Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
أَوۡلَىٰ
lebih utama/kecelakaan
لَكَ
bagimu
فَأَوۡلَىٰٓ
maka lebih utama/kecelakaan
ثُمَّ
kemudian
أَوۡلَىٰ
lebih utama/kecelakaan
لَكَ
bagimu
فَأَوۡلَىٰٓ
maka lebih utama/kecelakaan
Terjemahan
Kemudian, celakalah kamu! Maka, celakalah!
Tafsir
(Kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu) mengukuhkan makna ayat di atas.
Tafsir Surat Al-Qiyamah: 26-40
Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak man mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi 'alaqah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.
Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan saat meregang nyawa dan hal-hal mengerikan yang terjadi di dalamnya, semoga Allah meneguhkan kita dengan kalimah yangteguh. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala Berfirman: Sekali-kali jangan. Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. (Al-Qiyamah: 26) Jika kita anggap kalla sebagai kata sanggahan, berarti makna ayat ini ialah 'tiadalah engkau, wahai anak Adam, di saat itu dapat mendustakan apa yang telah diberitakan kepadamu, bahkan hal itu dapat "engkau saksikan dengan terang-terangan olehmu sendiri'. Dan jika kita menganggapnya sebagai suatu pernyataan kebenaran, maka sudah jelas, yakni benar apabila roh telah sampai di kerongkongan, yakni rohmu dicabutdari jasadmu dan sampai di kerongkongan.
Taraqi adalah bentuk jamak dari tarquwah, artinya tulang rawan yang ada antara pangkal sampai ujung leher. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kami ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar? (Al-Waqi'ah: 83-87) Hal yang sama disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Sekali-kali jangan.
Apabila napas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. (Al-Qiyamah: 26) Hadits yang berkaitan dengan makna ini telah disebutkan di dalam tafsir surat Yasin, diriwayatkan melalui Bisyr ibnu Hajjaj. At-taraqi adalah bentuk jamak dari tarquwah, artinya sama dengan tenggorokan. Dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah dukun manakah yang dapat menyembuhkanmu? Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Qilabah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Maksudnya, adakah tabib yang dapat menyembuhkanmu? Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid.
ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnul Musayyab alias Abu Raja Al-Kalabi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Malik, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan dikatakan (kepadanya), "Siapakah yang dapat menyembuhkan? (Al-Qiyamah: 27) Dikatakan bahwa siapakah yang akan membawa naik rohnya, apakah malaikat rahmat ataukah malaikat azab? Dengan demikian, berarti ayat ini adalah menceritakan ucapan para malaikat.
Disebutkan pula dengan sanad yang sama dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Yakni bertautlah baginya dunia dan akhirat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Yaitu akhir hari dunianya bertemu dengan awal hari akhiratnya. sehingga bertemulah keadaan yang sangat berat dengan keadaan sangat berat lainnya terkecuali bagi orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala (maka dia melewatinya dengan mudah dan tenang). Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), (Al-Qiyamah: 29) Artinya, perkara yang besar dengan perkara yang besar lainnya bertemu. Mujahid mengatakan bahwa bencana bertemu dengan bencana lainnya.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). (Al-Qiyamah: 29) Bahwa keduanya adalah betismu apabila ditautkan. Menurut riwayat lain yang bersumber darinya, kedua kakinya telah mati dan tidak lagi mampu menahan dirinya, padahal sebelumnya dia banyak berjalan dengan keduanya. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dari Abu Malik. Dan menurut riwayat lainnya lagi yang bersumber dari Al-Hasan, apabila kedua betis itu ditautkan dan dibungkus dalam kain kafan.
Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). (Al-Qiyamah: 29) Terhimpunkan baginya dua perkara, manusia mempersiapkan jenazahnya, dan para malaikat mempersiapkan rohnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. (Al-Qiyamah: 30) Yakni dikembalikan dan dipulangkan. Demikian itu karena roh dibawa naik ke langit, lalu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Kembalikanlah jasad hamba-Ku ke tanah, karena sesungguhnya Aku menciptakan mereka dari tanah dan kepadanyalah Aku kembalikan mereka, dan darinyalah Aku keluarkan mereka di waktu yang lain (hari berbangkit)." Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits Al-Barra yang cukup panjang. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan Dialah Yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya, Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.
Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat. (Al-An'am: 61-62) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), (Al-Qiyamah: 31-32) Hal ini menceritakan tentang keadaan orang kafir yang ketika di dunia mendustakan perkara yang hak dan berpaling dari mengamalkannya, maka tiada kebaikan dalam dirinya lahir dan batinnya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). (Al-Qiyamah: 31-33) Yaitu dengan langkah yang senang, angkuh, sombong, lagi malas, tiada keinginan dan tiada amal.
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya. mereka kembali dengan gembira. (Al-Muthaffifin: 31) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Al-Insyiqaq: 13-14) Yakni tidak akan dikembalikan kepada Tuhannya.= (Bukan demikian), yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya. (Al-Insyiqaq: 15) Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). (Al-Qiyamah: 33) Artinya, dengan langkah yang angkuh. Qatadah dan Zaid ibnu Aslam mengatakan dengan langkah yang sombong. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ini merupakan ancaman yang keras dari Allah subhanahu wa ta’ala, ditujukan kepada orang yang kafir kepada-Nya lagi angkuh dalam berjalan.
Dengan kata lain, sudah sepantasnya kamu berjalan demikian, karena kamu kafir kepada Tuhan yang telah menciptakanmu. Ungkapan seperti ini mengandung nada cemoohan dan ancaman, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia. (Ad-Dukhan: 49) (Dikatakan kepada orang-orang kafir), "Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek: sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa. (Al-Mursalat: 46) Maka sembahlah olehmu (wahai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. (Az-Zumar: 15) Dan firman-Nya yang lain: Perbuatlah apa yang kamu kehendaki! (Fushshilat: 40) Masih banyak lagi ayat lainnya yang semakna.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ibnu Mahdi), dari Israil, dari Musa ibnu Abu Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang makna firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Sa'id ibnu Jubair menjawab, bahwa wahai ini dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada Abu Jahal, kemudian turunlah ayat yang bersesuaian dengannya. Abu Abdur Rahman An-An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dan telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ibnu Abbas menjawab bahwa itu dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepada Abu Jahal, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu yang bersesuaian dengannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khaiid, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Ishaq, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (wahai orang kafir), dan kecelakaanlah bagimu. (Al-Qiyamah: 34-35) Ini merupakan ancaman sesudah ancaman lainnya. Menurut suatu riwayat, Nabi ﷺ memegang kerah baju musuh Allah (yaitu Abu Jahal), kemudian berkata kepadanya: Kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu. Maka musuh Allah alias Abu Jahal menjawab, "Apakah engkau mengancamku, wahai Muhammad? Demi Tuhan, kamu tidak akan mampu dan begitu pula Tuhanmu untuk berbuat sesuatu pun terhadap diriku, karena sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling perkasa yang menghuni lembah di antara kedua bukit ini." Firman Allah Swt: Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (Al-Qiyamah: 36) As-Suddi mengatakan, makna yang dimaksud ialah apakah manusia mengira bahwa dirinya tidak dibangkitkan hidup kembali? Menurut Mujahid, Imam Syafii, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, maknanya apakah manusia mengira bahwa dia tidak dikenakan perintah dan larangan? Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan pengertian umum yang mencakup kedua keadaan tersebut.
Dengan kata Lain, dapat disebutkan bahwa tidaklah ia dibiarkan begitu saja di dunia ini tanpa dikenakan perintah dan larangan, dan tidak dibiarkan pula di dalam kuburnya dengan sia-sia tanpa dibangkitkan kembali; bahkan dia dikenai perintah dan larangan di dunia ini, lalu digiring kembali kepada Allah di hari kemudian setelah dibangkitkan. Makna yang dimaksud ialah menguatkan adanya hari berbangkit dan sekaligus menyanggah pendapat orang yang mengingkarinya dari kalangan orang-orang yang sesat, bodoh, lagi pengingkar kebenaran.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan hal yang menunjukkan adanya hari berbangkit itu melalui penciptaan manusia dari permulaannya: Bukankah dia dahulu setetes mani (nutfah) yang ditumpahkan (ke dalam rahim)? (Al-Qiyamah: 37) Artinya, tidakkah manusia ingat bahwa asal dirinya adalah nutfah yang lemah berupa air mani yang dipancarkan dari sulbi ke dalam rahim. kemudian nutfah itu menjadi 'alaqah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. (Al-Qiyamah: 38) Yakni lalu jadilah ia 'alaqah, kemudian diberi bentuk, lalu ditiupkan roh ke dalam tubuhnya sehingga jadilah ia makhluk lain yang sempurna dan memiliki anggota tubuh yang lengkap, apakah dia laki-laki atau perempuan dengan seizin Allah dan takdirnya.
Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. (Al-Qiyamah: 39) Lalu disebutkan pula dalam firman berikutnya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Yaitu bukankah Tuhan yang menciptakan makhluk yang sempurna ini dari nutfah yang lemah berkuasa pula untuk mengembalikannya hidup seperti semula ketika Dia menciptakannya? Kekuasaan mengembalikan hidup seperti semula ini adakalanya tersimpulkan melalui analogi prima bila dikaitkan dengan permuiaan penciptaan, atau adakalanya melalui analogi sepadan.
Ada dua pendapat mengenainya, yang tersimpulkan dari makna firman-Nya: Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikannya (menghidupkannya) kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. (Ar-Rum: 27) Tetapi pendapat pertamalah yang lebih terkenal, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam tafsir surat Ar-Rum keterangannya dengan lengkap; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Syababah, dari Syu'bah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari seseorang, bahwa dia berada di atas puncak rumah membaca Al-Qur'an dengan suara yang keras.
Manakala bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Maka ia mengucapkan, "Mahasuci Engkau, ya Allah, bukan demikian." Ketika ia ditanya mengenai hal itu, maka ia menjawab bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengucapkan demikian. Abu Dawud rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Musa ibnu Abu Aisyah yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki shalat di atas rumahnya, dan manakala ia membaca firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Lalu ia berkata, "Mahasuci Engkau, bukan demikian." Kemudian mereka bertanya kepadanya tentang hal tersebut.
Ia menjawab, bahwa dirinya telah mendengar Rasulullah ﷺ mengatakannya. Hadits ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Abu Dawud, dan mengenai nama sahabat yang tidak disebutkan tidak menjadi masalah bagi hadits ini (sebab semua sahabat dinilai adil). Imam Abu Dawud mengatakan pula: ". telah menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Muhammad Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah; bahwa ia mendengar seorang Badui mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Barang siapa dari kamu membaca surat At-Tin, lalu bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya? ' (At-Tin: 8) Hendaklah ia menjawab: 'Bukan demikian yang sebenarnya, dan aku termasuk orang-orang yang menyaksikan hal tersebut.' Dan barang siapa yang membaca firman-Nya: 'Aku bersumpah dengan hari kiamat (Al-Qiyamah: 1).
Lalu bacaannya sampai pada firman-Nya: 'Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?' (Al-Qiyamah: 40) Hendaklah ia mengucapkan, 'Bukan demikian sebenarnya.' Dan barang siapa yang membaca surat Al-Mursalat, lalu bacaannya sampai pada firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Maka kepada perkataan apakah selain Al-Qur'an ini mereka beriman?' (Al-Mursalat: 50) Hendaklah iamengucapkan: 'Kami beriman kepada Allah'. Imam Ahmad meriwayatkan ini dari Sufyan ibnu Uyaynah, dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar ibnu Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
Syu'bah telah meriwayatkannya dari Ismail ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa aku bertanya kepada Ismail, "Siapakah yang menceritakan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Seorang lelaki yang jujur, dari Abu Hurairah." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Telah diceritakan kepada kami, bahwa Rasulullah ﷺ apabila membaca ayat ini selalu mengucapkan: Bukan demikian sebenarnya, Mahasuci Engkau. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Muslim Al-Batin.
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa bacaannya pernah sampai pada firman-Nya: Bukankah (Allah yang berbuat) demikian "berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (Al-Qiyamah: 40) Lalu Ibnu Abbas mengucapkan, "Mahasuci Engkau, hal yang sebenarnya bukan demikian.""
34-35. Atas sikapnya yang buruk terhadap Allah dan sesama khususnya kepada keluarga, ayat ini menggambarkan kecaman yang diterimanya. Celakalah kamu! Maka celakalah! Sekali lagi, celakalah kamu hai manusia durhaka! Maka celakalah! Kalimat dalam ayat-ayat ini tertuju kepada setiap orang yang durhaka dan mengingkari keniscayaan Kiamat. 36. Pembuktian keniscayaan Kiamat pada ayat ini ditekankan pada hikmahnya. Manusia yang durhaka menduga bahwa hidup hanya di dunia setelah itu selesai. Ayat ini mengecam hal tersebut. Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban'.
