Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
قَالُواْ
mereka berkata
ٱللَّهُمَّ
ya Allah
إِن
jika
كَانَ
adalah
هَٰذَا
ini
هُوَ
dia
ٱلۡحَقَّ
benar
مِنۡ
dari
عِندِكَ
sisi Engkau
فَأَمۡطِرۡ
maka hujanilah
عَلَيۡنَا
atas kami
حِجَارَةٗ
batu
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
أَوِ
atau
ٱئۡتِنَا
datangkan kepada kami
بِعَذَابٍ
dengan azab
أَلِيمٖ
sangat pedih
وَإِذۡ
dan ketika
قَالُواْ
mereka berkata
ٱللَّهُمَّ
ya Allah
إِن
jika
كَانَ
adalah
هَٰذَا
ini
هُوَ
dia
ٱلۡحَقَّ
benar
مِنۡ
dari
عِندِكَ
sisi Engkau
فَأَمۡطِرۡ
maka hujanilah
عَلَيۡنَا
atas kami
حِجَارَةٗ
batu
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
أَوِ
atau
ٱئۡتِنَا
datangkan kepada kami
بِعَذَابٍ
dengan azab
أَلِيمٖ
sangat pedih
Terjemahan
(Ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini adalah kebenaran dari sisi-Mu, hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang sangat pedih.”
Tafsir
(Dan ingatlah ketika mereka/orang-orang musyrik berkata, "Ya Allah! Jika betul hal ini) yaitu Al-Qur'an yang dibacakan oleh Muhammad (dialah yang benar) diturunkan (dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.") siksaan yang menyakitkan sekali sebagai pembalasan atas ingkar kami terhadapnya. Perkataan ini diucapkan oleh Nadhr dan lain-lainnya sebagai penghinaan dengan maksud untuk memberikan gambaran kepada orang lain seakan-akan ia benar-benar mengetahui akan kebatilan Al-Qur'an. Allah ﷻ telah berfirman:.
Tafsir Surat Al-Anfal: 31-33
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata, "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini). Kalau kami mau, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini pula. (Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang purbakala.
Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, "Ya Allah jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.
Ayat 31
Allah ﷻ menceritakan perihal kekufuran orang-orang Quraisy, kesombongan mereka, pembangkangan mereka, keingkaran mereka, dan seruan mereka kepada kebatilan di saat mendengar ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, sehingga disebutkan di dalam firman-Nya bahwa mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami mau, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini pula.” (Al-Anfal: 31)
Demikianlah perkataan mereka yang hanya sekadar perkataan tanpa kenyataan. Karena kalau tidak demikian pengertiannya, niscayalah mereka menantangnya bukan hanya sekali untuk mendatangkan hal yang serupa dengan Al-Qur'an, tetapi mereka tidak menemukan jalan untuk melakukan hal itu. Sesungguhnya ucapan mereka ini hanyalah merupakan pembesar hati mereka sendiri dan untuk memberikan semangat kepada para pengikutnya dalam kebatilan mereka.
Menurut suatu pendapat, orang yang mengatakan demikian adalah An-Nadr ibnul Haris. seperti apa yang telah di-nas-kan oleh riwayat Sa'id ibnu Jubair, As-Suddi, Ibnu Juraij, dan lain-lainnya. Karena sungguh dia telah mengadakan perjalanan menuju negeri Persia. Lalu dia mempelajari kisah raja-raja mereka dari Rustum dan Isfindiyar. Ketika ia kembali, ia menjumpai Rasulullah ﷺ telah diangkat menjadi rasul oleh Allah ﷻ, sedang membacakan Al-Qur'an kepada semua orang.
Dan tersebutlah bahwa apabila Rasulullah ﷺ meninggalkan suatu majelis, maka An-Nadr ibnul Haris duduk di majelis itu, kemudian ia menceritakan kepada mereka berita tentang raja-raja Persia. Seusai itu ia berkata, "Siapakah yang lebih baik kisahnya, aku ataukah Muhammad?" Karena itulah ketika Allah menguasakan dirinya ke tangan pasukan kaum muslim dalam perang Badar dan ia menjadi tawanan perang, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kepalanya dipenggal di hadapan beliau dalam keadaan hidup-hidup, lalu mereka melaksanakan perintah ini.
Orang yang menangkapnya adalah Al-Miqdad ibnul Aswad , seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ dalam Perang Badar telah membunuh Uqbah ibnu Abu Mu'it, Tu'aimah ibnu Addi, dan An-Nadr ibnul Haris dalam keadaan tak berdaya. Tersebutlah bahwa Al-Miqdad adalah orang yang menangkap An-Nadr.
