Ayat
Terjemahan Per Kata
يُوفُونَ
mereka memenuhi
بِٱلنَّذۡرِ
dengan nazar
وَيَخَافُونَ
dan mereka takut
يَوۡمٗا
hari
كَانَ
adalah ia
شَرُّهُۥ
bahayanya/azabnya
مُسۡتَطِيرٗا
merata kemana-mana
يُوفُونَ
mereka memenuhi
بِٱلنَّذۡرِ
dengan nazar
وَيَخَافُونَ
dan mereka takut
يَوۡمٗا
hari
كَانَ
adalah ia
شَرُّهُۥ
bahayanya/azabnya
مُسۡتَطِيرٗا
merata kemana-mana
Terjemahan
Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
Tafsir
(Mereka menunaikan nazar) untuk taat kepada Allah (dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana) menyebar di semua tempat.
Tafsir Surat Al-Insan: 4-12
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraaan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutra. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang apa yang telah disediakan-Nya bagi makhluk-Nya yang kafir kepada-Nya, yaitu berupa rantai-rantai dan belenggu-belenggu, serta api yang menyala-nyala dengan hebatnya lagi membakar di dalam neraka Jahanam.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api. (Al-Mumin: 71-72) Setelah menyebutkan apa yang Allah sediakan bagi orang-orang yang celaka, yaitu neraka Sa'ir yang nyalanya sangat hebat, lalu Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman berikutnya menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Al-Insan: 5) Telah diketahui kandungan kafur itu rasanya sejuk, baunya harum, selain dari kelezatan surgawi yang terkandung di dalam minumannya.
Al-Hasan mengatakan bahwa kesejukan kafur disertai dengan keharuman zanjabil (jahe). Dalam firman berikutnya disebutkan: (yaitu) mata air (dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Al-Insan: 6) Minuman yang dicampur dengan kafur untuk orang-orang yang bertakwa ini diambil dari mata air dalam surga yang airnya dipakai untuk minum oleh kaum muqarrabin dari hamba-hamba Allah tanpa campuran kafur, dan mereka menyegarkan dirinya dengan air itu. Karena itulah lafal yasyrabu di sini mengandung makna yarwa hingga diperlukan adanya ba untuk ta'diyah, lalu Lafal 'ainan di-nasab-kan sebagai tamyiz.
Sebagian ulama mengatakan bahwa minuman ini dalam hal keharumannya sama dengan kafur. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa mata air tersebut memang mata air kafur. Dan sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa lafal 'ainan dapat pula di-nasab-kan oleh yasyrabu. Ketiga pendapat ini semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Firman Allah Swt: yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Al-Insan: 6) Yakni mereka dapat mengatur alirannya menurut apa yang mereka sukai dan ke arah mana pun yang mereka kehendaki, ke dalam gedung-gedung mereka, rumah-rumah mereka, tempat-tempat duduk mereka atau tempat-tempat pertemuan mereka.
At-Tafjir artinya memancarkan atau mengalirkan. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami. (Al-Isra: 90) Dan firman-Nya: dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu. (Al-Kahfi: 33) Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Al-Insan: 6) Mereka dapat mengalirkannya ke mana pun mereka sukai. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ikrimah dan Qatadah.
Ats-Tsauri mengatakan bahwa mereka dapat mengatur alirannya ke mana pun mereka sukai. Firman Allah Swt: Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. (Al-Insan: 7) Yaitu mereka beribadah kepada Allah menurut apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka berupa ketaatan yang diwajibkan berdasarkan hukum asal syariat, dan apa yang mereka wajibkan atas dirinya sendiri melalui nazar mereka.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Talhah ibnu Abdul Malik Al-Aili, dari Al-Qasim ibnu Malik, dari Aisyah , bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia taat kepada-Nya; dan barang siapa yang bernazar akan durhaka kepada Allah, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini melalui Malik. Dan mereka meninggalkan hal-hal yang diharamkan yang mereka dilarang melakukannya terdorong oleh rasa takut akan tertimpa hisab yang buruk di hari kemudian.
Yaitu hari yang padanya azab terdapat merata di mana-mana, yakni menyeluruh menimpa manusia semuanya terkecuali orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abbas mengatakan bahwa mustatiran artinya fasyiyan, yakni merata. Qatadah mengatakan, "Demi Allah, azab di hari itu benar-benar merata hingga memenuhi langit dan bumi." Ibnu Jarir mengatakan, bahwa termasuk ke dalam pengertian ini ucapan mereka (orang Arab), "Keretakan itu telah merata mengenai semua permukaan kaca." Juga perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya:
Maka berpisahlah dia (kekasihnya) dengan meninggalkan keretakan dalam hati yang bekasnya merata di mana-mana.
