Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَلَا
dan janganlah
تَنَٰزَعُواْ
kamu berbantah-bantahan
فَتَفۡشَلُواْ
maka kamu menjadi gentar
وَتَذۡهَبَ
dan hilang
رِيحُكُمۡۖ
kekuatanmu
وَٱصۡبِرُوٓاْۚ
dan bersabarlah kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
beserta
ٱلصَّـٰبِرِينَ
orang-orang yang sabar
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah kamu
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَلَا
dan janganlah
تَنَٰزَعُواْ
kamu berbantah-bantahan
فَتَفۡشَلُواْ
maka kamu menjadi gentar
وَتَذۡهَبَ
dan hilang
رِيحُكُمۡۖ
kekuatanmu
وَٱصۡبِرُوٓاْۚ
dan bersabarlah kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مَعَ
beserta
ٱلصَّـٰبِرِينَ
orang-orang yang sabar
Terjemahan
Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Tafsir
(Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan) saling bersengketa di antara sesama kalian (yang menyebabkan kalian menjadi gentar) membuat kalian menjadi pengecut (dan hilang kekuatan kalian) kekuatan dan kedaulatan kalian lenyap (dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar) Dia akan memberikan bantuan dan pertolongan-Nya.
Tafsir Surat Al-Anfal: 45-46
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.
Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ayat 45
Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman bagaimana bersikap ketika menghadapi musuh dan mengajarkan keberanian dalam berperang melawan musuh di medan perang. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian.” (Al-Anfal: 45)
Ditetapkan di dalam kitab Shahihain, dari Abdullah ibnu Abu Aufa bahwa Rasulullah ﷺ di hari-hari beliau menunggu musuh ketika waktu memasuki petang hari beliau berdiri di hadapan para sahabat dan bersabda: “Wahai manusia, janganlah kalian berharap untuk berjumpa dengan musuh, tetapi mohonlah keselamatan kepada Allah. Dan apabila kalian bertemu dengan musuh, hadapilah dengan sabar (keteguhan hati), dan ketahuilah bahwa surga itu terletak di bawah naungan pedang (senjata).” Kemudian Nabi ﷺ berdoa: “Ya Allah, wahai Yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an), Yang menggiring awan, Yang mengalahkan golongan-golongan bersekutu, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami dalam menghadapi mereka.”
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Janganlah kalian mengharapkan untuk bertemu dengan musuh, tetapi mohonlah keselamatan kepada Allah; dan apabila kalian bertemu dengan mereka, maka hadapilah dengan hati yang teguh dan berzikirlah kepada Allah. Dan jika mereka membuat gaduh dan berteriak-teriak maka kalian harus tetap diam.”
Al-Hafidzh Abu Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hasyim Al-Baghawi, telah menceritakan kepada kami Umayyah Ibnu Bustam, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Sabit Ibnu Zaid, dari seorang lelaki dari Zaid ibnu Arqam, dari Nabi ﷺ secara marfu', bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai diam dalam tiga perkara, yaitu di saat pembacaan Al-Qur'an, di saat bertempur di medan perang, dan di saat menghadiri jenazah.”
Di dalam hadits marfu' lainnya disebutkan bahwa Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya hamba-Ku yang sebenarnya adalah seseorang yang selalu ingat kepada-Ku di saat dia sedang memukulkan senjata. Dengan kata lain, keadaannya yang demikian tidak membuatnya lupa untuk berzikir, berdoa, dan meminta pertolongan kepada Allah ﷻ.”
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah telah memfardukan berzikir kepada-Nya dalam keadaan sesibuk apapun, sekalipun sedang dalam keadaan memukulkan pedang di medan perang.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ yang mengatakan bahwa diwajibkan diam dan berzikir mengingatkan Allah di saat menghadapi musuh di medan pertempuran. Kemudian ‘Atha’ membacakan ayat ini. Ibnu Juraij berkata, "Bolehkah mereka mengeraskan suara zikirnya?" ‘Atha’ menjawab, “Ya.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Yazid ibnu Fauzar, dari Ka'b Al-Ahbar yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih disukai oleh Allah selain membaca Al-Qur'an dan zikir. Seandainya tidak ada hal tersebut, niscaya Dia tidak memerintahkan manusia untuk mengerjakan shalat dan berjihad. Tidakkah kalian melihat bahwa Dia memerintahkan manusia untuk berzikir dalam keadaan perang sekalipun, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya, agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
Salah seorang penyair mengatakan: “Aku selalu ingat kepada-Mu sedangkan peperangan meletus di antara kami dan pedang-pedang yang tajam datang menghujani kami.”
