Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱسۡتَجِيبُواْ
penuhilah (seruan)
لِلَّهِ
bagi Allah
وَلِلرَّسُولِ
dan bagi Rasul
إِذَا
apabila
دَعَاكُمۡ
memanggil kamu
لِمَا
kepada apa/sesuatu
يُحۡيِيكُمۡۖ
Dia menghidupkan kalian
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَحُولُ
membatasi
بَيۡنَ
antara
ٱلۡمَرۡءِ
seseorang
وَقَلۡبِهِۦ
dan hatinya
وَأَنَّهُۥٓ
dan sesungguhnya Dia
إِلَيۡهِ
kepadaNya
تُحۡشَرُونَ
kamu dikumpulkan
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱسۡتَجِيبُواْ
penuhilah (seruan)
لِلَّهِ
bagi Allah
وَلِلرَّسُولِ
dan bagi Rasul
إِذَا
apabila
دَعَاكُمۡ
memanggil kamu
لِمَا
kepada apa/sesuatu
يُحۡيِيكُمۡۖ
Dia menghidupkan kalian
وَٱعۡلَمُوٓاْ
dan ketahuilah
أَنَّ
bahwa sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَحُولُ
membatasi
بَيۡنَ
antara
ٱلۡمَرۡءِ
seseorang
وَقَلۡبِهِۦ
dan hatinya
وَأَنَّهُۥٓ
dan sesungguhnya Dia
إِلَيۡهِ
kepadaNya
تُحۡشَرُونَ
kamu dikumpulkan
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul (Nabi Muhammad) apabila dia menyerumu pada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu! Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul) dengan taat (apabila Rasul menyeru kamu pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian) berupa perkara agama sebab perkara agama merupakan penyebab bagi kehidupan yang kekal (dan ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah menghalangi antara manusia dan hatinya) maka ia tidak dapat beriman atau kafir melainkan berdasarkan kehendak Allah (dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan) Allah akan membalas semua amal perbuatan kalian.
Tafsir Surat Al-Anfal: 24
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendindingi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dikumpulkan.
Imam Bukhari mengatakan bahwa makna istajibu ialah penuhilah, dan limayuhyikum artinya sesuatu yang memperbaiki keadaan kalian.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khubaib ibnu Abdur Rahman yang mengatakan, "Saya pernah mendengar Hafs ibnu ‘Ashim menceritakan hadits berikut dari Abu Sa'd ibnu Al-Ma'la yang menceritakan bahwa ketika ia sedang shalat, tiba-tiba Nabi ﷺ lewat dan memanggilnya, tetapi ia tidak memenuhi panggilannya hingga ia menyelesaikan shalatnya.
Setelah itu barulah datang kepada beliau. Maka beliau ﷺ bertanya, 'Apakah gerangan yang menghalang-halangi dirimu untuk datang kepadaku? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24) Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling besar dari Al-Qur'an sebelum aku keluar dari Masjid ini.” Rasulullah ﷺ bangkit untuk keluar dari masjid, lalu aku mengingatkan janji beliau itu.
Mu'az mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Khubaib ibnu Abdur Rahman, bahwa ia pernah mendengar Hafs ibnu ‘Ashim menceritakan hal berikut dari Abu Sa'id, bahwa ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan surat yang dimaksud di atas, yaitu firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2) hingga akhir surat. Itulah yang dimaksud dengan sabul masani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat). Demikianlah menurut lafal yang diketengahkannya berikut huruf-hurufnya tanpa ada yang dikurangi.
Pembahasan mengenai hadits ini telah disebutkan dalam tafsir surat Al-Fatihah berikut semua jalur periwayatannya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24) Yakni kepada kebenaran.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24) Maksudnya kepada Al-Qur'an ini; di dalamnya terkandung keselamatan, kelestarian, dan kehidupan.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24) Di dalam agama Islam terkandung kehidupan bagi mereka yang pada waktu sebelumnya mereka mati karena kekafiran.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24) Yakni kepada peperangan yang menyebabkan Allah memenangkan kalian dengan melaluinya, sebelum itu kalian dalam keadaan terhina (kalah). Allah menjadikan kalian kuat karenanya, sebelum itu kalian dalam keadaan lemah. Dan Dia mencegah musuh kalian untuk dapat menyerang kalian, sebelum itu kalian kalah oleh mereka.
