Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan apa
لَهُمۡ
ada pada mereka
أَلَّا
sehingga tidak
يُعَذِّبَهُمُ
mengazab mereka
ٱللَّهُ
Allah
وَهُمۡ
dan/padahal mereka
يَصُدُّونَ
mereka halangi
عَنِ
dari
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِ
Haram
وَمَا
dan bukanlah
كَانُوٓاْ
adalah mereka
أَوۡلِيَآءَهُۥٓۚ
penguasa-penguasanya
إِنۡ
tidaklah
أَوۡلِيَآؤُهُۥٓ
penguasanya
إِلَّا
kecuali/hanyalah
ٱلۡمُتَّقُونَ
orang-orang yang bertakwa
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
وَمَا
dan apa
لَهُمۡ
ada pada mereka
أَلَّا
sehingga tidak
يُعَذِّبَهُمُ
mengazab mereka
ٱللَّهُ
Allah
وَهُمۡ
dan/padahal mereka
يَصُدُّونَ
mereka halangi
عَنِ
dari
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِ
Haram
وَمَا
dan bukanlah
كَانُوٓاْ
adalah mereka
أَوۡلِيَآءَهُۥٓۚ
penguasa-penguasanya
إِنۡ
tidaklah
أَوۡلِيَآؤُهُۥٓ
penguasanya
إِلَّا
kecuali/hanyalah
ٱلۡمُتَّقُونَ
orang-orang yang bertakwa
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
Terjemahan
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, sedangkan mereka menghalang-halangi (orang) untuk (beribadah di) Masjidilharam? Mereka bukanlah orang-orang yang berhak menjadi pengurusnya. Orang yang berhak menjadi pengurusnya hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Tafsir
(Mengapa Allah tidak mengazab mereka) dengan pedang sesudah engkau dan kaum mukminin yang lemah keluar dari Mekah. Berdasarkan pendapat yang pertama, ayat ini menasakh ayat sebelumnya; dan ternyata Allah ﷻ mengazab mereka dalam perang Badar dan perang-perang yang lain (padahal mereka menghalangi) mencegah Nabi ﷺ dan kaum muslimin (untuk mendatangi Masjidilharam) yakni untuk melakukan tawaf di dalamnya (dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya?) seperti menurut dugaan mereka. (Tiada lain) tidak lain (orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui) bahwasanya tidak ada hak bagi orang-orang kafir untuk menguasai Masjidilharam.
Tafsir Surat Al-Anfal: 34-35
Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? (Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan belaka. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu.
Ayat 34
Allah ﷻ memberitahukan bahwa mereka adalah orang yang layak untuk ditimpa azab oleh Allah, tetapi azab tidak ditimpakan kepada mereka berkat keberadaan Rasulullah ﷺ di antara mereka. Karena itu, ketika Rasulullah ﷺ pergi dari kalangan mereka, maka Allah menimpakan azab-Nya kepada mereka dalam Perang Badar, sehingga banyak di antara pendekar mereka yang gugur dan orang-orang hartawannya menjadi tahanan perang. Dan Allah memberikan petunjuk-Nya kepada mereka untuk meminta ampun kepada-Nya dari segala dosa yang selama itu mereka kerjakan, yaitu kemusyrikan dan kerusakan.
Qatadah dan As-Suddi serta selain keduanya mengatakan bahwa kaum itu (orang-orang musyrik) tidak beristighfar. Seandainya mereka beristighfar, niscaya mereka tidak akan disiksa. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Dia mengatakan, seandainya di kalangan mereka tidak terdapat kaum duafa dari kalangan kaum mukmin yang senantiasa memohon ampun, niscaya azab Allah akan menimpa mereka tanpa dapat dielakkan lagi.
Tetapi azab itu tertolak berkat keberadaan kaum duafa dari kalangan kaum mukmin. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya pada hari perjanjian Hudaibiyyah, yaitu: “Orang-orang kafir yang menghalang-halangi kalian dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tidak kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa sepengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka), supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendakinya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (Al-Fath: 25)
Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Ibnu Abza: Ketika "Nabi ﷺ berada di Mekah, Allah menurunkan firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka.” (Al-Anfal: 33) Tetapi setelah Nabi ﷺ berangkat ke Madinah, maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Ibnu Jarir mengatakan, mereka adalah orang-orang lemah dari kalangan kaum muslim yang masih tertinggal di Mekah, dan mereka selalu beristighfar memohon ampun kepada Allah.
