Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكُمۡ
demikianlah
وَأَنَّ
dan sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مُوهِنُ
melemahkan
كَيۡدِ
tipu daya
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
ذَٰلِكُمۡ
demikianlah
وَأَنَّ
dan sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
مُوهِنُ
melemahkan
كَيۡدِ
tipu daya
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
Terjemahan
Demikian itu (adalah kemenangan yang besar) dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang kafir.
Tafsir
(Itulah) kemenangan itu suatu hal yang nyata (dan sesungguhnya Allah melemahkan) membuat tidak berdaya (tipu daya orang-orang yang kafir).
Tafsir Surat Al-Anfal: 17-18
Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepada kalian), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.
Ayat 17
Allah ﷻ menjelaskan bahwa Dialah Yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba-hamba-Nya, dan Dia Maha Terpuji atas semua perbuatan baik yang dilakukan oleh mereka, karena Dia-lah yang menggerakkan mereka untuk melakukannya dan membantu mereka untuk menyelesaikannya. Karena itu disebutkan oleh firman-Nya:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka,, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka.” (Al-Anfal: 17) Maksudnya, bukan karena upaya kalian, bukan pula karena kekuatan kalian. Kalian dapat membunuh musuh-musuh kalian padahal jumlah mereka jauh lebih banyak daripada jumlah kalian. Dengan kata lain, bahkan Allah-lah yang membuat kalian beroleh kemenangan atas mereka. Seperti pengertian yang ada dalam ayat lain, yaitu:
“Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah.” (Ali Imran: 123), hingga akhir ayat.
“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (wahai para mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.”(At-Taubah: 25)
Allah ﷻ memberitahukan bahwa kemenangan itu bukan diperoleh karena banyaknya bilangan personel, bukan pula karena lengkapnya peralatan, melainkan karena ada pertolongan dari sisi Allah ﷻ, seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah, dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 249)
Kemudian Allah ﷻ berfirman pula kepada Nabi-Nya berkenaan dengan segenggam pasir yang ditaburkan Nabi ﷺ ke arah wajah orang-orang kafir dalam Perang Badar, yaitu ketika beliau keluar dari Al-'Arisy setelah beliau berdoa dan memohon kepada Allah dengan rendah diri dan khusyuk. Beliau melempar mereka dengan segenggam pasir itu seraya bersabda, "Mudah-mudahan mata-mata mereka kelilipan."
Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan pasukannya untuk membuktikan hal tersebut dengan menelusuri jejaknya, lalu mereka melakukan apa yang diperintahkannya. Ternyata Allah menyampaikan pasir itu ke mata semua kaum musyrik, sehingga tidak ada seorang pun dari mereka melainkan terkena oleh pasir tersebut dan menyibukkan dirinya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Yakni Allah-lah yang menyampaikan pasir itu ke mata mereka dan yang membuat mereka semua kelilipan, bukan kamu, wahai Muhammad.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya yakni pada waktu Perang Badar seraya berdoa: “Ya Tuhanku, jika golongan ini binasa, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini untuk selama-lamanya.” Lalu Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Ambillah segenggam pasir, lalu lemparkanlah ke arah muka mereka." Maka Nabi ﷺ mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke arah muka mereka. Maka tidak ada seorang musyrik pun melainkan matanya terkena pasir itu, hidung serta mulut mereka pun terkena pasir itu pula, sehingga akhirnya mereka mundur bercerai-berai.
As-Suddi mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Ali pada hari Perang Badar, "Berikanlah kepadaku segenggam pasir." Lalu Ali memberikan segenggam pasir kepadanya, kemudian Nabi ﷺ melemparkan pasir itu ke arah wajah kaum musyrik. Maka tidak ada seorang musyrik pun melainkan matanya kemasukan pasir itu. Kemudian pasukan kaum mukmin datang mengiringinya dan membunuh serta menahan mereka.
Allah berfirman: “Maka (yang sebenarnya) bukan kalian yang membunuh mereka, tetapi Allah-lah yang membunuh mereka; dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Abu Ma'syar Al-Madani telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Mereka mengatakan bahwa ketika kedua belah pasukan saling berhadapan satu sama lainnya, maka Rasulullah ﷺ mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke arah wajah pasukan kaum musyrik seraya bersabda, "Semoga wajah mereka kelilipan." Maka masuklah pasir itu ke mata mereka semuanya.
