Ayat
Terjemahan Per Kata
وَءَاخَرُونَ
dan orang-orang lain
ٱعۡتَرَفُواْ
mereka mengakui
بِذُنُوبِهِمۡ
dengan dosa-dosa mereka
خَلَطُواْ
mereka mencampur adukkan
عَمَلٗا
amal/pekerjaan
صَٰلِحٗا
yang baik
وَءَاخَرَ
dan yang lain
سَيِّئًا
yang buruk
عَسَى
mudah-mudahan
ٱللَّهُ
Allah
أَن
akan
يَتُوبَ
Dia menerima taubat
عَلَيۡهِمۡۚ
atas mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٌ
Maha Penyayang
وَءَاخَرُونَ
dan orang-orang lain
ٱعۡتَرَفُواْ
mereka mengakui
بِذُنُوبِهِمۡ
dengan dosa-dosa mereka
خَلَطُواْ
mereka mencampur adukkan
عَمَلٗا
amal/pekerjaan
صَٰلِحٗا
yang baik
وَءَاخَرَ
dan yang lain
سَيِّئًا
yang buruk
عَسَى
mudah-mudahan
ٱللَّهُ
Allah
أَن
akan
يَتُوبَ
Dia menerima taubat
عَلَيۡهِمۡۚ
atas mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٌ
Maha Penyayang
Terjemahan
(Ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosanya. Mereka mencampuradukkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Dan) ada pula suatu kaum (yang lain) lafal ayat ini menjadi mubtada (mereka mengakui dosa-dosa mereka) karena tidak ikut berangkat ke medan perang. Lafal ayat ini menjadi khabarnya (mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik) yaitu jihad yang telah mereka lakukan sebelum peristiwa ini atau pengakuan mereka atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan; atau dosa-dosa yang lainnya (dengan pekerjaan lain yang buruk) yaitu ketidakikutan mereka dalam berjihad kali ini. (Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ayat ini diturunkan berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang lainnya. Mereka mengikatkan diri mereka di tiang-tiang mesjid, hal ini mereka lakukan ketika mereka mendengar firman Allah ﷻ yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sedangkan mereka tidak ikut berangkat. Lalu mereka bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh Nabi ﷺ sendiri. Kemudian setelah ayat ini diturunkan Nabi ﷺ melepaskan ikatan mereka.
Tafsir Surat At-Taubah: 102
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka yang mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Setelah Allah menjelaskan keadaan orang-orang munafik yang tidak ikut berperang karena tidak suka berjihad, dan mendustakan serta meragukannya, maka Allah menerangkan tentang keadaan orang-orang yang berdosa, yaitu mereka yang tidak ikut berjihad karena malas dan cenderung kepada keadaan yang santai, padahal mereka beriman dan membenarkan kebenaran.
Allah ﷻ berfirman: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka.” (At-Taubah: 102)
Maksudnya, mereka mengakui dosa-dosa yang mereka lakukan terhadap Tuhannya, tetapi mereka mempunyai amal perbuatan lain yang saleh. Mereka mencampurbaurkan amal yang baik dan yang buruk. Mereka adalah orang-orang yang masih berada di bawah pemaafan dan pengampunan Allah ﷻ. Ayat ini sekalipun diturunkan berkenaan dengan orang-orang tertentu, tetapi pengertiannya umum mencakup seluruh orang yang berbuat dosa lagi bergelimang dalam kesalahannya, serta mencampurbaurkan amal baik dan amal buruknya, hingga diri mereka tercemari oleh dosa-dosa.
Mujahid mengatakan, sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah, yaitu ketika ia berkata kepada Bani Quraizah melalui isyarat tangannya yang ditujukan ke arah lehernya, dengan maksud bahwa perdamaian yang diketengahkan oleh Nabi ﷺ terhadap mereka akan membuat mereka tersembelih.
Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (ada pula) orang-orang lain.” (At-Taubah: 102) Menurutnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah dan sejumlah orang dari kalangan teman-temannya yang tidak ikut perang dengan Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk.
Menurut sebagian ulama, mereka terdiri atas Abu Lubabah dan lima orang temannya. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan tujuh orang bersama Abu Lubabah, dan menurut yang lainnya lagi adalah sembilan orang bersama Abu Lubabah.
Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari perangnya, mereka mengikatkan diri ke tiang-tiang masjid dan bersumpah bahwa tidak boleh ada orang yang melepaskan mereka kecuali Rasulullah ﷺ sendiri. Ketika Allah ﷻ menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka.” (At-Taubah: 102) Maka Rasulullah ﷺ melepaskan ikatan mereka dan memaafkan mereka.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Auf, telah menceritakan kepada kami Abu Raja, telah menceritakan kepada kami Samurah ibnu Jundub yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: “Tadi malam aku kedatangan dua orang, keduanya membawaku pergi, dan akhirnya keduanya membawaku ke suatu kota yang dibangun dengan bata emas dan bata perak.
Lalu kami disambut oleh banyak kaum lelaki yang separo dari tubuh mereka berupa orang yang paling tampan yang pernah engkau lihat, sedangkan separo tubuh mereka berupa orang yang paling buruk yang pernah engkau lihat. Lalu keduanya berkata kepada mereka, 'Pergilah kalian dan masukkanlah diri kalian ke sungai itu!" Maka mereka memasukkan diri ke dalam sungai itu.
