Ayat
Terjemahan Per Kata
أَن
sesungguhnya
جَآءَهُ
datang kepadanya
ٱلۡأَعۡمَىٰ
seorang buta
أَن
sesungguhnya
جَآءَهُ
datang kepadanya
ٱلۡأَعۡمَىٰ
seorang buta
Terjemahan
karena seorang tunanetra (Abdullah bin Ummi Maktum) telah datang kepadanya.
Tafsir
(telah datang seorang buta kepadanya) yaitu Abdullah bin Umi Maktum. Nabi ﷺ tidak melayaninya karena pada saat itu ia sedang sibuk menghadapi orang-orang yang diharapkan untuk dapat masuk Islam, mereka terdiri dari orang-orang terhormat kabilah Quraisy, dan ia sangat menginginkan mereka masuk Islam. Sedangkan orang yang buta itu atau Abdullah bin Umi Maktum tidak mengetahui kesibukan Nabi ﷺ pada waktu itu, karena ia buta. Maka Abdullah bin Umi Maktum langsung menghadap dan berseru, "Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu." Akan tetapi Nabi ﷺ pergi berpaling darinya menuju ke rumah, maka turunlah wahyu yang menegur sikapnya itu, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini. Nabi ﷺ setelah itu, apabila datang Abdullah bin Umi Maktum berkunjung kepadanya, beliau selalu mengatakan, "Selamat datang orang yang menyebabkan Rabbku menegurku karenanya," lalu beliau menghamparkan kain serbannya sebagai tempat duduk Abdullah bin Umi Maktum.
Tafsir Surat 'Abasa: 1-16
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (alasan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.
Bukan hanya seorang dari ulama tafsir menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ di suatu hari sedang berbicara dengan salah seorang pembesar Quraisy, yang beliau sangat menginginkan dia masuk Islam. Ketika beliau ﷺ sedang berbicara dengan suara yang perlahan dengan orang Quraisy itu, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum, salah seorang yang telah masuk Islam sejak lama. Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang sesuatu dengan pertanyaan yang mendesak. Dan Nabi ﷺ saat itu sangat menginginkan andaikata Ibnu Ummi Maktum diam dan tidak mengganggunya, agar beliau dapat berbicara dengan tamunya yang dari Quraisy itu karena beliau sangat menginginkannya mendapat hidayah. Untuk itulah maka beliau bermuka masam terhadap Ibnu Ummi Maktum dan memalingkan wajah beliau darinya serta hanya melayani tamunya yang dari Quraisy itu.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). ('Abasa: 1-3) Yakni menginginkan agar dirinya suci dan bersih dari segala dosa. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? ('Abasa: 4) Yaitu memperoleh pelajaran untuk dirinya sehingga ia menahan dirinya dari hal-hal yang diharamkan. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. ('Abasa: 5-6) Adapun orang yang serba cukup, maka kamu melayaninya dengan harapan dia mendapat petunjuk darimu. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). ('Abasa: 7) Artinya, kamu tidak akan bertanggungjawab mengenainya bila dia tidak mau membersihkan dirinya (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut (kepada Allah). (Abasa: 8-9) Yakni dengan sengaja datang kepadamu untuk mendapat petunjuk dari pengarahanmu kepadanya. maka kamu mengabaikannya. ('Abasa: 10) Maksudnya, kamu acuhkan dia. Dan setelah kejadian ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk tidak boleh mengkhususkan peringatan terhadap seseorang secara tertentu, melainkan harus menyamakan di antara semuanya. Dalam hal ini tidak dibedakan antara orang yang mulia dan orang yang lemah, orang yang miskin dan orang yang kaya, orang merdeka dan budak belian, laki-laki dan wanita, serta anak-anak dan orang dewasa.
Kemudian Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus, keputusan yang ditetapkan-Nya penuh dengan kebijaksanaan dan mempunyai alasan yang sangat kuat. Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. ('Abasa: 1) Ibnu Ummi Maktum datang kepada Nabi ﷺ yang saat itu sedang berbicara dengan Ubay ibnu Khalaf, maka beliau ﷺ berpaling dari Ibnu Ummi Maktum, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Maka sesudah peristiwa itu Nabi ﷺ selalu menghormatinya. Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ia melihat Ibnu Ummi Maktum dalam perang Qadisiyah, memakai baju besi, sedangkan di tangannya terpegang bendera berwarna hitam.
