Ayat
Terjemahan Per Kata
كَلَّا
tidak sekali-kali
بَلۡ
bahkan/tetapi
تُحِبُّونَ
kamu mencintai
ٱلۡعَاجِلَةَ
yang cepat
كَلَّا
tidak sekali-kali
بَلۡ
bahkan/tetapi
تُحِبُّونَ
kamu mencintai
ٱلۡعَاجِلَةَ
yang cepat
Terjemahan
Sekali-kali tidak! Bahkan, kamu mencintai kehidupan dunia,
Tafsir
(Sekali-kali jangan) lafal Kallaa menunjukkan makna Istiftah, yakni ingatlah (sebenarnya kalian mencintai kehidupan dunia) dapat dibaca Tuhibbuuna dan Yuhibbuuna, kalau dibaca Yuhibbuuna artinya, mereka mencintai kehidupan dunia.
Tafsir Surat Al-Qiyamah: 16-25
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (wahai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. Ini merupakan pengajaran dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya tentang bagaimana dia harus menerima wahyu dari malaikat yang ditugaskan-Nya. Karena sesungguhnya beliau selalu tergesa-gesa menerimanya dan mendahului malaikat dalam membacanya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepadanya bahwa apabila malaikat datang membawa wahyu kepadanya, hendaklah ia mendengarkannya terlebih dahulu sampai malaikat itu menyelesaikan penyampaiannya, dan Allah-lah yang akan menjaminnya untuk dapat menghimpunkannya di dalam dadanya dan memudahkan baginya dalam menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia terima dari malaikat.
Dan hendaknyalah ia biarkan malaikat menerangkan, menafsirkan, dan menjelaskannya terlebih dahulu. Maka keadaan pertama ialah menghimpunkan wahyu di dalam dada beliau, keadaan kedua cara membacanya, dan keadaan ketiga mengenai tafsir dan penjelasannya. Untuk itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (Al-Qiyamah: 16) Makna yang dimaksud ialah menguasai wahyu Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.(Thaha: 114) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya. (Al-Qiyamah: 17) Yakni menghimpunkannya di dalam dadamu.
dan membacanya. (Al-Qiyamah: 17) Maksudnya, membuatmu pandai membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya. (Al-Qiyamah: 18) Yaitu apabila malaikat telah membacakannya kepadamu dari Allah subhanahu wa ta’ala maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah: 18) Yakni dengarkanlah terlebih dahulu, kemudian bacalah ia sebagaimana yang telah diajarkannya kepadamu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Al-Qiyamah: 19) Yaitu sesudah engkau hafal dan engkau baca, maka Kami akan menjelaskan dan menerangkannya kepadamu serta memberimu ilham mengenai maknanya sesuai dengan apa yang Kami kehendaki dan Kami tentukan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Abu Uwwanah, dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pada asal mulanya merasa berat bila sedang menerima wahyu, dan beliau menggerakkan kedua bibirnya (mengikuti bacaan malaikat).
Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Dan aku menggerakkan pula kedua bibirku sebagaimana Rasulullah ﷺ menggerakkan kedua bibirnya." Musa ibnu Abu Aisyah mengatakan bahwa Sa'id berkata kepadanya, "Aku menggerakkan kedua bibirku sebagaimana Ibnu Abbas menggerakkan kedua bibirnya." Setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (Al-Qiyamah: 16-17) Yakni menghimpunkannya di dalam dadamu, kemudian kamu dapat membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah: 18) Maksudnya, dengarkanlah terlebih dahulu dengan penuh perhatian dan diamlah. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Al-Qiyamah: 19) Sesudah itu apabila Jibril berangkat, maka Nabi ﷺ membacanya seperti apa yang dibacakan oleh Jibril kepadanya. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan hal ini melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Abu Aisyah dengan sanad yang sama.
