Ayat
Terjemahan Per Kata
بَرَآءَةٞ
pemutusan perhubungan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَرَسُولِهِۦٓ
dan RasulNya
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
عَٰهَدتُّم
kamu telah mengadakan janji
مِّنَ
dari
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
بَرَآءَةٞ
pemutusan perhubungan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَرَسُولِهِۦٓ
dan RasulNya
إِلَى
kepada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
عَٰهَدتُّم
kamu telah mengadakan janji
مِّنَ
dari
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
Terjemahan
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad) kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka (untuk tidak saling berperang).
Tafsir
At-Taubah (Taubat)
Inilah pernyataan (Pemutusan perhubungan daripada Allah dan Rasul-Nya) yang ditunjuk (kepada orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian dengan mereka) yakni perjanjian yang bersifat mutlak, atau perjanjian yang berlaku kurang dari empat bulan, atau lebih dari empat bulan kemudian perjanjian itu dirusak sebagaimana yang akan disebut pada ayat berikutnya.
Tafsir Surat At-Taubah: 1-2
(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
Maka berjalanlah kalian (wahai kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.
Ayat 1
Surat yang mulia ini merupakan akhir dari apa yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Bukhari. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra’ mengatakan bahwa akhir ayat yang diturunkan adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah.” (An-Nisa: 176) dan surat yang paling akhir diturunkan ialah surat Al-Baraa-ah (yakni surat At-Taubah).
Sesungguhnya surat At-Taubah tidak memakai basmalah pada permulaannya, tiada lain karena para sahabat tidak menuliskan basmalah pada permulaannya di dalam Al-Mushaf Al-Imam (mushaf induk), bahkan mereka dalam hal ini mengikut kepada cara Amirul Mu’minin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dan Muhammad bin Abu Ja'far. serta Ibnu Abu Addi dan Suhail bin Yusuf; mereka mengatakan bahwa Auf bin Abu Jamilah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid Al-Farisi, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin ‘Abbas bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Utsman bin ‘Affan, "Apakah yang mendorongmu sengaja membarengkan antara surat Al-Anfal dan surat Al-Baraa-ah (At-Taubah) padahal keduanya termasuk surat Matsani (surat yang cukup panjang), sehingga jumlah ayat keduanya menjadi dua ratusan, tanpa engkau tuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim: di antara keduanya, kemudian engkau letakkan keduanya ke dalam kategori Sabut Tiwal (tujuh surat yang panjang-panjang), apakah alasanmu?"
‘Utsman menjawab, "Dahulu semasa Rasulullah ﷺ masih menerima penurunan surat-surat yang ayat-ayatnya mempunyai bilangan tertentu, apabila ada sesuatu yang diturunkan kepadanya, maka iapun memanggil sebagian juru tulis wahyunya, lalu bersabda, 'Letakkanlah ayat ini dalam surat yang ada di dalamnya disebutkan masalah ini dan itu.' Dan surat Al-Anfal termasuk surat yang mula-mula diturunkan di Madinah, sedangkan surat Al-Bara’ah (Taubah) termasuk surat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan. Tersebut pula bahwa kisah yang disebutkan di dalam surat Al-Bara’ah mirip dengan kisah yang disebutkan di dalam surat Al-Anfal. Saya merasa khawatir bila surat Al-Bara’ah ini termasuk bagian dari surat Al-Anfal, karena Rasulullah ﷺ diwafatkan, sedangkan beliau belum menjelaskan kepada kami bahwa Al-Baraa-ah termasuk bagian dari surat Al-Anfal. Mengingat hal tersebut, maka saya menggandengkan kedua surat tersebut tanpa menuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim di antara keduanya, kemudian saya meletakkan keduanya ke dalam kelompok tujuh surat yang panjang-panjang."
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya serta Imam Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur lainnya dari Auf Al-A'rabi. Imam Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak merilisnya dalam kedua kitab Shahih mereka.
Permulaan dari surat ini diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau kembali dari Perang Tabuk dan mereka dalam keadaan menunaikan haji. Kemudian disebutkan bahwa kaum musyrik di musim haji tahun itu datang pula sebagaimana kebiasaan mereka. Mereka melakukan tawafnya di Baitullah dengan bertelanjang. Maka Nabi ﷺ tidak suka haji bersama dengan mereka. Untuk itu, beliau mengirimkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai amir haji pada tahun itu, untuk memimpin manasik haji orang-orang muslim, sekaligus untuk memberitahukan kepada kaum musyrik bahwa sesudah tahun itu mereka tidak boleh menunaikan haji lagi.
Secara khusus Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ditugaskan oleh Nabi ﷺ untuk menyerukan firman Allah ﷻ berikut ini kepada semua orang: “(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah :1 ).
Setelah Abu Bakar baru berangkat, maka Nabi ﷺ mengiringkannya dengan Ali Ibnu Abu Talib sebagai utusan khusus dari Nabi ﷺ, mengingat Ali adalah keluarga terdekat Nabi ﷺ, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Firman Allah ﷻ: “Ini adalah pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah: 1) Hal ini adalah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya yang ditujukan: kepada orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan.
Ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini. Perbedaannya cukup banyak. Sebagian mengatakan bahwa ayat ini ditujukan bagi orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian perdamaian secara mutlak tanpa ikatan waktu, atau mereka yang terikat perjanjian yang masanya kurang dari empat bulan, yang karenanya masa perjanjiannya dilengkapkan menjadi empat bulan.
Adapun bagi mereka yang mempunyai perjanjian perdamaian berwaktu, maka batas pemutusannya ialah bila telah habis masa perjanjiannya, berapapun lamanya, karena ada firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka terhadap mereka itu patuhilah janjinya sampai habis waktunya.” (At-Taubah: 4). Juga karena hadis yang akan dikemukakan kemudian. Pada garis besarnya hadis itu menyatakan, "Barang siapa yang antara dia dan Rasulullah ﷺ terdapat perjanjian perdamaian, maka batas pemutusannya sampai habis masa perjanjiannya."
Pendapat ini merupakan pendapat yang paling baik dan paling kuat. Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan ia telah meriwayatkan hal ini dari Al-Kalbi, Muhammad bin Kaab Al-Qurazi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ali bin Abu Talhah telah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan”,
Allah ﷻ memberikan batas waktu selama empat bulan terhadap orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Rasulullah ﷺ Dalam masa itu mereka bebas berjalan di muka bumi dalam keadaan aman.
Allah ﷻ pun memberikan batas waktu terhadap orang-orang yang tidak mempunyai perjanjian perdamaian sampai dengan berakhir bulan-bulan suci, dimulai dari Hari Raya Kurban sampai dengan lepasnya bulan Muharram, yang seluruhnya berjumlah lima puluh hari. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila bulan Muharram telah habis untuk mengangkat senjata terhadap orang-orang yang tidak mempunyai perjanjian perdamaian dengannya, yaitu dengan memerangi mereka hingga mereka mau masuk Islam.
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya berkaitan dengan orang-orang yang mempunyai perjanjian perdamaian dengannya bahwa apabila empat bulan yang telah ditetapkan telah habis, yang permulaannya dimulai dari Hari Raya Kurban dan berakhir sampai dengan tanggal sepuluh bulan Rabi'ul Akhir, hendaklah ia mengangkat senjata terhadap mereka hingga mereka mau masuk Islam.”
Abu Ma'syar Al-Madani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ka'b Al-Qurazi dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan Abu Bakar sebagai amir haji pada tahun sembilan Hijriah, dan beliau mengutus Ali bin Abu Talib untuk menyampaikan tiga puluh atau empat puluh ayat surat At-Taubah.
Maka Ali membacakannya kepada orang-orang, yang isinya tentang pemberian masa tangguh bagi orang-orang musyrik selama empat bulan. mereka dapat berjalan dengan bebas di muka bumi selama itu. Ali bin Abu Talib membacakannya kepada mereka pada hari Arafah, bahwa masa penangguhan mereka dimulai dari tanggal dua puluh bulan Zul Hijjah dan berakhir sampai tanggal sepuluh bulan Rabi'ul Akhir.
Dan Ali membacakannya pula di rumah-rumah mereka, seraya mengatakan bahwa sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik menunaikan haji dan tidak boleh lagi ada orang tawaf sambil telanjang.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah: 1) Yakni ditujukan kepada Bani Khuza'ah dan Bani Mudlij serta orang-orang lain yang telah mengadakan perjanjian damai atau selain mereka. Maka Rasulullah ﷺ kembali dari medan Tabuk setelah menyelesaikan urusannya, lalu beliau berniat untuk menunaikan haji, kemudian beliau ﷺ bersabda, “Sesungguhnya orang-orang musyrik pasti hadir dan akan melakukan tawafnya dengan telanjang, maka saya tidak suka berhaji sebelum hal tersebut ditiadakan."
Maka beliau ﷺ mengirimkan Abu Bakar dan Ali untuk berkeliling kepada semua orang di Dzul Majaz, di tempat-tempat mereka biasa melakukan perdagangannya dan di semua pasar musiman mereka. Nabi ﷺ memerintahkan kepada keduanya bahwa beritahukanlah kepada orang-orang musyrik yang ada dalam ikatan perjanjian, bahwa mereka dalam keadaan aman selama empat bulan secara berturut-turut, dimulai dari tanggal dua puluh bulan Zul Hijjah berakhir sampai tanggal sepuluh bulan Rabi'ul Akhir, setelah itu tidak ada lagi perjanjian perdamaian dengan mereka.Dan permaklumatkanlah kepada seluruh kaum musyrik akan keadaan perang terkecuali jika mereka mau beriman. Demikianlah menurut riwayat As-Saddi dan Qatadah.