Kemudian mereka kembali kepada kami sedangkan tampang yang buruk itu telah lenyap dari mereka, sehingga mereka secara utuh dalam tampang yang sangat tampan. Kemudian keduanya berkata kepadaku, “Ini adalah surga Aden, dan ini adalah tempatmu.” Keduanya mengatakan, "Adapun mengenai kaum yang separo dari tubuh mereka berpenampilan baik dan separo yang lainnya berpenampilan buruk, karena sesungguhnya mereka telah mencampurbaurkan amal yang saleh dan amal lainnya yang buruk, lalu Allah memaafkan mereka.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara ringkas dalam tafsir ayat ini.
Dan ada pula orang lain yang berada di sekeliling kamu yang mengakui dosa-dosa mereka lalu bertobat atas dosa-dosa itu, tetapi mereka masih mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk, dengan mereka taat dan beramal saleh dan pada waktu yang berbeda mereka masih berbuat jahat dan maksiat. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka jika mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun atas segala dosa, Maha Penyayang kepada orang yang berusaha tidak mengulangi kesalahannya.
Pada ayat sebelumnya dijelaskan adanya sekelompok orang yang mengakui dosa-dosa mereka lalu bertobat kepada Allah. Karena penyebab dosa mereka adalah kecintaan kepada harta, maka dalam ayat ini dijelaskan tentang wujud tobat dan ketaatan diantaranya dengan menunaikan zakat. Diperintahkan kepada Nabi Muhammad, Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan jiwa mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta, dan menyucikan hati agar tumbuh subur sifat-sifat kebaikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketenteraman jiwa bagi mereka yang sudah lama gelisah dan cemas akibat dosa-dosa yang mereka kerjakan. Sampaikan kepada mereka bahwa Allah Maha Mendengar permohonan ampun dari hamba-Nya, Maha Mengetahui tulus atau tidaknya tobat mereka.
Dalam ayat ini dijelaskan golongan keempat, yaitu orang-orang yang tidak termasuk golongan munafik, ataupun as-Sabiqunal Awwalun, dan tidak pula termasuk golongan "orang-orang yang mengikuti dengan baik jejak as-Sabiqunal Awwalun". Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang berdosa, dan mereka mengakui dengan jujur dosa-dosa mereka. Mereka ini telah mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, sehingga perbuatan mereka itu tidak seluruhnya baik dan tidak pula seluruhnya buruk.
Dengan demikian mereka bukan merupakan orang-orang yang benar-benar saleh, dan bukan pula termasuk golongan yang fasik atau munafik, karena dalam kenyataannya mereka suka berbuat yang baik tetapi sering pula berbuat jelek.
Di antara keburukan mereka ialah tidak ikut Perang Tabuk bersama kaum Muslimin lainnya, padahal mereka tidak mempunyai uzur atau alasan yang dibenarkan, karena mereka bukanlah orang-orang yang lemah, atau sakit; dan mereka tidak pula mengemukakan alasan-alasan bohong seperti yang dilakukan oleh kaum munafik; dan tidak pula minta izin seperti yang dilakukan orang-orang yang ragu-ragu. Namun demikian, mereka menyadari kesalahan itu pada saat mereka tidak ikut perang dan hati mereka takut kepada Allah. Dengan demikian, di satu pihak mereka tidak mau melakukan kewajiban, dan di pihak lain mereka menyadari kesalahannya karena merasa takut kepada Allah.
Selanjutnya dalam ayat ini diterangkan bahwa golongan ini masih mempunyai harapan bahwa tobat mereka akan diterima Allah. Tobat mereka adalah kunci untuk memperoleh keampunan dan rahmat-Nya. Tobat yang benar hanya dapat dicapai bila seseorang telah mengetahui keburukan dosa serta akibatnya, sehingga timbul rasa takut ketika mengingat kemurkaan Allah serta siksaan-Nya. Kemudian timbul keinginan untuk membersihkan diri dari segala hal yang menimbulkan dosa, di samping niat dan tekad yang kuat untuk tidak melakukan kembali perbuatan itu, dan berusaha keras melakukan berbagai kebajikan untuk menghapuskan dosa-dosa dari perbuatan yang dilarang agama yang telah dilakukan, dan berakibat buruk bagi masyarakat dan diri sendiri.
Pada akhir ayat ini dijelaskan alasan masih adanya harapan bagi orang-orang yang berdosa bahwa tobat mereka akan diterima Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun kepada hamba-Nya yang mau bertobat dengan sebenar-benarnya; dan Allah adalah Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang mau berbuat kebajikan.
Menurut satu riwayat, ayat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pada enam orang Muslimin yang sengaja mangkir dari Perang Tabuk. Mereka itu adalah Abu Lubabah, Aus bin sa'labah, Wadi'ah bin hadzdzam, Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi, dan Hilal bin Umayyah. Setelah menyadari kesalahan karena tidak ikut berperang, maka tiga orang di antaranya, yaitu Abu Lubabah, Aus dan sa'labah, datang ke mesjid membawa harta benda mereka, lalu mereka mengikatkan diri pada tiang-tiang mesjid, serta bertekad bahwa hanya Rasulullah yang akan melepaskan mereka dari ikatan itu. Sedang harta benda tersebut mereka maksudkan untuk diserahkan kepada Rasulullah untuk beliau bagikan kepada yang berhak menerimanya sebagai sedekah untuk menebus kesalahan mereka. Setelah hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, "Saya tidak akan melepaskan mereka dari ikatan itu, sampai datangnya ketentuan dari Allah." Maka turunlah ayat ini. Rasulullah lalu membuka tali pengikat yang mengikat mereka di tiang itu.