Firman Allah ﷻ: “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendindingi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah menghalang-halangi orang mukmin dari kekafiran, serta orang kafir dari keimanan. Demikianlah menurut riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya secara mauquf (hanya sampai pada Ibnu Abbas). Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui jalur lain dengan sanad yang marfu' (sampai kepada Nabi ﷺ), tetapi predikatnya tidak shahih, mengingat sanadnya lemah, justru yang berpredikat mauquf-lah yang shahih sanadnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Sa'id Ikrimah, Adh-Dhahhak, Abu Saleh, Atiyyah, Muqatil bin Hayyan, dan As-Suddi.
Menurut riwayat lain, dari Mujahid, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mendindingi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24) Maksudnya yaitu hingga Allah meninggalkan (membiarkan)nya sampai dia tidak menyadarinya.
Menurut As-Suddi, makna yang dimaksud ialah Allah menghalang-halangi antara seseorang dan hatinya, sehingga ia tidak dapat beriman tidak pula kafir kecuali hanya dengan seizin Allah.
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaf: 16)
Banyak hadits dari Rasulullah ﷺ yang menerangkan hal yang selaras dengan pengertian ayat ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: “Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau sampaikan, maka apakah engkau merasa khawatir terhadap iman kami?' Rasulullah ﷺ menjawab: 'Ya, sesungguhnya hati manusia itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah ﷻ Dia membolak-balikkannya'.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi di dalam pembahasan mengenai takdir, bagian dari kitab Jami-nya, dari Hannad ibnus Sirri, dari Abu Mu'awiyah Muhammad ibnu Hazim Ad-Darir (tuna netra), dari Al-A'masy yang namanya ialah Sulaiman ibnu Mahran, dari Abu Sufyan yang namanya Talhah ibnu Nafi', dari Anas, kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini hasan. Telah diriwayatkan pula melalui berbagai perawi yang tidak hanya seorang, semuanya bersumber dari Al-A'masy.
Dan sebagian dari mereka telah meriwayatkannya dari Abu Sufyan, dari Jabir, dari Nabi ﷺ. Tetapi hadits Abu Sufyan dari Anas lebih shahih sanadnya. Hadits lain diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya. Dia mengatakan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Ibnu Abu Laila, dari Bilal , bahwa Nabi ﷺ pernah berdoa dengan doa berikut: “Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.”
Hadits ini jayyid sanadnya, hanya padanya terdapat inqitha’. Tetapi sekalipun demikian predikat hadits ini sesuai syarat ahlus sunan, hanya mereka tidak mengetengahkannya.
Hadits yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jabir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Bisyr ibnu Ubaidillah Al-Hadrami, ia mendengar dari Abu Idris Al-Khaulani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar An-Nuwwas ibnu Sam'an Al-Kilabi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Tidak ada suatu hati pun melainkan berada di antara kedua jari kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah, Tuhan semesta alam. Jika Dia menghendaki kelurusannya, maka Dia akan meluruskannya; dan jika Dia menghendaki kesesatannya, maka Dia akan menyesatkannya.”
Dan tersebutlah bahwa Nabi ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: “Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.”
Nabi ﷺ telah bersabda pula: “Neraca itu berada di tangan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah; Dialah Yang merendahkan dan yang meninggikannya.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah melalui hadits Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, lalu disebutkan hal yang serupa.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Al-Ma'la ibnu Ziyad, dari Al-Hasan, bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan bahwa di antara doa-doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah ﷺ adalah: “Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sering sekali mengucapkan doa ini." Maka beliau ﷺ menjawab: “Sesungguhnya kalbu anak Adam itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah jika Dia menghendaki kesesatannya (niscaya Dia membuatnya sesat), dan jika Dia menghendaki kelurusannya (niscaya Dia membuatnya lurus).”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepadanya Syahr; ia telah mendengar Ummu Salamah menceritakan bahwa di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah ﷺ adalah: “Ya Allah Wahai Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.”
Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati itu dapat dibolak-balikkan?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya, tidak sekali-kali Allah menciptakan manusia dari Bani Adam melainkan kalbunya berada di antara dua jari kekuasaan Allah ﷻ. Jika Dia menghendaki kelurusannya (tentu Dia meluruskannya), dan jika Dia menghendaki kesesatannya (tentu Dia menyesatkannya). Maka kami memohon kepada Allah Tuhan kami. semoga Dia tidak menyesatkan hati kami sesudah Dia menunjuki kami. Dan kami memohon kepada-Nya semoga Dia menganugerahkan kepada kami dari sisi-Nya rahmat yang luas. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi karunia.” Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sudikah kiranya engkau mengajarkan kepadaku suatu doa yang akan kubacakan untuk diriku sendiri?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Tentu saja. Ucapkanlah, ‘Ya Allah, Tuhan Nabi Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, lenyapkanlah kedengkian hatiku, dan lindungilah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan selama Engkau membiarkan aku hidup’.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepadanya Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Habli mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya hati Bani Adam itu berada di antara dua jari kekuasaan Tuhan Yang Maha Pemurah seperti halnya satu hati, Dia mengaturnya menurut apa yang dikehendaki-Nya.”
Kemudian Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, Tuhan Yang membolak-balikkan hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada Engkau.”
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Muslim secara munfarid dari Imam Bukhari. Dan ia meriwayatkannya bersama Imam An-Nasai melalui hadits Haiwah ibnu Syuraih Al-Misri.
Pada ayat ke-20 Allah menuntut orang-orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan selanjutnya mengecam mereka yang enggan mendengar dan menggunakan akalnya, maka sebagai kesimpulannya Allah meminta orang beriman untuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah sebagai bukti keimananmu seruan Allah dan Rasul Nabi Muhammad, dengan sepenuh hati apabila dia, yakni Rasul menyerumu kepada sesuatu ajakan apa pun, karena seruan itu merupakan sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dengan mengerjakan perintah dan menegakkan hukum Allah yang menjamin kehidupan jiwa, raga, pikiran, dan kalbu kalian. Memenuhi seruan itu akan mendatangkan kebaikan dalam hidup di dunia dan akhirat. Dan ketahuilah, dengan penuh keyakinan, bahwa sesungguhnya Allah akan membuat dinding pemisah yang akan membatasi antara manusia dan keinginan hatinya jika mendapat bisikan hawa nafsu, karena Dialah Yang menguasai seluruh jiwa dan raga manusia. Dan ketahuilah sesungguhnya kepada-Nyalah, tidak kepada lainNya, kamu akan dikumpulkan untuk diminta pertanggungjawaban dan masing-masing akan mendapat balasan yang setimpaDan di samping kamu berkewajiban memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, peliharalah dirimu dari siksaan yang ketika datang sekalikali tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang zalim saja, yakni yang melanggar dan enggan memperkenankan seruan Rasul, di antara kamu, tetapi juga kepada mereka yang membiarkan kemungkaran merajalela. Lindungilah diri kalian dari dosa-dosa besar yang merusak tatanan masyarakat. Jauhilah sikap enggan berjihad di jalan Allah, perpecahan dan rasa malas melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Karena, akibat buruk dosa itu akan menimpa semua orang, tidak khusus hanya orang yang berbuat kejahatan saja. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.
Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin, bahwa apabila Allah dan Rasul-Nya menyampaikan hukum-hukumnya yang berguna untuk kehidupan mereka, hendaklah mereka menyambut seruan itu dan menerimanya dengan penuh perhatian serta berusaha untuk mengabulkannya. Karena seruan itu mengandung ajaran-ajaran yang berguna bagi kehidupan mereka, seperti mengetahui hukum-hukum Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya, suri teladan hidup yang dapat dijadikan contoh dan pelajaran yang utama untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan serta mengangkat kehidupan mereka kepada martabat yang sempurna, sehingga mereka dapat menempuh jalan lurus yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Akhirnya mereka akan hidup di bawah keridaan Allah; di dunia mereka akan berbahagia dan di akhirat akan mendapat surga. Di dalam ayat lain perintah mengikuti Rasul itu disertai dengan perintah memegangnya dengan teguh.