Ketika ia diperintahkan untuk membunuhnya, Al-Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, dia adalah tawananku." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya dia telah berani berbuat kurang ajar terhadap Kitabullah." Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan agar An-Nadr dihukum mati. Al-Miqdad kembali berkata, "Wahai Rasulullah, dia adalah tawananku." Maka Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, berilah kecukupan kepada Al-Miqdad dari karunia-Mu.” Maka Al-Miqdad berkata, "Itulah yang saya kehendaki." Perawi mengatakan, sehubungan dengan peristiwa ini Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini); kalau kami mau, niscaya kami dapat membacakan yang serupa ini. (Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang purbakala’.” (Al-Anfal: 31)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Abu Dahiyyah, dari Sa'id ibnu Jubair, hanya Hasyim menyebutkan Al-Mut'im ibnu Addi sebagai pengganti dari Tu'aimah. Tetapi hal ini keliru, mengingat Al-Mut'im ibnu Addi sudah mati sebelum Perang Badar. Karena itu, seusai Perang Badar Rasulullah ﷺ bersabda, "Seandainya Al-Mut'im ibnu Addi masih hidup, lalu ia meminta kepadaku untuk membebaskan tawanan-tawanan itu, niscaya aku akan menyerahkan mereka kepadanya." Rasulullah ﷺ mengatakan demikian karena Al-Mut'im ibnu Addi pernah menjamin keselamatan diri Rasulullah ﷺ pada hari beliau kembali dari Taif.
Firman Allah ﷻ: “Dongeng orang-orang purbakala.” (Al-Anfal: 31) Asatir adalah bentuk jamak dari usturah, yakni diambil dari kitab-kitab orang-orang terdahulu, lalu ia kutip. Dia mempelajarinya, lalu menceritakannya kepada orang-orang. Tuduhan seperti ini adalah bohong besar.
Tuduhan tersebut diungkapkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain yang menceritakan perihal mereka, yaitu melalui firman-Nya: “Dan mereka berkata, ‘dongeng orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.’ Katakanlah, ‘Al-Qur'an itu diturunkan oleh (Allah) Yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi.’ Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan: 5-6)
Artinya, sesungguhnya Dia menerima tobat dan memaafkan orang yang bertobat kepada-Nya dan kembali taat kepada-Nya.
Ayat 32
Firman Allah ﷻ: “Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih’." (Al-Anfal: 32)
Hal ini menunjukkan kebodohan mereka yang terlalu parah dan kerasnya mereka dalam mendustakan Al-Qur'an; mereka sombong dan ingkar kepada Al-Qur'an.
Ungkapan tersebut justru berbalik membuat keaiban bagi diri mereka sendiri. Seharusnya hal yang lebih utama bagi mereka ialah hendaknya mereka mengatakan, "Ya Allah, jika Al-Qur'an ini benar dari sisi Engkau, maka berilah kami petunjuk kepadanya dan berilah kami kekuatan untuk mengikuti ajaran-ajarannya." Akan tetapi, mereka meminta keputusan yang berakibat membinasakan diri mereka sendiri, dan mereka meminta untuk segera diturunkan azab dan siksaan.
Hal ini dikisahkan oleh Allah dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
“Dan mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. Kalau tidaklah karena waktu yang telah ditetapkan, benar-benar telah datang azab kepada mereka, dan azab itu benar-benar akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (Al-Ankabut: 53)
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, segerakanlah untuk kami azab yang diperuntukkan pada kami sebelum hari perhitungan’." (Shad: 16)
“Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.” (Al-Ma'arij: 1-3)
Hal yang sama dikatakan pula oleh orang-orang yang bodoh dari kalangan umat terdahulu, seperti kaum Nabi Syu'aib yang mengatakan kepadanya, disitir oleh firman Allah ﷻ: “Maka jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit, jika memang kamu orang yang benar.” (Asy-Syu'ara: 187)
Sedangkan dalam ayat ini disebutkan: “Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (Al-Anfal: 32)
Syu'bah telah meriwayatkan dari Abdul Hamid (murid Az-Ziyadi), dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Jahal ibnu Hisyamlah yang mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (Al-Anfal: 32)
Ayat 33
Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari, dari Ahmad dan Muhammad ibnun Nadr, keduanya dari Ubaid illah ibnu Mu'az, dari ayahnya, dari Syu'bah dengan sanad yang sama. Ahmad yang disebutkan dalam sanad ini adalah Ahmad ibnun Nadr ibnu Abdul Wahhab. Demikianlah menurut Al-Hakim Abu Ahmad dan Al-Hakim Abu Ubaidillah An-Naisaburi.
Al-Ahmasy telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih’." (Al-Anfal: 32) Menurutnya orang yang mengatakan demikian adalah An-Nadr ibnul Haris ibnu Kaidah.
Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, sehubungan dengan hal ini Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.” (Al-Ma'arij: 1-2)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Suddi, bahwa sesungguhnya dia adalah An-Nadr ibnul Haris.
