Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّا
sesungguhnya Kami
خَلَقۡنَا
Kami telah menciptakan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
مِن
dari
نُّطۡفَةٍ
setetes mani
أَمۡشَاجٖ
bercampur
نَّبۡتَلِيهِ
Kami mengujinya
فَجَعَلۡنَٰهُ
maka Kami jadikan ia
سَمِيعَۢا
mendengar
بَصِيرًا
melihat
إِنَّا
sesungguhnya Kami
خَلَقۡنَا
Kami telah menciptakan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
مِن
dari
نُّطۡفَةٍ
setetes mani
أَمۡشَاجٖ
bercampur
نَّبۡتَلِيهِ
Kami mengujinya
فَجَعَلۡنَٰهُ
maka Kami jadikan ia
سَمِيعَۢا
mendengar
بَصِيرًا
melihat
Terjemahan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan) sehingga menjadikannya dapat mendengar dan melihat.
Tafsir
(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia) artinya, jenis manusia (dari setetes mani yang bercampur) yang bercampur dengan indung telur, yaitu air mani laki-laki bercampur menjadi satu dengan air mani perempuan (yang Kami hendak mengujinya) dengan membebankan kewajiban-kewajiban kepadanya; jumlah ayat ini merupakan jumlah Isti`naf yakni kalimat permulaan; atau dianggap sebagai Hal dari lafal yang diperkirakan. Yaitu, Kami bermaksud hendak mengujinya ketika Kami mempersiapkan kejadiannya (karena itu Kami jadikan dia) Kami menjadikan dia dapat (mendengar dan melihat.).
Tafsir Surat Al-Insan: 1-3
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan manusia, bahwa Dia telah menciptakannya dan mengadakannya ke alam Wujud ini, padahal sebelumnya dia bukanlah merupakan sesuatu yang disebut-sebut karena terlalu hina dan sangat iemah.
Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (Al-Insan: 1) Kemudian dijelaskan oleh firman selanjutnya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yakni yang bercampur baur. Al-masyju dan al-masyij artinya sesuatu yang sebagian darinya bercampur baur dengan sebagian yang lain. Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dari setetes mani yang bercampur. (Al-Insan: 2) Yaitu air mani laki-laki dan air mani perempuan apabila bertemu dan bercampur, kemudian tahap demi tahap berubah dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain dan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Al-Hasan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa al-amsyaj artinya bercampurnya air mani laki-laki dan air mani perempuan. Firman Allah Swt: yang Kami hendak mengujinya. (Al-Insan: 2) Maksudnya, Kami hendak mencobanya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2) Yakni Kami menjadikan untuknya pendengaran dan penglihatan sebagai sarana baginya untuk melakukan ketaatan atau kedurhakaan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu Kami terangkan kepadanya, dan Kami jelaskan kepadanya dan Kami jadikan dia dapat melihatnya. Semakna dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu. (Fushshilat: 17) Dan firman-Nya: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni Kami terangkan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.
Ini menurut pendapat Ikrimah, Atiyyah, Ibnu Zaid, dan Mujahid menurut riwayat yang terkenal darinya dan Jumhur ulama. Dan menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, AbuSaleh, Adh-Dhahhak,.dan As-Suddi, mereka mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Yaitu keluarnya manusia dari rahim. Tetapi pendapat ini gharib (aneh), dan menurut pendapat yang terkenal adalah yang pertama tadi. Firman Allah Swt: ada yang bersyukur dan adapula yang kafir. (Al-Insan: 3) Kedua lafal ini di-nasab-kan sebagai keterangan keadaan dari damir hu yang terdapat di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. (Al-Insan: 3) Bentuk lengkapnya ialah 'maka dia dalam hal ini ada yang celaka dan ada yang berbahagia', yakni celaka karena dia kafir dan bahagia karena dia bersyukur.
Hal yang semisal disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Semua orang akan pergi, maka apakah dia menjual dirinya yang berarti membinasakannya ataukah memerdekakannya? Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dan Ibnu Khaisam, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada Ka'b ibnu Ujrah: Semoga Allah melindungimu dari kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya. Ka'b ibnu Ujrah bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan orang-orang yang kurang akalnya?" Rasulullah ﷺ menjawab: (Yaitu) para penguasa yang berada sesudahku, mereka tidak memakai petunjuk dengan petunjukku, dan tidak memakai tuntunan dengan tuntunanku.
Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu perbuatan aniaya mereka, orang tersebut bukan termasuk golonganku, dan aku bukan termasuk golongan mereka, dan mereka tidak akan dapat mendatangi telagaku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu perbuatan aniaya mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya, dan mereka akan mendatangi telagaku.
Wahai Ka'b ibnu Ujrah, puasa adalah benteng, sedangkan sedekah dapat menghapuskan kesalahan (dosa), dan shalat adalah amal pendekatan diri atau bukti. Wahai Ka'b ibnu Ujrah, sesungguhnya tidak dapat masuk surga daging yang ditumbuhkan dari makanan yang haram, dan nerakalah yang lebih layak baginya. Wahai Ka'b, manusia itu ada dua macam; maka ada yang membeli dirinya yang berarti memerdekakannya, dan ada yang menjual dirinya yang berarti membinasakannya.
Affan telah meriwayatkan hadits ini dari Wahib, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam dengan sanad yang sama. Dalam surat Ar-Rum telah disebutkan pada tafsir firman-Nya: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Ar-Rum: 30) melalui riwayat Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah hingga lisannya dapat berbicara; adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia pengingkar. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Usman ibnu Muhammad, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah ,' dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Tiada seorang pun yang keluar melainkan pada pintu rumahnya ada dua bendera; satu bendera di tangan malaikat dan satu bendera lainnya di tangan setan.
Maka jika dia keluar untuk mengerjakan hal yang disukai oleh Allah, ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera malaikat sampai pulang ke rumahnya. Dan jika ia keluar untuk melakukan hal yang dimurkai oleh Allah, setanlah yang mengikutinya dengan benderanya, dan ia terus-menerus berada di bawah bendera setan sampai pulang ke rumahnya."
Proses awal penciptaan manusia ditegaskan pada ayat ini. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yaitu dari sperma laki-laki dan indung telur perempuan yang tujuan utamanya Kami hendak mengujinya dengan berbagai perintah dan larangan, karena itu Kami jadikan dia mendengar dengan telinganya dan melihat dengan matanya. 3. Potensi lainnya yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah berupa petunjuk, seperti yang ditegaskan pada ayat ini. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang jelas lagi lurus tidak ada jalan yang lurus selainnya, di antara manusia ada yang bersyukur atas nikmat dan petunjuk Tuhannya dan ada pula yang kufur, menutupi kebenaran dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Ayat ini menerangkan unsur-unsur penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan dari sperma (nuthfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Kedua unsur itu berasal dari sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran. Firman Allah:
Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (ath-thariq/86: 6-7)
Perkataan amsyaj (bercampur) yang terdapat dalam ayat ini maksudnya ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah ('alaqah), kemudian segumpal daging (mudgah), lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.
Maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya dengan perintah (taklif) dan larangan, dan untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas bumi ini. Sebagai ujiannya, di antaranya adalah apakah mereka bisa bersyukur pada waktu senang dan gembira, dan sabar dan tabah ketika menghadapi musuh.
Karena kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran dan penglihatan yang memungkinkannya menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan, dan besarnya nikmat Allah. Manusia dianugerahi pendengaran dan akal pikiran adalah sebagai bukti tentang kekuasaan Allah. Penyebutan secara khusus pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini bermakna bahwa keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah untuk membawa manusia mentauhidkan-Nya.
Dengan alat penglihatan dan pendengaran serta dilengkapi pula dengan pikiran (akal), tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiah, yang berpikir dan memperhatikan kebesaran-Nya?
Setelah menjadi manusia yang sempurna indranya sehingga memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-INSAAN
(MANUSIA)
SURAH KE-76, 31 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-31)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
DARI TIDAK PENTING MENJADI PENTING
Ayat 1
“Sudahkah datang kepada manusia, suatu waktu daripada masa, yang dia di waktu itu belum melupakan sesuatu yang jadi sebutan?"
Ayat ini berupa pertanyaan. Tetapi pertanyaan yang meminta perhatian. Beribu tahun lamanya manusia menjadi persoalan. Sebab di antara beberapa banyak makhluk Ilahi di dunia ini, manusia paling istimewa. Dia mempunyai akal, dia mempunyai ingatan dan kenangan dan dia mempunyai gagasan tentang sesuatu yang hendak dikerjakan. Tetapi sudahkah datang masanya bagi manusia buat mengingati suatu zaman, yang di zaman itu manusia belum berarti apaapa? Atau belum dianggap penting?