Yakni memanjang dan sangat mendalam kesannya. Firman Allah Swt,: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya. (Al-Insan: 8) Menurut suatu pendapat, karena cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka menjadikan damir yang ada merujuk kepada lafal Allah berdasarkan konteks kalimat. Tetapi menurut pendapat yang jelas, Domir ini merujuk kepada makanan, yakni mereka memberi makan orang miskin dengan makanan kesukaan mereka. Demikianlah menurut Mujahid dan Muqatil serta dipilih oleh Ibnu Jarir, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat lain: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. (Ali Imran: 92) Imam Baihaqi telah meriwayatkan melalui jalur Al-A'masy, dari Nafi' yang mengatakan bahwa Ibnu Umar sakit, lalu ia menginginkan makan buah anggur karena saat itu sedang musim buah anggur.
Maka Safiyyah alias istri Ibnu Umar menyuruh kurirnya untuk membeli buah anggur dengan membawa uang satu dirham. Setelah membeli anggur, si kurir dikuntit oleh seorang peminta-minta. Ketika kurir masuk rumah, si pengemis berkata, "Saya seorang pengemis." Maka Ibnu Umar berkata, "Berikanlah buah anggur itu kepadanya," lalu mereka memberikan buah anggur yang baru dibeli itu kepada si pengemis.
Kemudian Safiyyah menyuruh pesuruhnya lagi dengan membawa uang satu dirham lainnya guna membeli buah anggur. Uang itu dibelikan setangkai buah anggur oleh si pesuruh. Dan ternyata pengemis itu menguntitnya kembali. Ketika si pesuruh masuk, pengemis itu berkata, "Saya seorang pengemis." Maka Ibnu Umar berkata, '"Berikanlah buah anggur itu kepadanya," Lalu mereka memberikan buah anggur itu kepada si pengemis.
Akhirnya Safiyyah menyuruh seseorang untuk memanggil si pengemis itu, dan setelah datang ia berkata kepadanya, "Demi Allah, jika engkau kembali lagi ke sini, engkau tidak akan mendapat suatu kebaikan pun darinya selama-lamanya." Setelah itu barulah Safiyyah menyuruh pesuruhnya lagi untuk membeli buah anggur. Di dalam hadits shahih disebutkan: Sedekah yang paling utama ialah yang engkau keluarkan, sedangkan engkau dalam keadaan sehat lagi kikir, mengharapkan kaya dan takut jatuh miskin.
Yakni dalam keadaan engkau menyukai harta, getol mencarinya, serta sangat kamu perlukan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Al-Insan: 8) Orang miskin dan anak yatim telah diterangkan definisi dan sifat-sifat keduanya. Adapun yang dimaksud dengan tawanan, maka menurut Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Adh-Dhahhak, maksudnya tawanan dari ahli kiblat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa tawanan mereka pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Hal ini diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah yang memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan perlakuan yang baik. Tersebutlah pula bahwa kaum muslim saat itu mendahulukan para tawanan untuk makan daripada diri mereka sendiri. Ikrimah mengatakan bahwa mereka adalah budak-budak belian, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat makna ayat umum menyangkut orang muslim dan juga orang musyrik.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Al-Hasan, dan Qatadah. Rasulullah ﷺ telah menganjurkan agar para budak diperlakukan dengan perlakuan yang baik. Hal ini ditegaskan oleh beliau ﷺ bukan hanya melalui satu hadits saja, bahkan di akhir wasiat beliau ﷺ disebutkan: Peliharalah shalat dan (perlakukanlah dengan baik) budak-budak yang dimiliki olehmu. Mujahid mengatakan bahwa tawanan adalah orang yang dipenjara. Mereka memberi makan orang-orang tersebut dengan makanan kesukaan mereka, seraya berkata seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah. (Al-Insan: 9) Tetapi bukan hanya perkataan saja melainkan dimanifestasikan ke dalam sikap dan perbuatan. Yakni kami lakukan wahai ini hanyalah karena mengharapkan pahala dan rida Allah subhanahu wa ta’ala semata. kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidakpula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 9) Artinya, kami tidak menginginkan dari kamu balasan yang kamu berikan kepada kami sebagai imbalannya, dan tidak pula pujianmu di kalangan orang lain.
Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Demi Allah, mereka tidak mengatakannya dengan lisannya melainkan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati mereka yang ikhlas itu, maka Allah memuji mereka dengan maksud agar jejak mereka dapat dijadikan teladan bagi yang lainnya. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (Al-Insan: 10) Yakni sesungguhnya kami lakukan demikian itu tiada lain hanyalah berharap semoga Allah membelaskasihani kami dan menerima kami dengan kasih sayang-Nya di hari yang sangat kelabu lagi penuh dengan kesulitan (hari kiamat).
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa 'abus artinya penuh dengan kesulitan, dan qamtarir artinya sangat panjang. Ikrimah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (Al-Insan: 10) Orang kafir bermuka masam di hari itu hingga mengalir dari kedua matanya keringat seperti aspal hitam yang encer. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, 'Ablisan," artinya mengernyitkan kedua bibirnya.
