Ayat
Terjemahan Per Kata
فِي
dalam
صُحُفٖ
lembaran-lembaran
مُّكَرَّمَةٖ
dimuliakan
فِي
dalam
صُحُفٖ
lembaran-lembaran
مُّكَرَّمَةٖ
dimuliakan
Terjemahan
di dalam suhuf yang dimuliakan (di sisi Allah),
Tafsir
(Di dalam kitab-kitab) menjadi Khabar yang kedua, karena sesungguhnya ia dan yang sebelumnya berkedudukan sebagai jumlah Mu'taridhah atau kalimat sisipan (yang dimuliakan) di sisi Allah.
Tafsir Surat 'Abasa: 1-16
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (alasan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.
Bukan hanya seorang dari ulama tafsir menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ di suatu hari sedang berbicara dengan salah seorang pembesar Quraisy, yang beliau sangat menginginkan dia masuk Islam. Ketika beliau ﷺ sedang berbicara dengan suara yang perlahan dengan orang Quraisy itu, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum, salah seorang yang telah masuk Islam sejak lama. Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang sesuatu dengan pertanyaan yang mendesak. Dan Nabi ﷺ saat itu sangat menginginkan andaikata Ibnu Ummi Maktum diam dan tidak mengganggunya, agar beliau dapat berbicara dengan tamunya yang dari Quraisy itu karena beliau sangat menginginkannya mendapat hidayah. Untuk itulah maka beliau bermuka masam terhadap Ibnu Ummi Maktum dan memalingkan wajah beliau darinya serta hanya melayani tamunya yang dari Quraisy itu.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). ('Abasa: 1-3) Yakni menginginkan agar dirinya suci dan bersih dari segala dosa. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? ('Abasa: 4) Yaitu memperoleh pelajaran untuk dirinya sehingga ia menahan dirinya dari hal-hal yang diharamkan. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. ('Abasa: 5-6) Adapun orang yang serba cukup, maka kamu melayaninya dengan harapan dia mendapat petunjuk darimu. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). ('Abasa: 7) Artinya, kamu tidak akan bertanggungjawab mengenainya bila dia tidak mau membersihkan dirinya (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut (kepada Allah). (Abasa: 8-9) Yakni dengan sengaja datang kepadamu untuk mendapat petunjuk dari pengarahanmu kepadanya. maka kamu mengabaikannya. ('Abasa: 10) Maksudnya, kamu acuhkan dia. Dan setelah kejadian ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk tidak boleh mengkhususkan peringatan terhadap seseorang secara tertentu, melainkan harus menyamakan di antara semuanya. Dalam hal ini tidak dibedakan antara orang yang mulia dan orang yang lemah, orang yang miskin dan orang yang kaya, orang merdeka dan budak belian, laki-laki dan wanita, serta anak-anak dan orang dewasa.
Kemudian Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus, keputusan yang ditetapkan-Nya penuh dengan kebijaksanaan dan mempunyai alasan yang sangat kuat. Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. ('Abasa: 1) Ibnu Ummi Maktum datang kepada Nabi ﷺ yang saat itu sedang berbicara dengan Ubay ibnu Khalaf, maka beliau ﷺ berpaling dari Ibnu Ummi Maktum, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Maka sesudah peristiwa itu Nabi ﷺ selalu menghormatinya. Qatadah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ia melihat Ibnu Ummi Maktum dalam perang Qadisiyah, memakai baju besi, sedangkan di tangannya terpegang bendera berwarna hitam.
Abu Ya'la dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepadaku ayahku yang mengatakan bahwa berikut ini adalah hadits yang diceritakan kepada kami dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa ayat ini, yaitu firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. (Abasa: 1) diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang tuna netra. Dia datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Berilah aku petunjuk." Sedangkan saat itu di hadapan Rasulullah ﷺ terdapat seorang lelaki dari kalangan pembesar kaum musyrik. Maka Rasulullah ﷺ berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan melayani lelaki musyrik itu seraya bersabda, "Bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang aku katakan ini, apakah berkesan?" Lelaki itu menjawab, "Tidak".
Maka berkenaan dengan peristiwa inilah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. ('Abasa: 1) Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan hadits ini dari Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi dengan sanad yang semisal; kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa surat 'Abasa diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum, tetapi dalam sanad ini tidak disebutkan dari Aisyah.