Kemudian sahabat Rasulullah ﷺ datang menyerang dan membunuh serta menahan mereka. Tersebutlah bahwa kekalahan pasukan kaum musyrik terjadi karena lemparan Rasulullah itu. Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Al-Anfal: 17) Hal ini terjadi dalam Perang Badar. Rasulullah ﷺ mengambil tiga genggam pasir, lalu melemparkannya ke arah sayap kanan pasukan musuh, dan melemparkannya lagi ke arah sayap kiri pasukan musuh, kemudian melemparkannya lagi ke arah sayap depan pasukan musuh, seraya bersabda, "Semoga mata-mata mereka kelilipan." Akhirnya musuh terpukul mundur.
Kisah ini telah diriwayatkan pula dari Urwah, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan para imam ahli hadits. Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan lemparan pasir yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam Perang Badar, sekalipun beliau ﷺ melakukan pula hal yang sama dalam Perang Hunain.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Imran, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ya'qub ibnu Abdullah ibnu Rabi'ah, dari Yazid ibnu Abdullah, dari Abu Bakar ibnu Sulaiman ibnu Abu Khaisamah, dari Hakim ibnu Hizam yang menceritakan, "Ketika Perang Badar meletus, kami mendengar suara dari langit seakan-akan seperti suara batu kerikil yang jatuh ke dalam sebuah piala. Ternyata Rasulullah ﷺ lah yang melakukan lemparan itu sehingga kami dapat memukul mundur musuh."
Bila ditinjau dari segi ini maka riwayat ini gharib (aneh). Berikut ini ada dua pendapat lainnya yang gharib sekali, yaitu:
Pertama, Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta'i, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Jubair, bahwa Rasulullah ﷺ ketika berperang melawan Ibnu Abul Haqiq di Khaibar, beliau meminta sebuah busur, lalu didatangkan kepadanya sebuah busur yang panjang, tetapi Rasul ﷺ bersabda, "Berikanlah kepadaku busur lainnya!" Maka mereka mendatangkan busur yang tidak panjang, kemudian Nabi ﷺ membidikkan panahnya ke arah benteng Khaibar. Maka panah yang dilepaskan oleh Nabi ﷺ melesat tinggi dan jatuh mengenai Ibnu Abul Haqiq yang berada di tempat tidurnya hingga ia mati.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Riwayat ini berpredikat gharib, tetapi sanadnya jayyid (baik) sampai kepada Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir. Barangkali ia keliru, atau dia bermaksud bahwa ayat ini bermakna umum mencakup kesemuanya. Jika tidak demikian maka konteks ayat dalam surat Al-Anfal menunjukkan kisah Perang Badar, tanpa diragukan lagi; dan hal ini tidaklah samar bagi semua imam ahlul 'ilmi.
Kedua, Ibnu Jarir meriwayatkan begitu juga Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan sanad yang shahih sampai kepada Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri. Disebutkan bahwa keduanya mengatakan, "Ayat ini diturunkan berkenaan dengan lemparan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam Perang Uhud, ditujukan kepada Ubay ibnu Khalaf. Yaitu lemparan tombak kecil, sedangkan saat itu Ubay ibnu Khalaf memakai baju besi. Lalu tombak itu melukai bagian tenggorokannya, sehingga ia jatuh terjungkal berkali-kali dari atas kudanya, dan luka itulah yang membawa kepada kematiannya beberapa hari kemudian. Selama lukanya itu dia mengalami siksaan yang sangat pedih, dan siksaannya itu terus berlangsung sampai ke alam barzakh yang terus berhubungan dengan azab akhirat."
Kedua pendapat yang diutarakan oleh kedua imam ini pun gharib sekali. Barangkali keduanya bermaksud bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup kesemuanya itu, bukan hanya diturunkan berkenaan dengan Perang Badar saja secara khusus.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnu Zubair, dari Urwah ibnuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: “(Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik.” (Al-Anfal: 17) Yakni agar orang-orang mukmin merasakan nikmat-Nya kepada mereka, yaitu dimenangkan-Nya mereka atas musuh-musuh mereka sekalipun bilangan musuh mereka jauh lebih banyak, sedangkan bilangan mereka sendiri sedikit. Dan agar dengan hal tersebut mereka mengakui apa yang harus mereka lakukan kepada-Nya, yaitu mensyukuri nikmat-Nya kepada mereka.
Demikian pula menurut apa yang ditafsirkan oleh Ibnu Jarir. Di dalam sebuah hadits disebutkan, "Semua ujian yang baik pernah ditimpakan oleh Allah kepada kami."
Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 17)
Artinya, Maha Mendengar semua doa, lagi Maha Mengetahui siapa orang-orang yang berhak beroleh pertolongan dan kemenangan.
Ayat 18
Firman Allah ﷻ: “Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepada kalian), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang kafir.” (Al-Anfal: 18)
Hal ini merupakan berita gembira lainnya bagi orang-orang mukmin di samping berita gembira kemenangan. Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia-lah yang akan mematahkan semua tipu daya orang-orang kafir di masa mendatang. Dia pulalah yang akan membuat urusan orang-orang kafir menjadi terhina, dan bahwasanya semua orang musyrik serta segala sesuatu yang mereka miliki pasti akan hancur dan binasa.