Az-Zuhri mengatakan bahwa permulaan masa tangguh itu dimulai dari bulan Syawwal dan berakhir pada akhir bulan Muharram. Pendapat ini ganjil, karena mengapa mereka dihitung mulai dari masa yang hukumnya belum sampai kepada mereka. Sesunguhnya perkara ini hanya baru muncul pada Hari Raya Kurban, yaitu di saat Rasulullah ﷺ mempermaklumatkan hal itu kepada sahabat-sahabatnya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: [bersambung ke tafsir ayat selanjutnya]
Rasulullah telah melakukan beberapa perjanjian dengan kaum musyrik Mekah, antara lain perjanjian agar kaum muslim tidak dihalangi untuk melaksanakan umrah, perjanjian untuk tidak melakukan perang di bulan-bulan haram (bulan-bulan mulia), dan perjanjian-perjanjian damai dengan kabilah-kabilah Arab sampai waktu tertentu. Namun, pada akhirnya mereka merusak perjanjian tersebut. Maka, dengan turunnya Surah at-Taubah atau Bara'ah ini, kaum muslim diperintahkan untuk tidak melakukan hubungan lagi dengan mereka. Karena itu, inilah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka, namun mereka merusak perjanjian tersebut. 2Namun begitu, mereka tetap diberi waktu untuk memikirkan kembali apakah memilih untuk masuk Islam dengan memegang perjanjian bersama, atau berperang. Di samping itu, penundaan tersebut agar mereka bisa mempersiapkan diri, seandainya harus memilih untuk berperang, sehingga perang berjalan secara adil. Maka di saat gencatan senjata tersebut, berjalanlah kalian, wahai kaum musyrik, di bumi Mekah, selama empat bulan yaitu mulai 10 Zulhijah sampai dengan 10 Rabi'ul Akhir, dengan leluasa dan tanpa takut diserang oleh kaum muslimin, sebagaimana keadaan kalian sebelum pemutusan hubungan ini. Dan setelah lewat empat bulan, maka ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah, meski didukung oleh personil tentara dan persenjataan yang lengkap; dan dengan kekalahan tersebut serta menjadi ta-wanan sesungguhnya Allah hendak menghinakan orang-orang kafir di dunia. Bahkan, di akhirat kelak, jika tidak bertobat, kalian merasakan siksa yang pedih (Lihat: Surah az-Zumar/39: 25-26). Ini sikap toleransi Islam, pada satu sisi, dan menunjukkan keperkasaan Islam, pada sisi yang lain. Demikian ini, agar tidak muncul tuduhan bahwa kaum mus-lim sengaja menyerang mereka secara tiba-tiba tanpa memberi kesem-patan berpikir atau mempersiapkan diri.
Banyak masalah pokok yang diterangkan di dalam Surah al-Anfal, diterangkan pula dalam surah ini dengan pengungkapan yang lebih luas dan mendalam, ada kalanya lebih terperinci, sehingga surah ini dalam beberapa hal banyak menambah kesempurnaan surah al-Anfal. Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ ke dunia ini sebagai rasul yang terakhir untuk mengembangkan agama Islam dengan dakwah yang berlandaskan dalil-dalil yang dapat meyakinkan kebenarannya, tidak ada paksaan yang berlandaskan kekuatan senjata dan harta benda. Akan tetapi kaum musyrikin terus menentangnya dengan segala macam cara, mulai dari perkataan sampai kepada perbuatan yang di luar batas-batas perikemanusiaan, sehingga banyak kaum Muslimin terpaksa hijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia) dan tempat-tempat lain. Oleh karena Nabi Muhammad ﷺ dan sebagian sahabatnya masih bertahan di Mekah, untuk melanjutkan dakwah, maka kaum musyrikin Quraisy mengadakan musyawarah di suatu tempat yang bernama "Darun Nadwah" untuk mengambil suatu keputusan apakah Muhammad harus dibunuh atau dibuang saja. Akhirnya mereka memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Di dalam keadaan yang gawat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Medinah, yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang mampu datang ke Medinah. Di Medinah, Nabi dan para sahabatnya yang turut hijrah disambut penduduknya yang Muslim dengan sambutan luar biasa, seperti yang diterangkan Allah dalam firman-Nya:
Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. (al-hasyr/59: 9)
Selanjutnya, Nabi ﷺ mengadakan perjanjian damai dan tolong-menolong dengan orang-orang Yahudi, tetapi mereka berkhianat dan melanggar janji dengan menolong orang musyrikin yang selalu memusuhi Nabi di Mekah. Sehingga permusuhan dari kaum musyrikin bertambah meningkat, bahkan mereka bermaksud hendak menghancurkan agama Islam, maka perang disyariatkan dalam Islam. Kemudian Nabi mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah untuk masa sepuluh tahun dengan syarat-syarat yang sangat lunak, yang seakan-akan menguntungkan kaum musyrikin, tetapi kaum musyrikin melanggar perjanjian itu, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin, selain menghadapi tantangan itu dengan penuh keimanan dan keberanian. Akhirnya pada tahun ke-8 Hijri, kota Mekah dapat ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Dengan demikian kekuatan kaum musyrikin menjadi lemah, akan tetapi mereka masih mengadakan perlawanan dengan segala cara yang masih bisa mereka lakukan, sehingga turunlah surah ini yang menyatakan pembatalan perjanjian perdamaian dan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin.