Dan qamtarir artinya mengernyitkan mukanya dan tampak layu. Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa muka orang-orang bermuram durja karena kengerian dan ketakutan yang melandanya. Qamtarir artinya mengernyitkan dahi dan keningnya karena ketakutan yang sangat. Ibnu Zaid mengatakan bahwa al-'abus artinya keburukan, dan al-qamtarir artinya kesengsaraan. Dan ungkapan yang paling jelas, paling indah, paling tinggi, lagi paling fasih adalah pendapat Ibnu Abbas yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir, bahwa qamtarir artinya kesengsaraan.
Dikatakan hari yang menyengsarakan, maksudnya hari yang paling keras, paling panjang musibah dan kesengsaraannya. Termasuk ke dalam pengertian ini ucapan seorang penyair:
Wahai anak-anak paman kami, apakah kalian teringat petaka yang telah kami timpakan kepadamu, di hari-hari yang panjang kesengsaraannya? Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati, (Al-Insan: 11) Hal ini merupakan lawan kata dari ayat yang sebelumnya.
Maka Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu. (Al-Insan: 11) Yakni mengamankan mereka dari semua yang mereka takuti. dan memberikan kepada mereka kejernihan. (Al-Insan: 11) Kejernihan pada wajah mereka. dan kegembiraan hati. (Al-Insan: 11) Yaitu hati mereka dijadikan gembira, menurut Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui Firman-Nya: Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. (Abasa: 38-39) Demikian itu karena apabila hati gembira, maka wajah menjadi cerah ceria.
Ka'b ibnu Malik dalam hadisnya yang panjang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila sedang senang, wajah beliau bersinar seakan-akan seperti sinar rembulan. Siti Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ masuk menemuinya dalam keadaan senang yang terlihat dari sinar wajahnya yang cerah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya. (Al-Insan: 12) Yakni dikarenakan kesabaran mereka, maka Allah memberi mereka balasan pahala dan menempatkan mereka di dalam. surga dan (pakaian) sutra. (Al-Insan: 12) Yaitu tempat tinggal yang luas, kehidupan yang senang, dan pakaian yang indah-indah. Al-Hafidzh ibnu Asakir di dalam biografi Hisyam ibnu Sulaiman Ad-Darani mengatakan bahwa dibacakan kepada Abu Sulaiman Ad-Darani surat Hal Ata 'Alal Insani, yakni surat Al-Insan. Ketika pembaca sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutra. (Al-Insan: 12) Maka Abu Sulaiman mengatakan bahwa mereka mendapat balasan tersebut berkat kesabaran mereka dalam meninggalkan keinginan hawa nafsu.
Kemudian Abu Sulaiman membaca perkataan seorang penyair:
Sudah berapa banyak orang yang terbunuh dan terbelenggu oleh nafsu syahwatnya, celakalah bagi orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya yang bertindak melawan norma-norma kebaikan. Hawa nafsu manusia itu menjerumuskannya ke dalam kehinaan dan mencampakkannya ke dalam musibah yang panjang."
Di antara amal kebaikan yang akan diberikan balasan seperti di atas antara lain adalah bahwa mereka memenuhi nazar sebagai bukti mereka adalah orang-orang cenderung kepada kebaikan, dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana yaitu siksa neraka. 8-9. Dan amalan lain yang mereka lakukan adalah mereka memberikan makanan sesuai dengan kemampuannya yang disukainya kepada orang miskin yang amat membutuhkan, anak yatim dan orang yang ditawan baik tertawan karena peperangan maupun karena terbelenggu oleh perbudakan, sambil berkata, 'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya menyebutkan beberapa sifat orang-orang abrar (berbuat kebaikan), yaitu: mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Menunaikan nazar adalah menepati suatu kewajiban yang datang dari pribadi sendiri dalam rangka menaati Allah. Berbeda dengan kewajiban syara (agama) yang datang dari Allah, maka nazar bersifat pembebanan yang timbul karena keinginan sendiri dengan niat mensyukuri nikmat Allah. Baik nazar maupun syarak, kedua-duanya hukumnya wajib dilaksanakan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik, al-Bukhari, dan Muslim dari 'Aisyah, Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa yang bernazar menaati Allah, hendaklah ia menepati nazar itu, (tetapi) janganlah dipenuhi jika nazar itu untuk mendurhakai-Nya. (Riwayat al-Bukhari, Malik, Abu Dawud, at-Tirmidhi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari 'Aisyah)
Dalam beberapa hadis dijelaskan tentang ketentuan nazar, di antaranya adalah:
1. Hadis riwayat al-Bukhari dari 'Aisyah di atas menjelaskan bahwa nazar yang bermaksud hendak menaati Allah wajib dipenuhi, sedangkan nazar dengan niat mendurhakai Allah tidak boleh dipenuhi. Demikian pula hadis-hadis riwayat at-Tirmidhi, Abu Dawud, dan an Nasa'i.
2. Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada Sa'ad bin Ubadah agar membayar puasa nazar yang pernah diucapkan oleh ibunya yang telah meninggal. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Ubadah.
Selain dari menyempurnakan janji, orang abrar juga mau meninggalkan segala perbuatan terlarang (muharramat) karena takut akan dahsyatnya siksa yang harus diterima di hari Kiamat akibat mengerjakannya. Sebab pada hari itu, segala kejahatan dan kedurhakaan yang pernah dikerjakan seseorang disebarluaskan. Hanya orang-orang yang dikasihi Allah saja yang selamat dari keadaan yang mengerikan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tadi di ayat 3 sudah diterangkan bahwa ada manusia yang bersyukur kepada Ilahi, sebab martabatnya sudah diangkat Allah. Dari makhluk yang tidak berarti, yang tidak disebut orang, dia telah naik menjadi makhluk utama. Tetapi ada lagi yang kufur, tidak bersyukur, melainkan mendurhaka kepada Ilahi. Allah hendak mengangkat derajatnya, namun dia masih juga menurunkan derajat dirinya ke bawah, menjadi makhluk durhaka hina dina. Lalu Allah menjelaskan bagaimana akibat dari orang yang kafir itu.
Ayat 4
“Sesungguhnya Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu rantai-rantai."
Untuk merantai lehernya seperti orang yang dihukum, sesuai dengan kesalahannya. “Dan belenggu," untuk membelenggu tangannya.
“Dan api neraka menyala."
Semuanya adalah hukuman yang setimpal buat orang yang tidak berterima kasih atas bimbingan yang diberikan Allah, agama yang hak yang disampaikan rasul-rasul.
Ayat 5
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dan piala yang campurannya adalah kaafuur."
Pada ayat 2 sebagai pembukaan, Allah telah menyelipkan peringatan bahwa setelah manusia diciptakan daripada campuran mani seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai nuthfah, bahwa manusia itu akan melalui ujian. Sepanjang hidup manusia dalam dunia tidaklah dia akan terlepas daripada ujian itu. Tetapi dia diberi pendengaran dan penglihatan supaya dia hati-hati mendengar dan melihat jalan yang akan ditempuh, jangan sampai tersungkur jatuh. Dan jalan yang akan ditempuh selanjutnya ditunjukkan, sendiri oleh Allah, dengan bimbingan agama. Dijelaskan mana yang halal dan yang haram. Yang berbahagia ataupun yang berbahaya. Orang yang senantiasa menuruti jalan yang dibimbingkan oleh Allah, itulah yang disebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan, menempuh jalan yang lurus dan benar, jalan yang selamat. Bagi mereka dijanjikan Allah, bahwa kehausan dan kelelahannya dalam perjalanan yang banyak ujian itu akan disambut oleh Allah dengan piala yang penuh minuman lezat cita rasanya, bercampur dengan kaafuur.
Bagi kita pemeluk setia agama Islam yang bukan Arab, hendaklah diingat benar perbedaan di antara kafuur (…) dengan kaafuur (…). Kafuur artinya orang yang tidak tahu berterima kasih! Akibatnya ialah jadi kafir! Tetapi kaafuur artinya ialah kapur atau kamver. Zat putih dan wangi, dikeluarkan dari dalam pohon kayu, yang biasa tumbuh di hutan-hutan Pulau Sumatera. Lebih populer lagi dengan sebutan kapur barus. Karena di zaman dahulu kala di rimba-rimba pantai Sumatera sebelah Baruslah yang banyak tumbuh pohon kapur itu.
Hamzah Fanshuri pernah merangkumkan syair tentang kaafuur barus itu demikian,
“Hamzah Fanshuri di negeri Melayu,
tempatnya kaafuur di dalam kayu,
Asalnya manikam tiadakan layu,
dengan ilmu dunia manakan payu."
Dan syairnya pula.
Hamzah Syahrun-nawi terlalu hapus,
seperti kayu sekalian hangus,
asalnya taut tiada berarus,
menjadi kaafuur di dalam. Barus.
Fanshur juga disebutkan untuk Fanshur, sebuah negeri di pesisir barat Pulau Sumatera, agak ke utara berbatasan dengan Aceh.
Rupanya kapur yang diucapkan dalam bahasa Arab dengan kaafuur itu telah lama dikenal dan diingini dunia. Besar sekali kemungkinan bahwa di zaman Kerajaan Tubba' di Arabia Selatan kaafuur itu telah dicari orang juga dalam pelayaran yang jauh. Selain dari rempah-rempah yang banyak tumbuh di kepulauan Melayu (Indonesia) ini sejak zaman purbakala, seumpama kayu manis, pala dan cengkeh, setanggi, gaharu dan cendana, kaafuur inilah yang dicari orang, sehingga sudah lama dikenal sampai ke Tanah Arabia dan Mesopotamia.