Demikianlah karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu, dan sungguh, Allah selalu melemahkan tipu daya orang-orang kafir sehingga tidak berhasil, agar mereka tunduk kepada kebenaran atau binasa. Karena itu jangan ragu menghadapi musuh-musuh agama Allah kapan dan di mana punDemikianlah Allah akan melemahkan tipu daya orang-orang kafir, oleh karenanya jika kamu kaum kafir meminta keputusan perihal siapa yang benar, dengan cara bergelantungan pada kain penutup Kakbah, agar Dia memutuskan perkara antara kamu dengan orangorang beriman, maka sesungguhnya keputusan telah datang kepadamu yaitu kemenangan kaum muslim pada Perang Badar; dan jika kamu berhenti memusuhi Rasul dan tidak melakukan hal-hal lain yang tidak direstui Allah, maka itulah yang lebih baik bagimu; dan jika kamu kembali melakukan kedurhakaan serupa, dan memerangi Nabi Muhammad dan para pengikutnya, niscaya Kami kembali mengalahkan kamu dan memberi pertolongan kepada kaum muslim seperti saat Perang Badar; dan pasukanmu yang bergelimang dosa tidak akan dapat menolak sesuatu bahaya sedikit pun darimu, biarpun jumlah pasukan dan perlengkapannya banyak. Sungguh, Allah beserta orang-orang beriman yang percaya dan tunduk pada kebenaran.
Allah menegaskan bahwa karunia Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin itu bertujuan untuk melemahkan tipu-daya orang-orang kafir dan melemahkan serangan mereka kepada Nabi serta kaum Muslimin seluruhnya. Juga untuk membangun perhatian kaum Muslimin agar tetap berjuang menegakkan agama tauhid serta berbuat baik sesama mereka dalam membela serta menegakkan agama.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah, selalu melindungi setiap perjuangan kaum Muslimin dalam menegakkan agama tauhid serta akan melemahkan perjuangan orang-orang musyrikin pada setiap gerak dan langkah mereka yang ditujukan untuk memerangi orang-orang yang menegakkan agama tauhid dan menyebarluaskan agama Islam.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 15
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir itu dalam suatu penyerbuan, janganlah kamu memalingkan punggung dari mereka."
Artinya, apabila musuh telah menyerbu kepada kamu, sekali-kali kamu tidak boleh berpaling meninggalkan barisan, melainkan serbulah pula mereka sebagaimana mereka menyerbu kamu. Dalam Peperangan Badar ini memang musuhlah yang telah datang menyerang mereka dengan seribu lebih tentara, padahal kaum yang beriman hanya 300 orang. Dilarang keras berpaling atau lari. Berpaling atau lari meninggalkan barisan dalam sedang hebatnya pertempuran itu, yang oieh orang Barat dinamai deserter, sedang menurut ajaran Nabi Muhammad ﷺ adalah termasuk satu di antara tujuh dosa yang besar:
Ayat 16
“Dan, barangsiapa yang memalingkan punggung."
Yaitu, lari meninggalkan barisan, “dari antara mereka," yang turut dalam peperangan itu, “di hari itu kecuali karena hendak mengatur siasat perang." Misalnya pura-pura lari, sehingga musuh terkecoh lalu musuh itu menyerbu kepada sesuatu tempat yang sampai di sana mereka bisa dikepung. “Atau karena hendak menggabungkan diri dengan suatu rombongan." Misalnya setelah melihat bilangan musuh terlalu besar lalu satu rombongan kecil yang telah terlanjur sangat maju ke muka, mundur kembali dengan teratur dan segera mencari dan menggabungkan diri de-ngan induk pasukan. Dalam hal yang seperti ini tidaklah terlarang. Akan tetapi, barangsiapa yang lari saja karena pengecut atau melepaskan diri dari komando. “Maka, sesungguhnya dia telah kembaii dengan kemurkaan dari Allah." Dia kembali pulang dari medan perang dengan kehinaan sebagai seorang pengecut yang dimurkai Allah.
“Dan tempat mereka adalah dalam nenaka Jahannam; dan itulah seburuk-bmuk tempat kembali."
Dalam ayat ini diberikan penjelasan bahwa lari dalam siasat atau lari pura-pura hingga musuh terjebak, bukanlah lari, tetapi termasuk dalam rangkaian peperangan juga. Atau lari kepada induk pasukan karena sudah sangat terdesak, yang kalau diteruskan juga berarti hancur, tidak pula terlarang. Menurut riwayat Abdullah bin Umar r.a. bahwa dia pernah mengikuti Rasulullah ﷺ di dalam satu patroli. Rupanya Abdullah bin Umar dan beberapa orang temannya terpisah jauh dari barisan.