Allah berfirman:
"Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah." (al-Baqarah/2: 93)
Menaati Rasul hukumnya wajib, baik pada waktu beliau hidup maupun setelah wafatnya. Menaati Rasul ialah menaati segala macam perintahnya dan menjauhi larangannya yang termuat dalam Kitab Al-Qur'an dan yang termuat pula dalam Kitab-kitab hadis yang diketahui kesahihannya.
Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka betul-betul mengetahui bahwa Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Ungkapan ini mengandung banyak pengertian:
1. Bahwa Allah menguasai hati seseorang, maka Allah-lah yang menentukan kecenderungan hati itu menurut kehendak-Nya. Allah berkuasa untuk mengarahkan hati orang kafir apabila ia menghendaki orang kafir itu mendapat hidayah dan menguasai hati seseorang yang beriman untuk menyesatkannya apabila Ia berkehendak untuk menyesatkan. Pengertian serupa ini terdapat pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak dari Ibnu Abbas dan dari sebagian besar ulama salaf.
Hadis-hadis yang menguatkan pengertian ini antar lain bahwa Nabi Muhammad, seringkali mengatakan:
"Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agamamu. Lalu Rasulullah ditanya, "Ya Rasulullah! Kami telah beriman kepadamu dan kepada Kitab yang engkau bawa, maka apakah yang engkau khawatirkan terhadap kami? Maka Rasulullah menjawab, "Ya! Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Tuhan. Dialah Yang membolak-balikkannya." (Riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas).
2. Bahwa Allah, menyuruh hambanya untuk bersegera menaati Allah sebelum terlepasnya jiwa dari tubuh, tetapi mereka tidak memperdulikan perintah itu. Ini berarti bahwa Allah mematikan hatinya sehingga hilanglah kesempatan yang baik itu, yaitu hilangnya kesempatan seseorang untuk melakukan amal yang baik dan usaha untuk mengobati hati dengan bermacam penawar jiwa sehingga jiwanya menjadi sehat, sesuai dengan kehendak Allah. Kata-kata membatasi adalah merupakan kata yang digunakan untuk pengertian mati, karena hati itulah biasanya yang dapat memahami sesuatu, maka apabila dikatakan hati seseorang telah mati berarti hilanglah kesempatan seseorang untuk memanfaatkan ilmu pengetahuannya.
3. Kata membatasi (yahulu) adalah merupakan kata-kata majaz yang menggambarkan batas terdekat kepada hamba. Karena sesuatu yang memisahkan antara dua buah barang, adalah sangat dekat kepada dua barang itu.
Pengertian serupa ini dinukilkan dari Qatadah, karena pada saat membicarakan makna ayat, ia membawakan firman Allah:
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf/50: 16)
Bagaimana juga perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai penafsiran ayat ini, tetapi hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa Allah telah membuat bakat-bakat dalam diri seseorang. Bakat baik dan bakat buruk kedua-duanya dapat berkembang menurut Sunnah Allah yang telah ditetapkan bagi manusia. Berkembangnya bakat-bakat itu bergantung pada situasi, kondisi dan lingkungan. Apabila seseorang dididik dengan baik, niscaya jiwanya akan menjadi baik. Sebaliknya apabila jiwa itu dididik dengan jahat, atau berada dalam lingkungan yang jahat niscaya jiwa itu akan menjadi jahat. Hati adalah merupakan pusat perasaan, kemampuan serta kehendak seseorang yang dapat mengendalikan jasmaninya untuk mewujudkan amal perbuatan.