Ibnu Katsir berpendapat, "Walaupun ayat ini turun mengenai orang-orang tertentu namun isinya tetap berlaku untuk umum, mencakup semua orang yang berdosa yang mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dan yang buruk kemudian menyadari kesalahan mereka, lalu mereka bertobat kepada Allah dengan cara yang sebaik-baiknya."
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 100
“Dan orang-orang yang mendahului yang mula-mula, dari Muhajirin dan Anshan, dan orang-orang yang menuruti (jejak) mereka dengan kebaikan."
Itulah inti masyarakat Islam, yaitu pada tahun kesembilan Hijriah setahun sesudah penaklukan negeri Mekah dan sudah jaya menaklukkan pertahanan terakhir Yahudi di Khaibar dan mulai menghadapi bangsa Rum, yaitu kerajaan besar yang menaklukkan Arabia Utara sejak ratusan tahun. Masyarakat mula-mula itu terdiri dari dua golongan. Pertama, as-Sabiqunal Awwalun—yang mendahului; yang mula-mula. Yang kedua ialah ai-Ladzinat Taba ‘uhum bi Ihsanin—yang mengikuti kepada mereka dengan baik.
As-Sabiqunal Awwalun; terdiri dari dua, yaitu Muhajirin dan Anshar.
Muhajirin ialah orang-orang yang telah ikut berpindah dengan Rasulullah ﷺ, keluar dari negeri Mekah karena didorong oleh keyakinan tauhid. Sebagaimana diketahui sebelum hijrah ke Madinah, hijrah tersebut telah terjadi dua kali. Pertama hijrah ke Habsyi dua rombongan. Pemimpin hijrah ke Habsyi ialah ja'far bin Abi Thalib. Utsman bin Affan pada hijrah yang pertama ke Habsyi itu pun ikut serta. Hijrah kedua ialah hijrah besar yang dipelopori oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Maka ikutlah sahabat-sahabat yang besar-besar dan kemudiannya mengambil peranan penting di dalam pertumbuhan agama Islam, Keempat sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, Ikut juga orang-orang penting yang lain, seperti Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidiilah, dan Sa'id, Ikut juga Bilal bin Rabah dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Dan, ikut juga keluarga-keluarga beliau-beliau itu masing-masing.
Kemudian terjadilah Perdamaian Hudai-biyah. Salah satu bunyi perjanjian itu ialah bahwa kalau ada penduduk Mekah mencoba berpindah ke Madinah, berkewajibanlah Rasul ﷺ mengembalikan mereka ke Mekah, Tetapi kalau ada orang Madinah yang tidak senang tinggal di Madinah, kalau mereka hendak menetap di Mekah, maka pemuka-pemuka Mekah tidak berkewajiban mengembalikan mereka. Rasulullah ﷺ menerima bunyi perjanjian itu,
Umar bin Khaththab sendiri pada mulanya kurang puas dengan perjanjian yang dipandangnya amat pincang itu. Karena dianggapnya suatu kelemahan di pihak kita. Bahkan pemuda-pemuda Quraisy pun merasa menang. Tetapi Rasulullah saw, dengan gembira menerima pasal perjanjian ini karena beliau memandang bahwa ini adalah satu kemenangan yang gemilang sekali. Beliau yakin bahwa kalau ada pemuda yang pindah dari Mekah ke Madinah sesudah perjanjian, memanglah dia itu seorang yang telah teguh imannya. Dan beliau pun yakin, tidak akan ada orang yang telah merasai kehidupan dalam masyarakat Islam di Madinah, yang akan sudi kembali lagi ke Mekah. Dan kalau itu ada, tandanya yang pulang ke Mekah itu orang lemah iman; biar dia pergi.
Belum beberapa bulan perjanjian ditandatangani, kejadianlah apa yang diperhitungkan oleh Nabi ﷺ itu. Telah ada pemuda Mekah bernama Bashir (sebagaimana yang telah ki-ta uraikan pada Juz 10). Melihat kejadian itu, pemuka Quraisy mengirim dua utusan ke Madinah menuntut agar Nabi Muhammad ﷺ mengirim kembali pelarian itu. Beliau teguh menjalankan sepanjang isi perjanjian; dengan diiringkan oleh kedua pesuruh penjemput itu, Abu Bashir dipulangkan kembali ke Mekah dan Rasulullah ﷺ menyuruhnya bersabar, sebab bagi beliau suatu perjanjian adalah perkara yang mesti dimuliakan. Tetapi apa yang terjadi? Di tengah jalan sedang kedua utusan itu terlengah, Abu Bashir mengambil pedang mereka, lalu yang seorang dibunuhnya sedang yang seorang lagi diikatnya, lalu dia kembali ke Madinah dan langsung menghadap Rasulullah ﷺ, sambil menyerahkan tawanannya dia berkata, “Ya, Rasulullah! Aku telah melepaskan diri dari suasana musyrik, dan aku datang kemari menyusul engkau. Rupanya karena memuliakan janji aku dipulangkan kembali. Sekarang beginilah yang kejadian. Aku telah bertekad bulat tidak akan pulang ke Mekah lagi. Seorang pengawalku telah aku bunuh dan yang seorang lagi aku serahkan kepada engkau. Aku bersedia menerima hukuman apa pun yang akan engkau jatuhkan kepada diriku."