Ancaman ini diulang sekali lagi untuk memperkuatnya, "Kecelakaanlah bagi orang kafir dan kecelakaan baginya." Diriwayatkan oleh ahli-ahli tafsir dari Qatadah bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ memegang erat-erat lengan Abu Jahal sambil menghardik musuh Allah itu, "Celaka engkau hai Abu Jahal, celaka engkau!" Abu Jahal menjawab dengan sombong, "Muhammad, engkau mengancamku? Demi Allah, tak sanggup engkau berbuat sesuatu terhadapku, bahkan Tuhan yang engkau sembah juga tidak! Demi Allah, saya ini lebih perkasa dari segala orang yang berjalan antara bukit ini, dari segala penduduk Mekah." Tetapi di hari pertempuran Badar, Allah membinasakan Abu Jahal dengan kematian yang buruk sekali. Ketika berita tewasnya Abu Jahal disampaikan kepada Rasulullah, beliau bersabda, "Sesungguhnya setiap umat itu ada Fir'aunnya (ada orang yang paling sombong), maka Fir'aun dari umat ini adalah Abu Jahal."
Sa'id bin Jubair bertanya kepada Ibnu 'Abbas tentang perkataan "aula laka fa aula" ini, apakah sesuatu yang diucapkan Nabi ini berasal dari dirinya atau memang Allah yang menyuruhnya? Ibnu 'Abbas menjawab, "Benar beliau yang mengucapkannya, kemudian Allah menurunkan wahyu sama dengan ucapan beliau itu." Kutukan Allah ini berlaku bagi orang yang berwatak seperti Abu Jahal yang akan muncul pada setiap masa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BILA MANUSIA ITU MATI
Setelah Allah memberi ingat bahwasanya wajah orang-orang yang durhaka dan menolak kebenaran Ilahi menjadi bermuram durja karena telah yakin bahwa malapetakalah yang akan menimpa diri mereka di hari Kiamat itu kelak, sebagai timbalan dari muka yang berseri-seri karena akan melihat wajah Allah, maka di ayat selanjutnya ini diperingatkanlah oleh Allah, bahwa hidup yang sengsara di akhirat itu dapatlah dielakkan dari masa hidup di dunia ini apabila orang ingat bahwa hidupnya di dunia ini tidaklah kekal. Satu waktu ajal mesti datang.
Ayat 26
“Sekali-kali tidak!"
Artinya, bahwa hidup yang mendurhakai Allah itu tidaklah layak diteruskan.
“(Ingatlah) bila napas telah mendesak ke kerongkongan."
Yaitu dengan datangnya sakaratul maut, atau yang disebut juga “naza'", ketika akan meninggal. Menurut biasanya ialah bahwa maut itu naik sejak dari kaki. Ujung-ujung jari itulah yang mati lebih dahulu, lalu naik ke atas demi ke atas, sehingga yang di bawah berangsur dingin, sampai seluruh kaki tidak bergerak lagi. Kemudian naik ke pinggang, ke perut dan ke dada, sehingga akhirnya yang tinggal bergerak urat-urat leher dan bibir menarik sisa-sisa napas yang masih tinggal dalam paru-paru manusia.
Ayat 27
“Dan dikatakan, “Siapakah yang akan menyembuhkan?"
Yaitu bahwa setelah kelihatan bahwa penyakit ini bertambah parah dan harapan sudah tipis, terasalah oleh keluarga yang mendampingi suatu pertanyaan yang masih mengharap-harap, meskipun harapan itu sudah sangat tipis, “Siapakah agaknya yang dapat mengobati? Dokter yang mana, tabib ahli dari mana? Yang akan patut dijemput, supaya dapat menolong mempertahankan nyawa yang sudah hendak memisahkan badan itu?
Ayat 28
“Dan yakinlah dia sudah bahwa ini sudah waktu perpisahan."
Orang yang bersangkutan itu sendiri, atau orang yang akan meninggal itu sendiri pun mulailah yakin bahwa saat ini adalah saat perpisahan. Di dalam tulisan ayat ditulis wa zhanna, yang menurut arti harfiyahnya telah berat sangkanya bahwa dia akan berpisah. Tetapi dalam pemakaian bahasa dalam cara yang demikian, zhan selalu dikatakan yakin. Memang mudah saja bagi Allah buat me-nyembuhkan orang seperti itu kembali. Tetapi bilamana tanda-tanda sudah tampak, jaranglah terjadi bahwa bila telah sampai kepada saat yang seperti itu orang itu bisa disembuhkan kembali. Di saat seperti itulah orang biasanya berusaha meninggalkan wasiat agar dilakukan sepeninggalnya kelak.