Lalu, dia musyawarah dengan teman-temannya, sebab mereka merasa telah lari dari medan pertempuran dan kita telah kena murka. Mereka bertanya-tanya sama sendiri. Ada yang mengusulkan, “Bagaimana kalau kita kembali saja pulang ke Madinah?" Segolongan lagi mengusulkan, “Lebih baik kita segera mencari di mana Rasulullah ﷺ sekarang, kita mengaku terus-terang. Moga-moga kita diberi tobat. Lalu, mereka sepakat mencari Rasulullah ﷺ sehingga akhirnya sampailah mereka ke tempat perhentian Rasulullah ﷺ sebelum waktu Zhuhur. Lalu, Rasulullah keluar dari kemahnya dan bertanya, “Siapa kalian semuanya?"
“Kami akui terus terang bahwa kami lari dari menghadapi musuh!" Lalu beliau berkata, “Kalian bukan lari, tetapi segera menggabung. Aku adalah induk pasukan kalian dan induk pasukan seluruh Muslimin!" Gembira hati kami menerima sambutan itu maka segeralah kami tampil ke hadapan beliau dan kami cium tangannya. (HR at-Tirmidzi)
Tersebut di dalam Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari, bahwa satu pasukan di bawah komando Abu Ubaid menyerbu negeri Parsi. Pada sebuah jembatan terkepung pasukan itu dan Abu Ubaid sendiri tewas karena bilangan tentara Parsi besar. Mendengar berita kematian karena kekuatan yang tidak seimbang itu, Sayyidina Umar yang mengirim tentara berkata, “Sedianya dia pulang saja kepadaku."
Sebab itu, tersebutlah di dalam kitab al-Muhadzdzab bahwa kalau bilangan musuh jauh lebih besar maka tidaklah terlarang mundur buat mengatur siasat. Karena apabila menyerbu juga, berarti hanya kehancuran. Akan tetapi, kalau menurut perhitungan tidak akan binasa, hendaklah serbu terus.
Dengan ayat 15 dan 16 ini jelaslah betapa besar ancaman bagi si pengecut yang lari dari medan pertempuran. Di pangkal ayat kita telah bertemu kunci peringatan yang keras ini, yaitu seruan Allah kepada orang yang beriman. Sebab, orang yang benar-benar berimanlah yang tidak merasa takut menghadapi maut dan musuh yang berganda lipat pun banyaknya. Karena mereka berjuang adalah dengan satu cita-cita, yaitu ketinggian kalimat Allah, dan berdirinya jalan Allah. Kalau mati adalah syahid dan kalau menang akan mendapat harta rampasan. Sedang hidup atau mati adalah ketentuan dari Allah sendiri. Tidak di medan perang pun orang akan mati juga. Sebab itu, suatu pelarian dari medan jihad, adalah pulang dari kemurkaan Allah dan di akhirat dinanti oleh neraka. Tepat benar kata-kata yang selalu diucapkan orang yang marah kepada si pengecut, “Go to hell!" Pergilah ke neraka!
Sehubungan dengan ayat ini teringatlah penulis Tafsir al-Azhar ini suatu hal yang pernah kejadian pada 17 hari bulan Januari 1949, seketika tentara Kolonial Belanda melancarkan serangan dan serbuan besar kepada Republik Indonesia yang berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Belanda telah mendapat tahu dari spion-spionnya bahwa di Situjuh (Payakumbuh) sedang bermusyawarah beberapa pemimpin gerilya Republik. Tempat itu segera mereka kepung, pada malam hari dan mereka tunggu sampai hari siang supaya mudah menangkap hidup atau membunuh pemimpin-pemimpin itu.
Setelah pahlawan-pahlawan yang terkepung itu bangun pagi-pagi hendak mengambil air wudhu untuk shalat Shubuh, seorang di antaranya melihat musuh telah mengepung tempat persembunyian mereka itu dan moncong senapan telah dihadapkan kepada mereka. Musuh bersorak menyerukan agar mereka menyerah. Akan tetapi, tidak seorang jua pun rupanya yang berniat hendak menyerah, bahkan hendak melawan. Melawan sambil lari meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, karena ketatnya kepungan, baru saja mereka bergerak keluar, mereka telah dihujani dengan tembakan dari segala penjuru, sehingga hanya beberapa orang saja yang bisa berlepas diri, lari dengan sembunyi-sembunyi dari satu selokan air. Maka, tewaslah 9 orang di antara mereka. Di antaranya ialah Bupati Harisun, Pimpinan Pertahanan Rakyat Khatib Sulaiman, Letnan Munir Latif, dan Sersan Tantawi Mustafa.