Rasulullah ﷺ yang teguh memegang janjinya dengan Quraisy dapat mengerti pula pendirian dan iman Abu Bashir. Beliau tidak sampai hati hendak menghukum seorang yang begitu tinggi mutu imannya. Lalu beliau perintahkan Abu Bashir segera meninggalkan Madinah, agar soalnya ini jangan berlarut-larut lagi dengan Quraisy. Keputusan Rasulullah ﷺ ini diterima Abu Bashir dengan segala ketaatan, lalu dia segera meninggalkan Madinah.
Tetapi ke mana dia pergi? Dia pergi bersembunyi ke tepi pantai Rabigh. Di sana dia mengadakan hubungan rahasia dengan pemuda-pemuda lain yang sepaham, yang masih berada di Mekah. Menyuruh mereka menuruti dia. Mereka pun datang sembunyi-sembunyi, lalu dengan pimpinan Abu Bashir mereka mengadakan gerombolan gerilya menyamun dan merampas kafilah-kafilah Quraisy yang lalu lintas di tepi laut itu pulang dan pergi berniaga ke Syam, sehingga orang Quraisy merasa tidak aman lagi. Maka mereka adakanlah perutusan menjumpai Rasul ﷺ di Madinah meminta supaya perjanjian yang sepasal ini ditiadakan saja. Akhirnya Rasul ﷺ menyetujui penghapusan perjanjian yang sepasal itu. Dan beliau pun tidak dapat disalahkan sebab tindakan Abu Bashir itu adalah di luar dari kemauan beliau. Setelah itu Rasul ﷺ mengirim utusan ke tempat Abu Bashir menerangkan bahwa perjanjian itu telah dihapus, dan dia beserta pengikut-pengikutnya boleh hijrah ke Madinah, didapati Abu Bashir sendiri luka parah sesudah pertempuran dengan satu kafilah Quraisy. Ketika utusan datang, dia telah dekat mengembuskan napas yang penghabisan. Maka setelah mendengar permakluman itu, dengan wajah suram Abu Bashir bertanya, “Marahkah Rasulullah ﷺ kepadaku?" Utusan menjawab, “Tidak! Malahan beliau senang sekali kepadamu “ Maka bertukarlah wajahnya menjadi terang benderang dan berkatalah dia, “Sampaikan salamku kepada Rasulullah." Sesudah berkata itu, dia pun meninggal.
Dengan dicabutnya perjanjian ini, timbul hijrah-hijrah rombongan kedua, sesudah Hudaibiyah. Banyak pemuda-pemuda Quraisy yang selama ini menjadi harapan Quraisy buat menentang Rasul ﷺ, mereka pun hijrah ke Madinah dan diterima dengan tangan terbuka. Di antaranya ialah Amr bin Khalid bin Walid dan Utsman bin Mazh'un. Yang paling akhir hijrah ialah paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib sekeluarga. Dia bertemu di tengah jalan akan menuju Madinah, ketika Rasulullah ﷺ akan menaklukkan Mekah di tahun kedelapan.
Di tahun keenam, selepas Perjanjian Hudaibiyah, ketika Rasulullah ﷺ dan Muhajirin Anshar menggempur benteng Khaibar, pulanglah orang-orang yang hijrah ke Habsyi dahulu, yang telah bertahun-tahun berdiam di sana. Mereka pun langsung ke Madinah, di bawah pimpinan kepala rombongan mereka sendiri Ja'far bin Abi Thalib. Di antaranya terdapat seorang perempuan bernama Asma' binti Umais. Dan di antara Muhajirin ke Habsyi yang terlebih dahulu pulang dari mereka ialah Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang dikecewakan oleh suaminya ketika hijrah ke Habsyi itu, sebab si suami masuk Nasrani. Dia pulang ke Madinah, dan untuk menghargai pengorbanannya dan imannya, apatah lagi dia tidak pulang ke Mekah, sebab ayahnya Abu Sufyan memusuhi Rasul ﷺ, dia dipinang Rasulullah ﷺ dan dijadikan salah seorang dari istri beliau.
Pulangnya rombongan Muhajirin Habsyah di bawah pimpinan Ja'far bin Abi Thalib ini pada tahun keenam Hijriah, bertepatan pula dengan kemenangan kaum Muslimin menak-lukkan benteng pertahanan Yahudi terakhir di Khaibar.
Sebab itu, Rasulullah ﷺ menamai pertemuan dua kejadian yang penting itu sebagai suatu kegembiraan ganda.
Inilah keterangan ringkas tentang Muhajirin.
As-Sabiqunal Awwalun yang kedua ialah Anshar.
Benar-benarlah boleh kita katakan bahwasanya Muhajirin dengan Anshar, adalah laksana kuku dengan daging, tidak dapat dipisahkan betapa pentingnya bagi Islam yang sekarang telah menjadi anutan kita ini. Kalau misalnya mereka tidak ada, niscaya pangkalan Islam pertama, kota Madinah tidak akan ada. Nama Madinah atau Madinatun Nabi, diresmikan jadi ganti dari nama asalnya, yaitu Yatsrib setelah Rasul pindah. Di sanalah dipancangkan Islam sebagai suatu kekuasaan (Souveginitas).
Pertemuan rahasia pertama di antara pemuka-pemuka kabilah Aus dan Khazraj dengan Rasulullah ﷺ ialah pada tahun kesebelas setelah Rasulullah saw, diutus di Jumratul Aqabah, Pertemuan pertama ini dihadiri oleh tujuh orang.