Abu Ya'la dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepadaku ayahku yang mengatakan bahwa berikut ini adalah hadits yang diceritakan kepada kami dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa ayat ini, yaitu firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. (Abasa: 1) diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang tuna netra. Dia datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Berilah aku petunjuk." Sedangkan saat itu di hadapan Rasulullah ﷺ terdapat seorang lelaki dari kalangan pembesar kaum musyrik. Maka Rasulullah ﷺ berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan melayani lelaki musyrik itu seraya bersabda, "Bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang aku katakan ini, apakah berkesan?" Lelaki itu menjawab, "Tidak".
Maka berkenaan dengan peristiwa inilah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. ('Abasa: 1) Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan hadits ini dari Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi dengan sanad yang semisal; kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa surat 'Abasa diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum, tetapi dalam sanad ini tidak disebutkan dari Aisyah.
Menurut hemat saya, memang demikianlah yang terdapat di dalam kitab Muwatta. Kemudian Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim juga telah meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang berbicara secara tertutup dengan Atabah ibnu Rabi'ah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, yang sebelumnya Nabi ﷺ sering berbicara dengan mereka dan sangat menginginkan mereka beriman. Lalu tiba-tiba datanglah seorang lelaki tuna netra bernama Ibnu Ummi Maktum dengan jalan kaki, saat itu Nabi ﷺ sedang serius berbicara dengan mereka. Lalu Abdullah ibnu Ummi Maktum meminta agar diajari suatu ayat dari Al-Qur'an dan berkata, "Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu." Rasulullah ﷺ berpaling dan bermuka masam terhadapnya serta tidak melayaninya, bahkan beliau kembali melayani mereka.
Setelah Rasulullah ﷺ selesai dari pembicaraan tertutupnya dan hendak pulang ke rumah keluarganya, maka Allah subhanahu wa ta’ala menahan sebagian dari pandangan beliau dan menjadikan kepada beliau tertunduk, lalu turunlah kepadanya firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menegur sikapnya itu: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? ('Abasa: 1-4) Maka setelah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ayat-ayat tersebut, beliau selalu menghormatinya dan selalu berbicara dengannya dan menanyakan kepadanya, "Apakah keperluanmu? Apakah engkau ingin sesuatu?" Dan apabila Ibnu Ummi maktum pergi darinya, beliau ﷺ bertanya, "Apakah engkau mempunyai sesuatu keperluan?" Demikian itu setelah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). ('Abasa: 5-7) Hadits ini gharib dan munkar, sanadnya juga masih diperbincangkan dan diragukan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Salim ibnu Abdullah telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Bilal azan di malam hari, maka makan dan minumlah kamu hingga kamu mendengar seruan azan Ibnu Ummi Maktum.
Dia adalah seorang tuna netra yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Tersebutlah pula bahwa dia menjadi juru azan bersama Bilal. Salim melanjutkan, bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang tuna netra, maka dia belum menyerukan suara azannya sebelum orang-orang berkata kepadanya saat mereka melihat cahaya fajar subuh, "Azanlah!" Hal yang sama telah disebutkan oleh Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, Abu Malik, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid, dan selain mereka yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum.
Menurut pendapat yang terkenal, nama aslinya adalah Abdullah, dan menurut pendapat yang lainnya yaitu Amr; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah Swt: Sekali-kali jangan (demikian, Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. ('Abasa: 11) Artinya, surat ini atau perintah menyamakan semua orang dalam menyampaikan pengetahuan, tidak dibedakan antara orang yang terhormat dan orang biasa dari kalangan mereka yang menginginkannya. Qatadah dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. ('Abasa: 11) Yakni Al-Qur'an itu. maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya. ('Abasa: 12) Maksudnya, barang siapa yang menghendaki, ia dapat mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dalam semua urusannya.
Dapat pula ditakwilkan bahwa damir yang ada merujuk kepada wahyu karena konteks pembicaraan berkaitan dengannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan. ('Abasa: 13-14) Yaitu surat ini atau pelajaran ini, kedua-duanya saling berkaitan, bahkan Al-Qur'an seluruhnya. di dalam kitab-kitab yang dimuliakan. ('Abasa: 13) Yakni diagungkan dan dimuliakan. () yang ditinggikan ('Abasa: 14) Artinya, mempunyai kedudukan yang tinggi. () lagi disucikan ('Abasa: 14) Yaitu disucikan dari hal yang kotor, penambahan, dan pengurangan. Firman Allah Swt: di tangan para penulis. ('Abasa: 15) Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid, yang dimaksud adalah para malaikat. Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa mereka adalah para sahabat Nabi ﷺ Qatadah mengatakan mereka adalah para ahli qurra. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa safarah dengan bahasa Nabtiyyah, kalau bahasa Arabnya berarti para ahli qurra.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa safarah adalah para malaikat yang menghubungkan antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya. Dan termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan safir, yang artinya orang yang menghubungkan di antara kedua belah pihak yang bersangkutan untuk tujuan perdamaian dan kebaikan. Hal yang sama dikatakan oleh salah seorang penyair dalam salah satu bait syairnya: ... Aku belum pernah mengabaikan perantara (juru runding) di antara kaumku, dan aku belum pernah berjalan (ke sana kemari) untuk tujuan menipu.