Tetapi setelah mereka semua pergi meninggalkan Mekah, maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya?” (Al-Anfal: 34) Maka Allah mengizinkan Nabi ﷺ untuk membuka (menaklukkan) kota Mekah, dan hal ini merupakan azab yang diancamkan kepada mereka.
Hal yang serupa dengan riwayat ini telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Abu Malik, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa ayat ini memansukh (merevisi) firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Tetapi dengan maksud bahwa istighfar itu yang dilakukan oleh mereka (orang-orang kafir Mekah).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Keduanya mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ dalam surat Al-Anfal, yaitu: “Dan sekali-kali Allah tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Lalu ayat ini di-mansukh (direvisi) oleh ayat berikutnya, yaitu:
Ayat 35
“Mengapa Allah tidak mengazab mereka.” (Al-Anfal: 34) sampai dengan firman-Nya: “Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian.” (Al-Anfal: 35)
Akhirnya mereka diperangi di Mekah, dan mereka tertimpa kelaparan dan kesengsaraan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadits Abu Namilah Yahya ibnu Wadih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu ‘Atha’, dari ‘Atha’, dari Ibnul Abbas sesuai dengan makna firman-Nya “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang musyrik, melalui firman-Nya: “Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram.” (Al-Anfal: 34)
Adapun firman Allah ﷻ: “Mengapa Allah tidak mengazab mereka, padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? (Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-Anfal: 34) Maksudnya, mengapa Allah tidak mengazab mereka, sedangkan mereka menghalangi manusia untuk mendatangi Masjidil Haram? Mereka menghalang-halangi orang-orang mukmin, padahal orang-orang mukmin adalah orang-orang yang berhak menguasainya dengan mengerjakan shalat dan tawaf di dalamnya. Karena itulah maka dalam ayat berikut ini disebutkan:
“Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya.” (Al-Anfal: 34)
Yakni orang-orang musyrik itu bukanlah ahli Masjidil Haram, sesungguhnya yang ahli Masjidil Haram hanyalah Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Seperti juga yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah; maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (At-Taubah: 17-18)
“Tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.” (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad (yaitu At Ath-Thabarani), telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Ilyas ibnu Sadaqah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada Kami Nuh Ibnu Abu Maryam, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya, "Siapakah kekasih-kekasihmu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Semua orang yang bertakwa." Lalu Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Anfal: 34)
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Asy-Syafi'i, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdullah ibnu Khaisam, dari Ismail ibnu Ubaid ibnu Rifa'ah, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengumpulkan kabilah Quraisy, lalu beliau ﷺ bertanya, "Apakah di antara kalian terdapat orang-orang selain dari kalangan kalian?" Mereka menjawab, "Di kalangan kami sekarang terdapat anak lelaki saudara perempuan kami, teman sepakta kami, dan maula kami." Rasulullah ﷺ bersabda: “Teman sepakta kami adalah sebagian dari kami, anak laki-laki saudara perempuan kami adalah sebagian dari kami, dan maula kami adalah sebagian dari kami, tetapi kekasih-kekasihku (orang-orang yang berhak kepadaku) di antara kalian adalah orang-orang yang bertakwa.
Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Urwah, As-Suddi, dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Anfal: 34) Mereka adalah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya.
Menurut Mujahid, mereka adalah kaum Mujahidin, siapa pun mereka adanya dan di mana pun mereka berada.
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan perihal apa yang biasa mereka kerjakan di Masjidil Haram dan segala sesuatu yang mereka amalkan. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman: “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)
Abdullah ibnu Amr, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Raja Al-Utaridi, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Hajar ibnu Abbas, Nabit ibnu Syarit, Qatadah, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, semuanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'siulan.
Mujahid menambahkan bahwa mereka memasukkan jari telunjuknya ke mulut mereka.
As-Suddi mengatakan, al-muka artinya siulan; dikatakan demikian karena bunyinya sama dengan suara burung muka, sejenis burung yang berbulu putih dari tanah Hijaz.
