Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَآ
dan benar-benar
أُقۡسِمُ
aku bersumpah
بِٱلنَّفۡسِ
dengan jiwa
ٱللَّوَّامَةِ
mencela/menyesali
وَلَآ
dan benar-benar
أُقۡسِمُ
aku bersumpah
بِٱلنَّفۡسِ
dengan jiwa
ٱللَّوَّامَةِ
mencela/menyesali
Terjemahan
Aku bersumpah demi jiwa yang sangat menyesali (dirinya sendiri).
Tafsir
(Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali) dirinya sendiri sekalipun ia berupaya sekuat tenaga di dalam kebaikan. Jawab Qasam tidak disebutkan; lengkapnya, Aku bersumpah dengan nama hari kiamat dan dengan nama jiwa yang banyak mencela, bahwa niscaya jiwa itu pasti akan dibangkitkan. Pengertian Jawab ini ditunjukkan oleh firman selanjutnya, yaitu:.
Tafsir Surat Al-Qiyamah: 1-15
Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus-menerus. Ia bertanya, "Bilakah hari kiamat itu? Maka apabila mata terbelalak (ketakiitan) dan apabila bulan telah hilang cahayanya dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, "Ke manakah tempat lari? Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.
Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan berkali-kali bahwa objek sumpah itu apabila merupakan hal yang dinafikan (lawan bicara), maka diperbolehkan mendatangkan la sebelum lafal qasam dengan maksud untuk menguatkan penafian. Sedangkan yang menjadi objek qasam-nya ialah mengukuhkan adanya hari berbangkit, dan menyanggah apa yang diduga oleh hamba-hamba Allah yang tidak bodoh yang meniadakan hari berbangkit.
Oleh karena itulah maka disebutkan: Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-Qiyamah: 1-2) Al-Hasan mengatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut hari kiamat, dan tidak bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Qatadah mengatakan bahwa tidak demikian, bahkan Allah bersumpah dengan menyebut keduanya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Al-A'raj, bahwa keduanya membacanya dengan bacaan lauqsimu biyaumil qiyamah, tanpa memakai alif sesudah lam.
Hal ini memperkuat pendapat Al-Hasan, karena sumpah dengan menyebut hari kiamat diperkuat dengan lam, sedangkan terhadap jiwa yang amat menyesali tidak memakai lam melainkan la, yang artinya dinafikan. Tetapi menurut pendapat yang benar, Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut keduanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. Mengenai hari kiamat, telah dikenal; tetapi jiwa yang amat menyesali, maka menurut Qurrah ibnu Khalid dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna ayat ini, "Sesungguhnya orang mukmin itu, demi Allah, menurut penilaian kami tiada lain amat menyesali dirinya sendiri dan mencelanya, 'Aku tidak bermaksud dengan kalimatku, aku tidak bermaksud dengan makananku, dan aku tidak bermaksud dengan bisikan jiwaku,' yakni hal-hal yang berdosa.
Tetapi sesungguhnya orang yang pendurhaka melaju terus dalam kedurhakaannya setapak demi setapak tanpa menyesali dirinya sendiri." Juwaibir mengatakan bahwa telah sampai kepada kami dari Al-Hasan, bahwa ia mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-Qiyamah: 2) Bahwa tiada seorang pun dari penduduk langit maupun penduduk bumi, melainkan menyesali dirinya sendiri di hari kiamat nanti. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh ibnu Muslim, dari Israil, dari Sammak, bahwa ia bertanya kepada Ikrimah tentang makna firman-Nya: dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-Qiyamah: 2) Bahwa setiap orang menyesali perbuatan baik atau buruknya, dan ia mengatakan seandainya aku melakukan anu dan anu.
Ibnu Jarir meriwayatkan ini dari Abu Kuraib, dari Waki', dari Israil dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu-ammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (Al-Qiyamah: 2) Bahwa ia mencela perbuatan baik dan perbuatan buruknya sendiri.