Pertemuan rahasia yang kedua ialah tahun berikutnya, di Aqabah juga, yaitu nama dari jumrah yang pertama yang dilempar ketika mengerjakan haji di Mina. Yang hadir ketika itu adalah 72 orang, yang dua di antaranya ialah perempuan. Ketika itulah (tahun ke-12 dari Nabi diutus), Mukminin dari Madinah itu, masuk juga di dalamnya yang tujuh mula-mula memberikan jaminan bahwa mereka akan menyambut dan mengorbankan segala harta benda dan jiwa membela Nabi dan teman-teman seperjuangan di Mekah jika mereka hijrah ke Madinah, Lantaran itulah mereka disebut Anshar. Perjanjian itu dihadiri juga oleh paman Nabi sendiri, Abbas. Meskipun ketika itu dia belum memeluk Islam, tetapi pertalian darahnya dengan Nabi yang mendorongnya turut hadir, sehingga hatinya tidak merasa ragu lagi jika anak saudaranya pindah ke Madinah, sebab di Mekah jiwanya selalu terancam.
Bersama dengan rombongan 72 orang itu, Rasulullah ﷺ mengirim guru atau mubaligh yang pertama ke Madinah. Itulah Abu Zurrarah Mush'ab bin Umair bin Hasyim. Tugasnya di Madinah ialah mengajarkan Al-Qur'an dan cara-cara shalat dan lain-lain. Berkat usaha Mush'ab ini dalam beberapa bulan saja sebelum Nabi ﷺ sampai di Madinah, sudah hampir di setiap rumah terdengar orang membaca Al-Qur'an, yang tentu saja surah-surah yang diturunkan di Mekah. Kontak listrik sebagai pengaruh dari bacaan itu, sampai dibaca anak-anak dan gadis-gadis, menjalar dari rumah ke rumah. Setelah tiga bulan sehabis pertemuan itu, Rasulullah saw, pun hijrah. Maka sejak orang bertujuh yang pertama, sampai 72 termasuk dua perempuan rombongan kedua, sampai yang Islam karena dakwah Mush'ab bin Umair dan sampai masuk Islam setelah Rasulullah ﷺ berada di Madinah, semuanya itu bernama Anshar.
Maka dapatlah diperinci martabat kemuliaan yang dicapai oleh Muhajirin dan Anshar itu. Yang mula-mula sekali atau orang pertama yang menyatakan iman, kebetulan ialah perempuan. Yaitu istri beliau yang tertua Khadijah. Sebab kepadanyalah Rasulullah ﷺ pertama sekali menyatakan bahwa dia telah menjadi Rasulullah ﷺ, dan dia pula yang di saat itu juga menyatakan iman.
Kemudian itu diikuti oleh anak usia 10 tahun di dalam rumahnya, yaitu Ali bin Abi Thaiib, dan diikuti lagi oleh anak peliharaannya, yaitu Zaid bin Haritsah, Setelah itu maka orang luar yang mula-mula sekali menyatakan iman, dengan tidak berpanjang pikir lagi ialah Abu Bakar. Dan Abu Bakar yang menemaninya dalam hijrah dan selalu mendampinginya di dalam dakwah. Setelah itu tertonjollah khalifah yang berempat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Kemudian itu tersebutlah enam sahabat lagi, menjadi sepuluh yaitu: Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Said bin al-Ash,
Maka tidaklah dapat dilupakan seorang perempuan, sebagai syahid Islam yang pertama, yaitu Ummu Yasir. Dia pun termasuk as-Sabiqunal Awwalun, tetapi tidak dapat bersama hijrah dengan Rasul ﷺ. Dia mati dibunuh oleh Abu Jahal saat dia dipaksa buat kembali kepada agama musyrik, dia tidak mau. Dialah korban Islam yang pertama, semasa masih di Mekah.
Dan tidak pula dapat dilupakan Hamzah bin Abdul Muthalib, yang mencapai syahidnya dalam Peperangan Uhud. Gelar yang diberikan kepadanya Sayyidusy Syuhada adalah gelar yang pantas. Dan banyak lagi orang penting yang lain, baik Muhajirin maupun Anshar yang telah terlebih dahulu mencapai syahidnya di medan pertempuran, seperti Ja'far bin Abi Thaiib yang baru saja pulang dari hijrah Habsyi, Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsah, Sa'ad bin Mu'adzh, dan lain-lain lagi. Sehingga mereka tidak ada lagi setelah ayat yang tengah kita tafsirkan ini turun, yaitu ketika menghadapi Peperangan Tabuk,
Peperangan Badar adalah perang yang paling penting dalam sejarah kebangkitan Islam. Maka kepada 300 mujahidin yang turut dalam peperangan itu dengan firman Allah, Rasulullah saw, menjanjikan bahwa semua mereka yang turut dalam Perang Badar, dari Muhajirin dan Anshar dijanjikan kemuliaan yang tinggi dan surga yang mulia di akhirat.