Menurut lafal Imam Bukhari, disebutkan bahwa apabila Jibril datang, beliau menundukkan kepalanya; dan apabila Jibril telah pergi, maka beliau membacanya seperti apa yang telah dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Taimi, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila wahyu diturunkan kepadanya, maka beliau mengalami keadaan yang berat karenanya. Dan apabila wahyu sedang diturunkan kepadanya, hal itu dapat diketahui melalui gerakan kedua bibirnya.
Kedua bibir beliau kelihatan bergerak sejak awal penurunan wahyu karena khawatir bagian permulaan wahyunya terlupakan sebelum bagian yang terakhirnya selesai. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu unluk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (Al-Qiyamah: 16) Hal yang sama telah dikatakan oleh Asy-Sya'bi, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Mujahid, dan Adh-Dhahhak serta selain merekayang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal tersebut. Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (Al-Qiyamah; 16) Bahwa beliau tidak pernah berhenti dari membaca Al-Qur'an karena takut dijadikan melupakannya.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya. (Al-Qiyamah: 16-17) Yakni Kamilah yang akan menghimpunkannya untukmu. dan membacanya. (Al-Qiyamah: 17) Yaitu Kamilah yang akan menjadikan kamu dapat membacanya hingga kamu tidak akan melupakannya. Ibnu Abbas dan Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Al-Qiyamah: 19) Yakni menjelaskan apa-apa yang dihalalkannya dan apa-apa yang diharamkannya. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (wahai manusia) mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. (Al-Qiyamah: 20-21) Sesungguhnya yang mendorong mereka mendustakan hari kiamat, menentang wahyu kebenaran dan Al-Qur'an yang mulia yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya tiada lain karena tujuan mereka hanyalah kehidupan dunia yang segera dan mereka sama sekali melupakan kehidupan akhirat.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (Al-Qiyamah: 22) Berakar dari kata an-nadarah artinya cerah, berseri, dan riang gembira. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 23) Yakni melihat Tuhannya dengan terang-terangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitab sahihnya: Sesungguhnya kamu kelak akan melihat Tuhanmu dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya mengenai masalah melihatnya kaum mukmin kepada Allah subhanahu wa ta’ala di negeri akhirat (di surga) telah dikuatkan oleh adanya hadits-hadits shahih yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang mutawatir, yang telah dinukil oleh para imam ahli hadits, sehingga tidak mungkin ditolak atau dicegah lagi kebenarannya. Hadits yang bersumber dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah yang keduanya ada di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa sejumlah orang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita dapat melihat Tuhan kita di hari kiamat nanti?" Rasulullah ﷺ balik bertanya: "Apakah kamu berdesak-desakan saat melihat matahari dan bulan di hari yang tak berawan? Mereka menjawab, "Tidak.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti itu." Di dalam kitab Shahihain dari Jarir, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memandang rembulan di malam purnama, lalu bersabda: Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana kamu melihat rembulan ini; jika kamu mampu untuk meluangkan waktumu guna mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya, maka lakukanlah. Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Ada dua surga yang semua wadahnya dan segala isinya dari emas, dan ada pula dua surga yang semua wadahnya dan segala isinya dari perak. sedangkan tiada penghalang antara kaum (penghuni surga) dan kesempatan mereka untuk melihat Allah Swt, melainkan hanya selendang Keagungan-(Nya) yang menghijab Zat-Nya di dalam surga Adn.
Di dalam hadits ifrad Imam Muslim disebutkan melalui Suhaib, dari Nabi ﷺ Yang telah bersabda: Apabila ahli surga telah masuk surgaNabi ﷺ melanjutkanAllah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Apakah kamu menginginkan sesuatu tambahan yang Aku akan berikan kepadamu? Mereka menjawab, "Bukankah Engkau telah menjadikan wajah kami putih (bercahaya), dan bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?Nabi Saw, melanjutkan, bahwa lalu Allah membuka tirai hijab-(Nya), maka tiada sesuatu nikmat pun yang diberikan kepada mereka lebih disukai oleh mereka selain memandang kepada Zat Tuhan mereka; inilah yang dimaksud dengan tambahan.