Pantaslah kalau di dalam ayat ini dikatakan, bahwa Allah membatasi antara seseorang dengan hatinya, karena Allah-lah Yang lebih mengetahui hati nurani seseorang. Dia Yang menguasai hati itu, karena Dialah pula yang menciptakan bakat-bakat yang terdapat dalam hati dan Dia pula yang paling dapat menentukan ke mana hati itu mengarah.
Akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa sesungguhnya seluruh manusia itu akan dikumpulkan kepada Allah, di padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan segala macam amalnya dan menerima pembalasan yang setimpal dengan amal perbuatan mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PANGGILAN ALLAH UNTUK HIDUP
Ayat 24
“Wahai orang-orang yang beriman! Sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya apabila kamu telah dipanggil-Nya kepada apa yang menghidupkan kamu."
Di ayat yang terdahulu tadi kita disuruh taat, maka di ayat ini kita disuruh menyambut seruan, menampung segala perintah. Menyambut adalah lebih aktif dari taat. Sehingga bukan semata menurut saja, bahkan bergiat dan bangun, berusaha sendiri menjemput perintah itu dan menjunjung tingginya. Oleh sebab itu bukan Allah saja yang mendekati kita, kitalah yang lebih giat lagi hendaknya mendekati Dia. Sebab, segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita ialah untuk membuat supaya kita hidup. Yaitu hidup yang sesuai dengan kita sebagai manusia. Binatang merayap pun hidup, tumbuh-tumbuhan pun hidup, ikan di laut pun hidup. Akan tetapi, hidup untuk manusia bukanlah hidup semacam pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan ikan di laut itu. Hidup manusia ialah hidup sejati karena makrifat, karena mengenal siapa Tuhannya. Hidup manusia ialah karena adanya ilmu; bijaksana, keutamaan, budi luhur, amal shalih dan jasa. Kalau itu telah tercapai, barulah berarti hidup sebagai manusia. Dan,inilahyangdiserukan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Hidup, tetapi tidak mempunyai inti-inti yang kita sebutkan ini, sama saja dengan mati walaupun napas masih turun naik. Bahkan kadang-kadang ilmu, hikmah kebijaksanaan, keutamaan, keluhuran budi yang bersumber dari ingat akan Allah itu, meminta diperjuangkan dan dijihadkan. Kadang-kadang cerailah nyawa dengan badan karena memerhatikan nilai hidup yang demikian. Biar mati karena mempertahankan hakikat hidup. Kalau sudah bersedia mati karena mempertahankan nilai hakikat hidup ini, barulah tercapai hidup yang sejati. Kadang-kadang ada orang yang berusia sampai seratus tahun, tetapi hidupnya kosong, sama dengan mati. Maka, setelah dia mati, tidaklah ada artinya, sebab dia tidak pernah menjumpai hidup. Sebaliknya ada orang yang tewas karena mempertahankan nilai hidup maka hiduplah dia berpuluh bahkan beratus tahun, walaupun badannya telah hancur di dalam tanah.
Oleh sebab itu, ayat ini memberikan ketegasan, kalau kamu mau hidup bernilai dan berarti, sambutlah seruan Allah dan Rasul. Kalau ini telah kamu sambut, berartilah hidupmu di dunia ini dan berarti sampai di akhirat kelak. Kalau tidak kamu sambut, kosonglah hidupmu, sebab hidupmu itu tidak mempunyai inti cita.
Sahabat Rasulullah ﷺ, Urwah bin Zubair, adik dari Abdullah bin Zubair, menurut riwayat dari Ibnul lshaq, menyatakan tafsir dari ayat seruan untuk yang menghidupkan kamu itu ialah seruan tampil ke medan perang, berjihad mempertahankan dan menegakkan agama Allah. Karena orang yang berani berperanglah yang dijamin nilai hidupnya. Yang takut berperang akan mati dalam ketakutan. Dengan peperangan suatu umat akan dimuliakan sesudah mereka hina di masa lampau. Dengan berperang mereka akan dikuatkan sesudah lemah, musuh pun berpikir dan menimbang-nimbang dahulu sebelum melakukan penyerbuannya.