Kemudian ia meriwayatkannya melalui jalur lain dari Sa'id, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang hal ini, lain Ibnu Abbas menjawab, bahwa makna yang dimaksud adalah jiwa yang banyak mencela (dirinya sendiri). Ali ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa makna yang dimaksud ialah jiwa yang menyesali apa yang telah silam kemudian mencelanya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna al-lawwamah, bahwa makna yang dimaksud ialah jiwa yang tercela.
Qatadah mengatakan jiwa yang pendurhaka. Ibnu Jarir mengatakan bahwa semua pendapat di atas saling berdekatan pengertiannya. Tetapi yang lebih mirip dengan makna lahiriah ayat ialah jiwa yang amat menyesali dirinya atas perbuatan baik dan buruknya, dan menyesali yang telah silam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? (Al-Qiyamah: 3) Yaitu di hari kiamat nanti, apakah dia mengira bahwa Kami tidak mampu mengembalikan tulang belulangnya, lalu menghimpunkannya kembali dari tempat-tempatnya yang berserakan.
Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (Al-Qiyamah: 4) Sa'id ibnu Jubair dan AL-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah kuku atau teracaknya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Jarir. Ibnu Jarir mengemukakan alasannya, bahwa sesungguhnya jika Allah menghendaki, bisa saja Dia melakukan hal itu di dunia ini. Makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa firman-Nya: Kami kuasa. (Al-Qiyamah: 4) merupakan kata keterangan keadaan dari firman-Nya "Najma'a.
Makna yang dimaksud ialah apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami akan mengumpulkannya kembali, dan Kami mampu untuk menyusun kembali jari jemarinya. Yakni Kekuasaan Kami mampu untuk menghimpunkannya, dan seandainya Kami kehendaki, niscaya Kami membangkitkannya dengan lebih sempurna dari sebelumnya, maka Kami menjadikan jari jemarinya dalam keadaan rata alias sama panjangnya.
Demikianlah pengertian dari pendapat Ibnu Qutaibah dan Az-Zujaj. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus. (Al-Qiyamah: 5) Sa'id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yakni terus-menerus dalam kedurhakaannya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: hendak membuat maksiat terus-menerus. (Al-Qiyamah: 5) Yakni berangan-angan, seorang manusia berkata pada dirinya, "Aku akan berbuat maksiat, kemudian bertobat sebelum kiamat terjadi." Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah ingkar kepada perkara hak sebelum hari kiamat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: hendak membuat maksiat terus-menerus. (Al-Qiyamah: 5) Maksudnya, berjalan terus ke depan mengikuti hawa nafsunya. Al-Hasan mengatakan bahwa anak Adam tidak akan pernah merasa puas dalam memperturutkan hawa nafsunya kepada perbuatan durhaka terhadap Allah terus-menerus kecuali orang yang dipelihara oleh Allah dari perbuatan maksiat. Telah diriwayatkan dari Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi serta selain mereka yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa makna yang dimaksud menyangkut orang yang menyegerakan perbuatan-perbuatan dosa dan menangguh-nangguhkan tobatnya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah orang kafir yang mendustakan hari hisab. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Zaid, dan inilah yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan makna yang dimaksud. Oleh karena itu, maka disebutkan dalam firman berikutnya: Ia bertanya, "Bilakah hari kiamat itu? (Al-Qiyamah: 6) Yakni dia menanyakan bilakah hari kiamat itu? Akan tetapi, pertanyaan yang diajukannya itu mengandung nada tidak percaya akan kejadiannya dan mendustakan keberadaannya.
Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kapankah (datangnya) janji ini, jika kamu adalah orang-orang yang benar? Katakanlah.Bagimu ada hari yang telah dijanjikan (hari kiamat) yang tiada dapat kamu minta mundur darinya barang sesaat pun dan tidak (pula) kamu dapat meminta supaya diajukan." (Saba': 29-30) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Maka apabila mata terbelalak (ketakutan). (Al-Qiyamah: 7) Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa bariqa artinya terbelalak. Apa yang dikatakannya mirip dengan pengertian yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: sedangkan mata mereka tidak berkedip-kedip. (Ibrahim: 43) Bahkan mata mereka terbelalak karena ngeri menyaksikan pemandangan di hari kiamat, mata mereka terbelalak ke sana kemari tidak menentu karena dicekam oleh rasa takut yang hebat.
Sedangkan ulama lainnya membacanya baraqa, tetapi maknanya berdekatan dengan pendapat yang pertama. Makna yang dimaksud ialah bahwa pandangan-pandangan mata di hari kiamat terbelalak dan tidak berkedip serta bingung karena dahsyatnya pemandangan yang terjadi di hari kiamat yang sangat mengerikan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan apabila bulan telah hilang cahayanya. (Al-Qiyamah: 8) Maksudnya, sinarnya lenyap. dan matahari dan bulan dikumpulkan. (Al-Qiyamah: 9) Mujahid mengatakan bahwa matahari dan bulan digulung.
Dan Ibnu Zaid sehubungan dengan tafsir ayat ini membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apabila matahari digulung dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (At-Takwir: 1-2) Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, bahwa dia membacanya dengan bacaan berikut, "Dan dihimpunkan antara matahari dan bulan." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: pada hari itu manusia berkata, "Ke mana tempat lari? (Al-Qiyamalv. 10) Apabila manusia melihat huru-hara yang amat dahsyat di hari kiamat terjadi, maka setiap orang menginginkan lari menyelamatkan diri seraya mengatakan, "Adakah tempat untuk melarikan diri?" Yakni tempat untuk berlindung dari huru-hara itu.
Maka dijawab oleh firman selanjutnya: Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. (Al-Qiyamah: 11-12) Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Sa'id ibnu Jubair serta selain mereka yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tiada jalan selamat. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Asy-Syura: 47) Yakni tiada suatu tempat pun bagimu untuk bersembunyi.
Hal yang sama disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Tidak ada tempat berlindung. (Al-Qiyamah: 11) Artinya, tiada tempat untuk bersembunyi bagimu. Karena itu, disebutkan dalam firman berikutnya: Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. (Al-Qiyamah; 12) Yaitu kamu dikembalikan hanya kepada-Nya. Dalam firman berikutnya disebutkan: Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. (Al-Qiyamah: 13) Yakni diberitahukan kepadanya semua amal perbuatan yang telah dikerjakannya, baik yang di masa lalu maupun di masa yang baru, dan baik yang pertama maupun yang terakhir; semuanya tidak ada yang ketinggalan, yang besarnya dan juga yang kecilnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun. (Al-Kahfi: 49) Hal yang sama disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 14-15) Yaitu dia menyaksikan sendiri perbuatan dirinya dan mengetahui apa yang telah dikerjakannya, sekalipun dia beralasan dan mengingkarinya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu. (Al-Isra: 14) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. (Al-Qiyamah: 14) Pendengarannya, penglihatannya, kedua tangannya, dan kedua kakinya semuanya berbicara, begitu pula anggota tubuh yang lainnyamenurut Qatadahmenjadi saksi terhadap dirinya sendiri.
Menurut riwayat yang lain, Qatadah mengatakan bahwa apabila engkau berkeinginan, demi Allah, engkau akan melihatnya dalam keadaan melihat semua aib orang lain dari dosa-dosa mereka, sedangkan dia melupakan dosa-dosanya sendiri. Dikatakan pula bahwa di dalam kitab Injil disebutkan, "Wahai anak Adam, engkau melihat tahi mata yang ada di mata saudaramu, sedangkan engkau tidak melihat yang lebih parah daripada itu di matamu!" Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 15) Yakni sekalipun dia mendebat dalam rangka membela dirinya, tetapi dia melihat semua kesalahan dan dosa-dosanya itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 15) Yakni betapapun alasan yang dikemukakannya di hari itu. tidak akan diterima darinya. As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 15) Maksudnya, alasan pembelaan dirinya. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Zaid dan Al-Hasan Al-Basri serta lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. Qatadah telah meriwayatkan dari Zurarah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 15) Bahwa meskipun dia menanggalkan pakaian-pakaiannya.
