sebelumnya—yaitu merasa menyesal karena selama ini, amalnya masih campur aduk saja di antara yang buruk dan yang baik. Dan, Allah pun mengetahui akan keikhlasan hati mereka dengan mengeluarkan harta itu, karena insaf bahwa harta itu Allah-lah yang sebenarnya punya, dan dia hanya mengambil manfaat karena izin Allah, sekarang dia belanjakan kepada jalan yang diridhai oleh Allah yang empunya dia.
Kemudian datanglah susulan ayat untuk menghilangkan lagi segala sisa kebimbangan dari hati Mukmin bahwa asal ikhlas, tobat mereka diterima dan sedekah mereka disambut dengan ucapan shalawat oleh Nabi. Maka berfirmanlah Allah,
Ayat 104
“Apakah mereka tidak mengetahui bahwasanya Allah akan menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan mengambil sedekah-sedekah, dan bahwasanya Allah adalah Dia memberi tobat dan Penyayang,"
Dengan kunci ayat seperti ini berupa pertanyaan, seakan-akan berkatalah Allah kepaaa hamba-hamba-Nya: “Teruslah tobat, keluarkanlah zakat, jangan menunggu lama lagi, sebab pintu Allah selalu terbuka menunggu kedatanganmu."
Dengan tobat, dosa yang lama telah disesali; dengan sedekah, perubahan jiwa telah dibuktikan. Maka cinta kasih Allah pun ber-kelimpahanlah, niscaya jiwa kian lama kian bersih.
Dirawikan sebuah hadits oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah marfu'; bersabda Nabi ﷺ.
“Tidaklah bersedekah seseorang kamu dengan suam sedekah dan hasil usaha yang halal dan baik, sedang Allah tidaklah menerima melainkan yang baik. Melainkan sedekah itu akan disambut oleh Allah Yang Rahman dengan tangan kanan-Nya, meskipun hanya sebiji kurma, maka akan suburlah, dia dalam telapak tangan Ar-Rahmaan. sehingga akan lebih besar dari sebuah gunting, sebagaimana menternakkan seorang kamu akar, seekor anak kudanya atau anak untanya." (HR Muslim dan Bukhari)
Sesudah itu datanglah perintah beramal.
Ayat 105
“Dan katakanlah, ‘Beramallah kamu, maka Allah akan me…kan amalan kamu dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.'"
Inilah lanjutan tuntunan Allah kepada orang yang telah bertobat. Langkah pertama dari tobat ialah bersedekah, yakni membebaskan dan membersihkan dan menyucikan jiwa dari pengaruh hatta benda selama ini memperbudak diri. Sesudah itu janganlah berhenti sehingga itu saja, melainkan terus beramal karena nilai kehidupan ditentukan oleh amalan yang bermutu. Maka tidaklah boleh ada Mukmin yang kosong waktunya dari amal. Amal itu tidaklah akan lepas dari perhatian Allah dan Rasul dan orang yang beriman.
Amal artinya ialah pekerjaan, usaha, perbuatan atau keaktifan hidup. Di dalam surah al-lsraa' ayat 84 yang turun di Mekah, Allah berfirman,
“Katakanlah, ‘Tiap-tiap orang beramal menurut bakatnya. Tetapi Allah engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan"‘ (al-Israa': 84)
Setelah dipertaiikan dengan ayat ini, dapatlah kita ketahui bahwa Allah menyuruh kita bekerja menurut bakat dan bawaan, menurut tenaga dan kemampuan. Bekerjalah menurut bakat itu, tidak usah dikerjakan pekerjaan lain yang bukan tugas kita, supaya umur jangan habis percuma. Pergaulan hidup manusia menghendaki dalam segala simpang siurnya. Bertani, beternak, memburuh, ber-kuli, menjadi tentara, menjadi negarawan, menjadi pengarang, menjadi pedagang. Ayah mendidik anak, ibu memelihara rumah tangga, murid belajar, guru mengajar. Walau tukang arit rumput atau membuka perusahaan besar. Walaupun menjadi nakhoda kapal atau pilot pengemudi pesawat terbang, dan sopir pembawa mobil. Dokter mengobati orang, perawat merawat orang sakit, ahli hukum menegakkan hukum. Apatah lagi, bertambah kemajuan hidup manusia, bertambah pula timbul kejuruan dalam hal-hal yang khas. Timbullah spesialisasi. Maka ayat yang tengah kita tafsirkan ini, dipersambungkan dengan ayat 84 surah al-lsraa' tadi, menjadilah rangsangan yang hebat dari Allah melarang kita malas dan membuang-buang waktu. Mutu pekerjaan harus ditingkatkan dan selalu memohon petunjuk dari Allah, dan kalau dari mata pekerjaan itu kita beroleh re-jeki, keluarkanlah zakatnya atau sedekah tathawwu'-nya. Terkadang, walaupun kita tidak dapat memberikan bantuan uang kepada orang lain, senyum simpul dan muka jernih saja pun sudahlah menjadi sedekah. Di satu hadits yang shahih Nabi pun bersabda bahwa menghindarkan duri, atau pecahan kaca, atau paku yang bisa membocorkan ban mobil orang yang lalu lintas, sudah termasuk sedekah juga.