Tersebutnya kaafuur di dalam ayat 5 dari surah al-Insaan ini memberikan ilham kepadaku untuk membuktikan bahwa orang Arab telah berlayar ke kepulauan kita Indonesia ini, lama sebelum Nabi kita Muhammad ﷺ lahir, seperti bangsa-bangsa lain juga, yaitu mencari rempah-rempah. Dan kaafuur sebagai salah satu hasil bumi yang harum wangi yang keluar dari kepulauan kita telah lama jadi bahasa Arab, terutama bahasa Arab Quraisy. Dan bahasa Arab Quraisy inilah bahasa yang terpakai untuk menyampaikan wahyu Ilahi.
Tentu saja kaafuur yang akan jadi campuran minuman orang-orang yang berbuat kebajikan di dalam surga itu kelak, namanya yang serupa dengan kaafuur yang ada di dalam dunia ini, namun dia adalah kaafur akhirat atau kaafur surga yang berlipat ganda lebih wangi, lebih harum dan dapat dijadikan campuran minuman. Hal ini dijelaskan Allah pada surah al-Baqarah ayat 25, yaitu seketika penduduk-penduduk surga diberi makanan buah-buahan yang sangat enak rasanya, mereka berkata, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Padahal yang diberikan itu adalah buah-buahan yang serupa saja, namun rasanya tidaklah sama, malahan jauh berlipat ganda lebih enak!
Ayat 6
“Mata air yang akan minum daripadanya hamba-hamba Allah."
Sebagai lanjutan daripada ayat 5, yaitu minuman pengisi piala yang bercampur dengan kaafuur itu adalah berasal dari mata air yang sangat jernih, yang disediakan buat minuman bagi hamba-hamba Allah.
“Yang akan mereka alhkan dianya seindah-indah alhan."
Artinya bahwa mata air yang menumbuhkan air minuman yang melepaskan dahaga perjuangan hidup di dunia ini mereka alirkan terus ke dalam mahligai atau istana-istana indah tempat diam mereka di surga. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah membosankan. Bila saja dikehendaki, air selalu tersedia dan selalu enak. Lebih dari saluran air yang kita masukkan ke rumah-rumah di dunia ini.
Cobalah kita perhatikan dengan saksama! Di dalam ayat 5 dan ayat 6 diberikan dua kali berturut-turut penghargaan yang tinggi kepada orang yang bersyukur menerima bimbingan Allah, menempuh perjuangan dan percobaan hidup dengan selalu bergantung kepada pimpinan Allah. Di ayat 5 mereka itu disebut al-Abraar, yakni orang-orang yang hidupnya berbuat kebajikan. Sedang di ayat 6 martabat itu lebih ditinggikan lagi. Mereka disebut “Ibaad Allah", hamba-hamba Allah, orang-orang yang telah menyediakan dirinya menjadi hamba setia dari Allah!
Ayat 7
“Mereka menunaikan nadzar."
Itulah ciri yang khas lagi dari orang-orang yang sudi berbuat kebajikan dan ditingkatkan martabatnya oleh Allah jadi ‘Ibaad Allah! Yaitu kalau mereka telah bernadzar, artinya telah berjanji dengan Allah akan berbuat suatu amalan yang baik, suatu kebajikan, nadzarnya itu dipenuhinya. Tidak mau dia menyia-nyiakan janji. Sedangkan janji dengan sesama manusia lagi dipenuhi, apatah lagi janji dengan Allah.
Nadzar ialah janji seorang dengan Allah. Janji Allah kepada hamba-Nya bernama Wa'ad (…). Janji manusia sesama manusia disebut ‘Ahad dan ‘Aqad (…).
Menurut ‘uruf (kebiasaan) yang ditentukan syara' tentang nadzar hendaklah diucapkan, “Aku berjanji dengan Allah akan mengerjakan demikian."
Yang dinadzarkan ialah pekerjaan yang tidak wajib. Kalau sudah dijadikan nadzar dia telah jadi wajib.
Kalau secara umum saja, artinya apa jua pun yang dijanjikan di hadapan Allah untuk dikerjakan, meskipun tidak mungkin dapat dikerjakan, bernama juga nadzar. Sebab itu dibuat orang kaedah nadzar secara umum ialah,
“Apa yang diwajibkan oleh seorang mukallaf kepada dirinya sendiri untuk dikerjakan."
Tetapi oleh karena tidak semua nadzar mesti dilaksanakan, malahan ada yang haram dikerjakan, misalnya berjanji di hadapan Allah hendak membalas dendam kepada seseorang, padahal membalas dendam terlarang dalam agama, maka nadzar seperti itu nadzar juga namanya dalam bahasa, tetapi haram dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu maka ulama fiqih membuat istilah tentang nadzar yang sah ialah
“Nadzar, yaitu seorang mukallaf mewajibkan kepada dirinya sendiri suatu perbuatan taat, yang kalau tidaklah diwajibkannya, tidaklah mesti dikerjakannya."