Antrah (seorang penyair) mengatakan pula: “Dan sesungguhnya aku ingat kepada-Mu saat tombak-tombak menghujani diriku dan pedang-pedang yang berkilauan meneteskan darahku.”
Allah ﷻ memerintahkan untuk teguh dalam memerangi musuh dan sabar dalam berlaga dengan mereka di medan perang, tidak boleh lari, tidak boleh mundur, dan tidak boleh berhati pengecut. Dan hendaklah mereka selalu menyebut nama Allah dalam keadaan itu, tidak boleh melupakan-Nya. Bahkan hendaklah meminta pertolongan kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, dan memohon kemenangan kepada-Nya dalam menghadapi musuh-musuh mereka.
Dan hendaklah mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan tersebut, segala apa yang diperintahkan Allah kepada mereka harus mereka lakukan, dan semua yang dilarang-Nya harus mereka tinggalkan. Dan janganlah mereka saling berselisih di antara sesama mereka yang akibatnya akan mencerai-beraikan persatuan mereka sehingga mereka akan dikalahkan dan mengalami kegagalan.
Ayat 46
“Dan hilang kekuatan kalian.” (Al-Anfal: 46)
Artinya, kekuatan dan persatuan kalian akan hilang, keberanian kalian akan menyurut terus pudar.
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Sesungguhnya para sahabat dalam hal keberanian dan ketaatan kepada apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada mereka dan pelaksanaan mereka dalam mengerjakan apa yang ditunjukkan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya tidak seorang pun dari kalangan umat dan orang-orang sebelumnya yang menyamai mereka, tidak pula orang-orang sesudah mereka. Dengan berkah dari Rasul dan ketaatan kepadanya dalam semua apa yang diperintahkannya kepada mereka, akhirnya mereka berhasil membuka hati manusia dan berhasil pula membuka banyak daerah baik yang ada di kawasan timur maupun barat dalam waktu yang relatif singkat.
Padahal jumlah mereka sedikit bila dibandingkan dengan pasukan bangsa lainnya seperti pasukan bangsa Romawi, Persia, Turki, Saqalibah, Barbar, Habsyah, bangsa-bangsa yang berkulit hitam, bangsa Qibti, dan keturunan Bani Adam lainnya. Para sahabat berhasil mengalahkan semuanya hingga kalimat Allah menjadi tinggi dan agamanya menang di atas semua agama lainnya. Dan kerajaan Islam makin meluas kekuasaannya di belahan timur dan barat bumi ini dalam waktu yang kurang dari tiga puluh tahun.
Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka dan membuat mereka puas akan pahala-Nya, dan semoga Allah menghimpunkan kita semua ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mulia lagi Maha Pemberi.
Bukan hanya itu, orang-orang mukmin juga diperintahkan agar senantiasa menghiasi diri dengan menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih atau saling berdebat yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan bahkan kekuatan kalian hilang sehingga tidak berdaya sama sekali; dan bersabarlah ketika menghadapi musuh dalam situasi dan kondisi apa pun. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar. Allah akan selalu menolong hamba-hambaNya yang membela dan mempertahankan kebenaran dengan penuh kesabaran, kesungguhan, dan semata-mata didasari atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan hanya itu, orang-orang mukmin juga diperintahkan agar senantiasa menghiasi diri dengan menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih atau saling berdebat yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan bahkan kekuatan kalian hilang sehingga tidak berdaya sama sekali; dan bersabarlah ketika menghadapi musuh dalam situasi dan kondisi apa pun. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar. Allah akan selalu menolong hamba-hambaNya yang membela dan mempertahankan kebenaran dengan penuh kesabaran, kesungguhan, dan semata-mata didasari atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar tetap menaati Allah dan Rasul-Nya terutama dalam peperangan. Ketaatan kepada Rasul dengan pengertian bahwa beliau harus dipandang sebagai komandan tertinggi dalam peperangan yang akan melaksanakan perintah Allah, dengan ucapan dan perbuatan. Ketaatan kepada Rasul, dalam arti taat kepada perintahnya dan siasatnya, menjadi syarat mutlak untuk mencapai kemenangan. Allah memerintahkan pula agar jangan ada perselisihan di antara sesama tentara, karena perselisihan itu membawa kelemahan dan akan menjurus kepada kehancuran sehingga akhirnya dikalahkan oleh musuh.