Kemudian Nabi ﷺ membaca firman-Nya: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. (Yunus: 26) Di dalam hadits ifrad Imam Muslim disebutkan sebuah hadits dari Jabir yang menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menampakkan diri-Nya dengan penampilan yang penuh dengan keridaan kepada orang-orang mukmin. Semua hadits di atas menunjukkan bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Tuhan mereka di tempat pemberhentian hari kiamat dan juga di taman-taman surga. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abjar, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Fakhitah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya ahli surga yang paling rendah kedudukannya benar-benar perlu waktu dua ribu tahun untuk melihat semua kerajaannya; bagian yang terjauhnya dapat ia lihat sebagaimana ia melihat bagian yang terdekatnya; ia melihat semua istri dan pelayannya.
Dan sesungguhnya ahli surga yang paling utama kedudukannya benar-benar dapat melihat Zat Allah setiap harinya sebanyak dua kali. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannyadari Abdu ibnu Humaid, dari Syababah, dari Israil, dari Nuwayyir yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar , lalu disebutkan hal yang semisal. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa Abdul Malik ibnu Abjar telah meriwayatkan hadits ini dari Mujahid, dari Ibnu Umar.
Demikian pula Ats-Tsauri, dia meriwayatkannya dari Nuwayyir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, tetapi tidak marfu'. Seandainya tidak khawatir akan menjadikan pembahasan bertele-tele, tentulah kami akan mengemukakan hadits-hadits mengenai hal ini berikut semua jalur periwayatan dan lafal-lafaznya, baik dari kitab Shahih, kitab Hisan, kitab Masanid, maupun kitab Sunan. Dan kami hanya dapat mengetengahkannya secara terpisah-pisah di berbagai tempat dalam tafsir ini, dan hanya kepada Allah-lah kita memohon taufik.
Masalah ini Alhamdulillah telah menjadi kesepakatan di antara para sahabat dan para tabi'in serta kaum Salaf dari umat ini (yakni orang-orang mukmin dapat melihat Zat Tuhannya di hari kemudian). Sebagaimana hal ini telah disepakati pula di kalangan para imam Islam dan para ulama pemberi petunjuk manusia. Mengenai pendapat orang yang menakwilkan lafal ila dalam ayat ini sebagai bentuk tunggal dari ala yang artinya nikmat-nikmat, seperti yang dikatakan oleh Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 23) Bahwa makna yang dimaksud menjadi seperti berikut, "Orang-orang mukmin di hari itu menunggu pahala dari Tuhan mereka." Ibnu Jarir telah meriwayatkan pendapat ini melalui berbagai jalur dari Mujahid.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Abu Saleh. Maka sesungguhnya pendapat ini jauh panggang dari api. Lalu bagaimanakah jawaban orang yang berpendapat demikian dengan adanya firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. (Al-Muthaffifin: 15) Imam Syafii mengatakan bahwa tidaklah orang-orang durhaka dihalangi dari melihat Tuhan mereka, melainkan karena telah diketahui bahwa orang-orang yang bertakwa dapat melihat Tuhan mereka. Telah banyak pula hadits-hadits dari Rasulullah ﷺ secara mutawatir menunjukkan pengertian yang sama dengan konteks ayat yang mulia, yaitu firman-Nya: Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 23) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Bukhari, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mubarak, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (Al-Qiyamah: 22) Yakni tampak indah berseri-seri dan ceria.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 23) Bahwa mereka memandang kepada Khaliq, dan sudah sepantasnya bagi mereka berseri-seri karena melihat kepada Zat Khaliqnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (Al-Qiyamah: 24-25) Begitulah penampilan wajah orang-orang durhaka kelak di hari kiamat, bermuram durja. Qatadah mengatakan tampak kelabu. As-Suddi mengatakan, warna wajah mereka berubah. Ibnu Zaid mengatakan bahwa basirah artinya muram.
mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (Al-Qiyamah: 25) Tazunnu di sini bermakna yakin, bukan mengira. Mujahid mengatakan bahwa faqirah artinya kebinasaan. Qatadah mengatakan keburukan. As-Suddi mengatakan bahwa mereka merasa yakin pasti binasa. Ibnu Zaid mengatakan mereka merasa pasti bahwa dirinya masuk neraka. Hal ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. (Ali Imran: 106) Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan.
Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka. ('Abasa: 38-42) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). (Al-Ghasyiyah: 2-4) sampai dengan firman-Nya: Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi. (Al-Ghasyiyah: 8-10) Dan masih banyak ayat lainnya yang berkonteks sama."
20-21. Ayat ini kembali menceritakan tentang orang-orang yang mengabaikan petunjuk Al-Qur'an. Tidak! Bahkan kamu terlalu mencintai kehidupan dunia yang fana ini, dan mengabaikan kehidupan akhirat yang sempurna dan abadi. 20-21. Ayat ini kembali menceritakan tentang orang-orang yang mengabaikan petunjuk Al-Qur'an. Tidak! Bahkan kamu terlalu mencintai kehidupan dunia yang fana ini, dan mengabaikan kehidupan akhirat yang sempurna dan abadi.
Dalam ayat ini, Allah mencela kehidupan orang musyrik yang sangat mencintai dunia. Allah menyerukan, "Sekali-kali jangan. Sesungguhnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan kehidupan akhirat." Dengan ayat ini terdapat suatu kesimpulan umum bahwa mencintai kehidupan adalah salah satu watak manusia seluruhnya. Memang ada sebagian yang mengharapkan kebahagiaan akhirat, namun yang mencintai hidup dunia serta mendustai adanya hari kebangkitan jauh lebih besar jumlahnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
HARI MANUSIA MELIHAT TUHANNYA
Orang yang beriman suka yang bertenang, jangan terburu-buru dan jangan lekas dicapai tetapi lekas pula hilangnya. Tetapi kalau orang yang tidak beriman akan hari Kiamat, mereka hanya mau percaya kepada yang lekas kelihatan. Kalau tidak segera tampak oleh mata, mereka tidak mau percaya. Itulah yang difirmankan Allah,
Ayat 20
“Sekali-kali tidak! Bahkan kamu lebih menyukai yang tergesa-gesa (dunia)."
Dunia ini pun cepat tampak, cepat berhasil tetapi cepat pula hilangnya. Sesudah ini tidak ada lagi. Oleh sebab itu maka pikiran kekufuran itu adalah pikiran yang dangkal, yang tidak memikirkan hari esok!
Ayat 21
“Dan kamu abaikan akhirat."
Kamu tidak memedulikan akhirat. Kamu tidak mau percaya kepada hari akhirat atau hari Kiamat itu. Oleh karena hidupmu itu tidak memikirkan hari esok, maka pikiranmu singkat dan picik.
Maka orang-orang yang menantang dan mendustakan seruan Nabi itu ialah karena mereka tidak percaya akan adanya hari akhirat, atau mereka abaikan saja, tidak peduli.
Lalu selanjutnya Allah mewahyukan perbedaan hari depan dari kedua golongan ini, yaitu golongan Mukmin, yang percaya dan golongan Fajir, yang durhaka. Lalu Allah berfirman,
Ayat 22
“Wajah-wajah pada hari itu akan berseri-seri."
Menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sebab
Ayat 23
“Kepada Tuhannya dia akan melihat."