Ucapan nadzar misalnya ialah sekira-kira, “Aku berjanji di hadapan Allah akan mengerjakan puasa dua hari jika aku selamat dari bahaya ini."
“Menjadi janjiku dengan Allah akan shalat dua rakaat jika anakku lahir dengan selamat."
Penulis tafsir ini pernah bernadzar, “Aku berjanji jika selamat keluar dari penjara karena penganiayaan ini, sesampai di luar akan puasa tiga hari berturut-turut."
Atau “Kalau pangkatku ini naik, aku berjanji akan pergi mengerjakan umrah dalam bulan puasa," dan sebagainya.
Oleh karena janji ini adalah langsung dengan Allah, tidaklah memerlukan didengar oleh orang lain. Maka segala yang telah dijanjikan akan dikerjakan itu, baik perbuatan yang sunnah menurut hukum agama, ataupun pekerjaan yang mubaah (tidak disuruh dan tidak dilarang), kalau sudah dinadzarkan, menjadi wajiblah dilaksanakan. Tetapi kalau ada hambatan buat mengerjakannya, sehingga tidakjaditerkerjakanmenurutnadzar, wajiblah dibayar kaffarah (denda). Dan kaffarah-nya ialah kaffarah sumpah; memerdekakan budak, atau memberi makan fakir miskin sepuluh orang, atau memberi fakir miskin pakaian persalinan sepuluh orang, atau dibayar. Kalau salah satunya itu tidak sanggup atau tidak dapat menyediakannya, hendaklah puasa tiga hari berturut-turut. (Lihatlah kembali surah al-Maa'idah ayat 89, dalam Juz 5).
Imam Malik menjelaskan bahwa nadzar itu memang sama dengan sumpah. Sebab itu maka kaffarah-nya adalah kaffarah sumpah.
Maka tidaklah boleh bernadzar akan berbuat maksiat. Kalau seseorang terlanjur membuat nadzar akan berbuat maksiat, dia tetap haram melakukannya dan dia wajib membayar kaffarah juga. Sebab dia telah membuat suatu janji dengan Allah.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa bernadzar dengan satu nadzar pada perbuatan maksiat, maka kaffarah-nya adalah kaffarah sumpah juga." (HR Muslim dari Ibnu Abbas)
Sebab itu maka dalam sabda yang lain dijelaskan juga oleh Nabi ﷺ,
“Tidak ada nadzar melainkan pada perkara yang mengharapkan wajah Allah. " (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Amir bin Syu'aib, dari ayahnya dari neneknya)
Ada orang bernadzar hendak naik haji dengan berjalan kaki. Kemudian ternyata dia tidak sanggup mengerjakannya. Maka disuruhlah dia membayar kaffarah.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas, pada suatu hari Rasulullah ﷺ sedang berpidato. Kelihatan oleh beliau seorang laki-laki berdiri seorang diri. Namanya Abu Israil. Lalu Nabi bertanya, “Siapa orang itu?" Lalu dijawab orang, “Namanya Abu Israil, dia bernadzar akan tegak berdiri di bawah panas matahari, tidak akan duduk, tidak akan bercakap-cakap dan tidak akan berteduh dan akan terus puasa."
Mendengar itu bersabdalah Nabi ﷺ,
“Suruhlah dia, biar dia bercakap-cakap, dan biar berlindung dan panas matahari, dan biar dia duduk dan hendaklah dia teruskan puasanya."
Dan segala keterangan itu didapatlah bahwa kalau kits membuat nadzar hendaklah dikira-kira apa yang akan dinadzarkan. Dan sebuah hadits lagi dapatlah dijadikan pedoman dalam menentukan nadzar. Nabi ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang bernadzar akan taat kepada Allah, hendaklah lakukan taat itu. Dan barangsiapa yang bernadzar akan mendurhaka kepada Allah, maka janganlah Allah didurhakai." (HR Bukhari dari Aisyah)
Lalu sambungan ayat,
“Dan mereka takut akan hari, yang siksaannya sangat merata."
Inilah ciri-ciri dari orang-orang yang sudi berbuat kebajikan, yang kemudian dinaikkan Allah martabatnya lalu diberi gelaran ‘Ibaad Allah, hamba-hamba Allah, yang benar-benar menghambakan diri. Janji dengan manusia diteguhi janji dengan Allah pun diteguhi. Kalau nyata tidak akan sanggup dia tidak mau membuat nadzar karena itu bukanlah perangai orang yang disebut Ibaad Allah. Sebab mereka insaf bahwa perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak kemudian hari. Sebab itu mereka merasa sangat takut akan tempelak Allah kelak kemudian hari, di waktu siksa dan adzab Allah merata meliputi seluruh alam di hari Kiamat itu.