Sersan Tantawi Mustafa adalah putra dari salah seorang ulama besar kecintaan umat di Minangkabau, yaitu Tuan Syekh Mustafa Abduliah yang berdua dengan saudara kandungnya Syekh Abbas Abduliah telah berpuluh tahun membuka pengajian di suraunya di Padang Panjang dan Payakumbuh.
Berita ini segera disiarkan oleh kurir yang datang menemui Gubernur Militer di Koto Tinggi dan segera pula disampaikan kepada beliau, Tuan Syekh Mustafa.
Di dalam orang-orang perempuan menangis tersedu-sedu menerima kabar atau gugurnya Sersan Tantawi itu, Tuan Syekh sendiri bertanya dengan sungguh-sungguh kepada pembawa berita, di mana agaknya luka putranya, di bagian mana dari tubuhnya yang ditembus oleh peluru. Setelah diterangkan bahwa yang remuk kena peluru ialah dada Sersan Tantawi dari jurusan hadapan, barulah wajah Tuan Syekh Mustafa Abdullah kelihatan berseri-seri. Dan, muka yang jernih berseri-seri kelihatan dengan nyata pada wajah beliau, rasa bahagia karena putranya mati syahid mempertahankan agama Allah yang hendak ditindas kembali oleh Belanda kafir laknatullah. Dan, beliau bujuklah tangis dari ibunya dan saudara-saudara perempuan almarhum syahid fi sabililah itu, karena Tantawi benar-benar mati syahid, bukan mati dalam lari karena pengecut.
Ini bukanlah karangan cerita tarikh zaman lampau, bahkan terjadi di zaman kita ini; bukan hikayat Khansa yang empat putra laki-lakinya tewas di medan perang dan diterimanya dengan muka berseri, tetapi riwayat seorang Syekh di zaman kita yang merasa bahagia, sebab putranya pun turut menjadi syahid fi sabilillah.
Siasat perang mundur teratur dengan rencana ini telah dilakukan pula oleh Khalid bin al-Walid dalam Perang Mu'tah. Karena utusan Rasulullah ﷺ mengantar surat kepada Amir Bushra yang beragama Nasrani, telah dibunuh orang. Ini sangat melanggar adat istiadat negeri-negeri yang beradab. Negeri Bushra patut dihukum. Lalu, beliau kirimlah ke sana suatu tentara di bawah Panglima Zaid bin Haritsah, 3.000 orang banyaknya.
Kalau Zaid bin Haritsah tewas, penggantinya ialah Ja'far bin Abi Thalib. Dan, kalau dia tewas pula, penggantinya ialah Abdullah bin Rawahah.
Setelah tentara itu menuju Syam 3.000 orang banyaknya, seorang panglima dengan dua pengganti panglima, yang orangnya gagah berani semuanya, mereka telah disambut oleh tentara Romawi yang rupanya telah tahu terlebih dahulu bahwa mereka akan diserang oleh tentara Islam. Tentara Romawi yang menguasai seluruh Syam ketika itu telah menyambut tentara yang 3.000 orang itu dengan 100.000 orang tentara Romawi sendiri, dan 100.000 orang pula banyaknya tentara Kristen Arab. Dengan arti tiga orang akan menghadapi 200 orang.
Setelah Panglima Perang Zaid bin Haritsah mendengar sekian banyak musuh, dia pun bermusyawarahlah dengan anggota stafnya. Abdullah bin Rawahah mengatakan bahwa bagi kita kaum Muslimin, berapa bilangan musuh tidaklah diperkirakan, sebab kita berperang, esa menang, kedua syahid. Semua bangkit semangat mendengar kata-kata itu, lalu diadakan penyerangan. Berturut-turut ketiga panglima itu tewas dalam pertempuran yang tidak mengenal mundur, tetapi sangat tidak seimbang. Ketiga-tiga panglima perang berturut-turut tewas; Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawwahah. Dan, dalam pertempuran itulah tangan Ja'far bin Abi Thalib putus kedua-duanya sedang membawa bendera. Putus tangan kanan, dikepitnya bendera dengan tangan kiri. Putus tangan kiri, dikepitnya juga bendera dengan sisa tangannya. Akan tetapi, akhirnya dia pun tewas juga. Sehingga akhirnya kepemimpinan kepanglimaan diserahkan kepada Tsabit bin Arqam. Akan tetapi, sesampai bendera di tangannya, dia berkata terus-terang, “Tetapkanlah siapa yang akan jadi panglima kita!" Ada yang menjawab, “Engkau saja terus!" Dia menjawab, “Jangan aku! Pilih yang lain yang lebih cakap daripada aku!" Lalu jatuh pilihan kepada Khalid bin Walid. Pilihan itu diterimanya, dan hari mulai malam. Pada malam itu disusunnyalah tentara dengan susunan baru, yang sayap kanan diletakkannya ke kiri dan sayap kiri dipindahkannya ke kanan dan diperintahkannya mengubah-ubah letak pakaian mereka, sehingga setelah hari siang pihak musuh melihat ada perubahan, menyangka bahwa pihak Islam telah mendapat bantuan baru. Khalid menceritakan kemudian bahwa dalam peperangan itu telah patah dalam tangannya sembilan pedang!