…jihad itu dinamai juga hidup. Karena apabila musuh sudah lemah, terjaminlah hidup umat yang gagah menghadapi maut itu; dan apabila orang tewas di medan jihad, pastilah dia mendapat hidup yang kekal di sisi Allah.
Sayyid Quthub menulis dalam tafsirnya: Nabi menyeru kepada apa yang membuat mereka hidup. Ini adalah dakwah kepada ayat dengan seluruh rona kehidupan, dengan seluruh arti kehidupan. Dia menyeru kepada suatu aqidah yang menghidupkan hati dan akal, membebaskannya daripada tekanan jahil dan khurafat, tindasan prasangka dan dongeng, daripada tunduk menghina diri kepada sebab-sebab yang lahir dan tangan besi keadaan. Dia mengajak melepaskan diri dari segala macam perbudakan selain daripada perbudakan Allah, menyembah-nyembah kepada sesama makhluk atau terbelenggu oleh syahwat.
Dia menyeru mereka agar masuk ke dalam suatu syari'at (peraturan) yang langsung datang dari Allah. Yang memproklamirkan kemerdekaan manusia dengan kemuliaannya karena undang-undang itu langsung diterima dari Allah. Manusia berdiri dalam barisan yang sama di hadapan undang-undang Allah itu. Tak ada kesewenang-wenangan seseorang atas rakyat banyak, yang dinamai diktator atau satu kelas golongan atas nama mayoritas, atau satu jenis atas jenis yang lain, atau satu kaum atas kaum. Semuanya bebas dan sama di bawah perlindungan dari syari'at kepunyaan Allah, Tuhan dari seluruh hamba di dunia. Dia menyeru mereka kepada satu sistem hidup, sistem berpikir, sistem ungkapan. Membebaskan mereka dari segala ikatan, segala belenggu, kecuali tuntunan dari fitrahnya sebagai insan, yang merupakan dirinya dalam batas-batas yang ditentukan oleh pencipta manusia itu sendiri.
Dia menyeru mereka kepada kekuatan, kemuliaan dan ketinggian karena berpegang dengan aqidah yang benar dan pegangan hidup yang teguh. Percaya akan kebenaran agama mereka dan percaya akan perlindungan Tuhan mereka. Bebas bertindak di muka bumi ini untuk memerdekakan umat manusia seluruhnya, mengeluarkannya dari perhambaan sesama makhluk, langsung masuk ke dalam perhambaan Allah Yang Maha Esa. Dia menyeru mereka membuktikan kemanusiaannya yang tertinggi, yang dianugerahkan oleh Allah, yang selama ini telah dirampas oleh manusia-manusia yang ingin jadi Tuhan.
Dia menyeru mereka kepada jihad fi sabilillah,guna menetapkan ketuhanan Allah di muka bumi ini dan terhadap kehidupan manusia. Menghancur-leburkan ketuhanan yang dibikin-bikin. Mengusir si perusak ketuhanan Allah itu dari singgasana kedudukannya sehingga tunduk kepada Allah saja. Di waktu demikian, barulah berarti agama ini. Walaupun lantaran itu mereka akan berhadapan dengan maut. Karena mati syahid sebab mempertahankan dan memperjuangkan hai itu, berarti hidup.
Demikianlah kesimpulan hidup yang diserukan oleh Rasulullah ﷺ itu: seruan kepada hidup dengan sepenuh arti hidup.
Agama ini adalah suatu sistem kehidupan yang sempurna, bukan semata-mata suatu ke-percayaan yang kaku beku. Dia adalah suatu ajaran yang nyata, yang menanamkan benih hidup dan membiarkannya tumbuh dan berkembang, dan mengeluarkan hasil. Sebab itu, adalah dia suatu dakwah kepada hidup dalam segala macam bentuk dan rupanya. Dalam segala sepak dan terjangnya, lenggang dan lenggoknya. Itulah yang dimaksud dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yang menyeru orang-orang yang beriman agar siap sedia melaksanakan seruan dari Allah dan Rasul itu, seruan untuk hidup. Sambutlah seruan itu dengan patuh, taat dan setia, dan dengan penuh kesadaran. Demikian kita salinkan uraian Sayyid Quthub.
