Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّوۡلَا
kalau sekiranya tidak ada
كِتَٰبٞ
ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
سَبَقَ
terdahulu
لَمَسَّكُمۡ
niscaya menimpa kamu
فِيمَآ
dalam/disebabkan apa
أَخَذۡتُمۡ
kamu telah mengambil
عَذَابٌ
siksaan
عَظِيمٞ
besar
لَّوۡلَا
kalau sekiranya tidak ada
كِتَٰبٞ
ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
سَبَقَ
terdahulu
لَمَسَّكُمۡ
niscaya menimpa kamu
فِيمَآ
dalam/disebabkan apa
أَخَذۡتُمۡ
kamu telah mengambil
عَذَابٌ
siksaan
عَظِيمٞ
besar
Terjemahan
Seandainya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena (tebusan) yang kamu ambil.
Tafsir
(Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah) dengan dihalalkannya ganimah dan tawanan bagi kalian (niscaya kalian ditimpa karena tebusan yang kalian ambil) (siksaan yang besar.).
Tafsir Surat Al-Anfal: 67-69
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa azab yang besar karena tebusan yang kalian ambil.
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 67
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hasyim, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ meminta saran kepada sahabat-sahabatnya tentang para tawanan Perang Badar yang berhasil ditangkap oleh kaum muslim. Untuk itu beliau ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah menguasakan sebagian dari mereka kepada kalian." Maka Umar ibnul Khattab berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, pancunglah leher mereka." Nabi ﷺ berpaling darinya, kemudian kembali bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menguasakan sebagian dari mereka kepada kalian, dan sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian sendiri di masa dulu." Maka Umar berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, pancunglah leher mereka." Nabi ﷺ berpaling darinya. Kemudian Nabi ﷺ kembali bersabda kepada orang-orang seperti sabdanya yang pertama. Maka berdirilah Abu Bakar As-Siddiq , lalu berkata, "Wahai Rasulullah, kami berpendapat sebaiknya engkau memberi maaf mereka dan menerima tebusan dari mereka." Maka lenyaplah rasa gusar yang tadinya mencekam wajah Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ memberi maaf mereka serta menerima tebusan mereka. Saat itu juga turunlah Firman Allah ﷻ yang mengatakan:
Ayat 68
“Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa azab yang besar karena tebusan yang kalian ambil.” (Al-Anfal: 68)
Dalam permulaan surat ini telah disebutkan hadits Ibnu Abbas yang ada di dalam kitab Shahih Muslim yang maknanya serupal dengan hadits ini.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa ketika Perang Badar usai, Rasulullah ﷺ bersabda, "Bagaimanakah pendapat kalian tentang para tawanan ini?" Maka Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, mereka adalah kaummu, keluargamu, maka biarkanlah mereka hidup dan suruhlah mereka bertobat, mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka." Sedangkan Umar berkata, "Wahai Rasulullah, mereka mendustakanmu dan mengusirmu, maka ajukanlah mereka, aku akan pancung kepala mereka." Dan Abdullah ibnu Rawwahah berkata, "Wahai Rasulullah, engkau sekarang berada di sebuah lembah yang banyak kayunya, maka nyalakanlah lembah itu, kemudian lemparkanlah mereka ke dalamnya." Rasulullah ﷺ diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada mereka, lalu beliau bangkit dan masuk.
Maka sebagian orang mengatakan bahwa Nabi ﷺ menerima pendapat Abu Bakar, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa Nabi ﷺ menerima pendapat Umar, dan yang lainnya lagi mengatakan bahwa Nabi ﷺ menerima pendapat Abdullah ibnu Rawwahah. Setelah itu Rasulullah ﷺ keluar menemui mereka dan bersabda: “Sesungguhnya Allah itu benar-benar melunakkan hati banyak kaum laki-laki sehingga lebih lembut daripada air susu, dan sesungguhnya Allah itu benar-benar membuat keras hati banyak kaum laki-laki dalam menanggapi hal ini, sehingga lebih keras daripada batu. Dan sesungguhnya perumpamaanmu, wahai Abu Bakar sama dengan ucapan Nabi Ibrahim yang disitir oleh firman-Nya, “Barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku; dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ibrahim: 36).
Dan sesungguhnya perumpamaanmu, wahai Abu Bakar, sama dengan perkataan Isa a.s. yang disitir oleh firman-Nya, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)
Dan sesungguhnya perumpamaanmu, wahai Umar, sama dengan perkataan Musa a.s. yang disitir oleh firman-Nya, "Ya Tuhan Kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak akan beriman hingga mereka melihat azab yang pedih.” (Yunus: 88).
Dan sesungguhnya perumpamaanmu, wahai Umar, sama dengan ucapan Nuh a.s. yang disitir oleh firman-Nya, "Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (Nuh 26)
Kalian mempunyai tanggungan, maka janganlah sekali-kali seseorang melepaskan bebannya kecuali dengan tebusan atau memenggal kepala (menghukum mati). Ibnu Mas'ud berkata, "Wahai Rasulullah, kecuali Suhail ibnu Baida. Karena sesungguhnya dia sering menyebutkan tentang Islam (yakni dia masuk Islam secara rahasia).” Rasulullah ﷺ diam. Ibnu Mas'ud mengatakan, “Tiada suatu hari pun yang lebih aku takuti bila ada batu dari langit menimpaku selain hari itu, hingga Rasulullah ﷺ bersabda, "Kecuali Suhail ibnu Baida." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan.” (Al-Anfal: 67) hingga akhir ayat.