Mengenai makna tasdiyah, Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Khallad Sulaiman ibnu Khalad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Ya'qub (yakni Ibnu Abdullah Al-Asy'ari), telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35) Dahulu orang-orang Quraisy melakukan tawafnya di sekitar Baitullah dalam keadaan telanjang bulat seraya bersiul dan bertepuk tangan. Al-muka artinya bersiul, sedangkan tasdiyah artinya bertepuk tangan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas; telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Adh-Dhahhak, Qatadah, Atiyyah Al-Aufi, Hajar ibnu Unais, dan Ibnu Abza.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Qurrah, dari Atiyyah, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya: “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35) Al-muka artinya siulan, sedangkan tasdiyah artinya tepuk tangan.
Qurrah mengatakan, Atiyyah memperagakan kepada kami sikap yang dilakukan oleh Ibnu Umar (ketika mengetengahkan hadits ini), Ibnu Umar bersiul dan memiringkan pipinya, lalu bertepuk tangan. Dari Ibnu Umar pula disebutkan bahwa mereka (orang-orang Jahiliyah) meletakkan pipi mereka ke tanah, lalu bertepuk tangan dan bersiul. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim di dalam tafsirnya berikut sanadnya dari Ibnu Umar.
Ikrimah mengatakan, "Dahulu mereka melakukan tawaf di Baitullah pada sisi kirinya."
Mujahid mengatakan bahwa sesungguhnya mereka sengaja melakukan demikian untuk mengganggu shalat yang dilakukan oleh Nabi ﷺ.
Menurut Az-Zuhri, mereka melakukan demikian dengan maksud mengejek kaum mukmin.
Dari Sa'id ibnu Jubair dan Abdur Rahman ibnu Zaid disebutkan sehubungan dengan makna lafal tasdiyah bahwa makna yang dimaksud ialah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
Firman Allah ﷻ: “Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiran kalian itu.” (Al-Anfal: 35)
Adh-Dhahhak, Ibnu Juraij, dan Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa hal itu merupakan musibah yang menimpa mereka dalam Perang Badar, banyak dari kalangan mereka yang mati dan tertawan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, tiada selainnya yang meriwayatkan hal ini.
Ibnu Abu Hattm mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Majih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa azab yang menimpa orang-orang yang kafir adalah dengan pedang, sedangkan yang menimpa para pendusta ialah dengan pekikan dan gempa bumi.
Allah bukannya tidak akan menyiksa mereka, tetapi hanya menangguhkan, karena Nabi Muhammad masih berada di tengah mereka dan juga karena masih ada yang beristigfar. Pada waktunya mereka tetap akan disiksa. Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka padahal mereka wajar untuk disiksa, antara lain karena mereka menghalang-halangi orang secara terus-menerus untuk mendatangi Masjidilharam guna beribadah dan menghormatinya. Mereka berdalih bahwa mereka adalah auliya'-nya; pembina, pemelihara dan penguasanya, padahal mereka bukanlah auliya', yakni orang-orang yang berhak menguasai, membina, dan memelihara-nya' Sesungguhnya para auliya', yakni orangorang yang berhak menguasai, membina, dan memelihara-nya tidak lain hanyalah orang-orang yang bertakwa, yakni yang benar-benar telah mantap ketakwaan dalam jiwanya, bukan sekadar orang yang beriman, apalagi orang yang bergelimang dalam dosa. Demikian seharusnya, tetapi kebanyakan mereka, yakni kaum musyrik, tidak mengetahui siapa yang seharusnya membina dan memelihara masjid, sehingga menguasai sesuatu yang semestinya menjadi hak orang lain. Mereka pun tidak mau memahami agama dan mengerti kedudukan masjid itu di sisi Allah. Salah satu bukti ketidaklayakan mereka mengelola Masjidilharam adalah seperti diuraikan pada ayat ini. Dan apa yang mereka anggap sebagai salat mereka yang seharusnya dilakukan dengan dengan penuh khusyuk, ketulusan, dan penghormatan kepada Allah, apalagi itu dilakukan di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka kelak ketika azab telah jatuh, dikatakan kepada mereka, Rasakanlah azab disebabkan sejak dahulu hingga kini kamu terus-menerus melakukan kekufuran. Terimalah kematian kamu di medan perang, agar kesyirikan itu menjauh dari Masjidilharam, dan kematian itu tidak lain akibat kekufuran kamu.
Sesudah itu Allah menjelaskan bahwa Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, meskipun mereka sudah pantas diberi azab, lantaran mereka telah menghalangi orang-orang mukmin memasuki Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji. Azab tidak diturunkan karena Nabi Muhammad berada di antara mereka, dan masih ada orang-orang mukmin yang memohon ampun kepada Allah bersama Nabi Muhammad.
Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka telah berbuat syirik dan telah melakukan berbagai kerusakan di daerah itu. Akan tetapi yang sebenarnya berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram itu hanyalah orang-orang yang bertakwa yang menghormati Baitullah sebagai tempat suci dan peribadatan, yaitu Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya.
Allah menegaskan bahwa kebanyakan orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa mereka tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka bukanlah penolong-penolong agama. Dan yang berhak menguasai Baitullah itu hanya orang-orang yang bertakwa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 32
“Dan, ingatlah. “ Yaitu sebagai peringatan lagi daripada Allah kepada Rasul ﷺ ‘Tatkala mereka berkata: Ya Tuhan! Jika inilah dia kebenaran itu dari sisi Engkau maka hujankanlah atas kami batu-batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami siksaan yang pedih."
Riwayat-riwayat menerangkan bahwa yang sampai berkata begini pada mulanya, ialah Abu Jahal sendiri. Riwayat lain mengatakan bahwa pada mulanya yang .berkata begini ialah an-Nadhr bin al-Harits ahli cerita-cerita dongeng kung yang gagal dalam usahanya menandingi Al-Qur'an itu. Maka, perasaan mereka ini mereka nyatakan pula kepada teman-temannya yang lain, yang sama sepaham menentang Muhammad. Tegasnya, walaupun apa yang dikatakan oleh Muhammad itu adalah
“Dan tidaklah Allah menyiksa mereka, padahal mereka memohon ampun."
Artinya, kalau masih ada dalam negeri itu orang yang memohon ampun atas kesalahannya, adzab belum lagi akan diturunkan dan kehancuran belum lagi akan dilaksanakan Allah. Sebab, kasih sayang adalah sifat yang utama bagi Allah dan menyiksa hanyalah karena sudah sangat terpaksa. Maka, kalau orang-rang yang memohon ampun masih ada, adzab siksaan pun belum akan diturunkan. Maka, tersebutlah dalam setengah tafsir bahwa setelah Rasulullah ﷺ hijrah bersama dengan kaum Muhajirin yang lain, masih banyak tinggal di negeri Mekah itu orang-orang yang telah Islam, tetapi mereka lemah, miskin, melarat, tidak ada daya upaya buat pindah. Mereka pun selalu bershalat dan beribadah dan memohon ampun dengan sembunyi-sembunyi. Demi kasih cinta Allah kepada Muslimin yang lemah ini, siksaan tidak diturunkan Allah waktu itu walaupun Abu Jabal dan orang-orang yang semacam itu telah demikian lancang menentang Allah. Ada sebab atau faktor lain yang menyebabkan tantangan mereka itu tidak disambut Allah di waktu itu.
Namun, setelah selesai Rasulullah dan orang-orang yang beriman pindah meninggalkan negeri itu, barulah apa yang mereka tantangkan itu terjadi. Terjadilah Peperangan Badar. Mereka terimalah pada waktu itu siksaan yang mereka minta, bukan berupa hujan batu, tetapi kekalahan perang 1.000 orang berhadapan dengan 300 orang. Kekalahan yang lebih sakit daripada hujan batu.
Ayat 34
“Dan, mengapa mereka tidak (patut) disiksa oleh Allah, padahal mereka menghambat orang dari Masjidil Haram, sedang mereka bukanlah pengutusnya."
Masjidil Haram dengan Ka'bahnya, adalah rumah tempat beribadat kepada Allah Yang benar, tetapi mereka tidak akan tunduk. Kalau mereka hendak dihukum Allah karena menentang kebenaran itu, mereka bersedia menerimanya. Biar sekarang juga turun hujan batu menimpa mereka, mereka bersedia, asal mereka tidak melepaskan pegangan mereka yang lama. Kalau hujan batu atau adzab yang lain itu mau jatuh, jatuhlah sekarang!
Sebagaimana telah kita pahamkan dari ayat-ayat yang lain yang terdahulu, ayat ini dalam rangka surah al-Anfaal turun di Madinah juga. Rasulullah disuruh mengingatnya kembali, untuk beliau kenangkan apa percakapan mereka terhadap seruannya ketika dia masih di Mekah. Sampai mereka bersedia dihujani dengan batu, atau adzab lain, tetapi mereka tidak hendak menerima. Lalu, Allah berfirman, apa sebab maka tantangan mereka yang begitu kasar tidak diperlakukan Allah. Bukan karena tidak sanggup Allah mengadzab mereka di kala itu;
Ayat 33
“Dan, tidaklah Allah akan menyiksa mereka, selama engkau ada pada mereka."