Beberapa ahli tafsir, di antaranya al- Qurthubi dan termasuk juga ar-Razi sendiri menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan manusia di sini ialah Adam sendiri sebab Sufyan Tsauri dan Ikrimah dan as-Suddi, dikatakan bahwa “suatu waktu daripada masa" yang manusia belum jadi sebutan itu ialah tatkala empat puluh tahun lamanya tubuh Adam sudah dibentuk daripada tanah, masih tergelimpang belum bernyawa di antara Mekah dengan Thaif. Allah menjadikannya daripada tanah, lalu ditelentangkan selama empat puluh tahun, kemudian ditempa dia menjadi tanah liat yang kering (hamain masnuri), empat puluh tahun pula. Lalu diteruskan menjadi kering seperti tembikar (shalshalin) empat puluh tahun pula. Barulah disempurnakan kejadiannya sesudah seratus dua puluh tahun. Waktu itu barulah ditiupkan pada dirinya ruh.
Tetapi setengah pemberi tafsir membantah penentuan bilangan tahun itu. Katanya hiinun minad dahri.
Artinya ialah suatu waktu yang tidak diketahui berapa lamanya.
Belum merupakan sesuatu yang menjadi sebutan maksudnya kata mereka—ialah semata-mata bertubuh dan berupa, tetapi masih tanah, tidak disebut dan tidak diingat, tidak ada yang mengetahui siapa namanya dan guna apa dia diperbuat. Lalu Yahya bin Salam mengatakan, “Tidak menjadi sebutan dan ingatan dalam kalangan makhluk-makhluk Allah meskipun sudah diketahui dan disebut di sisi Allah sendiri." Kemudianlah baru diketahui manusia dalam kalangan malaikat karena Allah menyatakan hendak mengadakan khalifah, dan tersebut pula bahwa Allah menawarkan amanah kepada langit dan bumi dan gunung-gunung. Semua keberatan memikul amanah itu, lalu dipikul oleh manusia. Waktu itulah baru manusia terkenal dan jadi sebutan.
Kemudian Qatadah menafsirkan pula, “Bahwa pada mulanya manusia belum menjadi sebutan, karena manusia dijadikan kemudian sekali. Yang lebih dahulu dijadikan ialah makhluk yang lain, bahkan binatang-binatang. Manusia dijadikan kemudian."
Begitulah cara menafsirkan pada zaman lama, delapan atau sembilan ratus tahun yang lalu. Ketika pengetahuan manusia terbatas hingga demikian. Tetapi setelah zaman baru sekarang ini, abad kedua puluh tafsir itu sudah lain lagi. Sayyid Quthub dalam tasfirnya yang terkenal Fizhilalil Al-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an) telah menulis lain. Beliau berkata,
“Banyak hal yang terkenang oleh kita ketika merenungkan pertanyaan ini. Satu di antaranya membawa jiwa kita tertuju kepada masa sebelum insan terjadi, dan alam dalam permulaan wujud. Dikenangkan masa bahwa yang maujud ini terbentang, namun manusia belum ada waktu itu. Bagaimanakah keadaan alam di masa itu? Manusia itu kadang-kadang sombong dan terlalu menilai diri terlalu tinggi sehingga dia lupa bahwa yang wujud ini seluruhnya telah ada juga sebelum manusia ada, berlama masa berjuta bilangan tahun. Mungkin alam di waktu itu tidak ada mengira- ngira akan ada suatu makhluk yang bernama insan, sampai muncul makhluk ini ke muka bumi, dari kehendak Allah Mahakuasa."
Sekali lagi pertanyaan pun tertuju kepada masa tiba-tiba munculnya yang bernama manusia itu. Berbagai macamlah penggambaran tentang timbulnya manusia, bagaimana cara timbulnya, yang pada hakikatnya sejati hanya Allah yang Mahatahu; bagaimana pembawaan makhluk baru ini ke tengah-tengah alam, yang telah ditentukan duduknya oleh Allah sebelum dia ada.
Kemudian pindahlah pertanyaan kepada yang satu lagi, yaitu pertanyaan tentang qudrat iradat dari Yang Mahakuasa, Pencipta itu, yang telah membawa makhluk ke tengah medan wujud, bagaimana Allah menyediakannya, bagaimana Allah mempersambungkan hidupnya itu dengan putaran wujud, supaya dapat dia menyesuaikan diri dengan keadaan keliling. Banyak lagi pertanyaan lain dan renungan lain, tentang sampai adanya manusia dalam alam ini.
Ayat 2
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia daripada setitik mani yang bercampur."