Ayat ini menyatakan pembatalan berbagai perjanjian damai dengan kaum musyrikin dengan cara yang lebih tegas dan positif dari yang sudah diterangkan Allah dalam firman-Nya:
Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat. (al-Anfal/8: 58)
Banyak pendapat ahli tafsir tentang perjanjian yang dibatalkan dalam ayat ini. Menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir bahwa pendapat yang terbaik dan terkuat ialah perjanjian yang ditentukan waktunya, sedang perjanjian yang masih berlaku, harus ditunggu sampai habis waktunya, sesuai dengan ayat keempat dari surah yang akan diterangkan kemudian ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah at-Taubah
(PERMOHONAN AMPUN)
SURAH KE-9,129 AYAT, DITURUNKAN Di MADINAH
(AYAT 1 -93)
Bismillahirrahmanirrahim
Tahun itu merupakan tahun kesembilan Hijriah. Pada tahun kedelapan Mekah sudah ditaklukkan. Dengan jatuhnya Mekah dan kalahnya pertahanan penghabisan kaum musy-rikin dalam Peperangan Hunain, maka habislah segala kekuatan mereka. Dengan jatuhnya Mekah ke tangan Islam, kekuatan musyrikin sudah tidak ada lagi. Mereka sebagian besar telah tobat dan memeluk Islam. Thaif pun akhirnya datang juga menyatakan ketundukan.
Baik menurut kenyataan de-facto ataupun menurut kenyataan hukum dan pengakuan de-jure, daulah Islamiyah telah berdiri. Tinggal lagi menghapuskan sisa-sisa yang tinggal. Sebab itu, pada tahun kesembilan itu tidaklah Rasulullah ﷺ sendiri yang memimpin kaum Muslimin yang telah beratus-ribu itu (kira-kira 174.000 orang) untuk mengerjakan haji, melainkan diserahkannya pimpinan kepada Abu Bakar. Kemudian setelah Abu Bakar berangkat ke Mekah memimpin rombongan kafilah haji yang besar itu, Rasul ﷺ menyuruh Ali bin Abi Thalib menyusul Abu Bakar. Mulanya Abu Bakar menyangka kalau-kalau pimpinan akan diambil dari tangannya dan diserahkan kepada Ali. Oleh karena beliau memang seorang yang sangat jujur dan setia kepada Rasul, tidaklah dia keberatan kalau pimpinan hendak diserahkan kepada yang lebih muda itu (usia Abu Bakar ketika itu 60 tahun). Tetapi Ali menjelaskan bahwa kedatangannya bukanlah buat menggantikan pimpinan beliau, hanya semata-mata membawa tugas istimewa dari Rasulullah ﷺ, dalam rangka pimpinan Abu Bakar, buat membacakan beberapa peraturan yang telah datang dari langit, di dalam surah Bara'ah mengenai hubungan dengan kaum musyrikin.
Maka sesampai di Mekah, sampai pun ketika wuquf ke Arafah ataupun sampai mabit (bermalam) di Mina, dilaksanakanlah perintah membacakan pangkal surah Bara'ah ini oleh Ali di bawah perintah Abu Bakar. Dia bacakan dengan tidak memakai bismillah lagi:
Ayat 1
“(Suatu) pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang yang telah kamu adakan perjanjian, dari orang-orang musyrikin itu."
Artinya, mulai saat ini sekalian perjanjian-perjanjian yang pernah diperbuat di antara Nabi ﷺ dengan kaum musyrikin, tidak akan berlaku lagi. Dalam perjuangan selama se-puluh tahun, sejak Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, sudah banyak diperbuat perjanjian dengan kaum musyrikin itu, baik yang di Mekah ataupun di tempat lain dengan kabilah yang lain. Perjanjian tidak serang-menyerang, perjanjian jaminan tidak akan berperang se-kian tahun, dan sebagainya. Berkali-kali timbul kejadian, setelah perjanjian diikat, kaum musyrikin jualah yang memungkiri janji itu, sebagaimana kejadian dengan kaum Quraisy yang memungkiri satu pasal dari janji Hu-daibiyah, yaitu memberikan perbantuan kepada kabilah yang berjanji dengan mereka, ketika kabilah itu berperang dengan kabilah yang telah mendapat perlindungan dari Nabi ﷺ Dalam perjanjian itu disebut pula tidak akan berperang selama sepuluh tahun. Tetapi dengan sebab mereka memungkiri janji itu terlebih dahulu, berhaklah Rasulullah ﷺ menyerang Mekah, padahal baru dua tahun saja sesudah perjanjian diperbuat.
Begitulah juga ketika terjadi Peperangan Tabuk. Berkata mufassir al-Baghawi bahwa seketika Perang Tabuk itu kaum munafik telah menunjukkan sikap yang tidak jujur dan kaum musyrikin mulai pula memungkiri janji-janji mereka, karena melihat bahwa persiapan Peperangan Tabuk itu sangat sukar.
Lantaran itu datanglah firman Allah, sebagai tersebut dalam surah al-Anfaal ayat 58 bahwa kalau Rasul ﷺ takut bahwa janji itu akan mereka khianati, hendaklah Rasul ﷺ mencampakkan janji itu ke muka mereka dengan tegas (‘alaa sawaa).