Menurut riwayat ‘Atha’ ditambahkan firman Allah ﷻ:
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, segerakanlah untuk kami azab yang diperuntukkan untuk kami sebelum hari perhitungan’.” (Shad: 16)
“Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya.” (Al-An'am: 94)
“Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir.” (Al-Ma'arij: 1-2)
‘Atha’ mengatakan, sesungguhnya Allah ﷻ telah menurunkan belasan ayat sehubungan dengan hal ini.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnul Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepada kami Abu Namilah, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa dalam Perang Uhud ia melihat Amr ibnul As berdiri di atas kuda kendaraannya seraya berkata, "Ya Allah, jika Al-Qur'an yang dikatakan oleh Muhammad adalah benar, maka benamkanlah diriku dan kudaku ini ke tanah."
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau.” (Al-Anfal: 32), hingga akhir ayat. Bahwa yang mengatakan demikian adalah orang-orang yang bodoh dan yang kurang akalnya dari kalangan umat ini.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah Musa ibnu Mas'ud, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Abu Zamil Sammak Al-Hanafi, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik bertawaf di Baitullah seraya mengatakan, "Kami penuhi panggilan-Mu, ya Allah.
Kami penuhi panggilan-Mu, kami penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Ya, ya." Mereka mengatakan pula, "Kami penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Kami penuhi panggilan-Mu, kami penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang menjadi milik-Mu. Engkau memilikinya, sedangkan dia tidak memiliki." Lalu mengatakan pula, "Ampunan-Mu, ampunan-Mu." Maka Alah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan engkau berada di antara mereka.” (Al-Anfal: 33), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa di kalangan mereka (orang-orang musyrik Mekah) terdapat dua keamanan yang menyelamatkan mereka dari azab Allah, yaitu diri Nabi ﷺ dan permohonan ampun mereka. Setelah Nabi ﷺ tiada, maka yang tertinggal hanyalah permohonan ampun (istigfar).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Haris telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar-dari Yazid ibnu Ruman dan Muhammad ibnu Qais; keduanya mengatakan bahwa sebagian orang-orang Quraisy berkata kepada sebagian lainnya, "Muhammad telah dimuliakan oleh Allah di antara kita. Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini memang benar dari sisi Engkau. (Al-Anfal: 32), hingga akhir ayat.
Ketika sore hari mereka menyesali apa yang telah mereka katakan seraya mengatakan, "Ampunan-Mu ya Allah." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya; “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka.” (Al-Anfal: 33) sampai dengan firman-Nya: “Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-Anfal: 34)
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka.” (Al-Anfal: 33) Allah tidak akan menurunkan azabnya kepada suatu kaum, sedangkan nabi-nabi mereka berada di antara mereka, hingga Allah mengeluarkan nabi-nabi itu dari kalangan mereka.
Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al Anfal: 33) Maksudnya, di kalangan mereka terdapat orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah termasuk golongan orang-orang yang beriman, lalu mereka meminta ampun. Yang dimaksud dengan istigfar ialah shalat, dan yang dimaksudkan dengan mereka adalah penduduk Mekah.
Hal yang serupa telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Ikrimah, Atiyyah Al-Aufi, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Suddi, Adh-Dhahhak dan Abu Malik mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Yakni kaum mukmin yang masih berada di Mekah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Gaffar ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Addi, bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi umat ini dua keamanan, karenanya mereka terus-menerus dalam keadaan terpelihara dan terlindungi dari azab selagi dua keamanan itu ada di kalangan mereka. Salah satu di antaranya telah dicabut oleh Allah ﷻ, sedangkan yang lainnya masih tetap ada di antara mereka."
Allah ﷻ telah berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Abu Saleh Abdul Gaffar mengatakan, telah menceritakan kepadaku salah seorang teman kami, bahwa An-Nadr ibnu Addi pernah menceritakan hadits ini kepadanya, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas. Hal yang serupa telah diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih dan Ibnu Jarir melalui Abu Musa Al-Asy'ari. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah dan Abul Ala An-Nahwi Al-Muqri.
Imam At-Tirmidzi mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Ismail ibnu Ibrahim ibnu Muhajir, dari Abbad ibnu Yusuf, dari Abu Burdah ibnu Abu Musa, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda, "Allah menurunkan dua keamanan bagi umatku," yaitu disebutkan dalam firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33) Selanjutnya Nabi ﷺ bersabda, "Apabila aku telah tiada, maka aku tinggalkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah) di kalangan mereka sampai hari kiamat."
Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abdullah ibnu Wahb: Telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya setan berkata, ‘Demi keagungan-Mu, wahai Tuhanku, aku senantiasa akan menyesatkan hamba-hamba-Mu selagi roh masih berada di kandung badan mereka.’ Maka Tuhan berfirman, ‘Demi Keagungan dan Kemuliaan-Ku Aku senantiasa memberikan ampun kepada mereka selama mereka memohon ampun kepada-Ku’."