Adh-Dhahhak mengatakan bahwa sekalipun dia menanggalkan kain penutupnya; penduduk Yaman menyebut tirai atau kain penutup dengan sebutan al-mi'zar yang bentuk jamaknya ma'azir. tetapi pendapat yang shahih adalah yang dikatakan oleh Mujahid dan murid-muridnya, semakna dengan firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan.Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: (Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat).
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. (Al-Mujadilah: 18) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya. (Al-Qiyamah: 15) Yaitu permintaan maaf. Tidakkah engkau mendengar Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: (yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya. (Al-Mumin: 52); Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu. (An-Nahl: 87) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: lalu mereka menyerah diri (sambil berkata), "Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatan pun. (An-Nahl: 28) Juga ucapan mereka yang diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23)"
1-2. Akhir surah al-Muddasir menguraikan tentang Kiamat serta betapa mengerikannya peristiwa itu, namun kaum pendurhaka mendustakannya. Segala argumen sudah dipaparkan, kalau mereka tetap tidak beriman, maka ayat ini menunjukkan Allah, tidak akan meladeni mereka lagi. Aku bersumpah dengan kepastian hari Kiamat karena semuanya sudah jelas, dan Aku juga bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri. Sungguh manusia pasti akan dibangkitkan. 3-4. Atas penegasan tentang kepastian hari Kiamat mestinya manusia percaya, tetapi banyak yang ingkar. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya yang telah berserakan setelah kematiannya' Jangankan hanya mengumpulkan kembali tulang-belulang, bahkan Kami mampu menyusun kembali jari jemarinya dengan sempurna.
Allah juga bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri (an-nafs al-lawwamah) terhadap sikap dan tingkah lakunya pada masa lalu yang tidak sempat lagi diisi dengan perbuatan baik. An-Nafs al-lawwamah juga berarti jiwa yang menyesali dirinya karena berbuat kejahatan, kenapa masih saja tidak sanggup dihentikan? Pada kebaikan yang disadari manfaatnya kenapa tidak diperbanyak atau dilipatgandakan saja? Begitulah an-nafs al-lawwamah berkata dan menyesali dirinya sendiri.
Perasaan menyesal itu senantiasa ada walaupun ia sudah berusaha keras dengan segenap upaya untuk mengerjakan amal saleh. Padahal semuanya pasti akan diperhitungkan kelak. An-Nafs al-lawwamah juga berarti jiwa yang tidak bisa dikendalikan pada waktu senang maupun susah. Waktu senang bersikap boros dan royal, sedang di masa susah menyesali nasibnya dan menjauhi agama.
An-Nafs al-lawwamah sebenarnya adalah jiwa seorang mukmin yang belum mencapai tingkat yang lebih sempurna. Penyesalan adalah benteng utama dari jiwa seperti ini karena telah melewati hidup di atas dunia dengan kebaikan yang tidak sempurna.
Perlu dijelaskan di sini hubungan antara hari Kiamat dengan an-nafs al-lawwamah, yang sama-sama digunakan Allah untuk bersumpah dalam awal surah ini. Hari Kiamat itu kelak akan membeberkan tentang jiwa seseorang, apakah ia memperoleh kebahagiaan atau kecelakaan. Maka jiwa atau an-nafs al-lawwamah boleh jadi termasuk golongan yang bahagia atau termasuk golongan yang celaka. Dari segi lain, Allah sengaja menyebutkan jiwa yang menyesali dirinya ini karena begitu besarnya persoalan jiwa dari sudut pandangan Al-Qur'an.