Sesudah menyebut as-Sabiqunal Awwalun, yang mendahului mula-mula, yang menjunjung tinggi kemuliaan mereka sebagai Muhajirin dan Anshar, Allah pun menyebut tingkat kedua, yaitu Wailadzinat Taba'uhum bi Ihsartin—yang menuruti jejak mereka dengan baik. Meskipun mereka datang kemudian, tidak mendapat kemuliaan sebagai Muhajirin, sebab sesudah Mekah jatuh kata hijrah tidak berarti lagi, dan meskipun mereka tidak men-dapat kehormatan menyambut Rasul ﷺ di Madinah dan berkorban untuk beliau, tetapi mereka yang datang di belakang itu tidaklah mau ketinggalan. Segala suri teladan yang ditunjukkan oleh Muhajirin dan Anshar telah mereka ikuti. Mereka beriman, mereka berkorban harta benda dan jiwa pada jalan Allah, mereka pun beribadah dengan tekun, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Itulah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ tingkat kedua. Dan merekalah 12.000 tentara Islam yang mengiringkan Rasul ﷺ menaklukkan Mekah. Dan merekalah 30.000 tentara Islam yang mengiring Rasulullah ﷺ ke Peperangan Tabuk. Menurut catatan ahli sejarah, 124.000 banyaknya sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ itu.
Itulah orang-orang yang sempat berhadapan muka dengan Rasulullah ﷺ dan beriman kepadanya.
Tetapi setengah ahii tafsir pula memberikan pengharapan kepada umat yang datang di belakang, walaupun mereka tidak sempat
melihat wajah Rasulullah ﷺ, asalkan mereka menuruti jejak Muhajirin dan Anshar sebagai yang mendahului yang mula-mula itu dengan baik dan setia, walaupun sampai hari Kiamat. Dan sebaliknya, walaupun selalu melihat wajah Nabi ﷺ, dan mulut menyatakan percaya, padahal hati membelakanginya, sebagai Abdullah bin Ubay dan yang lain-lain yang sepaham dengan dia, tidaklah mereka masuk di dalam daftar itu.
Berfirmanlah Allah selanjutnya, memberikan janji-Nya yang mulia kepada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ itu, sejak Muhajirin dan Ansharnya, sampai kepada sahabat lain yang menuruti jejak mereka dengan baik itu."Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya" Artinya, bahwasanya pengorbanan mereka tidak sia-sia. Di ayat ini tegas Allah menyambut cinta mereka kepada Allah, “Tidak bertepuk sebelah tangan", melainkan Allah-lah yang mengulurkan cinta-Nya dan ridha-Nya terlebih dahulu, baru cinta mereka kepada Allah.
“Dan Dia lelah menyediakan buat mereka berhagai surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dalam keadaan kekal mereka di dalamnya. Yang demikian itulah kejayaan yang besar."
Renungkanlah ayat ini dan bandingkan dengan ayat 72 terdahulu. Di dalam ayat 72 dahulu itu, Allah menyebut janji-Nya kepada Mukminin dan Mukminat bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat kediaman yang bagus. Kemudian Allah mengatakan bahwa ridha Allah adalah lebih besar dari segala-galanya. Tetapi di dalam ayat ini ridha Allah yang disebut terlebih dahulu, bahkan ridha yang timbal balik di antara si makhluk dengan khalik-Nya.
Renungkan kedua ayat ini dan perhatikan pula pengharapan berbagai manusia di dalam hidupnya. Ada orang yang lebih teringat akan
tangnya lama di belakang Rasulullah ﷺ
Sekarang kita teruskan lanjutan tafsir.
Ayat 101
“Dan diantara yang sekeliling kamu dari anab-anab kampung itu adalah orang-orang yang munafik, dan (begitu pula) dari penduduk Madinah, mereka telah licin atas kemunafikan"
Pada ayat ini diperingatkan kepada Rasul ﷺ dan kepada orang-orang yang beriman, bahwa meskipun masyarakat mereka telah kompak dan kukuh, dari Muhajirin dan Anshar dan pengikut mereka yang baik dan setia, namun di sekeliling mereka masih ada yang munafik. Baik yang Arab atau Badui yang berkediaman di luar-luar kota Madinah, ataupun di dalam penduduk kota Madinah sendiri. Lalu diterangkan pula bahwasanya di antara mereka itu ada yang sudah sangat licin dalam mengambil peranan jadi munafik itu, atau sudah sangat halus mainnya. Sehingga dari sangat pandainya mereka menyembunyikan kemunafikan itu. “Engkau tidak tahu siapa mereka. Kamilah yang tahu siapa mereka." Nabi Muhammad ﷺ telah diberi karunia yang tinggi oleh Allah sehingga karena kuat sinar cahaya iman beliau, terkadang dapatlah mata beliau menembus isi hati orang. Tetapi karena sangat licinnya permainan si munafik itu, tidak jugalah semuanya dapat beliau ketahui. Hanya Allah jugalah yang lebih tahu. Maka ayat ini menjadi peringatan kepada Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman bahwa meskipun masyarakat mereka telah kukuh dan kompak, namun mereka hendaklah selalu berjaga-jaga juga dari perbuatan orang-orang munafik yang licin itu.
Kalimat maraduu ‘alan nifaqi, kita artikan licin dalam kemunafikan' Kalimat maradu itu berpokok dari marad yang berarti licin. Oleh sebab itu, maka dalam bahasa Arab, seorang anak muda yang manis, masih remaja, usia kira-kira 14 sampai 17 tahun, yang mukanya
masih licin, belum ditumbuhi kumis atau jenggot, dinamai amrad, yang berarti masih licin. Dalam bahasa kita pun seorang yang sangat pintar menipu disebut juga penipu yang licin!
Selanjutnya, Allah berfirman mengenai orang-orang munafik itu.
“Akan Kami adzab mereka dua kali, kemudian itu akan Kami kembalikan mereka kepada adzab yang besar."