Imam Hakim berkata bahwa hadits ini sanadnya shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Umar, telah menceritakan pula kepada kami Rasyid (yaitu Ibnu Sa'd), telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Sa'd At-Tajibi, dari seseorang yang menceritakannya kepada dia, dari Fudalah ibnu Ubaid, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Seorang hamba dalam keadaan aman dari azab Allah selagi ia masih memohon ampun kepada Allah ﷻ.”
Mereka bukan hanya melecehkan Rasulullah dan Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, tetapi juga menantang Allah. Dan ingatlah wahai Nabi Muhammad, ketika mereka, yakni orang-orang musyrik berkata guna mengelabui orang lain seakan-akan apa yang mereka ucapkan tentang Al-Qur'an memang benar dan sesuai keyakinan mereka, Ya Allah, jika Al-Qur'an yang dibawa oleh Muhammad ini benar wahyu dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu-batu yang benar-benar turun, atau batu-batu sebanyak hujan dari langit, atau kalau siksa itu bukan berupa batu, maka datangkanlah kepada kami azab yang pedihTetapi permohonan mereka yang bersifat menantang itu, tidak segera dikabulkan oleh Allah, sebab dengan hikmah-Nya Allah sekalikali tidak akan menghukum mereka sekarang dengan siksa duniawi yang berat dan memusnahkan, selama engkau Nabi Muhammad berada di antara mereka dengan harapan mereka menyambut seruanmu itu. Dan sekali-kali tidaklah pula Allah akan menghukum mereka secara mantap dan langgeng di masa yang akan datang, sedang mereka masih memohon ampunan, menyadari dan meninggalkan kekeliruan mereka.
Allah mengingatkan kepada orang-orang mukmin tentang suatu peristiwa, di mana orang-orang kafir Quraisy menentang Nabi Muhammad bahwa apabila benar Al-Qur'an yang disebarluaskan oleh Muhammad itu betul-betul diturunkan dari Allah, seperti dikatakan oleh Nabi dan dijadikan dasar agamanya, maka orang-orang Quraisy meminta kepada Allah agar diberikan bukti, sebagai penguat perkataannya itu. Mereka minta agar diturunkan hujan batu dari langit atau diberi siksaan yang pedih kepada mereka.
Di dalam ayat ini terdapat satu isyarat, sebenarnya orang-orang kafir Quraisy tidak akan mau menjadi pengikut Nabi Muhammad, meskipun apa yang dikatakan Muhammad itu benar-benar ayat-ayat yang diturunkan dari Allah. Hal ini membuktikan bahwa mereka lebih menyukai kehancuran dari pada beriman kepada Muhammad. Mereka meminta kepada Allah agar dihujani batu dari langit atau disiksa dengan siksaan yang pedih.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 32
“Dan, ingatlah. “ Yaitu sebagai peringatan lagi daripada Allah kepada Rasul ﷺ ‘Tatkala mereka berkata: Ya Tuhan! Jika inilah dia kebenaran itu dari sisi Engkau maka hujankanlah atas kami batu-batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami siksaan yang pedih."
Riwayat-riwayat menerangkan bahwa yang sampai berkata begini pada mulanya, ialah Abu Jahal sendiri. Riwayat lain mengatakan bahwa pada mulanya yang .berkata begini ialah an-Nadhr bin al-Harits ahli cerita-cerita dongeng kung yang gagal dalam usahanya menandingi Al-Qur'an itu. Maka, perasaan mereka ini mereka nyatakan pula kepada teman-temannya yang lain, yang sama sepaham menentang Muhammad. Tegasnya, walaupun apa yang dikatakan oleh Muhammad itu adalah
“Dan tidaklah Allah menyiksa mereka, padahal mereka memohon ampun."
Artinya, kalau masih ada dalam negeri itu orang yang memohon ampun atas kesalahannya, adzab belum lagi akan diturunkan dan kehancuran belum lagi akan dilaksanakan Allah. Sebab, kasih sayang adalah sifat yang utama bagi Allah dan menyiksa hanyalah karena sudah sangat terpaksa. Maka, kalau orang-rang yang memohon ampun masih ada, adzab siksaan pun belum akan diturunkan. Maka, tersebutlah dalam setengah tafsir bahwa setelah Rasulullah ﷺ hijrah bersama dengan kaum Muhajirin yang lain, masih banyak tinggal di negeri Mekah itu orang-orang yang telah Islam, tetapi mereka lemah, miskin, melarat, tidak ada daya upaya buat pindah. Mereka pun selalu bershalat dan beribadah dan memohon ampun dengan sembunyi-sembunyi. Demi kasih cinta Allah kepada Muslimin yang lemah ini, siksaan tidak diturunkan Allah waktu itu walaupun Abu Jabal dan orang-orang yang semacam itu telah demikian lancang menentang Allah. Ada sebab atau faktor lain yang menyebabkan tantangan mereka itu tidak disambut Allah di waktu itu.