Huruf "la" yang terdapat pada ayat 1 dan 2 di atas adalah "la zaidah" yang menguatkan arti perkataan sesudahnya, yaitu adanya hari Kiamat dan an-nafs al-lawwamah.
Allah sendiri menjawab sumpah-Nya walaupun dalam teks ayat tidak disebutkan. Jadi setelah bersumpah dengan hari Kiamat dan an-nafs al-lawwamah, Allah menegaskan, "Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawabanmu." Pengertian ini diketahui dari ayat berikutnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-QIYAAMAH
(HARI KIAMAT)
SURAH KE-75, 40 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-40)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
KEKUASAAN ALLAH YANG MAHA BERKUASA
Makna ayat, tulus menurut pengertiannya, yaitu
Ayat 1
“Aku bersumpah dengan hari Kiamat."
Ayat 2
“Dan aku pun bersumpah dengan jiwa yang menyesal."
Padahal kalau menurut yang tertulis saja ialah “laa uqsimu" yang arti harfiyahnya ialah “Tidak aku bersumpah". Tetapi memang begitulah peraturan penafsiran sejak semula. “laa uqsimu" diartikan Aku bersumpah! Padahal laa di pangkal ayat sudah jelas artinya tidak! Oleh sebab itu ada juga orang yang menafsirkan kata laa di pangkal ayat itu dilanjutkan juga sebagaimana adanya, lalu dikatakan, “Tidak! Aku bersumpah!"
Ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa al-Jasan dan al-A'raj tidak membacakan laa itu dengan panjang, melainkan disetalikan dengan Iqsimu, menjadi lauqsimu yang dengan demikian laa yang tidak panjang itu berarti sesungguhnya, sebagai huruf ta'kid.
Ada juga yang mengartikan menurut wajarnya saja, yaitu “Tidak Aku akan bersumpah dengan hari Kiamat, dan tidak Aku akan bersumpah dengan jiwa yang menyesal."
Lalu penafsir itu melanjutkan keterangan demikian, “Oleh karena hari Kiamat dan jiwa manusia yang menyesal itu adalah soal-soal yang sangat penting, tidak perlu lagi buat dijadikan sumpah oleh Allah karena dari sangat pentingnya."
Maka yang penting bagi kita sekarang ini ialah menumpukan perhatian kita kepada dua masalah yang diseiringkan oleh Allah di dalam sumpah-Nya. Yaitu hari Kiamat dan an-nafsul lawwamah. Tampak pada lahirnya, keduanya bergabung jadi satu dalam ingatan kita. Pertama sekali sebagai insan, kita wajib percaya bahwa hari Kiamat pasti akan kejadian. Dia adalah rukun kelima dari iman kita. Bahwa hidup kita tidaklah habis hingga ini saja. Di belakang hidup yang sekarang, akan ada lagi hidup. Sesudah menempuh maut, kita akan melalui alam kubur atau alam barzakh. Dalam beberapa masa yang hanya Allah yang tahu entah berapa lamanya, Kiamat itu akan terjadi. Kiamat artinya berdiri atau bangun! Serunai sangkakala akan berbunyi yang pertama, buat memanggil sisa manusia yang masih hidup supaya mati semua. Setelah itu datang serunai sangkakala yang kedua kali, maka segala yang telah mati tadi akan dibangunkan kembali. Karena akan ditentukan tempat masing-masing, tempat berbahagia atau tempat berbahaya. Masing-masing menurut hasil perhitungan (Hisab).
Kadang-kadang lupalah manusia akan perhitungan Hari Depan itu. Bahwasanya ada lagi sambungan hidup. Karena lupa itu diperturutkannyalah an-nafsul ammarah, yaitu nafsu yang mendorong akan berbuat yang salah. Dalam ilmu modern disebut instinct kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Dia berbuat sesuka hati, asal yang akan memuaskan kehendaknya saja. Setelah dia terlanjur berbuat salah, atau setelah gejala an-nafsul ammarah itu mereda atau turun, atau lindap ibarat api, timbullah sesal. Mengapa menyesal? Sebab awak manusia. Seekor binatang yang berkelahi sesamanya binatang, sampai badannya luka-luka, tidaklah akan ada rasa penyesalan karena merasa bersalah. Tetapi manusia mempunyai rasa penyesalan itu.