Dari bukti dan pengalaman-pengalaman yang telah banyak terjadi itu dapatlah disim-pulkan bahwa kaum musyrikin, kalau masih dapat mencari dalih, mereka akan berusaha melepaskan diri dari ikatan janji dengan cara yang tidak jujur.
Sekarang dengan kemenangan-kemenangan islam yang telah berturut-turut, sehingga kepribadian yang dipertahankan musyrikin itu tidak ada lagi, bahwa seluruh kekuasaan sudah berada pada Rasul ﷺ, dan tidak ada lagi kekuasaan yang kedua di seluruh negeri itu, datanglah ketentuan Rasul ﷺ menyatakan bahwa mulai saat itu segala perjanjian yang pernah diikat di antara musyrikin dengan Rasul ﷺ, tidak berlaku lagi. Hal ini disuruh sampaikan oleh utusan istimewa Rasulullah ﷺ sendiri, Ali bin Abi Thalib ketika musim haji. Sebab haji pada musimnya itu dikerjakan juga oleh orang yang masih musyrik. Sebab itu kalau kaum musyrikin masih ada, mereka pun dapat mendengarkan pengumuman itu. Yaitu bahwa mulai saat itu, Rasulullah ﷺ atau kaum Muslimin seluruhnya tidak terikat lagi dengan sekalian janji yang pernah diperbuat pada masa-masa yang lalu itu. Sebab itu maka kedatangan Ali bin Abi Thalib adalah sebagai membacakan proklamasi.
Ayat 2
“Maka bolehlah kamu melawat-lawat dibumi selama empat bulan."
Artinya, diberi waktu selama empat bulan, yaitu mulai proklamasi itu pada 10 Dzulhijjah tahun kesembilan sampai pada sepuluh hari bulan Rabful Akhir tahun kesepuluh. Selama empat bulan itu mereka diberi kesempatan untuk berpikir, apakah mereka akan terus tunduk ataupun mereka akan melawan juga. Selama empat bulan mereka tidak akan di-ganggu-gugat oleh kaum Muslimin, tidak akan diperangi. Memberi tempo empat bulan itu pun termasuk dalam rangka proklamasi. Suatu kesempatan yang begitu luas diberikan kepada mereka yang menunjukkan betapa kekuatan Islam pada masa itu. Sehingga kalaupun mereka dalam masa empat bulan itu hendak menyusun kekuatan kembali akan memerangi Islam, Rasul ﷺ dan kaum Muslimin pun bersedia menghadapinya. Namun, diberikan
juga lanjutan peringatan, supaya mereka berpikir-pikir benar terlebih dahulu sebelum menempuh jalan yang salah, “Dan ketahuilah olehmu bahwasanya kamu tidaklah akan terlepas dari Allah!" Artinya, kalau kamu gegabah, terburu-buru mengambil keputusan akan mempergunakan hari yang empat bulan buat menyusun kekuatan kembali akan melawan Allah dan Rasul, percuma dan sia-sialah perbuatanmu itu, sebab kekuatan kamu tidak ada lagi, dan kamu tidak akan terlepas dari ancaman Allah.
“Dan bahwasanya Allah akan menghinakan orang-orang yang kafir."
Tekanan kata menguatkan yang pertama bahwasanya kalau mereka melawan, mereka akan kalah. Kekuatan mereka tidak ada lagi.
Dan kalau mereka tidak segera memeluk Islam, mereka akan hina. Sebab selain dari Islam, agama yang diakui hanyalah dua agama Ahlul Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Ke-musyrikan tidak ada lagi tempatnya di tanah Arab. Untuk ini, sebagai penjelasan maka Ali bin Abi Thalib menyampaikan pula pesan tambahan lisan dari Rasulullah ﷺ:
“Tidak boleh lagi orang musyrik naik haji sejak tahun ini dan tidak, boleh ada orang yang thawaf sambil bertelanjang."
Pendeknya sejak hari itu kemusyrikan tidak diakui lagi di Tanah Arab.
Ayat 3
“Dan (inilah pula) satu pemberitahuan dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari Haji Yang Besar bahwasanya Allah memutuskan hubungan dengan orang-orang musyrikin itu, dan begitu (pula) Rasul-Nya."
Artinya bahwa diberitahukan, dipermaklumkan, diproklamasikan di hadapan umum bahwa mulai waktu itu segala perjanjian di antara Rasulullah ﷺ dengan kaum musyrikin tidak berlaku lagi, hubungan telah diputuskan.
Untuk itu sengaja diutus Ali bin Abi Thalib sebagai keluarga yang terdekat dari Nabi ﷺ untuk menuruti Abu Bakar yang telah ditetapkan oleh Nabi ﷺ menjadi Amir al-Haj di tahun kesembilan itu. Demikian pentingnya proklamasi ini, sehingga ketika orang bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengapa tidak dirang-kapkan saja tugas itu kepada Abu Bakar, beliau telah menjawab bahwa untuk menyampaikan maklumat yang penting itu, dipakai tradisi atau adat istiadat bangsa Arab yang telah tua, yaitu hendaklah keluarga beliau yang paling dekat sendiri yang diwakilkan, kalau tidak dapat yang bersangkutan sendiri. Karena bagi kaum musyrikin itu, pribadi Nabi ﷺ sendirilah yang dianggap bertanggung jawab. Karena demikian pula keterangan yang diterima Rasulullah ﷺ dari Jibril.