Menurut hemat saya, memang demikianlah yang terdapat di dalam kitab Muwatta. Kemudian Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim juga telah meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang berbicara secara tertutup dengan Atabah ibnu Rabi'ah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, yang sebelumnya Nabi ﷺ sering berbicara dengan mereka dan sangat menginginkan mereka beriman. Lalu tiba-tiba datanglah seorang lelaki tuna netra bernama Ibnu Ummi Maktum dengan jalan kaki, saat itu Nabi ﷺ sedang serius berbicara dengan mereka. Lalu Abdullah ibnu Ummi Maktum meminta agar diajari suatu ayat dari Al-Qur'an dan berkata, "Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu." Rasulullah ﷺ berpaling dan bermuka masam terhadapnya serta tidak melayaninya, bahkan beliau kembali melayani mereka.
Setelah Rasulullah ﷺ selesai dari pembicaraan tertutupnya dan hendak pulang ke rumah keluarganya, maka Allah subhanahu wa ta’ala menahan sebagian dari pandangan beliau dan menjadikan kepada beliau tertunduk, lalu turunlah kepadanya firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menegur sikapnya itu: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? ('Abasa: 1-4) Maka setelah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ ayat-ayat tersebut, beliau selalu menghormatinya dan selalu berbicara dengannya dan menanyakan kepadanya, "Apakah keperluanmu? Apakah engkau ingin sesuatu?" Dan apabila Ibnu Ummi maktum pergi darinya, beliau ﷺ bertanya, "Apakah engkau mempunyai sesuatu keperluan?" Demikian itu setelah Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). ('Abasa: 5-7) Hadits ini gharib dan munkar, sanadnya juga masih diperbincangkan dan diragukan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Salim ibnu Abdullah telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Bilal azan di malam hari, maka makan dan minumlah kamu hingga kamu mendengar seruan azan Ibnu Ummi Maktum.
Dia adalah seorang tuna netra yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. ('Abasa: 1-2) Tersebutlah pula bahwa dia menjadi juru azan bersama Bilal. Salim melanjutkan, bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang tuna netra, maka dia belum menyerukan suara azannya sebelum orang-orang berkata kepadanya saat mereka melihat cahaya fajar subuh, "Azanlah!" Hal yang sama telah disebutkan oleh Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, Abu Malik, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid, dan selain mereka yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum.
Menurut pendapat yang terkenal, nama aslinya adalah Abdullah, dan menurut pendapat yang lainnya yaitu Amr; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah Swt: Sekali-kali jangan (demikian, Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. ('Abasa: 11) Artinya, surat ini atau perintah menyamakan semua orang dalam menyampaikan pengetahuan, tidak dibedakan antara orang yang terhormat dan orang biasa dari kalangan mereka yang menginginkannya. Qatadah dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. ('Abasa: 11) Yakni Al-Qur'an itu. maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya. ('Abasa: 12) Maksudnya, barang siapa yang menghendaki, ia dapat mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dalam semua urusannya.
Dapat pula ditakwilkan bahwa damir yang ada merujuk kepada wahyu karena konteks pembicaraan berkaitan dengannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan. ('Abasa: 13-14) Yaitu surat ini atau pelajaran ini, kedua-duanya saling berkaitan, bahkan Al-Qur'an seluruhnya. di dalam kitab-kitab yang dimuliakan. ('Abasa: 13) Yakni diagungkan dan dimuliakan. () yang ditinggikan ('Abasa: 14) Artinya, mempunyai kedudukan yang tinggi. () lagi disucikan ('Abasa: 14) Yaitu disucikan dari hal yang kotor, penambahan, dan pengurangan. Firman Allah Swt: di tangan para penulis. ('Abasa: 15) Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid, yang dimaksud adalah para malaikat. Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa mereka adalah para sahabat Nabi ﷺ Qatadah mengatakan mereka adalah para ahli qurra. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa safarah dengan bahasa Nabtiyyah, kalau bahasa Arabnya berarti para ahli qurra.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa safarah adalah para malaikat yang menghubungkan antara Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya. Dan termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan safir, yang artinya orang yang menghubungkan di antara kedua belah pihak yang bersangkutan untuk tujuan perdamaian dan kebaikan. Hal yang sama dikatakan oleh salah seorang penyair dalam salah satu bait syairnya: ... Aku belum pernah mengabaikan perantara (juru runding) di antara kaumku, dan aku belum pernah berjalan (ke sana kemari) untuk tujuan menipu.
