Ayat
Terjemahan Per Kata
فَجَعَلَ
maka/lalu Dia jadikan
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلزَّوۡجَيۡنِ
dua jodoh/pasang
ٱلذَّكَرَ
laki-laki
وَٱلۡأُنثَىٰٓ
dan perempuan
فَجَعَلَ
maka/lalu Dia jadikan
مِنۡهُ
daripadanya
ٱلزَّوۡجَيۡنِ
dua jodoh/pasang
ٱلذَّكَرَ
laki-laki
وَٱلۡأُنثَىٰٓ
dan perempuan
Terjemahan
Lalu, Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.
Tafsir
(Lalu Allah menjadikan daripadanya) dari air mani yang telah menjadi segumpal darah, segumpal daging (sepasang) dua jenis (laki-laki dan perempuan) terkadang menjadi satu dan terkadang tersendiri.
Tafsir Surat Al-Qiyamah: 26-40
Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak man mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi 'alaqah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.
Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan saat meregang nyawa dan hal-hal mengerikan yang terjadi di dalamnya, semoga Allah meneguhkan kita dengan kalimah yangteguh. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala Berfirman: Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. (Al-Qiyamah: 26) Jika kita anggap kalla sebagai kata sanggahan, berarti makna ayat ini ialah 'tiadalah engkau, wahai anak Adam, di saat itu dapat mendustakan apa yang telah diberitakan kepadamu, bahkan hal itu dapat "engkau saksikan dengan terang-terangan olehmu sendiri'. Dan jika kita menganggapnya sebagai suatu pernyataan kebenaran, maka sudah jelas, yakni benar apabila roh telah sampai di kerongkongan, yakni rohmu dicabutdari jasadmu dan sampai di kerongkongan.
Taraqi adalah bentuk jamak dari tarquwah, artinya tulang rawan yang ada antara pangkal sampai ujung leher. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kami ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar? (Al-Waqi'ah: 83-87) Hal yang sama disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Sekali-kali jangan.
Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. (Al-Qiyamah: 26) Hadits yang berkaitan dengan makna ini telah disebutkan di dalam tafsir surat Yasin, diriwayatkan melalui Bisyr ibnu Hajjaj. At-taraqi adalah bentuk jamak dari tarquwah, artinya sama dengan tenggorokan. Dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah dukun manakah yang dapat menyembuhkanmu? Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Qilabah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Maksudnya, adakah tabib yang dapat menyembuhkanmu? Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid.
ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnul Musayyab alias Abu Raja Al-Kalabi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Malik, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Dikatakan bahwa siapakah yang akan membawa naik rohnya, apakah malaikat rahmat ataukah malaikat azab? Dengan demikian, berarti ayat ini adalah menceritakan ucapan para malaikat.
Disebutkan pula dengan sanad yang sama dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Yakni bertautlah baginya dunia dan akhirat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Yaitu akhir hari dunianya bertemu dengan awal hari akhiratnya. sehingga bertemulah keadaan yang sangat berat dengan keadaan sangat berat lainnya terkecuali bagi orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala (maka dia melewatinya dengan mudah dan tenang). Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Artinya, perkara yang besar dengan perkara yang besar lainnya bertemu. Mujahid mengatakan bahwa bencana bertemu dengan bencana lainnya.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). (Al-Qiyamah: 29) Bahwa keduanya adalah betismu apabila ditautkan. Menurut riwayat lain yang bersumber darinya, kedua kakinya telah mati dan tidak lagi mampu menahan dirinya, padahal sebelumnya dia banyak berjalan dengan keduanya. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dari Abu Malik. Dan menurut riwayat lainnya lagi yang bersumber dari Al-Hasan, apabila kedua betis itu ditautkan dan dibungkus dalam kain kafan.
Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). (Al-Qiyamah: 29) Terhimpunkan baginya dua perkara, manusia mempersiapkan jenazahnya, dan para malaikat mempersiapkan rohnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. (Al-Qiyamah: 30) Yakni dikembalikan dan dipulangkan. Demikian itu karena roh dibawa naik ke langit, lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Kembalikanlah jasad hamba-Ku ke tanah, karena sesungguhnya Aku menciptakan mereka dari tanah dan kepadanyalah Aku kembalikan mereka, dan darinyalah Aku keluarkan mereka di waktu yang lain (hari berbangkit)." Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits Al-Barra yang cukup panjang. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan Dialah Yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya, Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.
Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat. (Al-An'am: 61-62) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), (Al-Qiyamah: 31-32) Hal ini menceritakan tentang keadaan orang kafir yang ketika di dunia mendustakan perkara yang hak dan berpaling dari mengamalkannya, maka tiada kebaikan dalam dirinya lahir dan batinnya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). (Al-Qiyamah: 31-33) Yaitu dengan langkah yang senang, angkuh, sombong, lagi malas, tiada keinginan dan tiada amal.
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya. mereka kembali dengan gembira. (Al-Muthaffifin: 31) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Al-Insyiqaq: 13-14) Yakni tidak akan dikembalikan kepada Tuhannya.= (Bukan demikian), yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya. (Al-Insyiqaq: 15) Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). (Al-Qiyamah: 33) Artinya, dengan langkah yang angkuh. Qatadah dan Zaid ibnu Aslam mengatakan dengan langkah yang sombong. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ini merupakan ancaman yang keras dari Allah subhanahu wa ta’ala, ditujukan kepada orang yang kafir kepada-Nya lagi angkuh dalam berjalan.
Dengan kata lain, sudah sepantasnya kamu berjalan demikian, karena kamu kafir kepada Tuhan yang telah menciptakanmu. Ungkapan seperti ini mengandung nada cemoohan dan ancaman, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (Ad-Dukhan: 49) (Dikatakan kepada orang-orang kafir), "Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek: sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa. (Al-Mursalat: 46) Maka sembahlah olehmu (wahai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Az-Zumar: 15) Dan firman-Nya yang lain: Perbuatlah apa yang kamu kehendaki! (Fushshilat: 40) Masih banyak lagi ayat lainnya yang semakna.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ibnu Mahdi), dari Israil, dari Musa ibnu Abu Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang makna firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Sa'id ibnu Jubair menjawab, bahwa wahai ini dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada Abu Jahal, kemudian turunlah ayat yang bersesuaian dengannya. Abu Abdur Rahman An-An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dan telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ibnu Abbas menjawab bahwa itu dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepada Abu Jahal, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu yang bersesuaian dengannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khaiid, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Ishaq, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ini merupakan ancaman sesudah ancaman lainnya. Menurut suatu riwayat, Nabi ﷺ memegang kerah baju musuh Allah (yaitu Abu Jahal), kemudian berkata kepadanya: Kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu. Maka musuh Allah alias Abu Jahal menjawab, "Apakah engkau mengancamku, wahai Muhammad? Demi Tuhan, kamu tidak akan mampu dan begitu pula Tuhanmu untuk berbuat sesuatu pun terhadap diriku, karena sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling perkasa yang menghuni lembah di antara kedua bukit ini." Firman Allah Swt: Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (Al-Qiyamah: 36) As-Suddi mengatakan, makna yang dimaksud ialah apakah manusia mengira bahwa dirinya tidak dibangkitkan hidup kembali? Menurut Mujahid, Imam Syafii, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, maknanya apakah manusia mengira bahwa dia tidak dikenakan perintah dan larangan? Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan pengertian umum yang mencakup kedua keadaan tersebut.