Namun, setelah selesai Rasulullah dan orang-orang yang beriman pindah meninggalkan negeri itu, barulah apa yang mereka tantangkan itu terjadi. Terjadilah Peperangan Badar. Mereka terimalah pada waktu itu siksaan yang mereka minta, bukan berupa hujan batu, tetapi kekalahan perang 1.000 orang berhadapan dengan 300 orang. Kekalahan yang lebih sakit daripada hujan batu.
Ayat 34
“Dan, mengapa mereka tidak (patut) disiksa oleh Allah, padahal mereka menghambat orang dari Masjidil Haram, sedang mereka bukanlah pengutusnya."
Masjidil Haram dengan Ka'bahnya, adalah rumah tempat beribadat kepada Allah Yang benar, tetapi mereka tidak akan tunduk. Kalau mereka hendak dihukum Allah karena menentang kebenaran itu, mereka bersedia menerimanya. Biar sekarang juga turun hujan batu menimpa mereka, mereka bersedia, asal mereka tidak melepaskan pegangan mereka yang lama. Kalau hujan batu atau adzab yang lain itu mau jatuh, jatuhlah sekarang!
Sebagaimana telah kita pahamkan dari ayat-ayat yang lain yang terdahulu, ayat ini dalam rangka surah al-Anfaal turun di Madinah juga. Rasulullah disuruh mengingatnya kembali, untuk beliau kenangkan apa percakapan mereka terhadap seruannya ketika dia masih di Mekah. Sampai mereka bersedia dihujani dengan batu, atau adzab lain, tetapi mereka tidak hendak menerima. Lalu, Allah berfirman, apa sebab maka tantangan mereka yang begitu kasar tidak diperlakukan Allah. Bukan karena tidak sanggup Allah mengadzab mereka di kala itu;
Ayat 33
“Dan, tidaklah Allah akan menyiksa mereka, selama engkau ada pada mereka."
Bukan Allah tidak sanggup menyelenggarakan tantangan mereka yang sangat menunjukkan kafir itu. Melainkan Allah tidak menyiksa mereka ketika mereka menentang itu, ialah karena Nabi Muhammad ﷺ masih berada di negeri itu. Bukanlah karena Allah segan kepada mereka, melainkan Allah menjunjung tinggi kemuliaan Rasul-Nya sendiri. Rasul masih bekerja menyampaikan dakwah dan tablighnya. Maksud Allah yang pertama bukanlah langsung saja mengadzab dan menyiksa mereka, tetapi terlebih dahulu menyadarkan mereka. Sedang Rasul bukan tidak berusaha. Demikian pula, kalau Allah telah hendak menyiksa suatu kaum, sebagaimana terjadi pada nabi-nabi yang dahulu, Allah terlebih dahulu memberi wahyu kepada Rasul itu supaya segera keluar dari negeri itu. Kemudian datang lanjutan ayat,
Maha Esa yang didirikan oleh Nabi Ibrahim. Akan tetapi, mereka, kaum Quraisy telah men-jadikan rumah yang mulia itu tempat menyembah berhala. Dan, mereka mencoba menguasainya. Setelah Rasulullah ﷺ diutus Allah, tujuan utama beliau ialah membersihkan rumah itu daripada tempat penyembahan berhala. Dan, beliau sendiri sebelum hijrah telah mencoba mengerjakan shalat menghadap Allah menurut yang diwahyukan Allah.
Namun, mereka halangi, bahkan pernah mereka sungkut diri beliau sedang sujud dengan kotoran unta dan kulitnya, sehingga kalau tidaklah datang anak perempuan beliau, Fatimah, melepaskan ayahnya dan menghindarkan kotoran itu, akan lemaslah beliau karena tersungkut. Dan, ini pun mereka lakukan juga kepada yang lain. Setelah itu mereka pun hijrah ke Madinah. Sampai di Madinah bagaimana pun orang-orang yang telah hijrah itu berusaha hendak pergi beribadah dan thawaf di Masjidil Haram yang mulia itu, tidaklah akan dapat masuk ke dalam. Mereka akan dibunuh dan disiksa, kecuali kalau ada perlindungan mereka dari orang Mekah sendiri. Mereka mengatakan bahwa kamilah yang berkuasa atas Masjidil Haram ini. Kamu Muhammad dan pengikutmu kami larang masuk kemari. Apa hak mereka melarang orang beribadah? Kata mereka, merekalah yang menguasai masjid itu, padahal bukan mereka yang berkuasa, “Tidaklah ada penguasa-pqnguasanya, melainkan orang-orang yang bertakwa." Orang-orang sebagai Abu Jahal, Abu Lahab, dan pemuka-pemilka Quraisy yang lain itu mendakwakan diri penguasa Masjidil Haram, padahal mereka orang musyrik, pemakan riba, menghisap darah dan mencampuraduk persembahan kepada Allah dengan persembahan kepada berhala. Adakah orang semacam itu yang berhak menguasai masjid? Padahal Masjidil Haram itu, sejak zaman purbakala, sejak Nabi Ibrahim, adalah tempat tenteram hati seluruh umat yang bertauhid. Tidak, mereka tidak berhak menguasainya. Yang berhak menguasai masjid itu ialah orang yang bertakwa kepada Allah, yang benar-benar bermaksud hendak beribadat kepada Allah. Bukan orang yang menguasai masjid hanya karena hendak bermegah-megah, padahal hatinya jauh daripadanya.