Imam Bukhari mengatakan bahwa safarah adalah para malaikat yang menjadi duta perdamaian di antara mereka. Di sini malaikat yang menurunkan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala dan menyampaikannya kepada rasul yang bersangkutan diserupakan dengan duta yang mendamaikan di antara kaum yangberselisih. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang mulia lagi berbakti. ('Abasa: 16) Yakni rupa mereka mulia, baik lagi terhormat, dan akhlak serta sepak terjang mereka berbakti, suci dan sempurna. Maka berangkat dari pengertian ini orang yang hafal Al-Qur'an dianjurkan berada dalam jalan yang lurus dan benar dalam semua perbuatan dan ucapannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'd ibnu Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Orang yang membaca Al-Qur'an, sedangkan dia pandai membacanya (kelak akan dihimpunkan) bersama-sama dengan para malaikat safarah yang mulia lagi berbakti. Adapun orang yang membacanya, sedangkan dia melakukannya dengan berat, baginya dua pahala. Jamaah mengetengahkan hadits ini melalui jalur Qatadah dengan sanad yang sama."
Peringatan-peringatan dalam ayat Al-Qur'an itu terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan karena berada di sisi Allah dan memuat kalam serta dan pesan-Nya yang sangat berharga. 14. Itulah lembaran-lembaran mulia yang ditinggikan derajatnya dan disucikan; tidak ada yang bisa mengotori bahkan menjamahnya. Lembaran-lembaran itu dijauhkan dari segala kekurangan dan tidak ada pertentangan di antara ayat-ayatnya.
Al-Qur'an adalah salah satu dari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi. Ia merupakan kitab yang mulia dan tinggi nilai ajarannya dan disucikan dari segala macam bentuk pengaruh setan. Al-Qur'an diturunkan dengan perantaraan para penulis yaitu para malaikat yang sangat mulia lagi berbakti, sebagaimana dalam firman Allah:
Yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim/66: 6).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERINGATAN!
Ayat 11
“Tidak begitu!"
Artinya janganlah kamu salah sangka, atau salah tafsir, sehingga kamu menyangka atau menafsirkan bahwa ayat-ayat yang turun ini hanya semata-mata satu teguran karena Nabi bermuka masam ketika Ibnu Ummi Maktum datang.
Soalnya bukan itu! “Sesungguhnya dia itu;" yaitu ayat-ayat yang diturunkan Allah itu, “Adalah peringatan." (ujung ayat 11)
Tidak pandang martabat dan pangkat, kaya dan miskin; semuanya hendaklah menerima peringatan itu,
Ayat 12
“Maka barangsiapa yang mau, ingatlah dia kepadanya" (ayat 12)
Baik yang mau itu orang merdeka se-bagaimana Abu Bakar, atau hamba sahaya sebagaimana Bilal, atau orang kaya seperti Abu Sufyan, atau orang miskin dari desa, seperti Abu Dzar, namun martabat mereka di sisi Allah adalah sama, yaitu sama diterima jika beriman, dan disiksa jika mendurhaka.
Ayat 13
“(Dia) adalah di dalam kitab-kitab yang dimuliakan." (ayat 13)
Artinya, sudah lama sebelum ayat-ayat Al- Qur'an itu diturunkan ke dunia ini kepada Nabi akhir zaman, Muhammad ﷺ, ia telah tertulis terlebih dahulu di dalam Shuhuf, atau dalam tafsir ini kita sebut kitab-kitab.
Ayat 14
“Yang ditinggikan, yang disucikan." (ayat 14)
Yang ditinggikan, yaitu ditinggikan kehormatannya, tidak sama dengan sembarang kitab. Yang disucikan dan dibersihkan dari tambahan dan kekurangan; disuci-bersihkan pula daripada tambahan kata manusia, khusus Kalam Allah semata-mata.