Ayat 29
“Dan bertautlah betis dengan betis."
Biasa pula terjadi apabila nyawa akan lepas dari badan kaki yang sebelah melekatkan kepada kaki yang sebelah lagi. Ibnu Abbas dan al-Hasan mengartikan bahwa pertautan betis dengan betis di ayat ini maknanya ialah pertautan ujung terakhir dari hidup di dunia dengan pangkal pertama dari kehidupan akhirat.
Qatadah berkata, “Tidakkah kau lihat, bila orang telah dekat mati kerap kali dihem- paskannya kakinya yang sebelah kepada yang sebelah lagi."
Zaid bin Aslam berkata, “Bertaut kaki kafan dengan kaki mayat."
Dalam kata lain al-Hasan berkata, “Kedua kaki telah mulai mati, kedua betis sudah mulai kaku. Dia tidak dapat berdiri lagi!"
Dalam tafsiran yang lain pula Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Hari yang terakhir dari dunia, hari pertama dari akhirat, bertautlah di antara kedua keadaan yang sulit kecuali bagi orang yang dirahmati Allah."
Ayat 30
“Kepada Tuhan engkaulah, di hari itu, akan dihalau."
Adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid menafsirkan, “Seputus nyawa berkumpullah padanya dua hal yang sangat mengharukan. Manusia menyelenggarakan jasadnya, malaikat menyelenggarakan ruhnya."
Tubuh kembali ke dalam tanah, awal kejadian tubuh. Nyawa kembali ke hadhirat Allah, karena ruh itu adalah kepunyaan Allah langsung.
Itulah yang akan dihadapi oleh semua orang, tidak dapat tidak. Namun masih banyaklah manusia yang lupa diri.
Ayat 31
“Maka tidaklah dia membenarkan."
Artinya bahwa segala perintah dan larangan yang diturunkan Allah, dengan perantaraan Nabi-Nya, tidaklah dia sutra membenarkan atau menerima dengan taat.
“Dan tidaklah dia shalat."
Shalat adalah pelaksanaan dengan perbuatan. Dia tidak mau mengerjakan shalat karena dari semula dia tidak membenarkan. Maka dapatlah ditegaskan bahwasanya jiwanya atau hati sanubarinya menolak kebenaran Ilahi, maka jasadnya tidaklah mau mengamalkan. Tegasnya lagi, batin dan lahir, ruhani dan jasmani sama-sama menunjukkan tidak mau percaya.
Ayat 32
“Tetapi dia mendustakan."
Sesudah hatinya tidak mau percaya dan jasadnya tidak mau mengerjakan, sekarang bukan semata tidak mau saja, bahkan di- dustakannya pula seruan yang mulia dari Nabi itu. Dikatakannya bahwa seluruh seruan itu tidak ada yang benar, bahkan dusta semua, bohong semua.
“Dan dia berpaling."
Jika seruan Nabi itu datang, dia sengaja membuang muka, atau ditutupnya telinganya supaya jangan terdengar juga.
Ayat 33
“Kemudian dia peigi kepada ahlinya dalam keadaan sombong."
Benar-benar dia menunjukkan sikapnya yang tidak menyukai itu di hadapan orang banyak.
Di daiam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa ayat-ayat ini pada mulanya adalah khusus mengenai diri Abu Jahal, yang mengepalai sikap kaum musyrikin Quraisy menantang dakwah yang dibawa Nabi ﷺ tatkala di Mekah.
Qatadah mengatakan, “Dia tidak mau membenarkan kitab Allah, dan dia tidak mau bershalawat untuk Rasul Allah!" Tidak beriman dalam hatinya, tidak beramal dengan badannya.
Ayat 34
“Celakalah bagimu, maka celakalah."
Ayat 35
“Kemudian itu. celakalah bagimu, maka celakalah."