Imam Ahmad dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan sanad yang sama; dan Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya. lalu ia mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) yang menjadi standar bagi kesahihan sebuah hadits tidak mengetengahkannya. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Amrdan Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ hal yang serupa. Dalam bab yang sama telah diriwayatkan pula sebuah hadits melalui Abu Ayyub Al-Ansari.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan pula menurut lafaznya, demikian pula Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Ubaidillah ibnu Musa, bahwa telah menceritakan kepada kami Israil, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika para tawanan perang dikumpulkan, Al-Abbas termasuk salah seorang di antara mereka; ia ditangkap oleh seorang lelaki dari kalangan Anshar.
Sedangkan orang-orang Anshar telah mengancam akan membunuhnya. Ketika berita itu sampai kepada Nabi ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya malam ini aku tidak dapat tidur karena pamanku Al-Abbas, karena orang-orang Anshar bertekad akan membunuhnya." Maka Umar berkata kepadanya, "Apakah saya harus mendatangi mereka?" Nabi ﷺ bersabda, "Ya." Maka Umar datang menemui orang-orang Anshar dan berkata kepada mereka, "Lepaskanlah Al-Abbas." Mereka menjawab, "Tidak. Demi Allah, kami tidak akan melepaskannya." Umar berkata kepada mereka, "Bagaimanakah jika Rasulullah ﷺ rela dengan kebebasannya?" Mereka menjawab, "Jika Rasulullah ﷺ rela, maka ambillah dia." Maka Umar mengambil Al-Abbas dari tangan mereka. Setelah Al-Abbas berada di tangan Umar, Umar berkata kepadanya, "Wahai Abbas, masuk Islamlah kamu. Demi Allah, masuk Islamnya engkau lebih aku sukai daripada masuk Islamnya Al-Khattab (ayah Umar sendiri). Hal itu tidak lain karena aku melihat bahwa Rasulullah ﷺ amat senang bila kamu masuk Islam." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa kemudian Rasulullah ﷺ meminta pendapat kepada Abu Bakar tentang nasib para tawanan itu. Maka Abu Bakar berkata, "Mereka adalah kerabatmu juga, maka lepaskanlah mereka." Dan Rasulullah ﷺ meminta pendapat kepada Umar, maka Umar berkata, "Bunuhlah mereka." Lalu Rasulullah ﷺ memutuskan tebusan terhadap mereka, maka turunlah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan.” (Al-Anfal: 67), hingga akhir ayat.
Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Hisyam ibnu Hissan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi ﷺ dalam Perang Badar, lalu berkata, "Suruhlah sahabat-sahabatmu memilih perihal nasib para tawanan itu. Jika mereka menghendaki tebusan, mereka boleh menerimanya; dan jika mereka menghendaki menjatuhkan hukuman mati, mereka boleh membunuhnya, tetapi pada tahun mendatang akan terbunuh pula dari kalangan sahabatmu itu sebanyak jumlah mereka (para tawanan itu)." Tetapi mereka menjawab, "Kami menerima tebusan, dan sebagian dari kami biar ada yang terbunuh nantinya."
Hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya melalui hadits Ats-Tsauri dengan sanad yang sama. Hadist ini gharib (asing) sekali.
Ibnu Aun telah meriwayatkan dari Ubaidah, dari Ali yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda sehubungan dengan tawanan Perang Badar, "Jika kalian menghendaki membunuh mereka, maka kalian boleh menghukum mati mereka; dan jika kalian suka menerima tebusan mereka, kalian boleh menerima tebusannya dan kalian memperoleh kesenangan dari hasil tebusan itu, tetapi kelak akan mati syahid dari kalangan kalian sejumlah mereka." Maka dikisahkan bahwa orang yang paling akhir dari tujuh puluh orang tersebut adalah Sabit ibnu Qais, ia gugur dalam Perang Yamamah.
Di antara para perawi ada yang meriwayatkan hadits ini melalui Ubaidah secara mursal.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan.” (Al-Anfal: 67) Ibnu Abbas membacanya sampai dengan firman-Nya: “azab yang besar.” (Al-Anfal: 68) Ia mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan ganimah Perang Badar sebelum dibagikan kepada mereka. Makna yang dimaksud ialah seandainya Aku mengazab orang yang durhaka kepada-Ku secara langsung, niscaya kalian akan tertimpa azab yang besar karena tebusan yang kalian ambil itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid. Al-A'masy mengatakan, makna yang dimaksud ialah 'telah ditetapkan oleh takdir-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab seorang pun yang ikut Perang Badar'. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Sa'd ibnu Abu Waqqas, Sa'id ibnu Jubair, dan ‘Atha’. Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Hasyim, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah.” (Al-Anfal: 68) Yakni bahwa mereka beroleh ampunan.
Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah.
Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah.” (Al-Anfal: 68) Maksudnya, di dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) yang di dalamnya tercatat bahwa ganimah dari tawanan itu halal bagi kalian, niscaya karena tebusan (dari para tawanan) yang kalian ambil itu kalian akan ditimpa siksa yang besar.
Ayat 69
Firman Allah ﷻ: “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Al-Anfal: 69), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas; dan hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Al-A'masy, bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah.” (Al-Anfal: 68) Yakni bagi umat ini yang menghalalkan ganimah.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits yang diketengahkan di dalam kitab Shahihain oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku dianugerahi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku. Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar yang mencekam hati musuh sejauh perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat sujud (shalat) lagi menyucikan dan dihalalkan bagiku ganimah sedangkan sebelumnya tidak dihalalkan bagi seorang (nabi)pun. Aku dianugerahi syafaat dan dahulu seorang nabi diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.”
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak dihalalkan ganimah bagi yang berkepala hitam (manusia) kecuali hanya kami.”
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Al-Anfal: 69), hingga akhir ayat. Maka saat itu juga mereka menerima tebusan dari para tawanan.
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mubarak Al-Absi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abul Anbas, dari Abusy Sya'sa, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ menetapkan tebusan sebanyak empat ratus dinar bagi tawanan Perang Badar.
Menurut jumhur ulama hukum ini masih tetap berlaku terhadap para tawanan, dan imam boleh memilih sehubungan dengan para tawanan itu. Jika dia menghendaki untuk menjatuhkan hukuman mati seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap para tawanan perang Bani Quraizah, maka ia boleh melakukannya. Jika dia memilih tebusan, maka ia boleh menerimanya seperti yang dilakukan terhadap tawanan Perang Badar.
Ia boleh pula melakukan barter untuk membebaskan kaum muslim yang tertawan oleh musuh, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terhadap seorang wanita dan anak perempuannya, yang kedua-duanya hasil tangkapan Salamah ibnul Akwa. Nabi ﷺ mengembalikan keduanya ke tangan musuh dan sebagai barterannya Nabi ﷺ mengambil sejumlah kaum muslim yang tertawan di tangan kaum musyrik. Jika imam ingin menjadikan tawanannya itu sebagai budak belian, ia boleh melakukannya. Demikianlah menurut mazhab Imam Syafii dan sejumlah ulama. Sehubungan dengan masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para imam ahli fiqih, yang keterangannya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih pada bab yang membahasnya.
Namun begitu, Allah tetap menunjukkan belas kasih-Nya terhadap orang-orang yang beriman, dan ayat ini menjadi bukti kasih sayangNya. Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, yaitu bahwa Dia akan memaafkan hamba-Nya yang melakukan ijtihad dan ternyata salah, niscaya kalian ditimpa siksaan yang besar karena kalian telah mengambil keputusan yang salah melalui tebusan yang kalian ambilSetelah Allah menegur Nabi Muhammad disebabkan mengambil keputusan yang salah karena mengikuti pendapat beberapa sahabat beliau, yaitu mengambil tebusan dari tawanan, maka melalui ayat ini Allah membolehkan untuk mengambil dan memanfaatkan rampasan perang tersebut sesuai dengan ketentuan Allah sebelumnya. Karena itu, makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian peroleh itu yang boleh jadi, sebelumnya kalian mengira hal itu tidak diperbolehkan sebagai akibat dari teguran keras tersebut. Karena itu, janganlah kalian ragu untuk memakannya sebagai makanan yang halal lagi baik bagi diri kalian dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang bagi siapa saja yang bertobat dan kembali kepada-Nya.
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa tindakan kaum Muslimin menerima tebusan itu adalah tindakan yang salah. Kalau tidak karena ketetapan Allah yang telah ada sebelumnya bahwa Dia tidak akan menimpakan siksa kepada mereka karena kesalahan itu, tentulah mereka akan mendapat azab yang berat.
Mengenai yang dimaksud dengan "ketetapan Allah yang telah ada untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari siksaan karena kekhilafan itu" para mufasir mengemukakan beberapa ayat di antaranya firman Allah:
Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan. (al-Anfal/8: 33)
Meskipun ayat ini mengenai kaum musyrikin, tetapi kaum Muslimin lebih berhak atas ketetapan itu. Sedang kaum musyrikin yang sesat dan durhaka dapat selamat dari siksaan Allah dengan keberadaan Nabi di kalangan mereka, apalagi kaum Muslimin yang taat dan setia selalu membantu Nabi dan selalu meminta ampunan kepada Allah, tentu mereka lebih pantas tidak ditimpa siksa yang berat itu. Firman Allah:
Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-An'am/6: 54).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah selesai peperangan dengan kemenangan yang gemilang pada Peperangan Badar itu, timbul suatu soal lagi di samping soal harta rampasan. Yaitu soal orang-orang tawanan. Di dalam Peperangan Badar itu telah mati terbunuh 70 orang musyrikin dan tertawan 70 orang pula. Di antara yang tertawan itu terdapat paman Nabi ﷺ sendiri, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Terdapat juga saudara kandung dari Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu dari Nabi, yaitu Aqii bin Abi Thalib, dan terdapat juga Abui Ash, menantu Rasulullah ﷺ, suami dari Zainab putri beliau.