Bukan Allah tidak sanggup menyelenggarakan tantangan mereka yang sangat menunjukkan kafir itu. Melainkan Allah tidak menyiksa mereka ketika mereka menentang itu, ialah karena Nabi Muhammad ﷺ masih berada di negeri itu. Bukanlah karena Allah segan kepada mereka, melainkan Allah menjunjung tinggi kemuliaan Rasul-Nya sendiri. Rasul masih bekerja menyampaikan dakwah dan tablighnya. Maksud Allah yang pertama bukanlah langsung saja mengadzab dan menyiksa mereka, tetapi terlebih dahulu menyadarkan mereka. Sedang Rasul bukan tidak berusaha. Demikian pula, kalau Allah telah hendak menyiksa suatu kaum, sebagaimana terjadi pada nabi-nabi yang dahulu, Allah terlebih dahulu memberi wahyu kepada Rasul itu supaya segera keluar dari negeri itu. Kemudian datang lanjutan ayat,
Maha Esa yang didirikan oleh Nabi Ibrahim. Akan tetapi, mereka, kaum Quraisy telah men-jadikan rumah yang mulia itu tempat menyembah berhala. Dan, mereka mencoba menguasainya. Setelah Rasulullah ﷺ diutus Allah, tujuan utama beliau ialah membersihkan rumah itu daripada tempat penyembahan berhala. Dan, beliau sendiri sebelum hijrah telah mencoba mengerjakan shalat menghadap Allah menurut yang diwahyukan Allah.
Namun, mereka halangi, bahkan pernah mereka sungkut diri beliau sedang sujud dengan kotoran unta dan kulitnya, sehingga kalau tidaklah datang anak perempuan beliau, Fatimah, melepaskan ayahnya dan menghindarkan kotoran itu, akan lemaslah beliau karena tersungkut. Dan, ini pun mereka lakukan juga kepada yang lain. Setelah itu mereka pun hijrah ke Madinah. Sampai di Madinah bagaimana pun orang-orang yang telah hijrah itu berusaha hendak pergi beribadah dan thawaf di Masjidil Haram yang mulia itu, tidaklah akan dapat masuk ke dalam. Mereka akan dibunuh dan disiksa, kecuali kalau ada perlindungan mereka dari orang Mekah sendiri. Mereka mengatakan bahwa kamilah yang berkuasa atas Masjidil Haram ini. Kamu Muhammad dan pengikutmu kami larang masuk kemari. Apa hak mereka melarang orang beribadah? Kata mereka, merekalah yang menguasai masjid itu, padahal bukan mereka yang berkuasa, “Tidaklah ada penguasa-pqnguasanya, melainkan orang-orang yang bertakwa." Orang-orang sebagai Abu Jahal, Abu Lahab, dan pemuka-pemilka Quraisy yang lain itu mendakwakan diri penguasa Masjidil Haram, padahal mereka orang musyrik, pemakan riba, menghisap darah dan mencampuraduk persembahan kepada Allah dengan persembahan kepada berhala. Adakah orang semacam itu yang berhak menguasai masjid? Padahal Masjidil Haram itu, sejak zaman purbakala, sejak Nabi Ibrahim, adalah tempat tenteram hati seluruh umat yang bertauhid. Tidak, mereka tidak berhak menguasainya. Yang berhak menguasai masjid itu ialah orang yang bertakwa kepada Allah, yang benar-benar bermaksud hendak beribadat kepada Allah. Bukan orang yang menguasai masjid hanya karena hendak bermegah-megah, padahal hatinya jauh daripadanya.
“Akan tetapi, kebanyakan mereka tidaklah-mengetahui."
Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa urusan dan penguasaan masjid, terutama Masjidil Haram, bukanlah soal menjaga kemegahan beberapa pemuka yang mendurhakai Allah. Mereka tidak tahu bahwa masjid itu tidak akan bisa dipelihara kalau bukan oleh orang yang bertakwa. Sebab, sebagaimana telah disebutkan pada ayat 29 di atas tadi, orang yang beriman adalah bertakwa kepada Allah dan memelihara segala amanat Allah maka merekalah yang akan diberi Allah al-Furqan, yaitu pembeda di antara buruk dan baik, hak dan batil. Jiwa mereka mempunyai semacam pesawat radar untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Sedang mereka tidak demikian. Mereka hanya kuasa asal menguasai. Akan tetapi, tidak dapat memelihara kekuasaan itu, menurut yang dikehendaki Allah.