Pikirkanlah ini dan tilik dengan kacamata zaman modern. Ayat ini dengan tegas menyuruh kita mempertinggi produksi, dan tiap-tiap kita mestilah produktif, mengeluarkan hasil, dan tahu di mana tempat kita masing-masing. Tidak ada pekerjaan yang hina, asal halal, dan asal tidak melepaskan diri dari ikatan dengan Allah.
Pada suatu hari dalam perlawatan saya ke Sarawak (1960), sesudah saya memberikan beberapa kali penerangan agama, datanglah orang berduyun-duyun ke tempat penginapan saya, banyak yang membawa botol berisi air tawar, meminta agar saya mau memantra-kan karena menginginkan berkah. Ada pula perempuan menggendong anaknya, minta saya embus ubun-ubun anaknya, supaya dapat berkat. Di samping itu, ada pula beberapa orang datang minta diajarkan doa-doa buat diamalkan. Maka terpaksalah saya menerangkan arti amal. Kemudian saya terangkan bahwa doa adalah satu ranting saja dari keseluruhan amal. Amal ialah usaha dan bekerja. Kerjakanlah segala cabang pekerjaan saudara dengan sungguh-sungguh dan jaga agar jangan sampai tercampur dengan yang haram. Walaupun saudara hanya seorang tukang pangkas rambut, ataupun seorang tukang jahit pakaian, pertinggilah mutu pekerjaan itu. Usaha saudara mempertinggi mutu pekerjaan itu, yang terlebih dahulu memerhatikannya ialah Allah sendiri, kemudian itu Nabi ﷺ kita, kemudian itu tiap-tiap orang yang beriman. Kalau sekiranya saudara hanya asyik membaca doa dan menyangka bahwa itulah yang amal, sedang pekerjaan yang lain untuk hidup, untuk umat dan bangsa saudara abaikan, maka negeri saudara ini tidaklah akan lepas-lepas dari penindasan dan penjajahan bangsa asing.
Bagi teman-teman di Sarawak itu keterangan demikian rupanya dianggap baru, sebab menurut paham selama ini, amal itu ialah doa.
Membaca dan memahamkan kedua ayat ini, yaitu ayat 104 yang menyatakan bahwa Allah sudi menerima tobat dan sudi menerima sedekah atau zakat, hendaklah disena-paskan dengan ayat 105 selanjutnya yang menyuruh beramal. Bagaimana kita akan bisa mengeluarkan zakat kalau kita tidak berusaha dan beramal? Oleh sebab itu, paham yang salah dan tersesat, yang kebanyakan diajarkan oleh ahli-ahli tasawuf yang telah terbelok jauh dan tujuan Islam, sehingga mengartikan bahwa berdoa-doa dan duduk membaca wirid-wirid dan munajat, itulah yang disebut amal, tidaklah sesuai dengan ruh Islam.
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah memerhatikan amal kita. Kita tidak lepas dari mata Allah. Dan di waktu Rasul ﷺ hidup, beliau pun melihat. Dan kaum yang beriman pun melihat. Sebab itu orang yang beriman, kalau dia beramal tidaklah perlu memukul canang, menyorakkan ke hilir mudik bahwa saya berjasa dan saya kerja keras. Walaupun bekerja diam-diam di tempat sunyi, namun akhirnya pekerjaan yang baik itu akan diketahui orang juga. Memang kadang-kadang sesama manusia ada yang dengki, iri hati dan tidak mau mengakui jasa baik seorang yang bekerja. Janganlah hal itu dipedulikan, sebab penghargaan dari Allah dan Rasul ﷺ dan orang yang beriman, adalah yang lebih tinggi nilainya dari hanya hasrat dengki manusia.
Dan cobalah pikirkan dengan tenang, kita bekerja yang baik, beramal yang saleh dalam dunia ini, lain tidak, karena memang yang baik itulah yang wajib kita kerjakan.