Melihat wajah Allah, Allah yang menganugerahkan nikmat yang tidak terhitung, baik nikmat tatkala hidup di muka bumi atau sambungan nikmat setelah sampai di akhirat, adalah menjadi puncak cita-cita bagi sekalian orang yang beriman. Surga itu sendiri barulah mencapai kepenuhan nikmat bilamana di sana orang yang beriman diberi kesempatan melihat wajah Allah. Sedangkan di dunia ini saja, seorang rakyat biasa sangatlah rindu bila dapat berjabatan tangan dengan raja atau kepala negara. Dan itu sukar sekali diperdapat. Sekali-sekali kalau ada hari-hari luar biasa, kepala negara berkenan memperlihatkan senyumnya di hadapan satu majelis, berebutlah orang tegak ke dekat beliau, agar lama termasuk dalam gambar (foto) yang diambil oleh wartawan-wartawan foto. Namun oleh karena sukarnya mendapat kesempatan yang demikian, maka sebagian besar orang telah merasa putus asa akan dapat berhadapan wajah dengan kepala negara itu. Gambarkanlah dan bandingkanlah ini dengan keinginan seorang Mukmin hendak melihat wajah Allah.
Bila Allah berkenan, lalu atas karunia-Nya seorang Mukmin ditempatkan di dalam surga Jannatun Na'im, yang penuh dengan segala rahmat, nikmat, karunia dan anugerah, namun duduk dalam surga itu belumlah berarti, belumlah mencapai puncak nikmatnya, kalau Allah belum berkenan memperlihatkan wajahnya. Sama juga dengan seorang yang dibolehkan masuk ke dalam istana yang indah, cukup barang-barang mahal, dipertontonkan, dipamerkan di dalamnya, sedang yang empunya istana tidak memperlihatkan diri.
Oleh sebab itu dapatkah dipikirkan betapa berseri-seri, betapa rasa bahagia hati Mukmin bila peluang itu diberikan kelak, yaitu peluang melihat wajah Allah.
Berdasar kepada hadits-hadits shahih dari Rasulullah ﷺ tentang peluang akan melihat wajah Allah di akhirat itu, maka penganut paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah berkeyakinan bahwa akan melihat wajah Allah di akhirat kelak adalah sebagian dari hal yang wajib diimani.
Menurut suatu hadits, ada yang diterima dari riwayat Abu Hurairah dan ada pula yang diterima dari Abu Said al-Khudri, yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu hari beberapa orang sahabat Rasulullah tengah berkumpul. Lalu ada yang bertanya, “Apakah kita akan dapat melihat Tuhan kita di hari Kiamat?" Maka menjawablah Rasulullah ﷺ,
“Apakah membahayakan bagi kamu jika kamu melihat matahari dan bulan yang tidak dilindungi oleh awan!" Mereka menjawab, “Tidak membahayakan." Lalu beliau bersabda, “Kamu akan melihat Tuhanmu seperti itulah!" (HR Bukhari dan Muslim)
Tersebut pula dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim juga, yang diterima dari Jarir, kata Jarir, `Pada suatu malam bulan purnama Rasulullah melihat kepada bulan penuh itu, lalu beliau berkata,
“Kamu akan melihat Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama itu, maka jika kamu sanggup tidak dikalahkan orang shalat sebelum terbit matahari (Shubuh) dan sebelum terbenamnya (Ashar), perbuatlah." (HR Bukhari dan Muslim)
Artinya taatlah shalat tepat menurut waktunya, agar dapat kamu melihat wajah Allah kelak di belakang hari.
Dan sebuah hadits Nabi lagi, riwayat Muslim yang beliau terima dengan sanadnya dari Shuhaib, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda,
“Apabila ahli surga telah masuk ke dalam surga, berfirmanlah Allah Yang Mahamulia, “Sukakah kamu jika Aku tambah lagi nikmat-Ku!"Lalu ahli surga menjawab, “Bukankah wajah kami telah Allah putih berserikan! Bukankah kami telah Allah masukkan ke dalam surga dan Allah selamatkan kami daripada adzab neraka!" Maka terbukalah hijab! Maka dianugerahilah mereka oleh Allah yang sangat mereka rindukan dan cintai, yaitu memandang kepada wajah
Tuhan mereka dan itulah yang dikatakan ziyadah; tambahan! Yang tersebut di dalam ayat, “Bagi orang-orang yang berbuat baik akan dianugerahkan pula kebaikan dan tambahan.` (Yuunus:26) (HR Muslim)
Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa terdapat dalam tafsir Abu Ishaq ats- Tsa'labi, suatu riwayat dari az-Zubair dari Jabir, berkata dia berkata Rasulullah ﷺ
“Akan menyatakan diri Tuhan kita Yang Mahamulia lagi Mahatinggi, sehingga semua akan melihat wajah-Nya, maka tersungkurlah semua sujud. Lalu berfirman Allah, “Angkatlah kepalamu sekalian, sekarang bukan lagi hari ibadah."