Pertikaian menyebabkan kaum Muslimin menjadi gentar dan hilang kekuatannya. Kaum Muslimin diperintahkan untuk sabar, karena Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.
Sabar ada lima macam:
(1) Sabar menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya;
(2) Sabar menjauhi larangan-Nya;
(3) Sabar tidak mengeluh ketika menerima cobaan;
(4) Sabar dalam perjuangan, sampai tetes darah penghabisan;
(5) Sabar menjauhkan diri dari kemewahan dan perbuatan yang tidak berguna, serta hidup sederhana.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Peperangan Badar telah membawa kemenangan yang gilang-gemilang bagi Islam. Sebab yang utama ialah karena keteguhan semangat lantaran iman yang ada pada kaum Muslimin. Kaum musyrikin telah kalah karena bangga dengan banyak bilangan, lalu memandang enteng kekuatan lawan. Kemenangan besar yang tidak diduga-duga ini diperingatkan oleh Allah untuk menjadi pedoman selanjutnya. Sebab itu Allah berfirman,
Ayat 45
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah bertemu dengan sekelompok (musuh), maka hendaklah kamu tetap."
Tetap, yaitu teguh, gagah berani, jangan mundur, dan jangan lari meninggalkan barisan, jangan dua hati dan ragu-ragu.. Sebab, salah satu mesti kamu tempuh, pertama menang; dan itulah yang dicari. Kedua mati; dan mati syahidlah yang diingini, karena mempertahan dan memperjuangkan keyakinan."Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya." Yaitu sekali-kali jangan dilepaskan pergantungan kepada Allah bahwa kamu berperang adalah karena imanmu kepada Allah. Mengingatlah Allah dalam perjuangan itu ialah untuk memperdalam keyakinan bahwa engkau berperang adalah di pihak yang benar. Dan ingat kepada Allah di saat-saat yang menentukan itu menyebabkan pikiran tidak pecah pada yang lain. 300 orang menjadi laksana satu orang yang diliputi oleh dzikrullah. Dzikrullah itu sangat sekali besar pengaruhnya atas semangat, walaupun telah bergelimpangan mayat kawan-kawan di kiri-kanan, seseorang tidak akan merasa takut menghadapi maut, sebab kita datang dari Allah, hidup memperjuangkan kalimat Allah dan kalau mati kembali kepada Allah;
“Supaya kamu berbahagia."
Kebahagiaan atau kemenangan pasti didapat; karena dua syarat yang telah dipenuhi. Pertama syarat yang mengenai jasmani, yaitu tidak gentar dan teguh serta tetap hati dalam menghadapi musuh. Kedua sikap rohani dengan selalu mengingat Allah.
Ingatlah pangkal seruan, yaitu kepada orang yang beriman. Artinya, berperang bukan semata-mata berperang. Tetapi berperang karena ada yang diperjuangkan dan dipertahankan, yaitu iman!
Kata-kata dzikir berarti mengingat dan menyebut. Tidaklah diterangkan dalam ayat ini bagaimana kaifiyat dan cara dzikir di dalam perang itu. Tetapi, dzikir itu memang ada yang dijadikan semboyan perang dan disorakkan keras sehingga menaikkan semangat dan mendatangkan gentar di hati musuh.