Said bin Jubair, murid Ibnu Abbas dalam hal tafsir mengatakan, “Lawwamah" ialah penyesalan atas diri sendiri karena berbuat salah, menyesali diri sendiri karena kebajikan yang diperbuat rasanya masih kurang."
Mujahid mengartikan, “Menyesali keterlanjuran masa lampau."
Hasan al-Bishri menjelaskannya lagi, “Orang yang beriman itu senantiasa menyesali serba kekurangan yang ada pada dirinya, mengapa aku bertutur demikian, mengapa aku makan minum secara demikian. Apa yang aku maukan atas diriku ini. Sedang orang yang durhaka kepada Allah maju terus berbuat dosa, kemudian sekali barulah dia menyesal."
Dengan merenungkan pada diri kita sendiri bahwa di diri kita sebagai manusia senantiasa terdapat rasa sesal karena berbuat salah, maka dapatlah kita pahamkan, mengapa Allah mempertalikan hari Kiamat dengan an-nafsul lawwamah dalam sumpah peringatan. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang menjaga rasa menyesal dalam dirinya itu sehingga dia dapat berpikir terlebih dahulu sebelum terlanjur berbuat suatu dosa akan selamatlah dia dari bahaya hari Kiamat.
Syekh Thanthawi Jauhari di dalam tafsirnya, al-jawahir, menuliskan pula penafsiran beliau menghubungkan dua sumpah Allah, hari Kiamat dan nafsul lawwamah ini.
Kita salinkan tafsir beliau itu secara bebas demikian.
“Allah berfirman, “Aku bersumpah dengan hari Kiamat dan Aku bersumpah dengan nafsu yang selalu menyesali dirinya, meskipun dia telah bersungguh-sungguh berbuat taat, atau jenis macam-macam nafsu. Tiap-tiap nafsu di hari Kiamat akan menyesali diri, meskipun dia pernah berbuat baik ataupun berbuat jahat, dia selalu menyesali diri. Kalau dia pernah berbuat baik, dia menyesal mengapa tidak aku tambah. Kalau dia berbuat jahat dia pun menyesal mengapa aku kerjakan itu. Semuanya itu ada keterangan dalam hadits-hadits yang dirawikan. Allah bersumpah, demi Kiamat dan demi nafsu yang menyesal itu, bahwa kita ini kelak akan dibangkitkan kembali, Allah bersumpah dengan kebesaran Kiamat dan nafsu manusia yang ingin selalu maju, selalu ingin naik. Telah dicapainya satu martabat, dia ingin yang lebih tinggi lagi. Sumpah Allah yang berangkai dua ini sebagai dalil bahwa kiamat pasti ada. Adanya dalam diri manusia nafsu ingin lebih maju, tidak mau berhenti pada batas tertentu dalam hidup ini, sampai ke akhir umur, jadi bukti bahwa di sebelah sana ada lagi yang lebih tinggi yang dapat dicapai manusia. Tabiat manusia itu sendiri jadi bukti akan adanya Kiamat. Keinginan manusia hendak lebih maju, kelobaan akan harta, keinginan bertambah mengetahui dan tidak mau berhenti dalam satu keadaan saja, adalah bukti bahwa ada lagi di balik hidup ini kehidupan lain. Jiwa manusia selalu ingin tahu, ingin menyelidik yang tadinya belum diketahuinya, dia ingin menguasai, ingin menggagahi. Dia ingin mempunyai lebih banyak dari yang dipunyai sekarang, yang telah dipunyai ini belum dirasa cukup, baik ilmu pengetahuan atau harta benda. Seorang raja penguasa setelah menguasai satu daerah, dia ingin meluaskan kekuasaan itu lagi. Seorang kaya bertambah kaya, bertambah merasa masih kurang. Padahal yang akan memenuhi perut anak Adam tidak lain hanya tanah!