Dengan kata Lain, dapat disebutkan bahwa tidaklah ia dibiarkan begitu saja di dunia ini tanpa dikenakan perintah dan larangan, dan tidak dibiarkan pula di dalam kuburnya dengan sia-sia tanpa dibangkitkan kembali; bahkan dia dikenai perintah dan larangan di dunia ini, lalu digiring kembali kepada Allah di hari kemudian setelah dibangkitkan. Makna yang dimaksud ialah menguatkan adanya hari berbangkit dan sekaligus menyanggah pendapat orang yang mengingkarinya dari kalangan orang-orang yang sesat, bodoh, lagi pengingkar kebenaran.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan hal yang menunjukkan adanya hari berbangkit itu melalui penciptaan manusia dari permulaannya: Bukankah dia dahulu setetes mani (nutfah) yang ditumpahkan (ke dalam rahim)? (Al-Qiyamah: 37) Artinya, tidakkah manusia ingat bahwa asal dirinya adalah nutfah yang lemah berupa air mani yang dipancarkan dari sulbi ke dalam rahim. kemudian nutfah itu menjadi 'alaqah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. (Al-Qiyamah: 38) Yakni lalu jadilah ia 'alaqah, kemudian diberi bentuk, lalu ditiupkan roh ke dalam tubuhnya sehingga jadilah ia makhluk lain yang sempurna dan memiliki anggota tubuh yang lengkap, apakah dia laki-laki atau perempuan dengan seizin Allah dan takdirnya.
Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. (Al-Qiyamah: 39) Lalu disebutkan pula dalam firman berikutnya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Yaitu bukankah Tuhan yang menciptakan makhluk yang sempurna ini dari nutfah yang lemah berkuasa pula untuk mengembalikannya hidup seperti semula ketika Dia menciptakannya? Kekuasaan mengembalikan hidup seperti semula ini adakalanya tersimpulkan melalui analogi prima bila dikaitkan dengan permuiaan penciptaan, atau adakalanya melalui analogi sepadan.
Ada dua pendapat mengenainya, yang tersimpulkan dari makna firman-Nya: Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikannya (menghidupkannya) kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. (Ar-Rum: 27) Tetapi pendapat pertamalah yang lebih terkenal, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam tafsir surat Ar-Rum keterangannya dengan lengkap; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Syababah, dari Syu'bah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari seseorang, bahwa dia berada di atas puncak rumah membaca Al-Qur'an dengan suara yang keras.
Manakala bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Maka ia mengucapkan, "Mahasuci Engkau, ya Allah, bukan demikian." Ketika ia ditanya mengenai hal itu, maka ia menjawab bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengucapkan demikian. Abu Dawud rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Musa ibnu Abu Aisyah yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki shalat di atas rumahnya, dan manakala ia membaca firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Lalu ia berkata, "Mahasuci Engkau, bukan demikian." Kemudian mereka bertanya kepadanya tentang hal tersebut.
Ia menjawab, bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah ﷺ mengatakannya. Hadits ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Abu Dawud, dan mengenai nama sahabat yang tidak disebutkan tidak menjadi masalah bagi hadits ini (sebab semua sahabat dinilai adil). Imam Abu Dawud mengatakan pula: ". telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Muhammad Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah; bahwa ia mendengar seorang Badui mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Barang siapa dari kamu membaca surat At-Tin, lalu bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya? ' (At-Tin: 8) Hendaklah ia menjawab: 'Bukan demikian yang sebenarnya, dan aku termasuk orang-orang yang menyaksikan hal tersebut.' Dan barang siapa yang membaca firman-Nya: 'Aku bersumpah dengan hari kiamat (Al-Qiyamah: 1).
Lalu bacaannya sampai pada firman-Nya: 'Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?' (Al-Qiyamah: 40) Hendaklah ia mengucapkan, 'Bukan demikian sebenarnya.' Dan barang siapa yang membaca surat Al-Mursalat, lalu bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Maka kepada perkataan apakah selain Al-Qur'an ini mereka beriman?' (Al-Mursalat: 50) Hendaklah iamengucapkan: 'Kami beriman kepada Allah'. Imam Ahmad meriwayatkan ini dari Sufyan ibnu Uyaynah, dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar ibnu Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
Syu'bah telah meriwayatkannya dari Ismail ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa aku bertanya kepada Ismail, "Siapakah yang menceritakan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Seorang lelaki yang jujur, dari Abu Hurairah." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Telah diceritakan kepada kami, bahwa Rasulullah ﷺ apabila membaca ayat ini selalu mengucapkan: Bukan demikian sebenarnya, Mahasuci Engkau. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Muslim Al-Batin.