Masalah akan melihat wajah Allah di hari Kiamat ini jadi perdebatan sengit di antara Ahlus Sunnah dengan kaum Mu'tazilah. Karena Kaum Mu'tazilah yang terkenal terlalu mengemukakan akal (ratio) mengatakan tidak mungkin kita manusia sebagai makhluk akan dapat melihat wajah Allah. Sebab itu maka segala keterangan mengenai melihat wajah Allah itu, oleh kaum Mu'tazilah selalu ditakwilkan, atau dicari arti yang lain, yang cocok dengan paham mereka.
Kaum Mu'tazilah berpendapat dan mendasarkan pendapatnya atas tanziih, yaitu bahwa mustahil Allah itu dapat dilihat. Karena kalau Dia sudah dapat dilihat, artinya Dia dikandung tempat atau memakai tempat. Memakai tempat adalah sifat alam! Dan tempat itu memakan ruang, sehingga Allah tidak ada di tempat lain di waktu itu. Yang demikian menurut kaum Mu'tazilah adalah mustahil.
Oleh karena yang demikian maka az-Zamakhsyari penafsir Mu'tazilah yang terkenal menafsirkan ayat yang sedang kita tafsirkan ini demikian, “Maka mengkhususkan bahwa orang-orang yang beriman itu memandang kepada-Nya di waktu itu, padahal memandang terhadap Allah adalah mustahil, maka wajiblah ayat ini kita artikan menurut makna yang sesuai dengan pengkhususan. Dan yang lebih benar untuk ini ialah kita pakai perkataan yang biasa diucapkan setengah manusia, “Saya memandang kepada Si Fulan, apakah yang akan diperbuatnya untuk aku." Maka arti memandang di sini ialah menunggu dan mengharap.
Sebab itu kalau menurut tafsir atau makna kaum Mu'tazilah terhadap ayat-ayat ini bukanlah “Terhadap Tuhannya dia akan melihat" Melainkan “Kepada Tuhannya mereka akan mengharap".
Jalan tengah dalam menafsirkan Al-Qur'an di zaman modern kita ini telah digariskan oleh Sayyid Quthub dalam Tafsir Zhilal-nya yang terkenal. Beliau menulis,
“Wajah pada hari itu akan berseri-seri, kepada Tuhannya dia akan melihat." Nash ini telah mengisyaratkan dengan cepat sekali suatu hal yang susun kata-kata tidak akan sanggup menggambarkannya sebagaimana lemahnya tanggapan bayangannya menurut hakikat yang sebenarnya. Demikianlah halnya seketika diberikan harapan kepada orang berbahagia yang telah diberi janji bahwa mereka akan diberi kesempatan melihat wajah Allah, sehingga mendengar berita jadi kecillah rasanya surga itu sendiri dengan segala nikmat yang tersedia di dalamnya.
Muka atau wajah ini akan berseri-seri, bersinar bahagia, karena akan diberi kesempatan melihat Allah!
Melihat Allah? Adakah suatu tempat yang lebih tinggi dari ini? Adakah suatu bahagia yang lebih atas dari ini?