Imam Bukhari mengatakan bahwa safarah adalah para malaikat yang menjadi duta perdamaian di antara mereka. Di sini malaikat yang menurunkan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan menyampaikannya kepada rasul yang bersangkutan diserupakan dengan duta yang mendamaikan di antara kaum yangberselisih. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang mulia lagi berbakti. ('Abasa: 16) Yakni rupa mereka mulia, baik lagi terhormat, dan akhlak serta sepak terjang mereka berbakti, suci dan sempurna. Maka berangkat dari pengertian ini orang yang hafal Al-Qur'an dianjurkan berada dalam jalan yang lurus dan benar dalam semua perbuatan dan ucapannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'd ibnu Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Orang yang membaca Al-Qur'an, sedangkan dia pandai membacanya (kelak akan dihimpunkan) bersama-sama dengan para malaikat safarah yang mulia lagi berbakti. Adapun orang yang membacanya, sedangkan dia melakukannya dengan berat, baginya dua pahala. Jamaah mengetengahkan hadits ini melalui jalur Qatadah dengan sanad yang sama."
Nabi kurang berkenan sehingga bermuka masam karena seorang buta telah datang kepadanya, yaitu 'Abdull'h bin Ummi Makt'm. Allah menegur Nabi karena lebih mementingkan bertemu dengan pemuka Quraisy untuk mengajak mereka masuk Islam. Dalam pandangan Allah, semestinya Nabi lebih mementingkan siapa pun yang betul-betul ingin mengamalkan ajaran Islam, tidak peduli ia dari kalangan fakir miskin bahkan cacat. 'Abdull'h terus memanggil-manggil Nabi, sedang dia karena kebutaannya tidak tahu bahwa beliau sedang bersama para pemuka Quraisy (Lihat: Surah al-An''m/6: 52; al-Kahf/18: 28). 3. Wahai Nabi Muhammad, Kami menegur sikapmu yang demikian karena tahukah engkau barangkali dia datang menghadapmu untuk minta pengajaran darimu sebab dia ingin menyucikan dirinya dari dosa dan kesalahan masa lalunya'
Pada permulaan Surah 'Abasa ini, Allah menegur Nabi Muhammad yang bermuka masam dan berpaling dari 'Abdullah bin Ummi Maktum yang buta, ketika sahabat ini menyela pembicaraan Nabi dengan beberapa tokoh Quraisy. Saat itu 'Abdullah bin Ummi Maktum bertanya dan meminta Nabi ﷺ untuk membacakan dan mengajarkan beberapa wahyu yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk menghadapi beberapa pembesar Quraisy.
Sebetulnya Nabi ﷺ sesuai dengan skala prioritas sedang menghadapi tokoh-tokoh penting yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan mempunyai pengaruh besar pada perkembangan dakwah selanjutnya. Maka adalah manusiawi jika Nabi ﷺ tidak memperhatikan pertanyaan 'Abdullah bin Ummi Maktum, apalagi telah ada porsi waktu yang telah disediakan untuk pembicaraan Nabi dengan para sahabat.
Tetapi Nabi Muhammad sebagai manusia terbaik dan contoh teladan utama bagi setiap orang mukmin (uswah hasanah), maka Nabi tidak boleh membeda-bedakan derajat manusia. Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan seperti 'Abdullah bin Ummi Maktum yang buta dan tidak dapat melihat. Maka seharusnya Nabi lebih mendahulukan pembicaraan dengan 'Abdullah bin Ummi Maktum daripada dengan para tokoh Quraisy.
Dalam peristiwa ini Nabi ﷺ tidak mengatakan sepatah katapun kepada 'Abdullah bin Ummi Maktum yang menyebabkan hatinya terluka, tetapi Allah melihat raut muka Nabi Muhammad ﷺ yang masam itu dan tidak mengindahakan Ummi Maktum yang menyebabkan dia tersinggung.
Hikmah adanya teguran Allah kepada Nabi Muhammad juga memberi bukti bahwa Al-Qur'an bukanlah karangan Nabi, tetapi betul-betul firman Allah. Teguran yang sangat keras ini tidak mungkin dikarang sendiri oleh Nabi.
'Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang yang bersih dan cerdas. Apabila mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya dan membersihkan diri dari kebusukan kemusyrikan. Adapun para pembesar Quraisy itu sebagian besar adalah orang-orang yang kaya dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu serius menghadapi mereka untuk diislamkan. Tugas Nabi hanya sekadar menyampaikan risalah dan persoalan hidayah semata-mata berada di bawah kekuasaan Allah. Kekuatan manusia itu harus dipandang dari segi kecerdasan pikiran dan keteguhan hatinya serta kesediaan untuk menerima dan melaksanakan kebenaran. Adapun harta, kedudukan, dan pengaruh kepemimpinan bersifat tidak tetap, suatu ketika ada dan pada saat yang lain hilang sehingga tidak bisa diandalkan.
Nabi sendiri setelah ayat ini turun selalu menghormati 'Abdullah bin Ummi Maktum dan sering memuliakannya melalui sabda beliau, "Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah. Apakah engkau mempunyai keperluan?".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ABASA
(BERMUKA MASAM)
SURAH KE-80, 42 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
KITAB YANG MERUPAKAN CINTA
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, “Sedang Rasulullah menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal, dan Abbas bin Abdul Muthalib, dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam, agar mereka sudi beriman; di waktu itu masuklah seorang laki-laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum. Dia masuk ke dalam majelis dengan lengan meraba-raba. Sejenak Rasulullah terhenti bicara, orang buta itu memohon kepada Nabi agar diajarkan kepadanya beberapa ayat Al-Qur'an. Mungkin oleh karena terganggu sedang menghadapi pemuka-pemuka itu, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga perkataan orang itu itu seakan-akan tidak beliau dengarkan, dan beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy tersebut.
Setelah selesai semuanya itu dan beliau akan mulai kembali kepada keluarganya, turunlah ayat ini, “Dia bermuka masam dan berpaling."Setelah ayat itu turun sadarlah Rasulullah ﷺ akan kekhilafannya. Beliau segera hadapi Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang dia minta, dan dia pun sejak itu menjadi salah seorang yang sangat disayangi oleh Rasulullah ﷺ. Di mana saja bertemu dengan Ibnu Ummi Maktum, beliau menunjukkan muka jernih berseri kepadanya, dan kadang-kadang beliau katakan, “Hai orang yang telah menjadi sebab satu kumpulan ayat turun dari langit kepadaku."
Ibnu Ummi Maktum adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal. Satu-satunya orang buta yang turut hijrah bersama para sahabat ke Madinah. Satu-satunya orang buta yang dua tiga kali diangkat Rasulullah ﷺ menjadi wakilnya menjadi imam di Madinah ketika beliau bepergian keluar kota untuk waktu agak lama. Ibu dari Ibnu Ummi Maktum adalah saudara kandung dari ibu yang melahirkan Siti Khadijah, istri Rasulullah ﷺ. Dan setelah di Madinah, beliau pun menjadi salah seorang muadzin yang diangkat Rasulullah ﷺ di samping Bilal.
Ayat 1
“Dia bermuka masam dan berpaling." (ayat 1)
Ayat 2
“Lantaran datang kepadanya orang buta itu" (ayat 2)
Ayat 3
“Padahal adakah yang engkau tahu, boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa)" (ayat 3) Dalam ketiga ayat ini ahli-ahli bahasa yang mendalami isi Al-Qur'an merasakan benar-benar betapa mulia dan tinggi susun bahasa wahyu itu kepada Rasul-Nya. Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya; hendaklah bermuka manis terus, sehingga orang-orang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai.
Pada ayat 1 dan 2 kita melihat bahwa kepada Rasulullah tidaklah dipakai bahasa berhadapan, misalnya, “Mengapa engkau bermuka masam, mentang-mentang yang datang itu orang buta?" Dan tidak pula bersifat larangan, “Jangan engkau bermuka masam dan berpaling." Karena dengan susunan kata larangan, teguran itu menjadi lebih keras. Tidak layak dilakukan kepada orang yang Allah sendiri menghormatinya! Allah tidak memakai perkataan yang keras susunannya kepada Rasul-Nya. Melainkan dibahasakannya Rasul-Nya sebagai orang ketiga, menurut ilmu pemakaian bahasa. Dengan membahasakan sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus. Apatah lagi dalam hal ini Rasulullah tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok mata.