Kononnya, menurut suatu riwayat dari Qatadah, pada suatu hari Rasulullah ﷺ keluar dari Masjidil Haram, maka di pintu bertemulah beliau dengan Abu Jahal yang sedang hendak masuk ke dalam. Dia bersikap sombong sekali. Rasulullah sedikit pun tidak merasa rendah dengan kesombongannya itu, bahkan ditariknya tangan Abu Jahal seraya beliau ucapkan menurut bunyi ayat ini, “Aulaa laka fa aulaa, tsumma aulaa laka fa aulaa." (Celaka engkau, Abu Jahal, celaka engkau. Kemudian itu, celakalah engkau, celaka!).
Maka dengan sikap sombongnya juga Abu Jahal menyambut ucapan itu, “Engkau tidak akan sanggup berbuat apa-apa atas diriku! Tuhanmu itu pun tidak akan sanggup berbuat apa-apa! Sayalah yang segagah-gagah manusia yang hidup di antara dua bukit ini!" (Barangkali yang dimaksudnya ialah Bukit Shafa dan Marwah).
Tetapi apa yang kejadian? Dia tewas dengan hina sekali dalam Peperangan Badar! Ketika dia telah jatuh tersungkur hampir mati kena senjata kaum Muslimin, datanglah sahabat Rasulullah ﷺ, Abdullah bin Mas'ud, yang terkenal karena pendek badannya, dan seimbang dengan besar gagahnya Abu Jahal. Didapatinya Abu Jahal telah tergelimpang jatuh karena lukanya. Setelah Abdullah bin Mas'ud datang, dilihatnya yang tergelimpang itu Abu Jahal, lalu dihimpitnya dadanya. Abu Jahal yang tengah kesakitan itu bertanya, “Siapakah yang menang hari ini?"
Abdullah bin Mas'ud menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang menang!" Lalu Abdullah bin Mas'ud bertanya dengan gemasnya, “Bagaimana sekarang ini, hai musuh Allah, sudahkah engkau rasakan kehinaan dirimu?"
Dia masih menjawab, “Bagaimana saya akan dihinakan? Apakah aku seorang yang gagah dibunuh oleh kaumnya sendiri?" Artinya meskipun sudah dekat saat terakhir dia masih merasa bangga dan merasa tidak bersalah, malahan Muhammad—kaumnya—yang salah menurut dia, sebab Muhammad itu kaumnya juga, dia yang membunuhnya.
Kemudian dia lihat wajah Abdullah bin Mas'ud tenang-tenang, lalu dia berkata, “Kalau saya tidak salah, engkau ini adalah salah seorang pengembala unta kami di Mekah!"
Daripada dia lama menderita, ditikamlah dia oleh Abdullah bin Mas'ud dengan pedangnya, sampai tembus ke sebelah dan berhentilah napasnya.
Ketika menerima cerita kematian Abu Jahal ini orang teringat ayat yang dibaca Rasulullah ketika bertemu dengan dia di pintu mesjid itu, “Celaka engkau, celaka! Celaka engkau, celaka!"
Ahli tafsir memberikan penerangan empat kali Rasulullah memberi peringatan kecelakaannya, karena empat kali pula berlapis-lapis kekafirannya. Pertama, tidak membenarkan seruan agama, kedua tidak shalat mengingat Allah, ketiga bahkan dia mendustakan dan keempat dia berpaling karena sombongnya.
Sebenarnya bukanlah Abu Jahal saja yang dimaksud dengan ayat-ayat ini. Bahkan segala insan yang tidak mau percaya akan hari Kiamat, yang bertanya-tanya sambil mencemooh bila Kiamat akan terjadi, yang kalau diberi kesempatan seluruh hidupnya akan dipergunakannya untuk mendurhakai Allah. Dalam segala zaman ada saja orang-orang yang seperti itu, sebagai pernyataan bahwa kebenaran Ilahi itu selalu mendapat tantangan daripada manusia yang menyombongkan dirinya. Namrudz sebagai penantang Ibrahim, Fir'aun sebagai penantang Musa dan nabi- nabi lain yang ditantang oleh kaumnya sendiri, kemudian Abu Jahal sebagai penantang Muhammad ﷺ.
Kemudian itu datanglah peringatan Allah kepada seluruh manusia, yang sejak dari awal surah insan itu juga yang disuruh sadar. Insan disebut pada ayat 3, ayat 5, ayat 10, ayat 13 dan ayat 14, artinya sampai lima kali insan disebut dalam surah ini, dan akhirnya diperingati lagi dan disadarkan lagi mereka sebagai insan di ayat 36.