Kadang-kadang ruh insan ini merasa kagum melihat keindahan ciptaan Allah, baik pada alam keliling atau pada diri sendiri. Bahkan malam bulan purnama, pada gelap gulita malam, pada fajar menyingsing, pada awan-gumawan, pada lautan lepas, atau pada padang pasir sahara yang luas, pada kebun menghijau, atau pada wajah orang budiman yang berseri-seri, pada hati terbuka seorang satria, pada keteguhan iman seorang pejuang, atau pada kesabaran yang indah, dan banyak lagi berbagai aneka warna keindahan dalam wujud ini. Semuanya membuat jiwa kita jadi mekar, kita seakan-akan dimandikan dengan rasa bahagia, seakan-akan kita terbang dengan sayap yang terbuat dari Nur (cahaya) di atas angkasa bebas. Bahkan kadang-kadang duri dan onak dari kehidupan serasa hilang, sirna kepahitan hidup dan kekejian, habis rasanya pertentangan perebutan hidup yang berasal dari tanah ini, yang menimbulkan serpihan daging dan mengalirkan darah, terkupas segala pertentangan syahwat dan perebutan rakus.
Bagaimanalah wajah ketika itu? Bagaimana? Padahal yang akan dilihatnya tidak lagi keindahan alam ciptaan Allah, melainkan keindahan zat Allah itu sendiri?
Ketahuilah bahwa tempat yang semulia itu, pertama sekali ialah memerlukan pertolongan Allah sendiri, Kemudian itu, yang kedua, ialah Allah jua yang akan memberikan keteguhan, sehingga insan sanggup menguasai dirinya di kala kejadian itu, menikmati kebahagiaan, yang tidak diliputi oleh khayalan manusia dan tidak tergambarkan hakikatnya oleh apa yang dapat dicapai oleh pikiran insani.
Bagaimanalah dia tidak akan berseri-seri, padahal keindahan Allah-lah yang akan dilihatnya.
Manusia melihat sejemput dari ciptaan Allah di atas bumi, dari pertumbuhan yang menyubur, kembang yang mekar, atau sayap yang mengipas di udara, atau jiwa yang penuh kejujuran atau jasa yang indah patut diingat. Melihat itu semuanya memancarlah rasa bahagia dari wajahnya, berseri dan cerah sekali. Maka bagaimanalah kiranya wajah itu melihat jamaal dan kamaal, keindahan yang sempurna? Lepas bebas dari apa saja penghalang yang akan menyampaikannya kepada kebahagiaan karena meresapi keindahan. Bilamana insan telah dapat mencapai kepada maqam yang demikian, bebaslah dia dari segala penghalang untuk sampai kepada tempat yang khayal tidak dapat menggambarkannya lagi lantaran indahnya. Bukan saja hambatan dari luar, bahkan dari dalam diri sendiri, sehingga tak ada ingat yang lain lagi, kecuali memandang Allah.
Bagaimana caranya melihat itu? Dengan apa melihat Allah? Dengan perantaraan apa dan anggota yang mana? Pertanyaan itu tidak akan timbul pada orang yang hatinya telah dipenuhi oleh janji yang benar, janji dari Allah sendiri, yang dijelaskan dengan wahyu Al-Qur'an, diterima penuh oleh hati orang yang beriman. Belum terjadi, namun hati yang beriman sudah merasakan sinar dari bahagia itu; Dia menunggu, dia ingin dan dia rindu buat merasakan itu.
Wahai malangnya manusia yang ruhnya tidak merasakan kegembiraan itu, kegembiraan karena akan berpelukan dengan Nur, atau cahaya yang memancarkan sinar gembira jiwa dan bahagia? Lalu digantinya dengan berdebat, bertengkar sekitar soal yang mutlak lepas bebas, yang tidak dapat ditangkap oleh akal yang berkisar sekitar lingkungan terbatas, yang biasa diketahui dan dialami?
Naik dan bebasnya keadaan manusia dari ikatan kemestian kematian dalam hidup di bumi yang sangat terbatas pada ruang dan pada waktu ini, itu sajalah yang pintu harapan bagi kita untuk menemui hakikat yang bebas pada hari itu kelak. Semasa hidup kita masih terikat oleh keadaan yang sekarang, akan sangat sukarlah menggambarkan semata menggambarkan—atau imajinasi—dari keadaan yang akan didapati itu kelak.