Diajaklah sahabat-sahabat bermusyawarah oleh Rasulullah ﷺ akan diapakankah orang-orang tawanan itu. Yang terutama diajak Rasul ialah dua sahabat yang amat utama. Abu Bakar dan Umar. Kita simpulkan kisah permusyawarahan itu dari berbagai hadits. Abu Bakar menyatakan pendapat bahwa orang-orang tawanan itu sebaiknya disuruh menebus diri mereka dari tawanan dengan uang. Sebab menurut pendapat Abu Bakar, seluruh tawanan itu adalah keluarga bertali-darah saja semua dari kaum Muhajirin. Moga-moga dengan kesempatan tebusan yang diberikan itu, masih terbuka jalan bagi mereka buat kelaknya insaf, lalu memeluk Islam. Sebab itu, kita tidak usah berlaku keras kepada mereka.
Tetapi Umar menyatakan pendapat yang sangat berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Katanya seluruh tawanan itu hendaklah dibunuh. Meskipun ada pertalian keluarga di antara kita dengan mereka, yang terang ialah bahwa mereka telah mengusir Rasulullah ﷺ, mereka telah memerangi Islam. Sebab itu mereka tidak boleh diberi hati. Biarlah masing-masing Muslim membunuh keluarganya sendiri. Biarlah Ali bin Abi Thalib membunuh Aqil, dan dia sendiri, Umar bin Khaththab pun membunuh saudaranya yang ikut dalam peperangan itu. Pendeknya masing-masing membunuh keluarga mereka yang telah tertawan itu. Karena meskipun ada pertalian keluarga, namun mereka sudah terang-terang musuh kita.
Abdullah bin Rawahah, anak muda dari golongan Anshar cenderung kepada pendapat Umar. Katanya lebih baik diikat seluruh tawanan itu, dibawa ke sebuah tempat yang banyak semak-semak dekat situ, lalu dibakar semua. Sa'ad bin Mu'adz dari Anshar pun condong kepada pendapat Umar.
Akan tetapi golongan yang terbesar dari mujahidin condong kepada pendapat Abu Bakar. Cuma dasar pikiran sangat berbeda. Abu Bakar merasa lebih baik tawanan itu di-suruh menebus diri, ialah karena mengingat hubungan keluarga. Namun, golongan yang banyak yang menumpang usulnya itu bukanlah mengingat kekeluargaan, melainkan mengingat harta benda tebusan itu. Dengan alasan bahwa mereka yang pergi berperang umumnya miskin, kurang harta dan persiapan.
Menurut riwayat Ibnu Abu Syaibah dan at-Tirmidzi, yang mengatakan bahwa hadits yang dirawikannya ini hasan (baik) dan Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani dan al-Hakim, yang mengatakan hadits ini shahih dan Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi di dalam Dalailun Nubuwwah, diterima dari Ibnu Mas'ud, katanya, “Setelah tawanan-tawanan Badar itu dibawa ke hadapan Rasul, beliau ajaklah sahabat-sahabatnya bermusyawarah. Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah ﷺ! Semua adalah kaum engkau, semua adalah ahli keluarga engkau, biarkanlah mereka tinggal hidup, mudah-mudahan Allah memberi tobat kepada mereka." Berkata Umar, “Ya Rasulullah ﷺ! Mereka telah mendustakan engkau, mereka telah mengusir engkau dan mereka telah memerangi engkau. Bawa mereka semua ke hadapan engkau dan potong leher mereka." Berkata pula Abdullah bin Rawahah, “Cari satu lembah yang banyak kayu api di sana dan bakar mereka semua."
Abbas yang turut tertawan dan mendengar usul-usul yang keras itu berkata: “Apakah engkau hendak memutuskan silaturahim?"
Setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Rasulullah ﷺ pun masuk ke dalam kemahnya, sebelum memutuskan pertimbangan dan pendapat mana yang akan beliau pegang. Setengah orang menyangka bahwa beliau akan memilih pendapat Abu Bakar dan setengahnya lagi menyangka beliau akan memilih pendapat Umar.
Kemudian beliau pun keluar. Lalu beliau berkata, “Allah telah membuat lembut hati setengah manusia selembut susu, dan Allah pun membuat keras hati setengah manusia sekeras batu. Engkau hai Abu Bakar laksana Ibrahim yang berkata,
“Siapa yang mengikuti aku, maka dia itu adalah dari golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka Engkau—ya Tuhan adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang." (Ibraahiim: 36)
Dan engkau, hai Abu Bakar adalah laksana Isa yang berkata,
“Jika engkau siksa mereka, mereka itu adalah hamba-hamba Engkau semua. Dan jika Engkau beri ampun mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Mahagagah, lagi Bijaksana." (al-Maa'idah: 118)
Dan engkau hai Umar adalah laksana Nuh. Tatkala dia berkata,
“Ya Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan di alas bumi ini, dari orang-orang kafir itu, seorang pun penduduk." (Nuuh: 26)
Dan, perumpamaan engkau hai Umar adalah laksana Musa, yang berkata,
“Ya Tuhan kami! Musnahkalah harta benda mereka, dan keras sangatkanlah hati mereka, maka tidaklah mereka mau beriman sehingga datang siksaan yang pedih." (Yuunus: 88)
Aku tahu kamu ini miskin. Sebab itu salah satu dari dua, yaitu tebusan atau potong leher.