Seorang bekas serdadu Belanda yang telah pensiun pada tahun 1937, berdekat rumah dengan penulis tafsir ini di Medan. Dia berkata bahwa dia mengalami Perang Aceh. Dia turut berpatroli sebagai Marsose. Dia berkata kepadaku bahwa jika kaum Mujahidin Aceh akan menyerang, terlebih dulu mereka mengadakan ratib, menyebut kalimat: laa ilaha ill Allah dengan suara bersemangat. Apabila ucapan itu telah terdengar dari jauh, jiwa kami menjadi kecut."Apatah lagi kalau orang Islam seperti saya ini," katanya pula! “Terasa dalam hati kita bahwa kita berjuang hanya sebagai anjing suruh-suruhan saja, sebab kita makan gaji. Kita jual jiwa kepada kompeni, sedang mereka jual jiwa kepada Allah."
Demikian orang tua tetangga saya itu menceritakan betapa hebatnya pengaruh dzi-kir bagi mujahidin. Dan orang Aceh, ketika Perang Aceh itu bukan menamai diri mereka mujahidin, melainkan Muslimin. Karena menurut fatwa ulama Aceh waktu itu, yang benar-benar Islam sejati ialah yang pergi berjuang melawan kompeni. Sebab tersebut dalam Al-Qur'an, “Janganlah kamu mati, melainkan di dalam keadaan Muslimin." Dan kita juga teringat akan pengaruh dzikir “Allahu Akbar" ketika Perang Kemerdekaan bangsa Indonesia melawan tentara Sekutu (Inggris) di Surabaya pada tahun 1945.
Anak saya, Rusydi, menceritakan kepada saya, sedang saya dalam tahanan, ketika pemuda-pemuda Islam di Jakarta, membantu Angkatan Bersenjata RI menumpas kaum komunis yang hendak menghancurkan Negara Republik Indonesia, mereka telah menyerbu sebuah gedung kepunyaan komunis yang bernama Gedung Aliarcham di Pasar Minggu. Mereka dengan suara bersama dan bersemangat menyerbu gedung itu dengan membaca Allahu Akbar! Kemudian, mereka hantam dinding batu gedung itu dengan tenaga badan bersama-sama sehingga hancur runtuh. Banyak anggota Angkatan Bersenjata RI yang turut hadir menjadi sangat heran melihat kekuatan yang timbul pada waktu itu. Tidak dengan memakai linggis atau alat-alat yang lain, hanya dengan kaki dan bahu-bahu mereka hancurkan dinding gedung itu: “Allahu Akbar!"
Tentara Jepang yang pernah menyerbu Indonesia memelihara sistem suara keras yang dihejan dari pusar untuk menimbulkan semangat. Betapa pun mereka memakai alat-alat senjata modern, namun mereka tidak mengabaikan alat pusaka nenek moyang mereka memakai suara keras ketika menyerbu musuh. Suku bangsa Indonesia yang terkenal memakai sistem suara keras itu dalam perang ialah bangsa Bugis dan Makassar. Suara perang itu mereka namai “Mangkauk".
Penafsir berpendapat bahwa dzikir dengan suara keras sebagai penimbul semangat dalam hebatnya pertempuran perang, barangkali tidaklah terlarang dalam agama, meskipun dalam ayat-ayat yang lain terdapat larangan berdzikir keras di luar perang, sebagai yang telah kita uraikan di dalam tafsir-tafsir yang lalu.
Di samping dzikir dan berdiri teguh menghadapi musuh itu, datanglah perintah lagi:
Ayat 46
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan."
Pangkal ayat ini memperingatkan ketaatan kepada Allah dan Rasul, yaitu tunduk, patuh, dan disiplin yang keras terhadap pimpinan tertinggi peperangan. Di dalam Peperangan Badar, Rasul sendiri yang memimpin. Taat kepada Rasul, artinya ialah taat kepada Allah juga. Ini seterusnya akan menjadi pedoman dalam peperangan-peperangan yang lain. Jangan berbantah-bantahan, jangan bertengkar, dan jangan bertindak sendiri-sendiri, sebab bagaimana pun banyak bilangan dan banyak senjata, kalau komando tidak satu, tidaklah ada jaminan menang. Diterangkan hal ini oleh lanjutan ayat, “Karena kamu akan lemah dan hilang kekuatan kamu." Ini adalah suatu kepastian dari Tuhan. Perbantahan yang timbul karena tidak ada ketaatan kepada satu pimpinan, pasti membawa lemah dan hilangnya kekuatan. Ini boleh dijadikan pedoman untuk selama-lamanya. Pada 1949, tujuh negara Arab kalah berperang dengan Yahudi yang hendak mendirikan sebuah negara Yahudi di tengah-tengah tanah Arab, padahal Yahudi hanya satu. Ketika ada orang bertanya kepada Gamal Abdul Nasser, Presiden Republik Persatuan Arab, mengapa tujuh negara bisa kalah oleh satu negara, maka Nasser telah memberikan jawab, “Memang kami kalah karena kami tujuh dan mereka bersatu."