Ayat 35
“Dan, tidaklah ada shalat mereka di sisi tanah suci itu, melainkan bersiul-siul dan bertepuk tangan."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas, sudah menjadi kebiasaan dari orang Quraisy itu pergi thawaf keliling Ka'bah dengan bertelanjang, baik laki-laki atau pun perempuan. Sekadarkan orang perempuan menutupi kemaluannya yang sedikit itu saja dengan jengat kambing secarik. Maka, ada yang bersiul, ada yang bertepuk tangan, sehingga sifat ibadah sudah hilang sama sekali.
Dan, pernah pula sedang Nabi Muhammad ﷺ sendiri di kala masih di Mekah itu me-ngerjakan shalat di dekat Rukun Yamani, menghadap ke utara, supaya kena Ka'bah dan jurusan Baitul Maqdis, datang saja dua orang dari Bani Sahm, seorang berdiri ke kanan beliau dan seorang ke kiri beliau, yang pertama berteriak-teriak dan yang kedua bertepuk-tepuk tangan.
Dan, ada juga di antara mereka yang thawaf sambil bertelanjang itu mengemukakan alasan, bahwa diri mesti bersih daripada kain yang kotor karena dipakai.
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diterimanya daripada Ibnu Umar, bahwa beliau menirukan perbuatan mereka itu ketika thawaf bersiul-siul; menampar-nampar pipi dan bertepuk tangan. Dan, menurut suatu riwayat pula dari Ibnu Umar, mereka lekapkan pipi mereka ke tanah, sambil bersiul dan bertepuk tangan.
Kata Mujahid, mereka berbuat demikian karena sengaja hendak mengacaukan shalat Nabi ﷺ Az-Zuhri mengatakan bahwa mereka berbuat demikian karena hendak mengejek orang-orang yang beriman.
Baik bersiul dan bertepuk tangan, atau bertelanjang laki-laki dan perempuan itu karena hendak beribadat, atau pun karena hendak mengejek dan mengacaukan Nabi Muhammad ﷺ sedang shalat, atau kedua-duanya sekali, tetapi suatu hal sudah terang, yaitu ketenteraman beribadah di rumah yang suci itu telah mereka rusakkan. Ibadah tidak lagi dilakukan dengan tenteram dan khusyu, melainkan dengan kacau-balau dan ribut. Kesucian Masjidil Haramitu telah mereka kotori dengan perbuatan-perbuatan yang hina. Dan, pemuka-pemuka mereka itu diam saja, tidak ada yang menegurnya. Dan, segala laku yang demikian di tempat suci itu adalah perbuatan yang terang kufurnya. Maka, datanglah lanjutan ayat.
“Maka, tatakanlah olehmu adzab akibat dari kekufuran kamu itu."
Ujung ayat ini telah memberitahukan dengan tegas bahwasanya perbuatan mereka itu, baik karena iktikad atau karena amalan, sudah nyata kufur. Sebab, merusakkan kesucian rumah Allah, dan memperingan-ringan syiar kebesaran agama yang wajib dijaga dan dipelihara. Dan, adzab yang telah mereka rasakan itu ialah kekalahan mereka berperang di Badar itu. Segala pemuka-pemuka yang dengan megahnya mempertahankan kebesaran mereka selama ini, tujuh puluh orang banyaknya, habis tewas di dalam Perang Badar. Ketewasan mereka itu meninggalkan kesan yang mendalam sekali dalam hati yang tinggal, sehingga Abu Lahab mati, terguncang jantungnya setelah menerima berita kekalahan di Badar itu.