Kemudian daripada itu tersebutlah bahwa Rasulullah ﷺ mengambil satu keputusan, yaitu menyetujui usul Abu Bakar, yaitu segala orang tawanan diberi kesempatan menebus diri. Tersebut pula bahwa masing-masing orang menebus dirinya dengan 40.000. Menurut keterangan Musa bin Uqbah, mereka menebus diri masing-masing dengan 40 uqiyah emas. Tetapi paman beliau sendiri, Abbas berlebih tebusannya dari yang lain, yaitu 100 uqiyah, dan dia pun diwajibkan membayar tebusan anak saudaranya Aqil dan Naufal bin al-Harits. Menurut riwayat Ibnu Abbas, putra beliau, menyatakan bahwa sudah lama beliau telah Islam dalam batin, tetapi beliau dipaksa oleh ketua-ketua yang lain supaya ikut berperang itu, itu sebabnya beliau ikut.
Maka dengan keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah ﷺ dan telah dijalankan itu, puaslah Abu Bakar sebab hubungan keluarga terpelihara dan puas pula penyokong-penyokong usulnya, sebab mendapat harta tebusan yang menyebabkan mereka jadi kaya. Sebab selain dari harta rampasan, mereka pun mendapat pula harta tebusan. Umar bin Khaththab tunduk kepada keputusan itu.
Tetapi, besok paginya terjadilah hal yang mengharukan bagi Umar bin Khaththab. Dia datang ke kemah Rasulullah ﷺ; didapatinya beliau menangis dan Abu Bakar yang duduk di sisinya pun menangis (menurut riwayat Imam Ahmad dan Muslim dari Ibnu Abbas). Melihat mereka menangis, berkatalah aku (kata Umar), “Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah ﷺ? Mengapa engkau menangis ya Abu Bakar? Kabarilah aku, apa sebab kamu keduanya menangis. Kalau aku diberi tahu sebabnya agar aku menangis pula, dan jika aku pandang tidak ada yang perlu ditangiskan, aku pun akan menangis juga bersama tangismu." Maka menjawablah Rasulullah ﷺ, “Aku menangisi kawan-kawanmu yang mengusulkan supaya tawanan itu menebus diri. Allah telah mengancam mereka dengan siksaan-Nya, lebih dekat dari pohon ini." (Pohon itu tumbuh di dekat situ). Dan telah turun ayat, “Tidaklah patut bagi seorang nabi bahwa ada baginya tawanan-tawanan, sebelum dia memporak-porandakan musuh di bumi."
Maka telah turunlah ayat ini pada malamnya,
Ayat 67
‘Tidaklah patut bagi semang nabi bahwa ada baginya beberapa orang tawanan, sampai dia porak-porandakan (musuh) di bumi."
Maka jelaslah bahwa ayat ini turun menyatakan bahwa keputusan yang diambil oleh Rasul ﷺ itu adalah satu kekhilafan. Karena maksud ayat ialah bahwa seorang nabi tidak boleh mengadakan tawanan dan meminta tebusan tawanan pada langkah pertama perang.
Kalau bertemu musuh hendaklah bunuh terus, tidak ada tawanan, sebelum seluruh kekuatan musuh itu dipatahkan, sebelum pihak Islam mencapai kedudukan yang kuat kukuh. Artinya lagi, bahwasanya kemenangan Peperangan Badar belumlah berarti apa-apa sebab kedudukan Islam belum kuat. Kalau tawanan-tawanan itu dibiarkan menebus diri, mereka akan kembali lagi ke tempatnya menyusun diri. Maka sehendaknya mana yang telah ditawan itu dibunuh terus. Kalau Islam sudah kuat, barulah boleh bicara hal orang tawanan yang ingin menebus diri. Apatah lagi meskipun usul Abu Bakar diterima, demi mengingat hubungan darah dan kekeluargaan, namun golongan terbesar yang menyokong usul Abu Bakar bukanlah meminta tebusan karena mengingat hubungan kekeluargaan, melainkan karena mengingat banyaknya harta tebusan itu sendiri, sehingga mereka menjadi kaya raya. Sebab itulah maka lanjutan ayat berkata,
“Kamu menginginkan harta benda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Dan Allah adalah Mahagagah, lagi Bijaksana."
(ujung ayal 67)
Harta benda dunia itu disebut di dalam ayat ini.'Ardh yang kita beri arti sementara karena tidak kekal, karena dia datang sementara dan sewaktu-waktu pergi lagi. Lantaran memikirkan yang demikian, kamu pun lupa kepada perjuangan selanjutnya, sedang Allah menghendaki akhirat yang kekal karena kemenangan yang lanjut, sebab perjuangan belum akan selesai pada hari ini.