“Akan tetapi, kebanyakan mereka tidaklah-mengetahui."
Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa urusan dan penguasaan masjid, terutama Masjidil Haram, bukanlah soal menjaga kemegahan beberapa pemuka yang mendurhakai Allah. Mereka tidak tahu bahwa masjid itu tidak akan bisa dipelihara kalau bukan oleh orang yang bertakwa. Sebab, sebagaimana telah disebutkan pada ayat 29 di atas tadi, orang yang beriman adalah bertakwa kepada Allah dan memelihara segala amanat Allah maka merekalah yang akan diberi Allah al-Furqan, yaitu pembeda di antara buruk dan baik, hak dan batil. Jiwa mereka mempunyai semacam pesawat radar untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Sedang mereka tidak demikian. Mereka hanya kuasa asal menguasai. Akan tetapi, tidak dapat memelihara kekuasaan itu, menurut yang dikehendaki Allah.
Ayat 35
“Dan, tidaklah ada shalat mereka di sisi tanah suci itu, melainkan bersiul-siul dan bertepuk tangan."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas, sudah menjadi kebiasaan dari orang Quraisy itu pergi thawaf keliling Ka'bah dengan bertelanjang, baik laki-laki atau pun perempuan. Sekadarkan orang perempuan menutupi kemaluannya yang sedikit itu saja dengan jengat kambing secarik. Maka, ada yang bersiul, ada yang bertepuk tangan, sehingga sifat ibadah sudah hilang sama sekali.
Dan, pernah pula sedang Nabi Muhammad ﷺ sendiri di kala masih di Mekah itu me-ngerjakan shalat di dekat Rukun Yamani, menghadap ke utara, supaya kena Ka'bah dan jurusan Baitul Maqdis, datang saja dua orang dari Bani Sahm, seorang berdiri ke kanan beliau dan seorang ke kiri beliau, yang pertama berteriak-teriak dan yang kedua bertepuk-tepuk tangan.
Dan, ada juga di antara mereka yang thawaf sambil bertelanjang itu mengemukakan alasan, bahwa diri mesti bersih daripada kain yang kotor karena dipakai.
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diterimanya daripada Ibnu Umar, bahwa beliau menirukan perbuatan mereka itu ketika thawaf bersiul-siul; menampar-nampar pipi dan bertepuk tangan. Dan, menurut suatu riwayat pula dari Ibnu Umar, mereka lekapkan pipi mereka ke tanah, sambil bersiul dan bertepuk tangan.
Kata Mujahid, mereka berbuat demikian karena sengaja hendak mengacaukan shalat Nabi ﷺ Az-Zuhri mengatakan bahwa mereka berbuat demikian karena hendak mengejek orang-orang yang beriman.
Baik bersiul dan bertepuk tangan, atau bertelanjang laki-laki dan perempuan itu karena hendak beribadat, atau pun karena hendak mengejek dan mengacaukan Nabi Muhammad ﷺ sedang shalat, atau kedua-duanya sekali, tetapi suatu hal sudah terang, yaitu ketenteraman beribadah di rumah yang suci itu telah mereka rusakkan. Ibadah tidak lagi dilakukan dengan tenteram dan khusyu, melainkan dengan kacau-balau dan ribut. Kesucian Masjidil Haramitu telah mereka kotori dengan perbuatan-perbuatan yang hina. Dan, pemuka-pemuka mereka itu diam saja, tidak ada yang menegurnya. Dan, segala laku yang demikian di tempat suci itu adalah perbuatan yang terang kufurnya. Maka, datanglah lanjutan ayat.
“Maka, tatakanlah olehmu adzab akibat dari kekufuran kamu itu."
Ujung ayat ini telah memberitahukan dengan tegas bahwasanya perbuatan mereka itu, baik karena iktikad atau karena amalan, sudah nyata kufur. Sebab, merusakkan kesucian rumah Allah, dan memperingan-ringan syiar kebesaran agama yang wajib dijaga dan dipelihara. Dan, adzab yang telah mereka rasakan itu ialah kekalahan mereka berperang di Badar itu. Segala pemuka-pemuka yang dengan megahnya mempertahankan kebesaran mereka selama ini, tujuh puluh orang banyaknya, habis tewas di dalam Perang Badar. Ketewasan mereka itu meninggalkan kesan yang mendalam sekali dalam hati yang tinggal, sehingga Abu Lahab mati, terguncang jantungnya setelah menerima berita kekalahan di Badar itu.