Adzab dua kali. Pertama ialah kegelisahan jiwa karena tiap-tiap pertahanan mereka gagal selalu, tiap-tiap rahasia mereka tetap terbongkar. Mereka telah mengorbankan segala yang ada pada mereka buat menghambat kemajuan Islam, namun tiap usaha tetap kecewa. Itulah adzab yang pertama di dunia, yaitu adzab makan hati! Adzab yang kedua ialah kegelisahan saat mengembuskan napas penghabisan, sebab mati di dalam su'ul khati-mah, menutup hidup dalam suasana yang buruk. Na udzu billah! Ini pun telah disebutkan sifatnya pada ayat 56 dan 86 di atas tadi, yaitu tazhaqa anfusuhum, bercerai nyawa dengan badan dalam keadaan sengsara. Mampus atau dalam bahasa Minangkabau yang lebih kasar: “jangkang."
Dan, kelak di akhirat akan mereka terima pula adzab siksa yang lebih besar.
Dale Carnegie, ahli ilmu pergaulan hidup dan hubungan antara manusia, telah maju penyelidikannya tentang ilmu bagaimana cara bergaul di antara manusia. Dia telah mengarang buku Bagaimana Supaya Engkau Mendapat Banyak Teman dan buku Tinggalkanlah Kecemasan dan Mulailah Hidup, dan beberapa karangan lain.
Apabila kita pelajari karangan-karangan Carnegie itu yang telah ditulis pada zaman modern ini, bisalah kita menyimpulkan bahwa banyak orang menjadi gagal dalam pergaulan hidup, ditimpa oleh suatu krisis di dalam jiwa oleh karena tidak sesuai sikap lahir dengan sikap batin. Manusia adalah menyiksa dirinya sendiri, jika dia melepaskan kejujuran. Orang yang munafik, lain di mulut lain di hati, kian lama kian meranalah jiwanya. Dia mulanya menyangka jalan yang ditempuhnya benar, padahal setelah dilanjutkan ternyata membawa keruntuhan tadi bahwa orang yang munafik, ketika masih hidup di dunia ini, telah menderita siksaan batin dua kali.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini diperingatkan kepada Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman, yang setia menuruti jejak Rasul ﷺ bahwa walaupun mereka telah kukuh dan kuat, namun bahaya dari dalam masih ada. Munafik berkeliaran di dalam kota dan di luar kota. Yaitu orang-orang yang selalu merasa tidak puas, yang mengeluh dan yang berdendam, yang merasa dengki atas kemajuan segala rencana Rasulullah ﷺ. Mereka licin sekali, jerat serupa dengan jerami, mengaku beriman tetapi tidak mau bertanggung jawab. Ketika masih zaman Mekah belum ada sebutan munafik. Sebab di Mekah, Muslimin yang telah beriman masih golongan kecil. Musuh yang dihadapi sudah terang, yaitu kaum musyrikin, yang memegang tampuk kekuasaan.
Setelah pindah ke Madinah, barulah ramai munafik, sejak hari pertama datang, sampai pada saat-saat terakhir kehidupan Rasulullah ﷺ Sebab di Madinah kaum Muslimin bukan lagi golongan kecil, tetapi telah bertumbuh menjadi kekuasaan besar, sehingga penduduk asli Madinah tidak dapat melepaskan diri lagi dan kekuasaan itu.
Salah satu yang mendorong mereka jadi munafik ialah yang di zaman sekarang disebut ambisi, nafsu-nafsu ingin berkuasa. Sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah pernah disebut-sebut orang bahwa yang layak dijadikan pemuka Aus dan Khazraj, ialah Abdullah bin Ubay, terutama sebab dia kaya. Dia senang sekali disebut pemimpin. Karena gelar pemimpin adalah kemegahan pribadi, walaupun tidak ada satu garis yang nyata yang akan dipimpinkannya. Malahan hamba sahayanya yang perempuan disuruhnya melacurkan diri, dia pungut bayaran dan bayaran itu masuk ke dalam kantongnya. (Inilah yang disindirkan Allah pada surah an-Nuur, ayat 33).
Ketika dia masih disebut-sebut akan dijadikan pemimpin, Rasulullah ﷺ pun pindah ke Madinah. Golongan muda yang cerdas, seluruhnya condong dan berduyun mengelilingi Rasulullah saw, sebab beliaulah yang memberikan pimpinan tegas. Beliau yang menahamkan persatuan di antara Aus dan Khazraj yang telah berpuluh tahun berpecah dan benci-membenci sehingga selama ini mudah bagi kaum Yahudi untuk menguasai perekonomian mereka karena perpecahan itu. Kedatangan Rasulullah ﷺ membawa ajaran-ajaran baru, persatuan Aus dengan Khazraj dalam nama yang baru dan mulia, yaitu Anshar. Dan persatuan pula di antara Anshar dan Muhajirin, kawan sepaham yang berpindah dari Mekah. Dan ajaran Nabi pula yang menyebabkan Anshar mendapat kem-bali harga diri mereka, sesudah berpuluh-puluh tahun dipandang rendah oleh orang Yahudi. Lantaran itu pemimpin-pemimpin yang tidak tegas tersingkir. Inilah yang tidak menyenangkan hati Abdullah bin Ubay, dan dia pun mencari teman sepaham. Tetapi mes-kipun mereka telah berusaha dengan segala macam tipu daya buat menghadang kemajuan Islam, namun Islam bertambah kukuh dan kuat. Besar harapan mereka Nabi akan patah ketika menghadapi bangsa Rum, sebagai pengharapan penghabisan dari mereka, namun pengharapan buruk itu tidak juga berlaku. Nabi tetap menang.