Kemudian, datang lanjutan ayat,
“Dan hendaklah, kamu sobat. Sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang sabar."
Sabar di dalam peperangan adalah daya tahan seketika menyerang dan seketika menangkis. Inilah yang pernah saya ungkapkan dalam satu sajak:
Tiba giliran menjadi palu, hendaklah pukul habis-habisan.
Tiba giliran jadi landasan, tahan pukulan biar berlalu....
Sudah menjadi adat dari peperangan, memukul dan dipukul, kena dan mengena, “Yaumun lana wa yaumun ‘alaina", satu hari kita yang naik, di hari lain kita pula yang terkena! Kena dan mengena, memukul dan dipukul, haruslah dihadapi dengan daya tahan yang kuat dan dengan sabar. Karena hitungan belumlah dijumlahkan di pertengahan permainan, melainkan di akhir. Ibarat orang main sepak bola. Sebelum peluit panjang berbunyi, janganlah lekas gembira karena dapat memasukkan bola ke gawang lawan, dan jangan lekas putus asa jika gawang sendiri kebobolan.
Lalu, diperingatkanlah lagi tentang sikap hidup ketika akan masuk ke medan perang,
Ayat 47
“Dan janganlah kamu jadi seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dalam keadaan sombong dan menonjol-nonjolkan diri kepada manusia."
Perhatikanlah pangkal seruan pada ayat 45 tadi, yaitu peringatan kepada orang-orang yang beriman. Orang yang beriman kepada Allah tidak mungkin jadi orang sombong. Sebab kesombongan hanya timbul karena jiwa kosong.
Kesombongan hanya timbul karena terlalu mengandalkan kemenangan kepada banyak bilangan dan lengkap senjata. Demikian juga orang yang beramal karena riya, menonjol-nonjolkan diri ingin dilihat orang, ingin dipuji. Yang di dalam ayat ini kita artikan menonjol-nonjolkan diri. Perangai ini terdapat pada kaum Quraisy yang pergi berperang menentang Nabi ﷺ dan Islam itu. Mereka sombong karena bilangan mereka lebih banyak dan alat senjata lebih cukup, serasa-rasa akan mereka jatuhkan saja leher kaum yang beriman. Malahan Abu jahal mengatakan bahwa kaum Muslimin, umat Muhammad itu hanyalah laksana binatang-binatang ternak yang akan dibantai (juzuur), yang diantarkan kepada mereka. Dan, mereka berperang itu karena riya karena ingin menonjolkan diri, ingin beroleh gelar pahlawan dari kaum mereka. Kalau pulang dari peperangan kelak membawa kemenangan, niscaya akan mendapat puji sanjung dari keluarga yang menunggu. Sebab itu, tujuan perang mereka tidak suci: “Seraya menghalangi dari jalan Allah." Dengan ini tampaklah tergabung tiga macam kesalahan dalam jiwa mereka; pertama sombong, kedua riya, dan ketiga hendak menghalangi manusia dari jalan Allah. Maka orang yang beriman kalau mereka berperang, tidaklah ada ketiga penyakit itu. Islam akan berkembang dan akan menghadapi berbagai macam perjuangan. Islam akan tegak dengan jayanya, tetapi kaum yang beriman, janganlah sampai lupa daratan.
“Dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan adalah meliputi."
Artinya, pengetahuan Allah adalah amat meliputi akan keseluruhan gerak-gerik kamu, di mana segi kekuatan kamu dan di mana pula segi kelemahan kamu.