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa bacaannya pernah sampai pada firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian "berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Lalu Ibnu Abbas mengucapkan, "Mahasuci Engkau, hal yang sebenarnya bukan demikian.""
37-40. Kalau manusia menduga seperti itu, sungguh itu adalah dugaan yang keliru. Bukankah dia mulanya hanya setetes mani yang ditumpahkan ke dalam rahim, kemudian mani itu setelah bertemu dengan sel telur menjadi sesuatu yang melekat, lalu Allah Yang Mahakuasa menciptakannya dan menyempurnakan kejadiannya, lalu Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. Begitulah siklus reproduksi manusia yang diberi kesempatan hidup di dunia untuk diberi tugas dan tanggung jawab. Dan pastilah akan dibangkitkan untuk dimintai pertanggung jawaban. Bukankah Allah yang berbuat demikian hebat dan menakjubkan, berkuasa pula menghidupkan orang mati' Kalau manusia masih tetap durhaka, berarti sudah tertutup mata hatinya. 37-40. Kalau manusia menduga seperti itu, sungguh itu adalah dugaan yang keliru. Bukankah dia mulanya hanya setetes mani yang ditumpahkan ke dalam rahim, kemudian mani itu setelah bertemu dengan sel telur menjadi sesuatu yang melekat, lalu Allah Yang Mahakuasa menciptakannya dan menyempurnakan kejadiannya, lalu Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. Begitulah siklus reproduksi manusia yang diberi kesempatan hidup di dunia untuk diberi tugas dan tanggung jawab. Dan pastilah akan dibangkitkan untuk dimintai pertanggung jawaban. Bukankah Allah yang berbuat demikian hebat dan menakjubkan, berkuasa pula menghidupkan orang mati' Kalau manusia masih tetap durhaka, berarti sudah tertutup mata hatinya.
Dalam ayat-ayat ini, Allah mengingatkan kembali tentang asal mula penciptaan manusia, yaitu ia diciptakan dari setetes air mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakan, dan menyempurnakannya. Allah juga menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan.
Ayat ini mengingatkan manusia yang ingkar bagaimana air mani itu diciptakan Allah menjadi daging yang dengannya manusia diciptakan dengan sempurna melalui proses kehamilan. Adalah hal yang mudah juga bagi Allah menghidupkan manusia, kemudian mematikan dan menghidupkannya kembali.
Sperma laki-laki dan sel telur perempuan bercampur menjadi satu sehingga tercipta manusia yang sempurna, lengkap dengan penglihatan dan pendengaran, baik dari jenis laki-laki maupun perempuan. Maka apakah manusia tidak pernah memikirkan bahwa sang Pencipta dari segala proses kejadian itu mampu pula menghancurkan dunia ini kemudian menciptakan hari Kiamat serta manusia yang telah mati dibangkitkan hidup kembali?
Ini suatu penegasan bagi manusia yang mau berpikir andaikata masih ragu-ragu tentang kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali manusia yang telah mati.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 36
“Apakah manusia mengina, bahwa dia akan dibiarkan lepas saja?"
Apakah manusia mengira, atau apakah manusia menyangka bahwa mereka dibiarkan saja lepas bebas hidup dalam dunia ini dengan tidak ada peraturan? Lepas dan bebas tidak ada pengembala, laksana binatang liar lepas di rimba?
Menurut tafsiran dari Mujahid dan Imam asy-Syafi'i dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, “Apakah manusia menyangka mereka akan dibiarkan saja dengan tidak ada perintah dan tidakada larangan?" As-Suddi menafsirkan, “Apakah manusia menyangka bahwa kalau dia telah mati tidak akan ada pembangkitan lagi, lalu habis begitu saja?" Lalu Ibnu Katsir menghimpunkan kedua macam tafsir itu jadi satu, yaitu, “Apakah manusia menyangka bahwa mereka dibiarkan saja hidup di dunia ini dengan tidak ada perintah berbuat yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalau mati habis begitu saja, tidak ada hari kebangkitan lagi dari kubur?"