Khalid menukar taktik, tidak lagi menyerbu, tetapi memukul dengan cara gerilya, menyerbu dan sembunyi. Akhirnya suatu keajaiban terjadi! Yaitu pihak musuh menjadi kesal lalu beberapa pasukan mengundurkan diri.
Maka, Khalid tidak lagi meneruskan penyerangan kepada musuh yang mundur itu, takut terbuka rahasia, bahwa kekuatan tidak seimbang. Lekas-lekas berangkat kembali ke Madinah, dengan sisa tentara yang nyaris hancur. Banyak penduduk Madinah yang muda-muda yang tidak mengerti taktik Khalid, melempari tentara itu dengan pasir sebagai penghinaan. Akan tetapi, setelah Khalid melaporkan hal itu kepada Rasulullah, di waktu itulah dia diberi Rasul gelar “Saif Allah", Pedang Allah!
Karena dia mundur bukan karena lari, melainkan termasuk ilmu siasat perang yang tinggi. Gelar yang diberikan Rasul ﷺ itu, setelah Rasul wafat, bertemu dengan tepatnya pada diri Khalid bin Walid.
Ayat 17
“Maka, bukanlah kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah lah yang membunuh mereka."
Artinya, khusus pada Peperangan Badar, 300 Mujahidin dapat mengalahkan 1.000 musyrikin, membunuh 70 orang musuh, menawan 70 orang pula, pada hakikatnya bukanlah kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah. Sebab, Allah yang memberikan kekuatan semangat kepada kamu, Allah yang membantumu dengan 1.000 malaikat, dan Allah yang menurunkan hujan yang memberikan kesegaran kepada kamu. Dan, Allah pula yang menimbulkan rasa ketakutan dalam jiwa musuh itu. Ayat ini adalah peringatan kepada kaum yang beriman apabila mereka beroleh suatu kemenangan di dalarn perang supaya jangan sombong. Apatah lagi kalau kita mempertalikan kepada permulaan surah ayat 1 tadi, setelah habis perang ada yang bertanya pasal harta rampasan, lalu dijawab bahwa yang menguasai harta rampasan ialah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, yang menang itu ialah Allah, bukan mereka.
“Dan, bukanlah engkau yang melempar tatkala engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar." Tersebutlah bahwa dalam Peperangan Badar itu Rasulullah ﷺ mengambil segenggam pasir, lalu dilemparkannya ke jurusan musuh, seraya berkata, “Biarlah segala muka itu tertutup!" Maka, dibawa anginlah pasir-pasir itu ke muka musuh sehingga ada yang kena, sehingga masuklah pasir ke dalam mata mereka, sehingga gugup mereka ketika menyerbu, maka mudahlah bagi Mujahidin menyerbu orang yang matanya telah kena pasir itu. Di sini Allah mem-peringatkan kepada Rasul-Nya, bahwa tangan beliau hanyalah jadi alat saja buat melempar. Yang sebenar melempar tetaplah Allah. Karena memang! Kalau hanya atas kehendak Nabi sendiri, tidaklah muka-muka itu akan kena, sebab tempatnya jauh. Supaya di saat sulit yang seperti itu, baik Muslimin apatah lagi Rasul sendiri, selalu sadar bahwa Allah tidak pernah pisah dari mereka. “Karena Dia hendak memberi kepada orang-orang yang beriman suatu pemberian yang baik."
Pemberian yang baik ialah kemenangan yang gilang-gemilang yang akan menentukan nasib agama mereka di belakang hari, sebab Perang Badar adalah perang yang menentukan. Betapa pun beribu-ribu orang tentara yang berperang sesudah itu, di medan perang yang mana pun di muka dunia ini, tetapi kemenangan di Badar adalah membuka pintu jaya di zaman sesudahnya. “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar." Allah mendengar betapa percakapan kamu sesama kamu yang membangga karena kemenangan itu. Sebab itu, diperingatkan kepada kamu sekarang, supaya kamu tetap waspada pada zaman-zaman selanjutnya.
“Lagi Mengetahui."