Allah mengemukakan sifat-sifat perjuangan orang yang tidak ada dasar iman dalam jiwa mereka, sebagai kaum musyrikin itu. Kaum Muslimin sekali-kali jangan meniru itu. Sebab sunnatullah atau hukum sebab-akibat berlaku untuk seluruh manusia. Siapa yang sombong akan dihancurkan oleh kesombongannya sendiri. Siapa yang melupakan diri dari ketaatan kepada komando tertinggi, pasti akan kalah. Walaupun mereka mengaku beriman.
Lalu, Allah mengatakan lagi sebab-sebab kekalahan kaum musyrikin itu, untuk dijadikan pengajaran dan untuk dijauhi oleh kaum yang beriman,
Ayat 48
“Dan ingatlah tatkala setan menyanjung-nyanjung terhadap mereka atas perbuatan-perbuatan mereka, seraya berkata, “Tidaklah ada yang akan mengalahkan kamu pada hari ini, dari manusia mana pun, dan sesungguhnya aku jadi pelindung kamu."
Salah satu sebab kekalahan kaum musyrikin di Peperangan Badar itu ialah karena perdayaan setan yang telah masuk ke dalam hati mereka. Setan itu menyanjung-nyanjung, memuji-muji perbuatan mereka memerangi kaum Muslimin. Setan mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah benar, sebab berhala nenek moyang mesti dipertahankan dengan segala tenaga, lalu mereka memuaskan diri sendiri dengan rayuan setan itu. Dan setan pun merayukan bahw3 mereka adalah inti seluruh bangsa Arab, orang Quraisy yang disegani seluruh kabilah, dan tidak akan pernah dikalahkan oleh siapa pun, apalagi oleh orang semacam Muhammad itu. Dan, setan pun menghasut, mengatakan bahwa dia menjamin dan dia akan membantu dan melindungi, sebab itu tidak perlu khawatir.
“Maka tatkala telah berhadap-hadapan kedua kelompok itu, berbaliklah dia (setan) atas dua tumitnya dan dia pun berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas dini daripada kamu, sesungguhnya aku telah melihat apa yang tidak kamu lihat, sesungguhnya aku takut kepada Allah, karena Allah itu amat keras siksaan-Nya'".
Menurut suatu tafsir yang dirawikan orang dari Ibnu Abbas, Iblis sendiri masuk menyelusup ke dalam barisan Quraisy, menjelmakan dirinya serupa seorang laki-laki bernama Suraqah bin Malik dari Kabilah Ja'tsam. Iblis yang menjelma sebagai manusia itu menghasut-hasut perang dan memanas-manasi supaya orang Quraisy bersemangat melawan Nabi ﷺ. Tetapi setelah berhadap-hadapan kedua kelompok. Iblis itu melihat bahwa dalam barisan Muslimin ada banyak malaikat. Sebab itu, sebelum bertempur, dia pun lari terbirit-birit. Lalu ditanyai orang, mengapa lari. Dia menjawab bahwa dia melihat apa yang tidak kelihatan oleh kamu, (yaitu malaikat), dan saya berlepas diri, saya tidak mau turut campur.
Tetapi dalam pembawa riwayat ini terdapat al-Kalbi yang menurut penyelidikan ahli-ahli tafsir dan hadits, riwayat-riwayat Ibnu Abbas yang dibawakan oleh al-Kalbi adalah sangat lemah (dhaif).
Menurut riwayat al-Waqidi, bukan Iblis yang merupakan dirinya sebagai Suraqah bin Malik, melainkan betul-betul ada seorang bernama Suraqah bin Malik dari Bani Bakr. Bani Bakr itu sudah lama bermusuhan dengan Quraisy. Kaum Quraisy takut kalau sementara mereka berperang dengan Rasul ﷺ, Bani Bakr itu akan mengambil peluang yang baik akan menikam mereka dari belakang. Waktu itu tampillah seorang pemuka Bani Bakr, Suraqah bin Malik itu menjamin, menyatakan dirinya berpihak kepada Quraisy, dan akan memerangi Muhammad ﷺ bersama mereka. Dialah yang menghasut-hasut Quraisy meneruskan peperangan dan berkata bahwa dia akan turut bertempur. Tetapi, setelah berhadapan dengan kaum Muslimin dia lari. Oleh sebab itu, dialah manusia yang berperangai sebagai setan, menghasut-hasut. Setelah orang telanjur dan dilihatnya musuh tidak dapat dikalahkan, dia pun mundur teratur.