Adalah perdebatan yang percuma, yang tidak akan bertemu dengan sasaran yang dikehendaki dan membuang-buang tempo saja, apa yang diperdebatkan oleh kaum Mu'tazilah dan penantangnya dari Ahlus Sunnah dan Mutakallimin tentang akan melihat Allah di akhirat itu kelak. Karena mereka membuat kias bandingan dengan perkiasan dan perbandingan bumi, bertukar pikiran dengan akal yang berat terikat kepada pandangan di bumi, tidak lebih. Mereka menggambarkan hal yang akan kejadian di alam lain kelak dengan alat yang ada sekarang.
Kalimat atau kata-kata yang kita pakai sehari-hari pun terbatas pada sekadar yang dapat dicapai oleh akal kita. Sedang bila kata-kata itu telah lepas bebas dari apa yang kita gambarkan, artinya pun sudah lain. Sebab itu maka satu-satu patah kata, lain tidak hanyalah rumusan saja, atau perlambang dari apa yang kita maksud seketika mengucapkannya. Bila berbeda waktu dan berbeda pengalaman, pengalaman kita menunjukkan bahwa rumus yang terkandung dalam kata-kata sudah ber- lain pula artinya, meskipun kata yang diucapkan itu masih itu juga. Sebab itu kita menyulitkan diri kita sendiri jika kita pertengkarkan sekarang arti yang sebenarnya dari kata-kata yang kita pakai sekarang untuk menetapkan kepastian dari sesuatu yang akan terjadi kelak.
Yang lebih baik bagi kita ialah meresapkan perasaan bahagia yang memenuhi jiwa karena janji itu, pancaran kegembiraan yang suci dan luhur, yang timbal dari semata-mata perasaan kita yang bahagia menyambut berita itu sekadarkan kemurnian jiwa yang kita punyai. Mari kita hadapkan ruh kita menunggu pancaran itu, menunggu-nunggu masa akan melihat itu saja pun sudah nikmat, apatah lagi kelak jika keadaan itu telah kita hadapi, yaitu kita diberi kesempatan oleh Allah melihat wajah-Nya." Demikian kita ringkaskan uraian dan Sayyid Quthub tentang wajah berseri karena akan melihat Allah itu.
Ayat 24
“Dan wajah-wajah di bumi itu akan bermuram durja."
Inilah wajah orang kafir, orang durhaka, yang sejak masa hidupnya di dunia pun tidak pernah merasakan surga kepercayaan, keindahan dan kemanisan rasa iman. Hati yang penuh dengan kebencian, jiwa yang kotor karena dengki. Yang sejak hidup di dunia pun telah menutup pintu untuk hari depan. Pikiran yang selalu kacau, menyesal, merasa bersalah, merasa berdosa, merasa berutang, bahkan merasa menyesal,
Ayat 25
“(Karena) menyangka bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka."
As-Suddi mengartikan, “Karena yakin bahwa dia mesti hancur binasa." Ibnu Zaid menafsirkan, “Karena yakin bahwa neraka telah disediakan untuknya."
Sejak dan permulaan surah, ketika Allah mengambil sumpah kedua dengan jiwa manusia yang selalu menyesal (lawwamah) kita telah diberi pelajaran bahwa sejak dari dalam dunia ini pun orang yang berbuat dosa, durhaka dan maksiat kepada Ilahi itu tidaklah merasakan bahagia dalam hidupnya, walaupun kelihatan pada lahir dia senang. Sebab kesepian itu terletak dalam jiwa sendiri. Dalam jiwanya tidak terpasang api keimanan dan makrifat Maka sampai ke akhirat akan bertambah jelaslah perbedaan itu. Bahkan dalam surah Aali ‘Imraan ayat 77 diterangkan bahwa orang-orang yang durhaka itu, “Tidak diajak bercakap oleh Allah di hari Kiamat, dan Allah tidak memandang kepada mereka dan mereka pun tidak dibersihkan."