Artinya, Allah lebih mengetahui betapa banyaknya lagi kesulitan yang akan kamu hadapi dan atasi, sehingga kemenangan yang sekarang janganlah menyebabkan kamu lupa akan pertolongan Allah kepadamu.
Apa yang diperingatkan Allah ini, telah bertemu kemudian dalam Peperangan Uhud, yaitu nyaris kalah, karena ada yang tidak teguh setia mengikuti komando Rasulullah ﷺ
Ayat 18
“Begitulah! Dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir."
Maka, di dalam Peperangan Badar itu khususnya, Allah telah mematahkan segala tipu daya dan siasat orang-orang yang kafir itu. Mereka telah menjadi lemah. Walaupun berkali-kali sesudah itu mereka telah menyusun kekuatan hendak mematahkan Islam, tetapi segala tipu daya itu telah dilemahkan oleh Allah, apatah lagi pahlawan-pahlawan musyrikin yang penting telah banyak yang tewas dalam Peperangan Badar itu.
Kemudian ayat yang seterusnya dihadapkan Allah-lah untuk orang-orangyang kafir itu,
Ayat 19
“Jika kamu meminta kemenangan maka sesungguhnya telah datang kepada kamu kemenangan itu."
Menurut riwayat Ibnul lshaq, Abu Jahal sebagai pimpinan tertinggi kaum Quraisy di Perang Badar itu telah berdoa, “Ya Allah! Aku tidak tahu, siapa yang sebenarnya di antara kami yang telah memutuskan silaturahim. Berikanlah keputusan Engkau besok!"
Menurut as-Suddi, pemuka-pemuka Quraisy sebelum pergi ke Badar telah berlutut di hadapan Ka'bah dan menyeru Allah, “Ya Allah, tolonglah mana yang lebih mulia di antara kedua tentara ini, mana yang lebih baik di antara dua golongan, dan mana yang lebih tinggi di antara dua kabilah."
Rupanya terjadilah Perang Badar itu, merekalah yang kalah, Islamlah yang menang. Inilah yang disambut oleh pangkal ayat 19 ini, yaitu jika kamu meminta kemenangan wahai kaum Quraisy, maka permintaanmu itu telah dikabulkan. Telah menang yang lebih mulia, yang lebih tinggi cita-citanya dan yang lebih suci pendiriannya. “Namun, jika kamu mau berhenti maka itulah yang lebih baik bagi kamu."
Artinya, sekarang telah kamu lihat sendiri, Muhammadlah yang menang dan kamu telah kalah. Maka, kalau kamu berhenti saja melawan, lalu tunduk dan masuk Islam, itulah yang lebih baik bagi kamu. Turut menjadi tentaranya tnenyebarkan Islam ke seluruh Tanah Arab ini dan kamu mendapat kemegahan lantaran kemegahannya. “Tetapi kalau kamu kembali lagi, Kami pun akan kembali." Kalau kamu mencoba lagi melawan. Kami pun akan kembali menghadapi kamu, sampai kamu tidak bisa bangkit lagi. “Dan sekali-kali tidaklah akan berfaedah bagi kamu golongan kamu itu sedikit pun, walaupun dia banyak." Bagaimana pun kamu menyusun kekuatan hendak melawan Allah dan Rasul-Nya dan walaupun berlipat ganda banyak kamu, kalau kamu mencoba melawan lagi, kamu jugalah yang akan binasa dan hancur. Padahal, kalau kamu tunduk, habislah segala permusuhan dan kamu menjadi tentara kami.
“Dan bahwasanya Allah adalah beserta orang-orang yang beriman."
Kamu akan kalah, sebab pendirian kamu adalah syirik dan kufur, walaupun kamu banyak. Dan, Rasul bersama seluruh pengikutnya akan tetap menang, sebab Allah adalah beserta orang yang beriman.
Dan, ini pun bukan saja peringatan kepada Quraisy yang telah kalah. Dia adalah mengenai juga kepada pejuang Islam sendiri bahwa mereka akan tetap menang menghadapi musuhnya, berapa pun banyaknya, asal mereka tetap beriman. Dan, Allah akan meninggalkan mereka, jika mereka berjuang tidak karena iman.
Ayat ini telah menarik pemuda-pemuda dari kalangan Quraisy buat berpikir lebih dalam dan jauh, sehingga sesudah perdamaian Hudaibiyah, pahlawan-pahlawan muda kaum Quraisy seperti Khalid bin Walid dan Amr bin al-Ash meninggalkan Mekah secara diam-diam dan menggabungkan diri kepada Rasulullah ﷺ di Madinah, buat menghadapi hari depan mereka yang gemilang.