Lalu, datanglah sambungan ayat, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah akan menghalangi di antara seseorang dengan hatinya." Artinya, di dalam kesediaan diri menyerah kepada Allah dan Rasul, menuruti seruan Allah dan Rasul, supaya hidup kita berarti, hendaklah selalu ingat pula bahwasanya program dan rencana hidup yang kita rencanakan sendiri, belum tentu akan berhasil. Sebab, ada-ada saja halangan dari Allah yang membatas di antara kita dengan hati kita. Kerap kali kita merencanakan sesuatu, menurut hati kita. Tiba-tiba dibelokkan Allah kepada yang lain yang mulanya sekali-kali tidak kita sangka. Kadang-kadang suatu rencana terperinci yang baik, tiba saja halangan dalam perjalanan, lalu berbelok kepada yang lebih baik dari rencana kita semula, ataupun lebih buruk. Kadang-kadang suatu kejadian kecil yang tidak kita sangka-sangka, mengubah seluruh hidup kita. Oleh sebab itu, tidaklah boleh kita menurutkan kata hati melainkan tundukkanlah kata hati itu kepada kehendak Allah'. Sehingga apa yang akan kita kerjakan besok pagi, hendaklah kita beri alas dengan “masyaa Allah".
Banyak kejadian pada pengalaman manusia yang membuktikan bahwa bukan kehendak hati kita yang menentukan wajah hidup kita. Fudhail bin lyadh, seorang pemuda parewa (bergajul) menjalar (ngelayap) malam hari mengintip-intip istri orang, sedang suami orang tidak di rumah. Dipanjatnya dinding rumah orang karena mendengar suara seorang perempuan bernyanyi. Setelah ia sampai ke muka kamar perempuan itu, tiba-tiba jelas didengarnya bahwa perempuan itu sedang menyanyikan Al-Qur'an dengan suara khusyu. Ayat-ayat yang dibacanya, tiba-tiba mengenai sudut hati Fudhail bin lyadh:
“Belum jugakah datang masanya bagi orang-orang yang beriman, bahwa akan khusyu hatinya karena mengingat Allah dan mengingat apa yang turun dari kebenaran: bukan berada sebagai orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, maka berpanjanganlah masa, lalu kesatlah hati mereka dan kebanyakan dari mereka jadi fasik." (al-Hadiid: 16)
Cobalah renungkan, mengapa kebetulan ayat itu yang dibaca oleh perempuan itu, padahal sedikit pun dia tidak tahu bahwa kecantikannya sedang diintip oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Cobalah pikirkan, mengapa kebetulan perempuan yang sedang membaca Al-Qur'an yang terintip oleh Fudhail. Kenapa dia tidak pergi ke tempat lain, seluas itu kota Baghdad.
Hati Fudhail telah dibatas Allah dengan dirinya. Hati Fudhail yang tadinya hendak ber-maksud mengganggu istri orang, dibatas oleh
Allah dengan dirinya. Pembatasnya ialah ayat yang dibaca oleh perempuan itu. Si perempuan tidak sengaja membaca ayat itu untuk menundukkan si Fudhail. Dan, si Fudhail tidak sengaja pula memanjat dinding karena hendak mendengar ayat itu. Lain yang disengaja dan lain yang terjadi. Ayat itu telah memukul hati Fudhail. Diapun meluncur turun untuk akhirnya menempuh hidup baru yang berlain sama sekali dari maksudnya semula. Karena pukulan ayat itu, Fudhail berubah sama sekali. Dia menjadi seorang besar Islam yang tercatat namanya dalam sejarah, sebagai salah seorang pelopor daripada hidup Mukmin, hidup yang shalih, taqiy dan zahid. Sehingga Khalifah Harun ar-Rasyid, datang sendiri ke rumahnya meminta fatwa beliau.