Sebab itu maka dengan ayat ini, dinya-takanlah bahwa keputusan Nabi menerima tebusan itu pada hakikatnya tidaklah tepat. Pangkal firman Allah, “Tidaklah patut bagi se-orang nabi." Menunjukkan bahwa peraturan ini adalah peraturan yang sudah lama, yaitu sejak nabi-nabi yang dahulu. Sebelum umat tauhid mendapat kekuasaan yang kukuh di atas bumi, sebelum tenaga musuh itu patah sama sekali, belum boleh bicara soal tebusan tawanan. Tetapi sungguh pun demikian, datanglah sambungan ayat,
Ayat 68
‘Jikalau tidaklah keputusan dari Allah yang telah terdahulu, niscaya akan mengenallah kepada kamu, dari sebab apa yang telah kamu ambil itu, adzab yang besar."
Dengan ayat ini dijelaskan lagi bahwa keputusan itu tidak tepat. Tetapi karena sudah ada keputusan terlebih dahulu dari Allah, kesalahan mereka itu dimaafkan. Kalau tidak ada keputusan terlebih dahulu dari Allah, tentu mereka telah diadzab oleh Allah karena mereka mengambil tebusan itu. Keputusan Allah yang terlebih dahulu itu ialah bahwa seluruh pejuang yang ikut di dalam Perang Badar, dijanjikan Allah bahwa dosa mereka diampuni. Dan, dengan ayat 68 ini jelas lagi bahwa Rasulullah ﷺ tidak usah mencabut kembali keputusan yang telah diambilnya. Oleh karena itu adalah hasil ijtihad beliau di dalam soal peperangan dan siasat. Dan dasarnya pun adalah baik, yaitu karena yang beliau terima ialah usul Abu Bakar. Abu Bakar mengemukakan usul bukan karena beliau mengharapkan kekayaan dari uang tebusan, bukan karena mengharapkan kekayaan dunia sementara, tetapi karena hendak bersikap lunak kepada keluarga dan karena mengharapkan moga-moga mereka masuk Islam juga kelaknya.
Ahli-ahli hukum dan sejarah dalam Islam memperkatakan soal ini. Di sinilah pangkal jalan pikiran para ahli bahwasanya dalam hal yang tidak ada nash dari wahyu, Nabi boleh berijtihad sendiri. Dan, ijtihadnya itu kadang-kadang juga tidak tepat, meskipun maksud beliau tetap baik. Ingatlah bahwa dalam Peperangan Badar juga, ijtihadnya memilih tempat berkemah tentara Islam telah dibanding oleh sahabat al-Habbab, sebab tidak tepat. Al-Habbab pun dengan segala hormat bertanya, apakah beliau memilih tempat itu karena tuntunan wahyu atau termasuk siasat perang saja? Beliau jawab, “Siasat perang saja." Setelah al-Habbab mengemukakan pendapat bahwa tempat itu tidak baik, karena sukar da-pat menambah air, beliau pun menurut kepada pendapat al-Habbab itu.
Maka dalam perkara tebusan tawanan ini beliau telah musyawarah lebih dahulu dengan ahli-ahli dan penasihat-penasihat beliau. Ada pendapat Abu Bakar dan ada pendapat Umar. Setelah beliau dengar kedua pendapat, beliau ambil keputusan, yaitu menurut pendapat Abu Bakar, demi menjaga hubungan keluarga dan mengharap mereka akan tobat juga kelak. Golongan terbesar tidak mementingkan alasan yang dikemukakan Abu Bakar, melainkan karena ingin kekayaan, harta dunia sementara. Kemudian turunlah ayat. Ternyata pendapat Umar lebih sesuai dengan kehendak ayat. Tetapi Umar sendiri tidak membuka mulut lagi buat meminta supaya keputusan yang telah berjalan itu ditinjau kembali, sebab bahaya menyanggah keputusan Rasul ﷺ dalam siasat perang adalah lebih besar dari bahaya yang lain. Dan Rasul ﷺ bersama Abu Bakar menangis setelah ayat turun; yang mereka tangisi adalah sahabat-sahabat yang menyokong usul Abu Bakar karena mengharapkan harta, bukan karena mengingat kekeluargaan.
Di dalam ayat dikatakan, kalau bukanlah Allah telah menentukan terlebih dahulu suatu ketentuan,yaitu memberi ampun dosa pejuang Badar, adzab besarlah yang akan menimpa. Itulah konon yang ditangisi Nabi.
Tetapi ada lagi sebuah hadits yang dira-wikan oleh an-Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim yang diterima dari Ali bin Abi Thalib bahwa setelah Rasulullah ﷺ mengambil keputusan menerima tebusan tersebut, Jibril datang. Kemudian, dia berkata kepada Rasul ﷺ, “Sahabat-sahabat engkau disuruh memilih di antara menerima tebusan atau membunuhi tawanan itu! Mereka telah memilih menerima tebusan; tetapi untuk itu mereka menebusnya pula di tahun depan."
Apa yang terjadi di tahun depan? Ialah 70 kaum Muslimin syahid di dalam Peperangan Uhud!
Melihat rentetan kejadian selanjutnya itu, beranilah kita menyatakan bahwa apa yang ditakuti memang kejadian. Meskipun kaum Muslimin menang di Peperangan Badar, namun salah satu sebab kaum musyrikin menuntut bela dan membalas dendam dalam Peperangan Uhud, ialah karena sebagian besar orang-orang yang menebus diri dari tawanan itu menyusun kekuatan kembali. Dan, pihak Muslimin di waktu Perang Uhud, ada yang tidak teguh memegang disiplin taat setia kepada Rasul, sehingga mendapat kekalahan.