Di balik yang baik adalah buruk, jalan tengah di antara baik dan buruk tidaklah ada. Dan kita harus berusaha supaya jangan bekerja campur aduk baik dan buruk. Itu pula sebabnya maka sendi dari amal itu wajib dipupuk, yaitu iman. Iman yang subur niscaya menimbulkan amalan yang baik.
“Dan akan dipulangkan kamu kepada yang Mengetahui apa yang gaib dan yang nyata, maka akan dibe…kan-Nya kepada kamu apa yang pernah kamu kerjakan itu"
Allah selalu memerhatikan amalmu. Za-himya diketahui Allah, batinnya pun diketa-hui-Nya. Gaibnya dan nyatanya, kulit pengubar luar dan teras yang ada di dalam. Dan nanti di akhirat akan diberitakan Allah bagaimana mutu amal itu, jujurkah atau curangkah. Di waktu itu tidak bisa bersembunyi lagi.
Tadi dikatakan, Allah memerhatikan. Rasul ﷺ memerhatikan, dan orang Mukmin pun memerhatikan. Niscaya Rasul sebagai manusia dan orang Mukmin pun kadang-kadang hanya melihat yang kulit saja, yang gaib mereka tidak tahu. Kadang-kadang ada juga orang Mukmin yang memerhatikan, melihat bahwa pekerjaan kita itu tidak ikhlas. Tetapi dia tidak sanggup membuka mulut mengatakan terus terang. Tetapi di hadapan Allah terlebih-lebih tidak dapat main-main. Tidak pun ada rahasia dan mutu amal itu akan dibuka oleh Allah.
Pada ayat 94, peringatan ini pun telah diberikan kepada orang munafik yang datang menyatakan uzur karena tidak turut pergi ke Peperangan Tabuk. Di ayat itu dinyatakan bahwa Rasul ﷺ dan orang yang beriman tidak percaya lagi kepada mereka, sebab Allah telah mengabarkan kecurangan mereka. Sungguh pun begitu, Allah dan Rasul dan orang-orang yang beriman akan melihat dan memerhatikan amal mereka juga. Akan tetapi di dalam ayat ini diberi ketegasan kepada orang-orang yang tobat. Kalau mereka telah tobat benar-benar, iringilah dengan sedekah. Kemudian, hendaklah beramal. Jadi bukan lagi semata-mata terserah kepada mereka, sebagai ayat 94, tetapi menjadi anjuran yang tegas, sebab mereka telah bersungguh-sungguh.
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
Ayat 106
“Dan orang-orang yang selain itu, akan ditangguhkan mereka kepada ketentuan Allah."
Orang-orang yang lain lagi, yaitu orang orang yang mencari dalih mengelak dari tanggung jawab itu. Ada orang munafik yang diterangkan pada ayat 94, datang mengambil muka mengatakan uzur, mereka tidakdipercaya dan akan dilihat dahulu bukti amalan mereka. Ada lagi orang lain yang insaf bahwa amalan mereka campur aduk saja selama ini dan ingin perbaikan din dan bertobat. Tobat mereka diterima, mereka disuruh mengeluarkan zakat atau disuruh beramal, karena amal mereka mendapat perhatian dari Allah. Sekarang ada lagi yang lain. Tidak datang mengemukakan uzur, tidak pula datang menyatakan tobat dan tidak pula menampakkan amal. Bercakapyang menentang pun tidak sehingga orang tidak dapat menduga bagaimana pendirian mereka yang sebenarnya. Maka orang semacam ini, terserahlah perkara mereka kepada ketentuan Allah.
Sebab itu tidaklah perlu orang-orang beriman memusingkan soal mereka. Soal mereka dikembalikan, atau diserahkan bulat kepada keputusan Allah. “Boleh jadi diadzab-Nya mereka dan boleh jadi diberi-Nya tobat atas mereka." Secara tegasnya, urusan orang yang demikian terserahlah di antara mereka dengan Allah. Orang lain janganlah terlalu mencampuri urusan itu, sebab segala sesuatunya sudah jelas, mungkin mereka berlarut-larut dalam kemunafikan, tidak juga ada kesadaran, niscaya adzab Allah-lab yang akan mereka terima. Boleh jadi pula lama-lama mereka pun insaf; sebab orang lain yang mengambil muka telah ditolak Rasul ﷺ, dikatakan bahwa mereka tidak dipercayai lagi, sebab rahasia mereka telah dibuka oleh Allah sendiri. Dan yang lain pula telah datang menyatakan tobat, padahal tobatnya diterima, sedekah dan zakatnya diambil, bahkan diiringkan pula dengan shala-wat dan dianjurkan buat memperbanyak amal. Kalau mereka itu tinggal begitu-begitu saja, tidak ada perubahan, niscaya adzab Allah-lah yang akan mereka terima. Dan kalau mereka insaf, tentu mereka tobat dan tobat itu akan diterima Allah.