Datang pertanyaan demikian ialah guna mengingkari pertanyaan itu sendiri. Tegasnya sekali-kali janganlah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan saja datang ke dunia ini, dengan tidak ada peraturan, tidak ada suruhan dan larangan, dan kalau mati habis begitu saja.
Lalu untuk membantah persangkaan yang demikian, yang ditimbulkan oleh orang yang tidak percaya akan adanya Allah, atau tidak percaya akan adanya syari'at Ilahi buat mengatur manusia agar mencapai hidup yang baik (hayatan thayyibatan), disuruhlah manusia itu mengingat asal usul kejadian dirinya sendiri.
Ayat 37
“Bukankah dia dahulu setitik mani yang ditumpahkan?"
Yaitu perpaduan setitik kecil mani seorang laki-laki dengan mani seorang perempuan, lalu diperam mani itu di dalam rahim.
Ayat 38
“Kemudian jadilah dia segumpal darah."
Yaitu setelah melalui masa empat puluh hari dalam peraman rahim itu. “Lalu Dia ciptakan," diberi berbentuk sesudah melalui masa jelmaan jadi daging (mudhghah) empat puluh hari pula.
“Lalu Dia sempurnakan."
Dapatlah kita melihat misalnya kalau ada seorang perempuan sedang bunting dalam masa dua kali empat puluh hari, di kala ‘alaqah akan menjelma menjadi mudhghah, lalu dia keguguran, masih jelas kita lihat segumpal daging yang baru akan diberi bentuk, tetapi belum jelas benar perorangannya. Tetapi kalau dia keguguran kandungan dalam masa masuk lima bulan, kita akan melihat bahwa seluruh bentuk badan telah cukup. Tetapi kalau dia keguguran masa mengandung enam masuk tujuh bulan, kita mulai melihat orang lengkap! Dalam kandungan antara tujuh delapan bulan adalah masa penyempurnaan. Sampai kepada ruas jari kaki dan tangan, siku-siku, ruas lutut, leher, lidah dan mata sampai sehalus-halusnya. Setelah sampai masa sembilan bulan lebih sepuluh hari, karena kejadiannya telah sempurna sebagai seorang insan, dia pun lahirlah ke dunia. Mulai lahir dia sudah menangis, menandakan hidup.
Ayat 39
“Maka Dia jadikan daripadanya sepasang."
Artinya kita disuruh memerhatikan betapa halus pembagian pada waktu anak itu masih dalam kandungan. Kalau kita ulang sekali lagi perumpamaan perempuan yang keguguran pada masa kandungan belum sempurna tadi, jika dia keluar, yang masih kita lihat barulah gumpalan daging yang akan mengarah jadi orang. Tetapi dalam ilmu Allah sudah ada pembagian, sudah ada pasangan,
“Laki-laki dan perempuan."
Kita tidak dapat menuruti penciptaan diri kita manusia dengan teliti hari ke hari, saat ke saat. Sebab itu kita belum tahu mana anak yang akan jadi laki-laki dan mana anak yang akan jadi perempuan. Padahal Allah sudah mengetahuinya lebih dahulu. Kalau anak itu telah lahir menurut waktunya yang wajar, barulah kita tahu pembagian itu. Padahal sejak semula telur diciptakan, atau sejak bibit dari mani si laki-laki yang laksana “cacing" itu mulai melekap atau melengket ke bibit si perempuan yang menyerupai telur itu, Allah telah menentukan dia akan lahir sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.
Sesudah Allah menerangkan perkembangan perangsuran kejadian itu (proses) sejak dari setetes mani menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu dibentuk dan disempurnakan, dan itu dapat disaksikan, pada akhirnya Allah pun bertanya,
Ayat 40
“Bukankah yang demikian itu Mahakuasa pula menghidupkan yang mati?"