Manakah di antara kedua riwayat ini yang akan dipedomani? Benarkah Iblis meniru rupa manusia, atau benarkah ada seorang manusia jadi setan?
Penafsiran ini haruslah kita bandingkan dengan krisis (peristiwa gawat) yang selalu terjadi yang kerapkali membawa peperangan. Di saat-saat gawat itu selalu timbul setan-setan penghasut perang. Orangnya tidak kelihatan, sebab tidak menonjol ke muka, tetapi semacam mereka itulah yang menghasut-hasut di belakang layar, kepada pemuka-pemuka mereka yang sombong. Di dalam riwayat Perang Badar memang disebut bahwa Abu Sufyan telah berpesan ke Mekah, tidak perlu mereka pergi menyerbu Muhammad, sebab kafilah itu telah dibawanya ke tempat yang aman di tepi laut dan akan segera sampai dengan selamat ke Mekah. Tetapi, karena penghasut-penghasut perang tadi, Abu Jahal meneruskan juga membawa angkatan perangnya untuk menyerang kaum Muslimin. Peng-hasut-penghasut itu lebih keras suaranya, turut dalam barisan, banyak, kata-katanya yang gagah perkasa, tetapi kalau mereka lihat musuh kuat, mereka yang terlebih dahulu lari pontang-panting. Oleh sebab itu, dalam barisan musyrikin itu sendirilah memang ada manusia-manusia setan penghasut perang. Orang-orang yang semacam itulah yang meng-hasut-hasut orang sombong seperti Abu Jahal buat meneruskan perang dan membangkit-bangkitkan kesombongan bahwa kita pasti menang. Yang tewas bertempur kelak bukan manusia-manusia setan itu, tetapi Abu Jahal yang kena hasut, yang keluar ke medan perang dengan sombong, riya, dan hendak menghalangi jalan Allah. Oleh sebab itu, ayat ini pun memberi peringatan kepada kaum Muslimin menyuruh hati-hati kalau terjadi keadaan gawat peperangan, jangan sampai kemasukan pengaruh dari setan-setan yang diungkapkan dalam pepatah orang tua-tua kita: “Mulutnya seperti api, tetapi tulangnya sebagai air."
Ayat 49
“Tatkala berkata orang-orang yang munafik dan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit. Telah menipu kepada mereka agama mereka.
Siapa yang dimaksud dengan kaum munafik dalam ayat ini? Ada setengah tafsir mengatakan bahwa di waktu itu terdapat pula munafik di kalangan Islam sendiri. Tetapi, setelah diteliti jalan riwayat dan sirah (serajah) Rasul, terutama dalam Peperangan Badar, tidak ada orang munafik di dalam tentara Islam waktu itu. Orang yang 300 adalah bulat dan teguh. Meskipun ada yang ragu pada mulanya, tetapi setelah berhadapan dengan musuh, semuanya menjadi satu semangat. Itu sebabnya, mereka menang.
Menurut riwayat Mujahid dan Ibnu furaij dan asy-Sya'bi dan Ibnul Ishaq dan Ma'mar bahwa di kalangan Quraisy sendiri terdapat pula munafik. Mereka masih berpegang teguh kepada agama berhala kaum mereka, dan mereka pun sama-sama keluar dalam seribu tentara Quraisy itu hendak memerangi Muhammad, tetapi hati mereka tidak begitu bulat. Bersama mereka itu ada pula orang-orang yang hatinya sakit dan berdendam. Mereka yang dua golongan ini setelah melihat kaum Muslimin hanya sedikit, 300 orang, hendak berperang dengan mereka, yang bilangan lebih seribu, telah menumpahkan rasa benci mereka kepada kaum Muslimin yang hanya 300 orang itu dengan berkata, “Telah menipu kepada mereka agama mereka." Dengan sombong, mereka berkata demikian. Mereka katakan bahwa 300 kaum Muslimin tersebut akan mereka binasakan, pasti kalah dan hancur, sebab mereka terlalu berani menghadapi musuh, yang sangat besar. Mereka telah mabuk oleh sebab agama yang mereka peluk. Sebagaimana tuduhan yang diberikan oleh kaum komunis kepada kaum yang berani mati karena mempertahankan agama dan keyakinan kepada Allah, bahwa mereka telah meminum candu (opium) agama. Padahal ini bukanlah karena tertipu oleh agama, melainkan karena tebalnya iman yang diterangkan Allah pada akhir ayat.