Apakah keinginan-keinginan yang tidak berbatas ini suatu yang tak ada gunanya? Bukan! Keinginan manusia yang tidak berbatas itu adalah mengandung rahasia yang sesudah manusia mati baru akan diketahui rahasia itu, yaitu di hari Kiamat. Kalau hidup manusia tidak mempunyai keinginan-keinginan demikian, hidup ini menjadi percuma tidak ada artinya. Segala peraturan di muka bumi jadi kerugian. Segala kekuatan yang tersembunyi dalam diri kita, bahkan dalam diri binatang sekalipun, pasti ada mempunyai tujuan.
Apa gunanya kelobaan, kerakusan, peperangan, berlomba hendak mengetahui dan menguasai ilmu rahasia alam? Apa gunanya menguasai dan menggagahi? Apa gunanya membuat kapal-kapal besar, menciptakan senjata-senjata modern. Apakah hidup yang sangat singkat ini hanya untuk berlomba memusnahkan?
Al-Qur'an telah menyediakan jawabnya, “Aku bersumpah, demi diri atau jiwa yang selalu ingin kepada yang lebih tinggi, yang tidak ada batas, demi kekuatan yang tersembunyi dalam diri manusia itu, Dia dijadikan ialah karena sesudah hidup yang sekarang ini, diri itu akan sampai kepada suatu, yang di sana dia dapat mencapai segala yang dicita-citakan. Di sana dia tidak akan merasa duka cita. Itulah dia alam arwah, dalam surga yang mahatinggi dan mulia. Selama manusia belum sampai ke tempat itu dia masih akan menyangka bahwa dia dijadikan Allah semata-mata untuk benda ini saja. Karena dia tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya maka meraba-raba, menggapai-gapailah dia dalam hidup sempit yang terbatas ini. Oleh sebab itu maka sumpah Allah dua bertali ini, di antara Kiamat dengan nafsul lawwamah adalah untuk menjadi penunjuk atau dalil. Keinginan nafsu yang tidak berbatas ini adalah bukti bahwa di belakang hidup yang sekaranglah akan tercapai apa yang mereka cari. Di sini Allah bersumpah, demi nafsul lawwamah, demi jiwa yang selalu menyesali, itu adalah suatu dalil bahwa satu waktu jiwa itu akan sampai kepada suatu alam yang jauh lebih sempurna daripada alam yang sekarang. Di sana dia akan mencapai apa yang dituju."
Sekian kita salin dari Syekh Thanthawi Jauhari, (Tafsir Jawahir, Juz 24, hlm. 308).
Ayat 3
“Apakah mengira manusia bahwa tidak akan Kami kumpulkan tulang belulangnya?"
Manusia yang beriman bertanya-tanya dalam hatinya, mana rnungkin manusia yang telah hancur lumat tulangnya dalam kubur beratus beribu tahun, akan dikumpulkan kembali tulang-belulangnya. Kaum musyrikin Mekah tempat surah ini diturunkan, banyak yang tidak mau percaya, ataupun sekurang-kurangnya merasakan ragu-ragu dalam hatinya apakah mungkin manusia yang telah hancur dalam tanah, tulang-belulangnya akan disusun kembali? Maka keraguan itu dibantah oleh Allah dengan lanjutan firman-Nya,
Ayat 4
“Bahkan Kami Mahakuasa atas menyusun sempurna ujung-ujung jarinya."
Jangankan tulang-belulang yang dapat disusun kembali oleh Allah, sedangkan ujung- ujung jari pun akan disusun kembali dengan sempurna.