Pada ayat 4 di permulaan surah, Allah sudah mengatakan, “Bahkan Kami Mahakuasa atas menyusun sempurna ujung-ujung jarinya." Artinya bukan saja mengumpulkan kembali tulang-tulangnya, bahkan menyusun kembali dengan rapi ujung jari, baik bilangan ruasnya bahkan garis-garis pada ujung jari akan kami susun kembali seperti asal.
Dengan keterangan di ujung surah ini, manusia yang suka mempergunakan akal yang sehat akan dapat menerima bahwa keterangan dari Allah sendiri bahwa manusia akan dihidupkan kembali. Kalau kiranya setitik kecil mani, yang setitik itu menurut keterangan ahli-ahli penyelidik mengandung beratus-ratus ribu bibit, demikian pula mani perempuan, mengandung pula beratus-ratus ribu bibit penerima. Kemudian dia bisa berkumpul jadi satu, menjelma jadi segumpal darah, lalu jadi segumpal daging, lalu sempurna kejadian dalam rahim menjadi seorang manusia, dalam masa hanya sembilan bulan sepuluh hari, dan hal setiap hari beribu-ribu manusia lahir melalui proses demikian itu ke dunia ini, dihadapi oleh manusia sendiri sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah, tetapi rahasianya tidak juga dapat diketahui. Alangkah pandirnya manusia, kalau Allah mengatakan bahwa Allah pun kuasa mengulangi kembali kejadian manusia itu sesudah mati. Allah pun Mahakuasa menyusun tubuh itu kembali sebagaimana telah jelas dalam firman Allah pada surah ar-Ruum, ayat 27 (Juz 21).
“Dan Dialah yang memulaikan penciptaan, kemudian Dia pula yang akan mengembalikan, dan (mengembalikan itu) lebih mudah kepadanya." (ar-Ruum: 27)
Sedangkan rahasia terjadinya setitik mani dalam masa sembilan bulan sepuluh hari menjelma lahir merupakan manusia lengkap sempurna, kemudian jadi manusia berpikir, bahkan ada yang jadi nabi, rasul, raja besar, penyair, filsuf dan tukang sapu labuh, dilihat tiap hari, namun kita manusia belum juga dapat memecahkan rahasia kekuasaan itu dan kita menerimanya sebagai kenyataan, mengapa kita akan menolak keterangan dan Allah sendiri, bahwa bagi Allah mengulangi kejadian itu kembali adalah lebih mudah?
Mari kita renungkan hal insan ini kembali! Karena mau tidak mau kita terlibat di dalamnya. Berhenti berpikir tentang insan, tidaklah menyelesaikan persoalan.
Apakah sebenarnya manusia ini? Dari apa sebenarnya kejadiannya? Bagaimana terjadinya? Bahkan bagaimana akan jadinya? Benarkah jadinya sejadinya dan hilangnya sehilangnya saja?
Bagaimana manusia melakukan perjalanan sejauh ini, dan tiada lalu datang ke atas bintang yang bernama bumi ini?
Dari setitik kecil mani, atau khama! Bukankah setitik mani itu pun menyaring diri dan hanya satu bibit saja dari antara beribu-ribu bibit dalam setitik mani itu yang akan melanjutkan hidup, terletak pada tempat yang khas dalam rahim? Berlindung dalam dinding rahim yang gelap tidak masuk udara, karena hendak hidup dan hendak menerima sari makanan untuk melanjutkan hidup? Dia bergerak; siapa wahai yang menuntunnya supaya bergerak.
“Coba rasakan perutku, abang. Bergerak dia!" ujar seorang istri yang sedang bunting muda kepada suaminya yang tidur dengan penuh kasih sayang di sampingnya. Diambil tangannya oleh istrinya lalu dilekapkannya ke perutnya. Maka dengan penuh haru si suami tercinta merasakan gerak anak itu dan diciumnya kening istrinya dengan penuh rasa syukur dan terharu. Siapakah wahai yang memberinya ilham buat bergerak? Siapa yang memimpinnya?