Menurut Ibnul Qayyim di dalam kitab Ighatsatul Lahfan, ayat ini menunjukkan bahwa-sanya segala macam cara-cara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak menurut yang digariskan oleh Nabi sebagai yang dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf, ada yang ratib menyorak-nyorakkan dan menyebut nama Allah dengan suara keras tiada sependengaran, dan ada yang memakai seruling, genderang, rebana dan sebagainya yang menyebabkan ibadah itu menjadi heboh, samalah keadaannya dengan orang jahiliyyah sembahyang atau thawaf sambil bersiul, bertepuk tangan dan ada yang bertelanjang mengelilingi Ka'bah itu. Sampai beliau meminta perhatian kita. Adapun apabila laki-laki menjadi makmum di belakang imam, lalu imam kelupaan, tidaklah boleh laki-laki itu bertepuk tangan atau bersorak langsung menegur, hanyalah disuruh membaca tasbih, supaya suasana shalat jangan sampai berubah. Hanya perempuan yang disuruh mem-pertepukkan tangannya sedikit menegur imam yang khilaf itu karena kalau suara perempuan terdengar dalam shalat, bisa pula mengganggu suasana khusyu.
Ibnu Taimiyah, guru dari Ibnul Qayyim menerangkan pula dalam salah satu fatwanya bahwa orang yang mendakwakan diri melakukan dzikir, yaitu penganut-penganut tasawuf, dengan bernyanyi, menabuh rebana; meniup seruling dan berkumpul ramal-ramai, yang menyangka bahwa itu adalah agama, untuk mendekatkan diri dan tarikat kepada Allah, semuanya itu bukanlah dari ajaran Islam, dan tidak ada menurut syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Tidak pula dari salah seorang khalifah-khalifahnya. Dan, tidak ada pula salah seorang pun daripada imam-imam kaum Muslimin yang mengatakan baik. Bahkan tidak ada orang yang ahli dalam agama yang melakukan itu, baik di zaman Nabi, sahabat, tabi'in atau di zaman tabi' tabi'in. Tidak pula dikerjakan oleh orang yang ahli dalam agama di tiga zaman permulaan pada tiga buah negeri yang terkenal. Tidak di Hejaz, Syam, Yaman, Irak, Khurasan, Maghribi, dan tidak pula di Mesir, pendeknya tidak ada orang berkumpul-kumpul buat mengadakan dzikir semacam itu. Hal ini barulah diada-adakan orang (bid'ah) setelah lepas kurun yang tiga. Sebab, itulah maka Imam Syafi'i berkata, “Ketika saya meninggalkan Baghdad, saya lihat satu perbuatan orang-orang yang tergelincir dari Islam, yang mereka namai majelis dzikir yang sangat menghambat menghalangi orang untuk membaca Al-Qur'an."
Ketika ditanyai orang Imam Ahmad tentang itu, beliau jawab bahwa beliau sangat benci melihatnya. Dan, ketika ditanyai apakah beliau suka hadir dalam majelis itu. Tegas beliau jawab, “Saya tidak mau hadir!"
Demikian juga syekh-syekh dan ulama yang jadi ikutan, tidak seorang jua pun yang menyukainya.
Ibrahim bin Adam, tidak menghadirinya, begitu pula Fudhail bin lyadh, Ma'ruf al-Karakhi, Abu Sulaiman ad-Daraani, Ahmad bin Abil Hawari, as-Sirri, as-Saqthi dan yang lain-lain yang seumpama mereka, tidak ada yang menghadiri majelis yang semacam itu.
Syekh-syekh yang terpuji, yang pada mulanya menghadiri majelis semacam itu, akhirnya insaf lalu tarik diri.
Akhirnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang-orang yang benar-benar pengalamannya dalam soal-soal latihan keruhanian dan mengerti hakikat agama dan hal-ihwal hati, telah mendapat kesimpulan bahwa cara-cara demikian tidaklah ada manfaatnya bagi hati, melainkan lebih banyak mudharatnya. Bahayanya bagi jiwa sama dengan bahaya minuman keras bagi tubuh.
Sekian kita salin beberapa perbandingan dari Ibnu Taimiyah, tentang dzikir ribut-ribut yang dilakukan orang-orang sufi, menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah di Ka'bah itu.
Tarikat Maulawiyah, yang diambil dari ajaran Maulana Jalaluddin Rumi melakukan dzikir dengan mengadakan tarian, sampai bergelimpangan pingsan. Tarikat Rifa'iyah mengadakan dabbus, yaitu mengadakan dzikir sampai tidak tahu diri lagi lalu menelan api, menggunting lidah, atau membelitkan rantai besi yang habis dipanaskan sampai merah ke seluruh tubuh. Sehingga apabila upacara itu mereka lakukan, tidak ada ubahnya lagi dengan orang Cina berjalan di atas unggunan api di hadapan kelenteng dan Taopekong. Atau orang Hindu Bali, menikamkan keris kepada dadanya tidak tembus. Karena menurut pendapat mereka, apabila seseorang telah dapat menfanakan dirinya ke dalam Zat Allah maka alam ini tidaklah lagi memberi bekas. Sehingga dari tarikat pada mulanya, dengan tidak disadari telah berubah menjadi sihir. Yang bukan saja bid'ah dalam agama bahkan lebih dari itu, yaitu berangsur-angsur sedikit demi sedikit keluar dari Islam.