Ini dapat kita baca kembali pada surah Aali ‘Jmraan,
Ayat yang selanjutnya memberi kejelasan lagi bahwa meskipun keputusan itu tidak begitu tepat, tidaklah perlu dia dibatalkan kembali sebab kalau dibatalkan juga, bahayanya akan lebih besar lagi. Dan, diakui dalam soal kenegaraan dan peperangan, suatu yang telah diputuskan mesti dijalankan terus, dengan bertawakal kepada Allah. Akibat apa yang akan terjadi akan ditanggungkan bersama. Kalau tidak begitu, niscaya hilang wibawa pemerintahan. Ayat selanjutnya berfirman,
Ayat 69
“Maka makanlah dari apa yang telah kamu rampas itu, sebagai barang yang halal lagi baik."
Maka samalah halalnya harta uang tebusan itu dengan ghanimah yang memang telah dihalalkan pada ayat 41 di atas, yaitu yang empat perlima untuk bersama dan seperlima untuk Allah dan Rasul ﷺ. Harta tebusan tawanan itu pun halal dan baik, tidak haram dan tidak jahat;
“Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Takwalah kepada Allah, takutlah dan bersyukurlah kepada-Nya. Karena selain telah dihalalkan-Nya harta rampasan, sekarang dihalalkan-Nya pula harta tebusan itu. Karena harta tebusan itu bukanlah haram, hanya disesali sebab di antara kamu ada yang berbeda niatnya dengan niat Abu Bakar, meskipun menyokong usul Abu Bakar. Ini hanya sekadar peringatan buat masa depan saja. Dan, Allah adalah Maha Pengampun kalau ada kekhilafan dan Maha Penyayang, sebab tujuanmu yang sebenarnya tetap diketahui Allah, yaitu mempertahankan agama Allah, membela Nabi-Nya, walaupun sebagai manusia kadang-kadang ada juga keinginan-keinginan pribadi.
Memang, pada surah lain yang diturunkan di Madinah juga, yaitu surah Muhammad, mengenai tebusan tawanan itu dijelaskan lagi, “Maka apabila kamu bertemu dengan mereka yang kafir itu, maka pancunglah leher-leher mereka, sehingga apabila kamu telah memorak-porandakan mereka, maka keras-kanlah penawanan. Maka sesudah itu bolehlah kamu bebaskan mereka, dan (boleh juga) menerima tebusan, sampai perang menghentikan segala kesengsaraannya." (Sampai akhir surah).
Dengan ayat ini lebih jelas lagi ketentuan ayat yang tengah kita bicarakan ini. Jelas, sebelum Muslimin kuat tidak ada tebusan tawanan, semua mesti dibunuh. Tetapi kalau Muslimin telah kuat, musuh sudah porak-poranda, kucar-kacir, dan tidak bisa bangun lagi, bolehlah menawan, boleh menerima tebusan, bahkan boleh memberi maaf dan mem-bebaskan mereka dengan tidak usah menebus diri lagi. Dan selanjutnya, tentu boleh pula menjadikan tawanan itu menjadi budak terus atau mengangkat mereka jadi mauloa, sebagai terhadap diri Abbas sendiri. Beliau pada hakikatnya amat kasih kepada anak saudaranya Muhammad ﷺ.
Bahkan beliau turut hadir seketika Baiat Aqabah, tatkala kaum Anshar membuat janji setia dengan Rasulullah ﷺ, sampai beliau hijrah ke Madinah. Pertemuan rahasia itu dihadiri oleh Abbas dan beliau rahasiakan terus. Tetapi oleh karena menjaga kedudukan keluarga, beliau tidak segera menyatakan diri memeluk Islam. Rasulullah ﷺ hijrah, be-liau tetap tinggal di Mekah, dan dijaganya hubungan yang baik dengan pemuka-pemuka Quraisy. Tetapi beliau dipaksa oleh kaumnya turut dalam Perang Badar. Rupanya beliau pun tertawan. Tebusan tawanan untuk dirinya dikenakan lebih berat oleh anak saudaranya daripada tebusan orang lain. Orang lain kena 40 uqiyah emas, beliau kena 100. Lalu, diwajibkan pula membayar tebusan Aqil dan Naufal. Kemudian disuruh dia membayar te-busan kawan setianya Utbah bin Rabi'ah. Ketika itu membenarlah Abbas bahwa uangnya telah habis. Dengan senyum Rasulullah ﷺ bertanya, “Bukankah ada lagi uang Bapak, yaitu yang Bapak tanamkan di bawah tanah bersama Ummul Fadhal (nama istri beliau). Bukankah paman berkata kepadanya waktu itu, ‘Kalau aku ditimpa celaka dalam perang ini, maka uang yang aku sembunyikan ini adalah untuk anakku.'"
Dia menjawab dengan penuh keharuan dan tercengang, “Demi Allah, ya Rasulullah! Tidak seorang jua yang tahu rahasia itu selain aku dan dia."