Sebab itu mereka pun bertambah licin dalam kemunafikan. Inilah yang diperingatkan Allah kepada Rasul-Nya. Supaya beliau dan orang-orang yang beriman tetap hati-hati menghadapi mereka, sebab mereka bukan musuh yang datang dari luar, yang mudah menghadapinya, tetapi ada dalam kalangan sendiri yang sangat menyakitkan hati.
Ayat 102
“Dan yang lain-lain itu, yang telah mengakui dosa-dosa mereka."
Artinya, selain dari yang telah terang-terang munafik itu, maka baik dalam kalangan A'rab kampung (Badui) itu, ataupun dari penduduk Madinah sendiri, ada lagi manusia-manusia lain. Mereka itu tidaklah sampai jatuh jadi munafik, tetapi tidak pula mencapai derajat mula sebagai yang mendahului yang mula-mula. Yaitu masih terletak di tengah-tengah, tidak membubung naik dan tidak pula jatuh ke bawah, dan mereka mengakui kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka.
Telah mereka campur aduk amalan yang baik dengan yang buruk." Cara bekerja yang seperti ini telah menunjukkan di mana letak kedudukan mereka. Yang baik dikerjakan juga, yang buruk dibuat juga, dan mereka pun insaf akan kekurangan mereka. Menjadi fasik atau munafik betul-betul mereka tidak pula mau.
Akan mendaki ke atas tidak pula ada tempat, sebab nama Muhajirin dan nama Anshar sudah terbatas dan terhitung orangnya, tidak dapat ditambah lagi. Jalan satu-satunya ha-nyalah jika mau mereka menuruti pendahulu yang mulamula itu dengan baik; itu pun me-reka tidak sanggup, dan mereka mengakui kekurangan itu.
Bagaimanakah nasib ketentuan orang yang seperti ini? Lanjutan ayat menegaskan: “Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka." Kalimat Asaa kita artikan mudah-mudahan atau moga-moga atau mengandung harapan. Masih ada harapan bahwa orang-orang yang semacam itu akan diberi ampun oleh Allah. Sebab mereka sendiri telah mengakui akan mengadakan koreksi atau penelitian atas mutu amalan mereka, niscaya mereka tidak merasa puas dengan kekurangan itu. Niscaya mereka tahu bahwa amalan baik yang dicampurkan dengan yang buruk, pada jumlahnya ialah
buruk. Niscaya Allah ada harapan akan memberi tobat atas mereka sehingga martabat iman mereka menjadi naik ke dalam barisan orang yang mengikut dengan baik, yaitu dengan kekuatan iradah, kesadaran diri, mengakui kesalahan, dengan azam yang kuat dan teguh membebaskan diri dari pengaruh yang buruk itu. Maka disambutlah pengharapan mereka itu oleh Allah dengan penegasan pada ujung ayat:
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Dengan janji pemberian ampun, maka amalan yang buruk berangsur menurun, dan dengan bimbingan sifat Allah Penyayang, amalan yang baik mudah-mudahan meningkat, mula-mula dilalui dengan latihan, lama-lama menjadi adat kebiasaan. Dan semoga dengan karunia Allah dapatlah dicapai derajat yang tadi, yaitu menjadi pengikut dan yang mendahului mula-mula, yaitu Muhajirin dan Anshar tadi. Dan kalau martabat ini telah dicapai, besarlah harapan, moga-moga bertemulah apa yang dijanjikan Allah pada ayat 100 di atas, yaitu “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya."
Bagi kita umat Muhammad ﷺ yang telah jauh dari zaman Nabi ini, jauh jarak zaman dan jauh jarak tempat, mengakuilah kita bahwa kebanyakan kita terletak dalam kedudukan ini. Na'udzu billah! Moga-moga janganlah kita jatuh menjadi munafik fasik. Tetapi amalan kita memang bercampur aduk baik dengan buruk. Kita tahu yang baik di sekeliling kita menyebabkan kita telanjur berbuat yang buruk. Cuma keuntungannya ialah bahwa kita sendiri insaf akan keadaan itu. Dan kita pun tahu bahwa tempat buat Muhajirin dan Anshar sudah dibatasi dan ditentukan orangnya. Tetapi kepada kita masih dibukakan pintu yang lebar.
“Serunailah mereka, jika kamu tidak seumpama mereka, menyerupai orang-orang besar itu sudahlah. suatu kemenangan."
dan bahwasanya Allah, adalah Dia pembe-ri tobat, lagi Penyayang.
Kita latih diri dan kita perbanyak beramal yang baik, sampai menjadi kebiasaan dan pan-dangan hidup. Moga-moga dengan demikian, amalan yang buruk pun menjadi kurang, syukur kalau dapat hilang sama sekali. Kita jauhi dosa yang besar-besar dan kita sadari dosa yang kecil-kecil. Akhirnya, moga-moga berkenanlah Allah menumpahkan ridha-Nya kepada kita, sebab kita telah berusaha.
Dan sekali-kali jangan kita berputus asa, mengatakan bahwa zamannya sudah lampau. Padahal Rasulullah ﷺ telah meninggalkan pasukannya yang kekal buat kita, yaitu Al-Qur'an dan Sunnahnya. Malamnya serupa dengan siangnya. Keduanya pasti dapat kita ja-lankan, asal kita mempunyai iradat; kemauan.
Kemauan inilah yang hendaknya kita didik.