Ayat 15
“Di tangan utusan-utusan." (ayat 15)
Kalimat Safarah kita artikan sebagai utusan-utusan. Dia adalah bentuk jamak dari Safiir, pokok artinya ialah utusan terhormat atau utusan istimewa. Oleh sebab itu maka utusan sebuah negara ke negara lain, yang disebut dalam bahasa asing, Ambassador, dalam bahasa Arab modern pun disebut Safiir. Dan dalam bahasa Indonesia kita sebut Duta, atau Duta Besar Istimewa. Maka bahasa yang paling tinggi pulalah yang layak kita berikan kepada malaikat-malaikat pembantu Jibril.
Ayat 16
“Yang mulia-mulia, yang berbakti." (ayat 16)
Demikianlah sucinya Al-Qur'an.
INSAN YANG MELUPAKAN ASALNYA
Ayat 17
“Celakalah Insan!" Satu ungkapan sesalan dari Allah kepada manusia.
“Alangkah sangat kufurnya." (ujung ayat 17)
Adakah patut manusia itu masih juga kufur kepada Allah?
Ayat 18
“Dari apa Dia menjadikannya?" (ayat 18)
Dari apa Allah menjadikan atau menciptakan manusia?
Ayat 19
“Dari nuthfah Dia telah menjadikannya."
Nuthfah ialah segumpalan air yang telah menjadi kental, gabungan yang keluar dari Shulbi ayah dengan yang keluar dari Taraib ibu.
Dari itu asal mula manusia dijadikan, “Dan Dia mengalunnya." (ujung ayat 19)
Hal yang demikian diperingatkan kepada manusia untuk dipikirkannya bahwa kekufuran tidaklah patut, tidaklah pantas.
Tidaklah patut manusia ingkar akan kebesaran Allah, kalau manusia mengingat betapa di waktu dahulu dia terkurung di dalam rahim ibu yang sempit itu dan dipelihara menurut belas kasihan Allah di tempat itu.
Ayat 20
“Kemudian Dia mudahkan jalan keluarnya." (ayat 20)
Dimudahkan jalan keluar buat hidup dan datang ke dunia. Dimudahkan pintu keluar dari rahim itu sampai terlancar, meluncur keluar. Dimudahkan terus persediaan buat hidup dengan adanya air susu yang disediakan pada ibu di waktu kecil. Dibimbing dengan cinta kasih sampai mudah tegak sendiri di dalam hidup; dia melalui masa kecil, masa dewasa, masa mencari teman hidup (jodoh), masa jadi ayah, masa jadi nenek atau datuk;
Ayat 21
“Kemudian Dia matikan dia."
Karena akhir dari hidup itu pastilah mati. Mustahil ada hidup yang tidak diujungi mati, kecuali bagi Pencipta hidup itu sendiri.
“Dan Dia suruh kuburkan." (ujung ayat 21)
Ayat 22
“Kemudian, apabila dikehendaki-Nya, akan Dia bangkitkan dia." (ayat 22)
Mengapa apabila Dia kehendaki? Karena dengan memakai kata-kata apabila (idza) Dia kehendaki, maklumlah kita karena yang demikian itu bergantung kepada kata-kata mataa (bila)? Artinya “Bilakah masa akan di-bangkitkan itu?" Dibangkitkan sudah pasti, tetapi masa apabila akan dibangkitkan, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Itu adalah terserah mutlak kepada kekuasaan Allah.
Ayat 23
“Belum! Sekali-kali belumlah dia menunaikan apa yang Dia perintahkan kepadanya." (ayat 23)
Menurut Ibnu Jarir, “Belumlah manusia itu menunaikan tugas dan kewajiban yang diperin-tahkan Allah ke atas dirinya sebagaimana mestinya. Masih banyak perintah Allah yang mereka lalaikan. Masih banyak mereka memperturutkan kehendak hawa nafsu. Terlalu sangat banyak nikmat yang dianugerahkan Allah kepada insan dan masih terlalu banyak perintah Ilahi yang dilalaikan oleh manusia. Jika manusia merasa bahwa dia telah bekerja dengan baik, belumlah seimbang, belumlah sepatutnya jua, belumlah sewajarnya insan mengingat Tuhannya. Artinya masih sangat lalai manusia dari mengingat Allah.