Dia pun pulang dengan keyakinan yang sangat dalam tentang kerasulan anak sauda-ranya. Sejak itu beliau bertekadlah menjadi orang Islam yang baik, meskipun masih ber-sembunyi-sembunyi. Dari Mekah selalu dia mengirim berita tentang gerak-gerik orang-orang Quraisy terhadap Nabi dan ketika Rasulullah menaklukkan Mekah pada tahun kedelapan, tiba-tiba di tengah jalan menuju Mekah itu bertemulah beliau di tengah jalan bersama dengan anak-anak dan istrinya, yang akan hijrah menuju Madinah. Dan sebelum itu, seketika Umrah Qadha di tahun ketujuh, beliau telah menyambut Rasulullah ﷺ dengan baik dan menyediakan seorang istri buat beliau, yaitu ibu kita, Maimunah, adik dari istrinya Ummu Fadhal, jadi Makcik dari Ibnu Abbas, dan saudara pula dari ibu Khalid bin Walid.
Kerapkali Abbas di hari tuanya menyebut, meskipun dia dikenakan uang tebusan lebih banyak dan menebus juga kedua anak saudaranya, Aqil dan Naufal, namun ayat Allah yang menyatakan akan diberi ganti yang lebih baik asal tobat dan beriman, semuanya itu telah terjadi atas dirinya. Setelah dia memeluk Islam, kekayaannya bertambah-tambah. Keturunan beliau pada akhirnya telah mendirikan Kerajaan Bani Abbas.
Satu hal yang mengharukan lagi ialah ketika menantu Rasul ﷺ suami dari putri beliau Zainab, yang bernama Abui Ash diminta pula uang tebusannya. Dia tidak mempunyai uang untuk menebus diri. Istrinya, Zainab binti Rasulullah ﷺ, ada di Mekah, tidak turut hijrah karena suaminya belum I siam, walaupun dia sendiri sudah Islam sejak hidup ibunya. Setelah disampaikan berita bahwa suaminya tertawan dan tidak ada uang untuk penebus, Zainab mengirimkan kalung emasnya untuk penebus suaminya. Padahal kalung emas itu adalah pusaka ibunya, ibu kita, Siti Khadijah.
Al-Hakim dan al-Baihaqi, membawakan riwayat ini dari ibu kita, Aisyah. Setelah kalung itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, benar-benarlah beliau sangat terharu dan titik air matanya. Sungguh pun begitu tidak juga beliau lupa musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, lalu beliau berkata, “Kalau tuan-tuan pandang ada baiknya, pulangkanlah dokoh (kalung)nya ini dan lepaskanlah tawanannya." Maka Abui Ash dilepaskan oranglah dan dokoh itu dikirimkan kembali kepada Zainab. Tetapi berapa lama kemudian Abui Ash dan Zainab istrinya telah tiba di Madinah. Abui Ash masuk Islam dan Zainab bertemu kembali dengan ayahnya, Nabi kita Muhammad ﷺ.
Kemudian datanglah lanjutan ayat,
Ayat 71
“Dan jika mereka hendak mengkhianati engkau, maka sesungguhnya mereka pun telah khianat kepada Allah sebelumnya."
Kemungkinan itu ada dan memang ada, yaitu penyerbuan mereka ke Madinah ketika Perang Uhud dan seketika Perang Khan-daq, tidaklah itu hal yang diherankan. Sebab bukankah sejak semula mereka telah meng-khianati Allah? Bukankah mereka telah mem-pertahankan berhala? Dan bukankah mereka telah mengusir Rasul?
“Tetapi Allah akan menundukkan mereka. Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Meskipun mereka telah kalah di Perang Badar, 70 mati dan 70 tertawan, dan yang tertawan telah menebus diri, kemungkinan mereka berkhianat lagi masih tetap ada, yaitu selain dari yang telah menyatakan diri masuk islam seperti Abbas dan Abui Ash itu. Niscaya Allah menyebutkan kemungkinan ini ialah menyuruh kaum Muslimin tetap awas dan waspada. Dan menjelaskan pula bahwa betapapun mereka berkhianat, tetapi mereka pasti kalah. Allah Maha Mengetahui gerak-gerik dan maksud jahat di kalangan mereka. Namun begitu, Allah pun bijaksana. Bukti kebijaksanaan Allah ialah setelah mereka me-nebus diri dari tawanan, mereka masih diperbolehkan pulang. Sebab kaum Muslimin kian lama kian kuat.
Perhatikanlah bahwa dengan ayat 70, Allah telah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap usul Abu Bakar tadi, yaitu membuka jalan tebusan dari tawanan karena mengingat hubungan keluarga. Dan, itu pun telah berhasil sebagian besar dengan Islamnya Abbas dan Abui Ash dan yang lain-lain. Tetapi penghargaan Umar dihargai pula dengan tinggi. Kepada Rasul pada ayat 71 telah dibayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, yang telah diperingatkan oleh Umar, yang mengusulkan suruh bunuh saja seluruh tawanan itu.
Semakin kita selidiki isi ayat-ayat ini, bertambah nyatalah betapa penghargaan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada sahabat-sahabat beliau dan bertambah jelas semangat Islam. Gagah perkasa mempertahankan hak dan banyak memberi maaf di kala mencapai kejayaan. Dendam tidak ada. Yang ada hanyalah kasih sayang dan cinta.