Artinya, bahwa manusia yang tadinya tiada terkenal itu, yang tiada jadi sebutan di dalam bumi yang begitu luas, yang sekarang telah muncul sebagai makhluk yang hidup, asal usul kejadiannya ialah daripada nuthfah, yaitu titikan mani atau khama. Sebagaimana yang telah diterangkan juga pada ujung surah al- Qiyaamah. Sehingga ujung surah al-Qiyaamah dengan sendirinya sambut-bersambut dengan pangkal dari surah al-Insaan, yang satu memperjelas yang lain. Nuthfah itu adalah setitik atau segumpal air mani yang tetah bercampur. Yaitu bercampurnya bibit halus laksana cacing dari mani laki-laki dengan bibit halus laksana telur dari mani si perempuan. Bila kedua aliran mani telah bertemu, maka lekatlah ujung bibit dari laki-laki itu pada telur kecil si perempuan. Bilamana telah lekat, mereka tidak berpisah lagi. Mereka telah dikumpulkan, dicampurkan jadi satu menjadi nuthfah, dan mulailah dia diperamkan di dalam rahim (peranakan) si perempuan.
Dari semula lagi sudah ada ketentuan bahwa ini adalah bibit manusia. Walaupun misalnya dicampurkan bibit mani selain dari manusia ke dalam mani itu, kalau bukan pasangannya, tidaklah dia akan menjadi. Teropong manusia, teleskop yang paling halus hanya akan menampak bintil kecil sangat kecil sekali. Tidaklah ada berbeda pada pandangan mata misalnya di antara sebuah bibit manusia dengan sebuah bibit macan atau kera! Tetapi sejak semula itu telah ada pembagiannya. Mani seekor kera betina tidaklah akan dapat dipersatukan, atau di-nuthfah-kan dengan mani seorang laki-laki dan sebaliknya.
Dan di dalam bibit yang sangat kecil itu pula telah terjadi persediaan seorang anak akan menurut bentuk ayahnya atau ibunya, malahan kombinasi warna kulit ayah dengan warna kulit ibu, Selanjutnya urutan ayat, “Lalu Kami uji dia." Sejak tubuhnya terlancar dari dalam perut ibunya karena telah sampai bilangan bulannya, mulai saja masuk ke tengah alam terbuka ini dia telah kena uji. Sikap yang dilakukannya terlebih dahulu, sebagai naluri atau instinct kehendak hidup ialah bergerak dan menangis. Hidup yang senang dalam suhu teratur dalam rahim ibu dengan tiba-tiba berubah. Mulai dia menantang udara! Dia menangis karena terkejut dan dia bergerak menandakan ingin hidup. Sejak masa itu tidaklah lepas dia, si manusia itu daripada ujian. Kuatkah dia menantang hidup, dapatkah dia menyesuaikan diri dengan alam keliling. Dia akan merasakan lapar, dia akan merasakan haus, dia akan merasakan panas, dia akan merasakan dingin, dia akan buang air besar dan buang air kecil. Alat pertama hanya menangis dan menangis. Tetapi semuanya itu dengan berangsur-angsur akan diatasinya.
“Maka Kami jadikanlah dia mendengar, lagi melihat."
Dia akan lalu di tengah-tengah alam. Dari kecil dia akan besar. Dari anak dalam pangkuan, dia akan tegak, dia akan berlari, dia akan berjuang mengatasi hidup itu. Maka diberikan Allah-lah kepadanya dua alat yang amat penting bagi menyambungkan kehidupan pribadinya dengan alam kelilingnya itu. Diberikan pendengaran dan penglihatan. Maka pendengaran dan penglihatan itu adalah untuk mengontakkan pribadi si manusia dengan alam kelilingnya tadi. Supaya didengarnya suara lalu diperbedakannya mana yang nyaring dan mana yang badak, mana suara dekat dan mana suara jauh. Dengan penglihatan dilihatnya besar dan kecil, jauh dan dekat, atas dan bawah, indah dan buruk. Kian sehari kian berkembanglah bakatnya sebagai insan yang telah diberi Allah persediaan batin yang bernama akal.
Di samping persediaan akal dalam jiwa dan pendengaran disertai penglihatan dalam jasmani, lalu Allah memberikan petunjuk jalan.
Ayat 3
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan."