Ayat 8
“Dan mereka memberi makan makanan dalam hal cinta kepadanya."
Artinya bahwa di dalam mereka sangat memerlukan makanan, di waktu itu pulalah mereka dengan segala kerelaan hati memberikan makanan itu
“`Kepada orang miskin, anak yatim dan orang tawanan."
Kesimpulannya ialah bahwa ‘Ibaad Allah itu adalah orang pemurah. Sehingga makanan yang sedang diperlukannya, dengan senang hati diberikannya kepada fakir miskin dan anak yatim. Yaitu anak yatim yang miskin pula. Pemurah timbul karena hati terbuka, karena percaya bahwa Allah akan mengganti dengan yang baru. Dalam jiwanya ada perasaan belas kasihan kepada orang yang lemah. Rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah.
Tentang fakir miskin dan anak yatim sudah banyak dibicarakan dalam surah-surah yang telah lalu. Cuma dalam hal yang terakhir, yaitu orang tawanan, inilah yang patut diketahui lebih meluas.
Asal kata orang tawanan ialah orang yang ditawan dalam peperangan. Orang yang terdesak tidak dapat melawan lagi. Dia pun tunduk. Menurut peraturan peperangan, orang yang tertawan itu tidak boleh diperangi lagi. Senjatanya dilucuti dan dia ditahan; ditahan sampai peperangan damai! Di waktu itu akan terjadi pertukaran tawanan. Kalau negeri itu kalah terus, sehingga mereka tidak dapat lagi menebus diri, biasanya mereka terus menjadi budak, hamba sahaya. Maka selama mereka masih dalam tawanan, wajiblah bagi yang menawan memeliharanya dan menjaga kesehatannya. Beri dia ladenan yang baik. Beri dia makanan yang patut dan beri mereka pengobatan. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa menyediakan makan yang patut, makanan yang dicintai sendiri oleh yang memberikan adalah termasuk perangai orang yang sudi berbuat kebajikan, bahkan perangai budi mulia bagi ‘Ibaad Allah.
Rasulullah ﷺ sendiri telah melakukan ini dalam Peperangan Badar. Kaum Muslimin dalam Peperangan Badar telah dapat menawan tujuh puluh orang musyrikin, yang selama ini sangat memusuhi Islam, sampai mengusir Nabi dari kampung halamannya dan mereka telah berperang dengan hebat sekali di Padang Badar itu. Tetapi setelah musyrikin kalah, banyak yang tertawan di samping banyak yang mati, beliau suruh sediakan makanan mereka selama tertawan itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan mereka didahulukan makan daripada mereka, ketika makan tengah hari Ghadaa Menurut Ikrimah dan Said bin Jubair yang dimaksud dengan orang tawanan bukan semata-mata orang tawanan. Budak-budak, hamba-hamba sahaya pun harus diperlakukan dengan baik. Sehingga memerdekakan budak dipandang suatu amalan yang utama. Sehingga pesan Rasulullah sehari sebelum beliau meninggal dunia ialah,
“Peliharalah shalat dan pelihara pula hamba sahaya kamu."
Lalu mereka katakan isi hati mereka.
Ayat 9
“Sesungguhnya kami memberi makan kamu ini lain tidak, adalah semata-mata kanena menghadapkan keiidhaan Allah."
Inilah dasar tulus ikhlas ketika memberikan. Tapi sudah dikatakan bahwa yang mereka berikan itu ialah makanan yang sedang sangat dikasihi. Yang diberi makan itu ialah orang miskin, anak yatim dan orang-orang dalam tawanan. Artinya orang yang tipis sekali harapan akan dapat membalas budi di hari depan. Itulah pemberian setulus-tulusnya. Jika orang mengadakan kenduri besar, memanggil orang menghadiri satu walimah, dengan memotong sapi dan kambing, umumnya yang diundang datang ialah orang-orang kaya! Di zaman moden kita ini sangat diharap orang kaya itu, akan membawakan “cadeau" atau oleh-oleh bagi yang mengadakan jamuan. Tetapi kalau memberi makan fakir miskin, anak yatim dan orang tawanan, apalah yang diharapkan dari orang itu? Seorang yang sudi berbuat kebajikan, atau orang-orang yang disebut ‘Ibaad Allah tidaklah mengharapkan balasan apa-apa dari mereka itu. Mereka miskin, lemah dan tidak berdaya buat membalas budi. Yang mereka harapkan hanyalah satu saja, yaitu Allah ridha, Allah senang menerima amalan mereka itu. “Tidaklah kami mengharapkan daripada kamu akan balasan,` supaya satu waktu kelak kami dijamu pula;
“Dan tidak pula ucapan terima kasih."