“Padahal barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah adalah Mahagagah, lagi Maha Mengetahui."
Soal ini bukanlah soal mabuk atau tertipu oleh agama. Melainkan soal dari sekelompok umat yang telah menyerahkan diri sepenuh-penuh dan sebulat-bulatnya kepada Allah, yang rupanya kaum Quraisy yang munafik dalam kalangan sendiri atau berhati sakit karena dendam, tidak mengenalnya. Sebab tawakal itu adalah puncak tertinggi atau pucuk terakhir dari iman. Apabila iman sudah matang, tawakal pasti timbul dengan sendirinya. Belum berarti pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal. Maka apabila seseorang Mukmin telah bertawakal berserah diri kepada Allah, terlimpahlah ke dalam dirinya sifat Aziz yang ada pada Allah, dia pun menjadi gagah pula. Dia tidak takut lagi menghadang maut. Dan terlimpahlah kepadanya pengetahuan Allah, dia pun mendapatlah berbagai ilham dari Allah untuk mencapai kemenangan.
Orang yang sakit hati dan munafik menuduh “gharra ha-ulai-i dinuhum" mereka telah ditipu oleh agama mereka. Persis perkataan seperti inilah yang selalu diulang-ulang oleh musuh-musuh fslam kalau kaum Muslimin telah melawan kezaliman mereka. Mereka tidak mau menjadi budak dari sesama manusia karena mereka telah memberikan seluruh perhambaan diri untuk Allah. Lalu mereka melawan seketika ditindas; kadang-kadang kekuatan tidak seimbang, lalu mereka disapu bersih dengan senapan mesin, mereka pun mati. Maka si penindas tadi berkata, “Mereka telah ditipu oleh agama mereka. Mereka fanatik agama!"
Atau satu daerah yang teguh memegang agama, lalu dengan bantuan penjajah, men-dirikan gereja di tempat tersebut oleh zending Kristen. Orang Islam marah dan menghalangi mendirikan gereja di daerah yang kuat beragama Islam, itulah yang fanatik.
Atau sebagai kaum komunis yang tidak mengakui ada Tuhan. Kalau sekiranya mereka saja yang memegang keyakinan demikian, masa bodohlah. Namun mereka hendak memaksa orang yang beragama supaya meninggalkan agama. Orang yang beragama tidak mau meninggalkan agamanya. Maka, dituduhlah oleh orang komunis itu bahwa orang yang berpegang teguh pada agama itu telah diracun oleh candu (opium) agama.
Maka baik munafikin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman Rasul di Perang Badar itu, atau kaum penjajah yang terhambat usahanya memadamkan cahaya Islam di zaman kita, atau kaum komunis yang memandang bahwa agama adalah penghalang paling besar bagi kemajuan paham tidak bertuhan, yang jadi dasar ideologi mereka, sama saja dasar tuduhannya, mengatakan bahwa orang yang berani menghadapi maut karena mempertahankan agama, mereka katakan bahwa mereka telah ditipu oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan urusan iman yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal.
Kalau tawakal sudah datang, betapa pun besarnya musuh, berapa pun kecilnya diri, orang tidak peduli lagi. Orang sudah tawakal kepada Allah: hidup syukur, mati pun sudah! Daripada hidup bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah.
Kalau sudah sampai di suasana yang demikian, diri pun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat Aziz Allah. Dan ilmu pun datang, sebab sudah disinari oleh sifat Allah Alim, yaitu Pengetahuan Allah.