Sebaliknya juga pernah kejadian, seseorang mengaji dengan tekun ilmu-ilmu agama. Diharapkan dia akan menjadi seorang alim ikutan umat, tempat bertanya masalah-masalah yang sulit. Tiba-tiba dia pindah ke kota. Karena sempitnya lapangan hidup, dia mulai mengubah lapangan hidup. Dari mengaji kepada berniaga. Atau dari mengaji kepada kepegawaian dan berbagai lagi perumpamaan yang lain.
Perkembangan ilmu-ilmu jiwa modern kerap kali bertemu dengan bukti-bukti bahwa satu benturan kecil saja pada jiwa manusia, bisa mengubah jalan hidup itu, dari buruk kepada baik, atau dari baik kepada buruk.
Haji Agus Salim, ahli pikir genius terkenal, pemimpin kaum Muslimin dan cendekiawan yang berlian, anak seorang hoof-jaksa (Jaksa Tinggi), karena satu halangan tidak jadi meneruskan belajar ke negeri Belanda, sehingga terlantarlah jalan kesarjanaan yang hendak ditempuh; padahal usianya masih muda. Maka, kalau tidaklah rencana kehendak hati yang terbentur di tengah jalan itu, mungkin sekali sejarah Islam di Indonesia tidak akan mempunyai orang besar yang bernama Haji Agus Salim.
‘Dan, sesungguhnya kepada-Nya jualah kamu semua akan dikumpulkan."
Ujung ayat ialah penjelasan dari pangkal ayat. Kita teiah lahir ke dunia. Wujud kita sebagai insan, harus berbeda dengan hidup hewan. Apatah lagi sebagai orang Mukmin. Agar hidup itu berarti, hendaklah ikuti seruan Allah dan Rasul, yaitu seruan-Nya kepada hidup yang sejati. Atau “hayatan thaiyyihah". Karena mau atau tidak mau, sehabis hidup kita mesti mati. Kita mesti kembali kepada Allah. Orang beriman akan kembali dan orang kufur pun akan kembali jua.
Sebab itu, sediakanlah diri selalu melaksanakan seruan Allah, agar hidup berarti. Dengan keinsafan bahwa yang mengatur kehidupan kita itu pada hakikatnya ialah Allah sendiri. Buatlah program dalam hidup, tetapi hendaklah serahkan diri dan bertawakal kepada Allah. Sehingga walaupun yang dituju oleh hati kita semula dibelokkan Allah kepada yang lain, ke mana pun dibelokkan Allah, kita tidak merasa canggung. Sebab, segala tempat adalah baik, kalau Allah yang menentukan. Lalu, berdoa, mengharap selalu agar dipilihkan-Nya tempat yang diridhal-Nya.
Akhirnya, dengan tenang, perbanding-kanlah ayat 24 ini, ayat seruan Allah dan Rasul, agar kita mencapai hidup yang sejati, hidup yang bahagia dan hidup yang bernilai tinggi lantaran memegang teguh ajaran Islam. Per-bandingkanlah dia dengan ayat-ayat sebelumnya di atas tadi. Yaitu ayat 20 yang memberi ingat orang yang beriman agar taat kepada Allah dan Rasul, jangan berpaling ke tempat lain dan seruan Allah dan Rasul-Nya tidak dipedulikan dan tidak didengarkan. Itu adalah bahaya besar. Dan, ingat lagi kebohongan hidup yang wajib dihindari, yang tersebut di ayat 21, yaitu mengakui mendengar, padahal tidak didengar. Dan, ayat 22 memperingatkan bahwa binatang melata yang sejahat-jahatnyalah kiranya orang yang memekakkan telinganya, tersumbat dan tidak mau mendengar, dan orang yang membisu, yang tidak mau menyatakan apa yang terasa di hatinya karena merasa bahwa dirinya telah benar selalu. Ketiga ayat sebelumnya ini menggambarkan hidup yang celaka. Setelah itu baru datang ayat 24 ini yang menyuruh melepaskan sikap jiwa yang membeku, membatu, lalu masuk ke dalam kelompok yang diridhai Allah, menuntut hidup yang sejati.