Oleh karena tersebut bahwa Allah mengirimkan bantuan 1.000 malaikat kepada mujahidin di Perang Badar itu, maka bertemu pulalah di dalam kitab-kitab tafsir bahwa malaikat yang seribu itu turut pula berperang. Penafsir Ibnu Katsir menukilkan riwayat dari Rabi' bin Anas bahwa di antara kaum Musyrikin yang mati terbunuh, ada yang terputus lehernya dan ada yang terpotong jarinya dan tangannya. Yang itu adalah ditewaskan oleh pahlawan-pahlawan Islam itu. Akan tetapi, ada pula yang hangus seluruh badannya sebagai dibakar. Itulah yang ditewaskan oleh malaikat-malaikat itu. Maka, riwayat yang disalinkan oleh Ibnu Katsir ini tidaklah jelas dari mana sanadnya, yang amat berlawan dengan catatan sejarah yang lain.
Di zaman dahulu seorang yang sangat bebas pikiran, golongan Mu'tazilah yang sudah terlalu kiri sikapnya, bernama ar-Rawandi pernah mencemoohkan riwayat itu. Kalau betul seribu malaikat turut berperang di Badar, mengapa hanya tujuh puluh orang saja yang tewas, padahal kekuatan dari satu malaikat bisa memusnahkan satu negeri.
Penafsir dekat ke zaman kita, yaitu al-Alusi ada juga mengutip satu riwayat yang katanya diterima dari Ibnu Abbas, bahwa malaikat memang ikut berperang di waktu itu. Akan tetapi, dengan rasa hormat yang dalam kepada Ibnu Abbas, ahli-ahli penyelidik yang saksama tidaklah segera menerimanya saja. Sebab, Ibnu Abbas sendiri di waktu Peperangan Badar, masih anak kecil dan belum ikut serta. Dan, al-Alusi pun tidak menyebut sanad riwayat yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas itu.
Namun, apabila kita tinjau kepada tafsir yang tertua, tafsir dari Ibnu Jarir ath-Thabari, tidaklah kita berjumpa riwayat bahwa malaikat yang seribu itu turut berperang bahu-membahu, pakai serban hijau dan lain-lain, sebagaimana banyak diriwayatkan itu. Mungkin cerita-cerita yang demikian dimasukkan lagi oleh tukang-tukang pungut kabar ganjil, untuk dijadikan pelengkap tafsir. Padahal, tidak mereka sadari bahwa cerita demikian berlawan dengan bunyi Al-Qur'an sendiri. Di dalam ayat 10 di atas tadi, Allah sendiri menjelaskan bahwa kedatangan malaikat yang beribu itu adalah malaikat untuk sebagai berita gembira dan peneguhkan hati kamu, jadi kedatangan seribu malaikat bukanlah untuk berperang. Kalau mereka turut berperang, mana lagi artinya tenaga dari 300 orang kaum yang beriman itu? Dan apa artinya penghargaan yang demikian tinggi yang diberikan kepada mereka, sampai Allah menjanjikan bahwa sekalian yang hadir di dalam Peperangan Badar mendapat penghargaan yang istimewa di sisi Allah, diampuni dosa mereka?
Musuh yang tewas 70 orang. Maka, di dalam kitab-kitab sirah yang panjang-panjang diterangkan siapa-siapa pahlawan yang menewaskan mereka. Dan, tidak ada dalam kitab sirah itu yang menyatakan bahwa di antara yang 70 itu ada yang hangus sebagai terbakar. Semuanya mati kena senjata tombak, pedang dan panah, dari tentara Rasulullah ﷺ yang tiga ratus.
Kerap kali keterangan yang jelas dari Al-Qur'an sendiri dikaburkan oleh tafsir yang datang di belakang.
Nilai Peperangan Badar dalam sejarah terletak dalam 300 orang lebih sedikit yang gagah berani karena iman yang teguh kepada Allah, bersedia mati karena keyakinan, dengan persenjataan yang tidak begitu lengkap, menghadapi musuh yang lebih seribu orang, dengan persenjataan yang lebih lengkap. Bila dinilai kepada keadaan zaman di waktu itu, kemegahan kaum Quraisy, keyakinan mereka pada mulanya bahwa mereka pasti memang, dan pihak Islam hanya 300 orang lebih, yang mulanya menyangka hanya akan berhadapan dengan rombongan peniaga Quraisy yang pulang dari Syam, rupanya menghadapi penyerbuan dari suatu tentara besar yang tidak diduga-duga.
Oleh sebab itu, walaupun telah terjadi sesudah itu beratus kali peperangan-pepe-rangan yang besar, melemparkan beratus ribu tentara ke medan perang, tetapi Perang Badar adalah perang yang paling besar dan pintu dari kemenangan Islam buat selanjutnya.