Abu Hurairah yang turut mengiringkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika menyusul Abu Bakar itu, telah berkata, “Aku ada beserta Ali pada waktu menyampaikan Bara'ah itu. Maka kami telah menyorak-nyorakkan,
“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan orang yang beriman. Dan tidak boleh lagi thawaf orang yang bertelanjang. Dan barangsiapa yang ada diantaranya dan di antara Rasulullah, ﷺ suatu perjanjian, maka masanya dan batasnya ialah sampai empat bulan. Bila habis empat bulan lepaslah Allah dari ikatan janji itu. Demikian juga RasubNya. Dan, sesudah tahun ini orang musyrikin tidak boleh lagi naik haji ke rumah ini."
Menurut hadis Bukhari dan Muslim, Abu Bakar pun telah mendapat juga perintah me-nyuruh menyampaikan pengumuman ini, dan telah beliau suruh dua orang yang lantang suaranya menyorak-nyorakkan dengan suara keras. Tetapi dengan kedatangan Ali sebagai utusan resmi Rasulullah ﷺ, sebagai keluarganya yang terdekat, yaitu menuruti adat orang Arab bila memutuskan perjanjian sepihak, kalau tak dapat yang bersangkutan sendiri datang, hendaklah diutusnya keluarga terdekat. Dengan sebab demikian bertambah diperkukuh dan bertambah jadi resmilah sifat pengumuman itu. Dalam satu hadits di-riyatakan bahwa Abu Hurairah yang turut membantu, sampai parau suaranya.
TENTANG HAJI AKBAR
Bilakah hari yang dinamai Haji Akbar itu?
Patut juga kita ketahui tentang Haji Akbar itu menurut sumber yang sebenarnya. Sebab sudah menjadi kebiasaan orang awam di dunia ini bahwa yang dikatakan Haji Akbar ialah bila waktu wuquf di Arafah bertepatan dengan hari Jum'at.
Dirawikan oleh Ibnu Jarir:
Menyampaikan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Abil Hakam, mengabarkan kepada kami Abu Zar'ah dan Abdullah bin Rasyid, mengabarkan kepada kami Haywah bin Syuraih, mengabarkan kepada kami Ibnu Syakhar, bahwa dia telah mendengar Abu Mu'awiyah al-Bajali salah seorang penduduk Kufah. Dia ini berkata, “Saya mendengar Abu Shahba al-Bakri berkata, ‘Aku bertanya kepada Ali dari hal Haji Akbar itu. Menjawab Ali, ‘Bahwasanya Rasulullah ﷺ mengutus Abu Bakar bin Abu Quhafah memimpin orang pergi haji. Lalu saya pun dikirim pula beserta (Abu Bakar) dengan membawa 40 ayat dari surah Bara'ah. Sehingga sampai ke Arafah, maka berkhutbahlah Abu Bakar pada Hari Arafah itu. Setelah selesai beliau berkhutbah, menolehlah beliau kepadaku seraya berkata, ‘Berdirilah engkau hai Ali! Penuhilah tugas yang dipikulkan Nabi ﷺ Kepadamu. Maka saya pun berdirilah, lalu saya baca 40 ayat surah Bara'ah itu. Kemudian setelah selesai wuquf, kami melanjutkan ke Mina. Maka saya lontarlah jumrah dan saya sembelih kurban dan saya cukur rambut saya. Maka tahulah saya bahwa belum seluruh orang yang berhaji itu yang mendengar khutbah Abu Bakar di Hari Arafah. Maka saya kelilingilah kemah-kemah yang banyak itu satu demi satu, dan saya bacakan ayat yang 40 itu."
Berkata Ali selanjutnya, “Saya sangka Tuan-Tuan berpendapat bahwa (Haji Akbar) itu pada Hari Nahar. Ketahuilah, bahwa hari itu ialah Hari Arafah."
Dan berkata pula Abdurrazzaq, dia menerima dari Ma'mar, dia menerima dari Abu Ishaq, dia ini berkata, “Aku tanyakan kepada Abu Hurairah dari hal Haji Akbar itu.
Dia menjawab, ‘Hari Arafah, Lalu saya tanyakan pula, Apakah keterangan ini dari engkau sendiri atau dari sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ?' Dia menjawab, “Semua sama pendapat tentang itu." (bahasa Arabnya: Kullun fi zaalika).
Dan, diriwayatkan pula dari Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij dan Atha, “Hari Haji Akbar ialah Hari Arafah."