Kalimat murjauna, yang kita artikan bahwa soal mereka ditangguhkan atau diserahkan pada ketentuan Allah. Kalimat murjauna ini pecahan dari mashdar (Afj) raja'-an. Boleh dipahamkan artinya bahwa urusan ini dita'khirkan, bukan soal kita manusia yang pokok, tetapi terserah pada ketentuan Allah. Kalimat inilah yang telah menimbulkan suatu madzhab pikiran dalam Islam, bernama Murji-ah Madzhab pikiran ini timbul
demikian hebatnya ketika terjadi pertentangan hebat di antara kaum muktazilah dengan Asy'ariyah, orang itu Islam juga, tetapi fasik. Orang Khawarij sangat sekali tegas pendirian mereka, memutuskan bahwa orang itu kafir. Satu paham lagi dari Muktazilah, dipelopori oleh Washil bin Atha, mengatakan bahwa orang itu “baina wa baina", di antara Islam dengan kafir. Islam benar bukan, kafir benar pun tidak. Maka datanglah madzhab paham Murji-ah mengatakan urusan demikian di-irja'-kan atau dipulangkan saja kepada Allah. Dan ujung ayat menjelaskan lagi hak mutlak Ilahi.
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Mahabijaksana."
Ujung ayat ini menutup pintu bagi orang-orang yang beriman, supaya dia jangan terlalu membuang waktu memperkatakan, orang lain, mengapa orang lain itu tidak menegaskan pendirian, mengapa dia tidak segera tobat, mengapa sedikit keluar zakatnya, dan lain-lain sebagainya. Kalau kita terlalu banyak membincang tentang orang lain, amalan kita sendiri akan terbengkalai. Allah yang mengetahui isi batin manusia. Pengetahuan kita kurang tentang itu. Dan Allah lebih bijaksana. Kadang-kadang orang yang pada mulanya kita sangka keras bubutan, sukar diberi pengertian, dengan takdir Allah tiba-tiba bertemu saja dia dengan satu sebab yang akan membawa perubahan dirinya.
Kita manusia tidaklah dapat mengetahui latar belakang keadaan orang lain, hanya Allah yang tahu. Misalnya, di dalam suatu pertemuan seseorang menyatakan sesuatu pendapat yang amat bertentangan dengan orang lain, bahkan bertentangan dengan kebiasaan selama ini.
Dia selama ini penyabar, tiba-tiba dia sekarang marah-marah saja sehingga terjadi ribut. Orang tidak tahu apa sebabnya, tetapi Allah lebih tahu. Ada sebab yang lain, yang tidak diketahui orang, yang menyebabkan dia bersikap begitu. Misalnya, sebelum pergi ke pertemuan itu dia berkelahi dengan istrinya. Dia sendiri tidak sadar bahwa kemarahannya di rumah, telah memengaruhi sikapnya dalam rapat.
Oleh sebab itu, ada beberapa soal dalam kehidupan manusia ini yang ketentuannya hendaklah kita pulangkan kepada Allah, atau di antara dia dan Allah. Sedangkan urusan jiwa kita sendiri dengan Allah, gejala-gejala nafsu, syahwat, marah, hiba hati, tinjauan atas sesuatu hal, kita sendiri pun merasa betapa sulitnya yang menyebabkan kita kadang-ka-dang tidak mengerti, apatah lagi buat mempertimbangkan keadaan orang lain, entah dia akan diadzab entah dia akan diberi tobat.
Menurut tafsir Ibnu Abbas, demikian juga dari Mujahid dan ikrimah dan adh-Dhahhaaq, maksud ayat murjauna, atau mereka yang ditangguhkan ini, ditujukan kepada tiga orang yang terkenal, yaitu Ka'ab bin Malik, Marrarah bin ar-Rabi, dan Hilal bin Umaiyah, yang turut pula termasuk orang-orang yang tidak ikut pergi ke Peperangan Tabuk. Oleh karena mereka terus terang bahwa perbuatan mereka itu hanya karena kelalaian dan malas, tidak mencari-cari dalih dusta, maka keputusan memberikan ampun terhadap mereka ditang-guhkan, artinya diserahkan pada keputusan Allah sendiri. Kelak akan didapati keterang-annya yang lebih luas pada tafsir ayat 117 dan 118.