Dari ayat yang kita tafsirkan ini dapatlah kita pahamkan apa tujuan perang Rasulullah ﷺ Beliau telah menuju satu tujuan, yaitu beribadah kepada Allah dan menegakkan ajaran Islam, atau agama hanif, pusaka
Ibrahim. Lambang kesatuan ibadah itu ialah Masjidil Haram dengan Ka'bahnya. Akan tetapi, dia telah dikotori dengan penyembahan kepada berhala. Penyembah berhalalah yang menguasai tempat suci itu. Tatkala di Mekah telah beliau coba melakukan ibadah yang bersih daripada kemusyrikan, tetapi dihalangi, dirintangi dan nyaris dibunuh. Sebab itu, beliau dan segala orang yang beriman, kecuali yang lemah, telah hijrah. Hijrah pertama dua kali ke Habsyi dilakukan oleh sahabat-sahabat dengan izin beliau, kemudian beliau sendiri yang hijrah ke Yatsrib. Akan tetapi, niat beliau tidaklah dilepaskan, yaitu satu waktu akan membebaskan juga masjid yang suci itu daripada penguasaan penyembah-penyembah berhala.
Di tahun keenam beliau coba mengerjakan umrah, tetapi dihalangi oleh penguasa Mekah di Hudaibiyah, lalu diperbuat perdamaian Hudaibiyah yang terkenal. Dalam perjanjian itu beliau perjuangkan agar mulai tahun depan kaum Muslimin diberi kebebasan mengerjakan umrah dan haji menurut keyakinan agama mereka ke Masjidil Haram. Lalu, terdapat persetujuan dan perdamaian selama sepuluh tahun. Akan tetapi, kaum Quraisy sendirilah yang melanggar janji itu, ketika mereka memberikan bantuan kepada kabilah yang bersekutu dengan mereka, memerangi kabilah yang bersekutu dengan Nabi ﷺ Kemung-kiran pihak Quraisy kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Rasul ﷺ menaklukkan Mekah pada tahun kedelapan, setelah beliau mengerjakan umratul Qadha' pada tahun ketujuh.
Maka, pada penaklukan Mekah di tahun kedelapan itulah beliau runtuhkan sekalian berhala yang disandarkan pada Ka'bah itu dan dibersihkan Masjidil Haram dari segala macam kemusyrikan. Pada tahun kesembilan beliau sendiri tidak naik haji, tetapi beliau perintahkan Abu Bakar menjadi amirul haj dan beliau suruh Ali bin Abi Thalib menyusul
buat menyampaikan perintah baru dan membacakan surah Bara-ah, bahwa sejak tahun itu tidak seorang juga kaum musyrikin diberi izin lagi masuk ke dalam Masjidil Haram, artinya Tanah Arab seluruhnya telah bersih dari penyembahan berhala. Thawaf telanjang, thawaf bertepuk dan bersorak-sorak mulai scat itu sudah dilarang. Dan, akhirriya, pada tahun kesepuluh beliau sendiri yang naik haji, memimpin pasukan-pasukan Islam yang besar itu lalu mengucapkan pidato selamat berpisah (khutbah M/ado') yang terkenal, dan dua bulan setelah beliau kembali dari mengerjakan haji yang penghabisan itu, beliau pun meninggal dunia.
Maka, membersihkan Masjidil Haram dari berhala dan dari penguasaan penguasanya yang musyrik itu, adalah tujuan utama sebelum futuh (penaklukan) Mekah. Setelah Mekah takluk, jadi satulah dia dengan Madinah. Pusat pemerintahan dan tempat kedudukan beliau, tetap di Madinah, tetapi pusat peribadahan kaum Muslimin seluruh dunia sampai Hari Kiamat, tetaplah Mekah. Dan, sejak penaklukan Mekah itu, kata hijrah tidak ada lagi sebab Mekah dan Madinah telah ada dalam satu pimpinan. Pimpinan takwa kepada Allah ﷻ sebagai yang beliau kehendaki.