Sesudah itu siapa? Siapa yang menciptakan sehingga dan nuthfah, menjelma jadi ‘alaqah, lalu jadi mudhghah dan kemudian berangsur menjadi bayi? Sejak semula jadi sudah ada keseimbangan pada kejadian tubuhnya? Asalnya hanya satu bibit, kemudian jadi gabungan dari bermilliun, bermilliun sel yang hidup? Siapa yang memimpin perjalanan sejak dan satu bibit jadi milliun sel lalu jadi bayi? Siapa? Padahal masa yang dilalui hanya sembilan bulan sepuluh hari? Jika masa itu telah datang, dia mendesak sendiri buat keluar? Siapa yang memberikan kekuatan kepada seorang ibu untuk mengumpulkan segenap kekuatannya mehajar anak itu buat keluar? Dan setelah dia lahir masih kelihatan bimbingan terhadap dirinya, sejak dari memulas air susu, menangis, tersenyum mengirimkan obat jerih kepada ibunya dan tertawa karena dia mulai merasakan kegembiraan hati. Sekali lagi timbul pertanyaan, “Siapa yang memimpinnya dalam perjalanan itu, sejak dari dalam ayunan, lalu merangkak, lalu tegak dan berlari. Lalu berjuang untuk hidup. Padahal mulanya hanya seorang makhluk dhaif lemah, akal belum matang, berpikir belum piawai dan pengalaman belum banyak.
Siapa?
Kita ulang sekali lagi kembali ke dalam rahim itu, siapa yang menentukan pembagian untuk jadi laki-laki dan untuk jadi perempuan? Padahal setiap nuthfah adalah gabungan halus di antara dua bibit: bibit pemberi dan bibit penerima, tiba-tiba kemudian datang ketentuan jadi laki-laki atau jadi perempuan.
Kalau di samping berakal, kita manusia masih berperasaan, maka perasaan kita yang halus pulalah yang akan menuntun akal kita buat mengambil kesimpulan bahwa ada tanda halus, atau suatu kekuatan dan kekuasaan gaib yang mengatur nuthfah setitik gabungan mani itu dalam perjalanannya yang jauh, sejak dari sebelum masuk rahim, sampai ke dalam rahim dan sampai muncul ke dalam bumi ini dan sampai kelaknya datang masanya mesti keluar dari bumi.
Itulah suatu kenyataan yang tidak dapat dimungkiri, kalau kiranya manusia mengakui bahwa hidupnya dilengkapi dengan akal dan perasaan. Dialah itu yang mengatur semua perjalanan itu, sehingga jelas sekali teratur rapinya, sehingga manusia tidak dapat melepaskan diri dari peraturan itu.
Maka sebagai penutup dari surah datanglah pertanyaan,
Ayat 40
“Bukankah yang demikian itu Mahakuasa pula menghidupkan yang mati?"
Diriwayatkan orang bahwa Rasulullah bila membaca telah sampai ke akhir surah itu, selalu membaca jawabnya,
“Mahasuci Engkau, ya Tuhanku! Memang, Mahakuasalah Engkau!"
Memang, Mahakuasalah Engkau menghidupkan kembali yang telah mati! Memang, Mahakuasalah Engkau membangkitkan kembali dalam keadaan yang lain.
Memang, Mahakuasalah Engkau, ya Tuhanku! Bila akal manusia berjalan dan perasaan demikian halus, pastilah dia sampai kepada kesimpulan itu, “Memang Allah Mahakuasa!"
Dan Mahasempurnalah kasih sayang Allah karena di samping menyusun jalan hidup yang teratur itu, dianugerahi-Nya pula manusia akal buat berpikir, sehingga dengan akal itu dia menemui hakikat dirinya dan hakikat Tuhannya, Dan disempurnakan-Nya pula kasih sayang itu dengan memberikan wahyu tuntunan dan mengirim rasul-rasul buat menyampaikan tuntunan Allah sehingga lebih sempurnalah manusia merasakan kasih sayang Allah, sejak dari dunia sampai ke akhirat adanya.
Selesai Tafsir Surah al-Qiyaamah.