Apalah lagi Ibnu Ummi Maktum anak saudara perempuan beliau, bukan orang lain bahkan terhitung anak beliau juga. Di ayat 3 barulah Allah menghadapkan firman-Nya terhadap Rasul sebagai orang kedua dengan ucapan engkau atau kamu, “Padahal adakah yang engkau tahu, boleh jadi dia ingin menyucikan dirinya (daridosa)" Kalimat ini pun, walaupun terhadap orang kedua, susunannya pun halus. Memang belum ada orang yang memberitahu lebih dahulu bahwa Ibnu Ummi Maktum itu di belakang hari akan menjadi orang yang sangat penting, yang benar telah dapat menyucikan dirinya. Allah pun di dalam ayat ini memakai bahasa halus memberitahukan bahwa Ibnu Ummi Maktum itu kelak akan jadi orang yang saleh, dengan membayangkan dalam kata halus, bahwa pada masanya belum ada agaknya orang yang mengatakan itu kepada Nabi ﷺ.
Apakah perbuatan Nabi ﷺ bermuka masam itu satu kesalahan besar atau dosa? Ini terkait dengan ijtihad. Menurut ijtihad Nabi ﷺ orang-orang penting pemuka Quraisy itu hendak diseru kepada Islam dengan sungguh-sungguh. Kalau orang-orang semacam Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib mau masuk Islam, berpuluh orang di belakang mereka akan mengikut. Payah-payah sedikit menghadapi mereka tidak mengapa. Masuknya Ibnu Ummi Maktum ke dalam majelis itu beliau rasa agak mengganggu usaha dakwah yang sedang beliau lakukan. Sedang Ibnu Ummi Maktum itu orang yang sudah Islam juga.
Ayat 4
“Atau dia akan ingat, lalu memberi manfaat kepadanya ingatnya itu?" (ayat 4) Dengan kedua ayat ini Rasulullah ﷺ diberi ingat oleh Allah, bahwa Ibnu Ummi Maktum itu lebih besar harapan akan berkembang lagi menjadi seorang insan yang saleh, seseorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih, kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang.
Bayangan yang sehalus itu dari Allah terhadap seorang yang cacat jasmani, dalam keadaan buta, tetapi dapat lebih maju dalam iman, adalah satu pujian bagi Ibnu Ummi Maktum pada khususnya, dan sekalian orang buta pada umumnya. Dan orang pun melihat sejarah gemilang Ibnu Ummi Maktum, sehingga tersebut di dalam sebuah riwayat dari Qatadah, yang diterimanya dari Anas bin Malik, bahwa di zaman pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, Anas melihat dengan matanya sendiri, Ibnu Ummi Maktum turut dalam peperangan hebat di Qadisiyah, ketika penaklukan negeri Persia, di bawah pimpinan Sa'ad bin Abu Waqqash.
Ayat 5
“Adapun (terhadap) orang yang merasa diri cukup." (ayat 5) Yaitu orang yang merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi, atau yang merasa dirinya kaya sehingga merasa rendah kalau menerima ajaran dari orang yang dianggapnya miskin, atau merasa dirinya sedang berkuasa sehingga marah kalau mendengar kritik dari rakyat yang dipandangnya rendah.
Ayat 6
“Maka engkau menghadapkan (perhatian) kepadanya." (ayat 6)
Itulah suatu ijtihad yang salah, meskipun maksud baik! Orang-orang yang merasa dirinya telah cukup itu memandang enteng segala nasihat. Pekerjaan besar, revolusi-revolusi besar, perjuangan-perjuangan yang hebat, tidaklah dimulai oleh orang-orang yang telah merasa cukup. Biasanya orang yang seperti demikian datangnya ialah saat kemudian, setelah melihat pekerjaan orang telah berhasil.
Ayat 7
“Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci." (ayat 7) Padahal sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-orang seperti itu waktu akan banyak terbuang. Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan materi yang akan didapatnya. Di dalam ayat ini Allah telah melukiskan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan dalam penyembahan berhala.
Ayat 8
“Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat." (ayat 8) Kadang-kadang datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak mengetahui hakikat ajaran agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak mempunyai kendaraan sendiri.
Ayat 9
“Dan dia pun dalam rasa takut." (ayat 9) Karena iman mulai tumbuh.
Ayat 10
“Maka engkau terhadapnya berlengah-lengah." (ayat 10)
Sejak teguran ini Rasulullah ﷺ mengubah taktiknya yang lama. Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, yang disebut orang ‘Awali, atau orang Badawi, atau yang disebut Arab pedalaman. Malahan sesampai di Madinah pernah si orang kampung yang belum tahu peradaban itu memancarkan kencingnya di dalam masjid, sehingga sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ marah kepada orang itu. Lalu dengan lemah lembutnya Rasulullah bersabda, “Jangan dia dimarahi, cari saja setimpa air, lalu siram baik-baik," Maka datanglah satu Ukhuwwah Islamiyah dan satu penghormatan yang baik di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ itu, karena teguran halus yang datang dari Allah.