Dan berkata Amir bin al-Walid as-Sahmi, “Menyampaikan kepada kami Syihab bin Ab-bad al-Bishri, dia menerima dari ayahnya. Berkata ayahnya itu, Aku mendengar Umar bin Khaththab berkata, ‘Ini adalah Hari Arafah. Ini adalah hari Haji Akbar, maka janganlah seorang juga berpuasa di hari ini. Lalu dia berkata selanjutnya. Aku pun pergi naik haji sesudah (wafat) ayahku. Maka datanglah aku ke Madinah. Lalu, aku bertanya siapa orang Madinah ini yang lebih afdhal (lebih terkemuka dari yang lain). Orang menjawab, ‘Said bin al-Musayyab. Sebab itu, ajarkanlah kepadaku dari hal puasa pada Hari Arafah, bolehkah tidak?' Dia berkata, ‘Saya akan mengabarkan kepada engkau apa yang pernah saya terima dari orang yang 1.000 kali lebih afdhal daripadaku, yaitu Umar atau Ibnu Umar (ragu pembawa riwayat). Beliau melarang puasa di hari itu dan beliau katakan bahwa hari itu adalah hari Haji Akbar."
Dirawikan hadits itu oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. Demikian pula dirawikan oleh Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Mujahid, Ikrimah, dan Thaus. Semua berpendapat bah-wa Hari Arafah, itulah hari Haji Akbar.
Semua ini kita salinkan dari Tafsir Ibnu Katsir.
Lalu di sini kita salinkan pula keterangan lain yang diterima dari Abdullah bin Abi Aufaa. Dia berkata, “Hari Haji Akbar ialah Hari Nahar"
Hari Nahar (dengan huruf kha tidak bertitik atau huruf jim tidak bertitik), ialah hari penyembelihan kurban, hari kesepuluh.
Menurut keterangan dari al-A'masy yang diterimanya dari Abdullah bin Sinan. Dia berkata, “Mughirah bin Syu'bah pernah berkhutbah di Hari Adha, dengan mengendarai seekor unta, ‘Hari ini adalah Hari Adha, hari ini adalah Hari Nahar, dan inilah hari Haji Akbar."
Merawikan pula Humaid bin Salamah dari Sammak dan Ikrimah (Maulaa Ibnu Abbas) dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas berkata, “Hari Akbar ialah Hari Nahar."
Selain itu, terdapat riwayat bahwa Abu Juhaifah, Said bin Jubair, Abdullah bin Syaddad bin al-Had, Nafi bin Jubair bin Muth'im, asy-Sya'bi, Ibrahim an-Nakha'i, Mujahid, dan Ikrimah, Abu Ja'far al-Baqir, az-Zuhri, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam; semuanya berpendapat bahwa Haji Akbar itu ialah Hari Nahar (hari Kesepuluh).
Semuanya ini adalah nama tabi'in.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaihi, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Ali pernah bertanya langsung kepada Rasulullah ﷺ tentang Haji Akbar itu. Maka beliau menjawab,
“Ialah Hari Nahar."
Menurut hadits yang dirawikan pula Ibnu Abu Aufaa bahwa Rasulullah ﷺ bersabda
“Hari penyembelihan kurban inilah hari Haji Akbar." (HR Ibnu Abu Aufaa)
Keterangan ini menjadi lebih jelas lagi setelah datang sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu )arir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, Ibnu Mardawaihi, dan Abu Nu'aim, diterima dari Abdullah bin Umar,
“Bahwasanya Rasulullah ﷺ berdiri di Hari Nahar di antara ketiga jamrah, pada waktu haji yang beliau hajikan. Maka beliau berkata, ‘Hari apakah ini.' Mereka menjawab, ‘Hari Nahar!' Maka beliau berkata, ‘Inilah dia hari Haji Akbar."‘ (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, Ibnu Mardawaihi, dan Abu Nu'aim)
Menilik kedua riwayat itu, teranglah bahwa yang dimaksud dengan hari Haji Akbar, ialah Hari Nahar, hari penyembelihan kurban, yaitu hari kesepuluh di Mina.
Sekarang jelas apa yang dimaksud dengan Haji Akbar, niscaya timbul pula pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan Haji Ashghar?Atau Haji Kecil?"
Menurut riwayat dari beberapa orang tabi'in, terutama Atha, asy-Sya'bi, dan Mujahid:
yang dimaksud dengan Haji Akbar ialah Hari Nahar, hari kesepuluh setelah kita sampai di Mina, kembali dari Arafah dan Muzdalifah. Karena pada hari itu, seluruh manasik haji telah sempurna.
Tetapi menurut suatu riwayat lagi dari Sufyan ats-Tsauri, “Seluruh hari haji itu dinamai Haji Akbar. Yaitu sejak kita mulai bersiap akan berangkat di hari kedelapan yang dinamai hari Tarwiyah, sampai wuquf di Arafah, sampai bermalam di Muzdalifah, dan sampai melontar jamratul Aqabah pagi-pagi hari kesepuluh, lalu memotong rambut dan menyembelih kurban, semuanya itu dinamai Hari Akbar!" Sufyan ats-Tsauri memisalkannya kepada memakai kalimat hari dalam hal yang penting-penting, seumpama Hari Penaklukkan Mekah (Majmal Fathi).
Menurut sebuah riwayat pula dari Mujahid: Haji Akbar ialah Haji Qiran dan Haji Ashghar ialah Haji Ifrad.
Menurut riwayat yang dikuatkan pula oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, “Haji Akbar ialah haji seluruhnya dan Haji Ashghar ialah umrah. Sebab manasik yang dikerjakan ketika haji lebih banyak, sebab itu dinamai Haji Besar. Dan, manasik yang dikerjakan di waktu umrah sedikit saja, sebab itu dinamai Haji Ashghar (Kecil).