Apabila seseorang memberikan pertolongan kepada orang lain, lalu dia mengharap agar orang itu membalas budinya atau mengucapkan terima kasih kepadanya, nyatalah bahwa dia memberi itu tidak dengan tulus ikhlas. Nyatalah bahwa dia ingin mementingkan diri sendiri. Jatuhlah harga dari perbantuan yang dia berikan itu. Di dalam surah al-Baqarah ayat 264 dijelaskan benarbenar bahwa ini bukanlah perbuatan orang yang beriman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu rusakkan sedekah kamu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti." (al-Baqarah: 264)
Sebentar-sebentar sedekahnya disebutnya kepada orang lain. Dan jika bertemu dengan orang yang pernah ditolongnya itu, disakitinya hati orang itu dengan menyebut kembali jasanya yang telah lalu. Dalam ayat itu dikatakan bahwa perbuatan demikian adalah kelakuan orang yang menafkahkan hartanya karena ingin diriya, yaitu supaya dilihat orang, bukan supaya dilihat Allah.
Oleh sebab itu lanjutan perkataan dari orang yang sudi berbuat kebajikan dan mendapat julukan ‘Ibaad Allah itu ialah,
Ayat 10
“Sesungguhnya kami amat takut kepada Tuhan kami pada hari yang muka jadi masam."
Orang yang beriman takutlah memikirkan hari Kiamat itu. Di sana muka akan jadi masam karena kekecewaan, ketakutan, malu dan merasa hina. Di waktu di dunia merasa diri sangat penting, merasa diri sangat berjasa karena suka menolong orang, suka berkurban, sebab itu suka disebut di mana-mana, suka dipuji. Namun setelah datang hari akhirat, sebelah mata pun mereka tidak dilenggong oleh Allah. Diri menjadi kecil dan hina.
“Dan kesulitan timpa-bertimpa."
Kesulitan timpa-bertimpa sebab di hari itulah akan terbuka segala rahasia yang tersembunyi. Akan terbuka rahasia segala amalan yang dikerjakan bukan karena Allah.
Ibnu Abbas memberikan tafsir tentang muka masam (‘abuusan) (…) yaitu bahwa muka menjadi muram dan masam karena sulitnya yang direnungkan tentang nasib diri sendiri. Kesalahan sudah terang, hukuman belum jatuh.
Al-Akhfasy memberi tafsir tentang qamthariir (…) yang kita artikan kesulitan timpa-bertimpa, “Hari yang penuh dengan penderitaan dan terlalu lama, terlalu panjang."
Ayat 11
“Allah melindungi mereka pada hari itu."
Allah akan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang sudi berbuat kebajikan dan yang dijuluki Allah dengan ‘Ibaad Allah itu pada hari yang penuh kemuraman dan kemasaman wajah dan kesulitan yang berkepanjangan itu sebab mereka kalau memberi bukanlah karena mengharapkan balas jasa manusia dan bukan supaya diucapkan terima kasih. Semata-mata karena mengharapkan ridha Allah lah mereka itu beramal. Kesukaran-kesukaran yang mereka hadapi di kala hidup tidak akan mereka temui lagi di alam akhirat. “Dan akan mempertemukan mereka dengan kejernihan." Yaitu kejernihan muka karena rasa syukur yang ada dalam hati. Dan akan lebih terasa lagi kata-kata nadhratan di ayat ini, bila dipertautkan dengan kata-kata naadhirah pada ayat 22 dari surah yang baru lalu (al-Qiyaamah), yaitu wajah yang berseri setinggi dari itu.
“Dan kegembiraan."
Jika kejernihan jelas pada wajah, kegembiraan terasa dalam hati! Bahkan kegembiraan hati itulah yang membayang kepada kejernihan muka.
Ayat 12
Dan Dia ganjari mereka karena kesabaran mereka."
Sejak memulai hidup, bahkan sejak mulai melancar ke dunia dari dalam perut ibu, sampai tegak dan dewasa, tidaklah sunyi manusia dari percobaan. Dalam ayat 2 di permulaan surah sudah dikatakan terlebih dahulu, nabtaliihi (aL1£2) Kami cobai dia! Ketangkasan dan keteguhan hati, ketabahan dan sabar menghadapi percobaan itu akan menyebabkan manusia lulus dengan selamat. Untuk itu pastilah dia diberi ganjaran oleh Allah.
“Dengan surga dan sutra."
Surga sebagai tempat kediaman yang penuh bahagia dan nikmat dan sutra sebagai pakaian kemuliaan.
Sabda Nabi saw,
“Diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi ﷺ ditanyai orang tentang sabar. Lalu beliau bersabda, “Sabar itu adalah empat; Pertama sabar seketika pukulan pertama, kedua sabar ketika melakukan pekerjaan yang difardhukan Allah, ketiga sabar dalam menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, keempat sabar ketika percobaan datang menimpa."