Menurut Ibnul Qayyim di dalam kitab Ighatsatul Lahfan, ayat ini menunjukkan bahwa-sanya segala macam cara-cara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak menurut yang digariskan oleh Nabi sebagai yang dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf, ada yang ratib menyorak-nyorakkan dan menyebut nama Allah dengan suara keras tiada sependengaran, dan ada yang memakai seruling, genderang, rebana dan sebagainya yang menyebabkan ibadah itu menjadi heboh, samalah keadaannya dengan orang jahiliyyah sembahyang atau thawaf sambil bersiul, bertepuk tangan dan ada yang bertelanjang mengelilingi Ka'bah itu. Sampai beliau meminta perhatian kita. Adapun apabila laki-laki menjadi makmum di belakang imam, lalu imam kelupaan, tidaklah boleh laki-laki itu bertepuk tangan atau bersorak langsung menegur, hanyalah disuruh membaca tasbih, supaya suasana shalat jangan sampai berubah. Hanya perempuan yang disuruh mem-pertepukkan tangannya sedikit menegur imam yang khilaf itu karena kalau suara perempuan terdengar dalam shalat, bisa pula mengganggu suasana khusyu.
Ibnu Taimiyah, guru dari Ibnul Qayyim menerangkan pula dalam salah satu fatwanya bahwa orang yang mendakwakan diri melakukan dzikir, yaitu penganut-penganut tasawuf, dengan bernyanyi, menabuh rebana; meniup seruling dan berkumpul ramal-ramai, yang menyangka bahwa itu adalah agama, untuk mendekatkan diri dan tarikat kepada Allah, semuanya itu bukanlah dari ajaran Islam, dan tidak ada menurut syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Tidak pula dari salah seorang khalifah-khalifahnya. Dan, tidak ada pula salah seorang pun daripada imam-imam kaum Muslimin yang mengatakan baik. Bahkan tidak ada orang yang ahli dalam agama yang melakukan itu, baik di zaman Nabi, sahabat, tabi'in atau di zaman tabi' tabi'in. Tidak pula dikerjakan oleh orang yang ahli dalam agama di tiga zaman permulaan pada tiga buah negeri yang terkenal. Tidak di Hejaz, Syam, Yaman, Irak, Khurasan, Maghribi, dan tidak pula di Mesir, pendeknya tidak ada orang berkumpul-kumpul buat mengadakan dzikir semacam itu. Hal ini barulah diada-adakan orang (bid'ah) setelah lepas kurun yang tiga. Sebab, itulah maka Imam Syafi'i berkata, “Ketika saya meninggalkan Baghdad, saya lihat satu perbuatan orang-orang yang tergelincir dari Islam, yang mereka namai majelis dzikir yang sangat menghambat menghalangi orang untuk membaca Al-Qur'an."
Ketika ditanyai orang Imam Ahmad tentang itu, beliau jawab bahwa beliau sangat benci melihatnya. Dan, ketika ditanyai apakah beliau suka hadir dalam majelis itu. Tegas beliau jawab, “Saya tidak mau hadir!"
Demikian juga syekh-syekh dan ulama yang jadi ikutan, tidak seorang jua pun yang menyukainya.
Ibrahim bin Adam, tidak menghadirinya, begitu pula Fudhail bin lyadh, Ma'ruf al-Karakhi, Abu Sulaiman ad-Daraani, Ahmad bin Abil Hawari, as-Sirri, as-Saqthi dan yang lain-lain yang seumpama mereka, tidak ada yang menghadiri majelis yang semacam itu.
Syekh-syekh yang terpuji, yang pada mulanya menghadiri majelis semacam itu, akhirnya insaf lalu tarik diri.
Akhirnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang-orang yang benar-benar pengalamannya dalam soal-soal latihan keruhanian dan mengerti hakikat agama dan hal-ihwal hati, telah mendapat kesimpulan bahwa cara-cara demikian tidaklah ada manfaatnya bagi hati, melainkan lebih banyak mudharatnya. Bahayanya bagi jiwa sama dengan bahaya minuman keras bagi tubuh.
Sekian kita salin beberapa perbandingan dari Ibnu Taimiyah, tentang dzikir ribut-ribut yang dilakukan orang-orang sufi, menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah di Ka'bah itu.