Riwayat ini diterima juga dari Ibnu juraij dan dari Atha.
Maka banyak pulalah terdapat riwayat bahwa Haji Akbar itu adalah terjadi pada tahun kesembilan, pada haji yang dipimpin oleh Abu Bakar itu. Sebab katanya, pada hari itu berkumpul dan bersamaan tanggal haji orang musyrikin dengan tanggal jatuhnya hari raya orang Yahudi dan hari raya orang Nasrani.
Pendapat ini dikuatkan pula oleh satu riwayat pertanyaan orang kepada tabi'in yang masyhur, al-Hasan al-Bishri. Orang bertanya, “Bilakah Hari Haji Akbar itu?" Beliau menjawab, “Apa perlunya kamu tanyakan lagi perkara Haji Akbar itu? Haji Akbar telah terjadi pada tahun Abu Bakar diangkat Rasulullah ﷺ menjadi wakilnya, lalu dia pun membawa manusia naik Haji di tahun itu." Riwayat ini diterima dari Ibnu Abi Hatim.
Maka kalau perkataan Hasan Bishri itu yang dijadikan pedoman, niscaya Haji Akbar hanya baru sekali kejadian, yang bertepatan padanya hari raya orang Islam dengan hari raya orang Yahudi dan Nasrani.
Tetapi ada lagi suatu riwayat syadzdzah (mengganjil) yang diterima dari Ibnu Sirin yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dari Waki', ketika orang bertanya kepada Ibnu Sirin tentang Haji Akbar. Beliau menjawab, “Haji Akbar ialah haji yang bersamaan di antara Haji Rasulullah ﷺ dengan naik hajinya orang Wabar (Wabar menurut kamus ialah Badui).
Sejak Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau hanya mengerjakan umrah satu kali, yaitu Umrah Qadha tahun ketujuh. Lalu beliau menaklukkan Mekah pada tahun kedelapan. Naik Haji tahun kesembilan dipimpin oleh Abu Bakar. Dan Rasulullah ﷺ naik haji hanya sekali pula, yaitu tahun kesepuluh. Dan haji ini ialah yang terkenal dengan sebutan Haji Wada' (Haji Selamat Tinggal). Karena, tahun depannya Rasulullah ﷺ tidak naik haji lagi. Sebab 80 hari sesudah itu, beliau wafat.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menulis di dalam Tafsir al-Manar bahwa Rasulullah ﷺ wuquf di Arafah ketika Haji Wada' itu bertepatan dengan hari Jum'at.
Dari sinilah barangkali sebabnya maka timbul kepercayaan pada orang awam bahwa Haji Akbar itu akan terjadi apabila wuquf di Arafah itu bertepatan dengan Hari Jum'at, maka haji pada tahun itu adalah Haji Akbar.
Kepercayaan orang awam ini dihubung-hubungkan juga karena ada sabda Nabi bahwa hari Jum'at adalah Sayyidul Ayyam, penghulu dari hari yang tujuh. Jika bertepatan dengan Wuquf, niscaya dia menjadi Akbar!
Tetapi setelah kita teliti dan kita nilai hadits-hadits Nabi ataupun riwayat sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ ataupun lebih cenderunglah pikiran kita kepada Hari Nahar, Hari Kesepuluh adalah Hari Haji Akbar, dan Umrah adalah Haji Ashghar. Dengan tidak pula melupakan suatu riwayat lagi yang diterima orang dari asy-Sya'bi.
Kata beliau, “Kata orang bahwa Haji Ashghar (Haji Kecil) ialah mengerjakan umrah dalam bulan Ramadhan."
Sekarang kita kembali kepada lanjutan tafsir ayat:
“Maka jika kamu bertobat maka itulah yang lebih baik bagi kamu." Dengan rangkaian lanjutan ayat ini, diberikanlah kesempatan yang seluas-luasnya bagi kaum musyrikin, yang telah diberi tempo lapang empat bulan buat bertobat. Jika mereka bertobat adalah itu untuk kemaslahatan diri mereka sendiri. Sebab dengan ketobatan itu, mereka telah masuk dalam masyarakat Muslim. Ditutup lembaran yang lama, dibuka lembaran yang baru, dan senantiasa terbuka bagi mereka kesempatan buat beramal,
‘Tetapi jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwasanya kamu tidaklah akan terlepas dari Allah. Dan peringatkanlah kepada orang-orang kafir itu, akan suatu adzab yang pedih."
Kalau mereka berpaling juga, mereka tidak akan dapat melepaskan diri lagi. Ke mana mereka akan lari, sedang Islam ketika itu telah menguasai seluruhnya? Dan perpalingan itu tidak akan habis hingga itu saja. Mereka akan terus mendapat adzab siksaan Allah, baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Kalau mereka bertobat, tobat mereka akan diterima baik. Sedang kalau mereka berpaling atau masih juga melawan, maka jalan untuk melepaskan diri tidak ada. Tidak ada lagi tem-pat buat paham musyrik di Tanah Arab yang sudah dalam penaklukan Islam.