Dengan sebab diberi petunjuk jalan, langsung dari Allah ini, jadilah dia manusia yang mulai dikenal, berbeda dengan makhluk yang lain. Dia tidak lagi sesuatu yang tidak jadi sebutan. Makhluk-makhluk lain yang ada di muka bumi ini, binatang-binatang melata yang masih ada atau yang telah musnah, pun diberi pendengaran dan penglihatan, bertelinga dan bermata. Tetapi kepada binatang-binatang itu tidak ditunjuki jalan sebagaimana yang ditunjukkan kepada manusia. Bilamana manusia telah mengembara di atas permukaan bumi, bila mereka dengar dan lihat alam keliling, kebesaran langit, sinar matahari, lembutnya cahaya bulan, mengagumkan keindahan dan kesempurnaan, mereka akan sampai kepada kesimpulan tentang adanya Yang Mahakuasa atas alam ini. Sehingga bangsa-bangsa yang disebut masih pada pangkal permulaan hidup (primitif) pun dengan nalurinya sampai juga kepada kepercayaan tentang adanya Yang Mahakuasa. Tetapi kasih Allah tidaklah cukup hingga itu saja, malahan Allah sendiri memberikan bimbingan hidup itu dengan menurunkan wahyu, dengan mengirimkan rasul-rasul untuk memperkenalkan tentang adanya Allah Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu maka petunjuk Allah dapatlah dibagi atas pertama naluri, kedua hasil pendengaran dan penglihatan yang bernama pengalaman, ketiga hasil renungan akal dan keempat petunjuk Ilahi dengan agama. Maka dengan petunjuk yang keempat ini cukuplah petunjuk yang diberikan Allah, sehingga makhluk yang tadinya tidak masuk hitungan itu, tidak menjadi sebutan karena tidak penting, telah terangkat martabatnya sangat tinggi, menjadi khalifah Allah di muka bumi, memikul amanah tanggung jawab yang tidak sanggup baik langit, ataupun bumi ataupun gunung-gunung memikulnya, lalu manusia yang menampilkan bahunya untuk memikul tanggung jawab itu. Sehingga jadi berartilah permukaan bumi ini, karena manusia ada di dalamnya.
“Maka adakalanya yang bersyukur dan adakalanya yang kafir."
Bila manusia sadar akan dirinya niscaya bersyukurlah kepada Allah; sebab dan makhluk yang tadinya tidak diingat, tidak jadi sebutan, dia telah ada dalam dunia. Dan segumpal air kental laksana kanji dia telah lahir jadi manusia.
Diberi alat penghubung antara dia dengan alam, yaitu pendengaran dan penglihatan. Diberi akal, diberi pikiran dan diberi budi dan pekerti. Menjadilah dia apa yang di zaman modern sekarang ini disebut manusia budaya. Tetapi niscaya ada pula manusia yang tidak ingat akan anugerah Allah itu. Disediakan segala-galanya buat dia, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah ayat 29,
“Dialah yang telah menciptakan untuk kamu apa pun yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
Diterimanya nikmat tetapi tidak disyukurinya, dimakannya pemberian namun dia tidak berterima kasih. Pemberian-pemberian Allah disalahgunakannya. Memang ada manusia yang suka melupakan jasa itu. Sebab itu di ujung ayat dikatakan bahwa orang yang semacam itu kufuur, namanya. Dalam kata biasa disebut orang yang selalu melupakan jasa.
Orang yang seperti itu biasanya bukanlah dia berjasa dalam dunia ini. Martabatnya jatuh, hanya sehingga jadi homo sapiens, binatang yang berpikir. Mereka tidak turut membina dan membangun di muka bumi ini.
Tetapi manusia yang bersyukur tadi itulah manusia yang memenuhi tugas sebagai insan. Dia menginsafi guna apa dia hidup di dunia ini, bahwa dia diciptakan Allah adalah dengan karena tujuan tertentu. Penciptaannya adalah dalam lingkungan satu bundaran yang dimulai dari lahir, diadakan perhentian di waktu mati, untuk meneruskan lagi sesudah mati kepada hidup akhirat. Dunia dilalui bukanlah menempuh jalan yang datar bertabur kembang saja, melainkan pasti sanggup dan tahan menghadapi berbagai ujian. Dengan ujian diuji di antara emas urai dengan loyang tembaga. Seluruh hidup ini dilalui untuk menempuh ujian. Tanda lulus akan dirasakan kelak. Maka kalau setengah orang memandang bahwa hidup ini hanya lahwun wa la'ibun, main-main dan senda gurau, seorang Mukmin memandang hidup ialah buat iman dan amal yang saleh.