Tarikat Maulawiyah, yang diambil dari ajaran Maulana Jalaluddin Rumi melakukan dzikir dengan mengadakan tarian, sampai bergelimpangan pingsan. Tarikat Rifa'iyah mengadakan dabbus, yaitu mengadakan dzikir sampai tidak tahu diri lagi lalu menelan api, menggunting lidah, atau membelitkan rantai besi yang habis dipanaskan sampai merah ke seluruh tubuh. Sehingga apabila upacara itu mereka lakukan, tidak ada ubahnya lagi dengan orang Cina berjalan di atas unggunan api di hadapan kelenteng dan Taopekong. Atau orang Hindu Bali, menikamkan keris kepada dadanya tidak tembus. Karena menurut pendapat mereka, apabila seseorang telah dapat menfanakan dirinya ke dalam Zat Allah maka alam ini tidaklah lagi memberi bekas. Sehingga dari tarikat pada mulanya, dengan tidak disadari telah berubah menjadi sihir. Yang bukan saja bid'ah dalam agama bahkan lebih dari itu, yaitu berangsur-angsur sedikit demi sedikit keluar dari Islam.
Dari ayat yang kita tafsirkan ini dapatlah kita pahamkan apa tujuan perang Rasulullah ﷺ Beliau telah menuju satu tujuan, yaitu beribadah kepada Allah dan menegakkan ajaran Islam, atau agama hanif, pusaka
Ibrahim. Lambang kesatuan ibadah itu ialah Masjidil Haram dengan Ka'bahnya. Akan tetapi, dia telah dikotori dengan penyembahan kepada berhala. Penyembah berhalalah yang menguasai tempat suci itu. Tatkala di Mekah telah beliau coba melakukan ibadah yang bersih daripada kemusyrikan, tetapi dihalangi, dirintangi dan nyaris dibunuh. Sebab itu, beliau dan segala orang yang beriman, kecuali yang lemah, telah hijrah. Hijrah pertama dua kali ke Habsyi dilakukan oleh sahabat-sahabat dengan izin beliau, kemudian beliau sendiri yang hijrah ke Yatsrib. Akan tetapi, niat beliau tidaklah dilepaskan, yaitu satu waktu akan membebaskan juga masjid yang suci itu daripada penguasaan penyembah-penyembah berhala.
Di tahun keenam beliau coba mengerjakan umrah, tetapi dihalangi oleh penguasa Mekah di Hudaibiyah, lalu diperbuat perdamaian Hudaibiyah yang terkenal. Dalam perjanjian itu beliau perjuangkan agar mulai tahun depan kaum Muslimin diberi kebebasan mengerjakan umrah dan haji menurut keyakinan agama mereka ke Masjidil Haram. Lalu, terdapat persetujuan dan perdamaian selama sepuluh tahun. Akan tetapi, kaum Quraisy sendirilah yang melanggar janji itu, ketika mereka memberikan bantuan kepada kabilah yang bersekutu dengan mereka, memerangi kabilah yang bersekutu dengan Nabi ﷺ Kemung-kiran pihak Quraisy kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Rasul ﷺ menaklukkan Mekah pada tahun kedelapan, setelah beliau mengerjakan umratul Qadha' pada tahun ketujuh.
Maka, pada penaklukan Mekah di tahun kedelapan itulah beliau runtuhkan sekalian berhala yang disandarkan pada Ka'bah itu dan dibersihkan Masjidil Haram dari segala macam kemusyrikan. Pada tahun kesembilan beliau sendiri tidak naik haji, tetapi beliau perintahkan Abu Bakar menjadi amirul haj dan beliau suruh Ali bin Abi Thalib menyusul
buat menyampaikan perintah baru dan membacakan surah Bara-ah, bahwa sejak tahun itu tidak seorang juga kaum musyrikin diberi izin lagi masuk ke dalam Masjidil Haram, artinya Tanah Arab seluruhnya telah bersih dari penyembahan berhala. Thawaf telanjang, thawaf bertepuk dan bersorak-sorak mulai scat itu sudah dilarang. Dan, akhirriya, pada tahun kesepuluh beliau sendiri yang naik haji, memimpin pasukan-pasukan Islam yang besar itu lalu mengucapkan pidato selamat berpisah (khutbah M/ado') yang terkenal, dan dua bulan setelah beliau kembali dari mengerjakan haji yang penghabisan itu, beliau pun meninggal dunia.
Maka, membersihkan Masjidil Haram dari berhala dan dari penguasaan penguasanya yang musyrik itu, adalah tujuan utama sebelum futuh (penaklukan) Mekah. Setelah Mekah takluk, jadi satulah dia dengan Madinah. Pusat pemerintahan dan tempat kedudukan beliau, tetap di Madinah, tetapi pusat peribadahan kaum Muslimin seluruh dunia sampai Hari Kiamat, tetaplah Mekah. Dan, sejak penaklukan Mekah itu, kata hijrah tidak ada lagi sebab Mekah dan Madinah telah ada dalam satu pimpinan. Pimpinan takwa kepada Allah ﷻ sebagai yang beliau kehendaki.