Ujung-ujung jari, alangkah halusnya! Tulang-tulang di ujung jari saja lima jari mempunyai lima belas ruas tulang, kesepuluh jari tangan menjadi tiga puluh ruas jari. Sepuluh jari kaki 28 ruas. Maka ujung kedua puluh jari kaki dan tangan jadi 58 ruas. Itu akan disusun sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya.
Kulit jari itu pun halus sekali. Di ujung masing-masing jari dan di telapak tangan manusia terdapat tanda masing-masing pribadi. Tidak ada dua orang yang serupa ujung jarinya dalam dunia ini. Kalau penduduk dunia sekarang misalnya 4.000 juta (4 miliar), maka 4 miliar pulalah macam ujung jarinya. Maka segala manusia ini, baik generasi-generasi yang telah meninggal terlebih dahulu, ataupun yang akan datang kelak menggantikan yang sekarang, tidak ada yang sama ukiran ujung jarinya. Itulah yang bernama ilmu sidik jari. Dalam ayat ini Allah menjamin, dengan memakai kalimat bal yang berarti bahkan, bahwa ujung-ujung jari itu pun akan disusun dengan sempurna.
Kalau kita bertanya, “Bagaimana bisa terjadi demikian?" Niscaya tidak akan ada jawabnya pada manusia sendiri. Sebagaimana pada yang kita saksikan tiap hari, misalnya kalau setitik mani laki-laki dan setitik mani perempuan yang telah digali dalam rahim jadi satu, bagaimana mani itu akan menjadi ujung jari, sidik jari, atau bagaimana setitik mani itu kemudian bisa menjadi seorang yang bernama misalnya Maulana Muhammad Iqbal atau Socrates atau Herbert Spencer atau seorang Hitler?
Ayat 5
“Bahkan inginlah manusia berbuat durhaka di hadapannya."
Ayat ini menunjukkan segi yang lain dalam jiwa manusia. Yaitu bahwa di samping dia mempunyai nafsu atau jiwa yang selalu menyesal atau perbuatannya yang kurang sempurna atau yang salah, manusia itu pun ingin rasanya melepaskan segala hawa nafsunya yang tidak terbatas. Apabila dia telah duduk seorang diri, mau rasanya dia berbuat segala kedurhakaan selama kesempatan masih ada. “Di hadapannya" yaitu umur yang masih disediakan Allah buat dia hidup hendak digunakannya berbuat semau hatinya di dunia ini.
Ayat 6
“Dia bertanya, Bilakah hati Kiamat itu?"
Pertanyaannya demikian, menanyakan bila Kiamat itu akan terjadi, adalah sebagai tantangan dari orang yang tidak percaya bahwa Kiamat akan terjadi dan menyangka bahwa tenaganya akan cukup terus-menerus menghabiskan umur dalam maksiat dan kedurhakaan. Begitulah terjadi pada kebanyakan manusia yang jiwanya tidak berisi dengan kepercayaan atau iman. Maka datanglah jawab Allah,
Ayat 7
“Maka apabila mata telah terbelalak."
Maka terbelalak dari sebab sangat heran, sangat takut dan sangat ngeri melihat berbagai macam yang terjadi, yang selama ini tidak disangka akan terjadi.
Ayat 8
“Dan telah pudar cahaya bulan."
Pudar cahaya bulan di sini bukanlah semata pudar karena gerhana bulan. Sebab apabila gerhana bulan terjadi, hanya dua atau tiga jam saja, dia akan bercahaya kembali, karena cahaya bulan menjadi pudar ialah ketika di antara bulan dengan matahari dibatasi dengan bumi, maka dihalanginyalah cahaya matahari buat menimpa bulan. Padahal bulan bisa bercahaya ialah sebagai pantulan dari cahaya matahari belaka.
Ayat 9
“Dan telah dikumpulkan matahari dan bulan."
Apabila matahari telah berkumpul dengan bulan seperti yang biasa kita lihat sekarang, ialah jika di antara bumi dengan matahari dibatasi cahayanya oleh sebab adanya bulan di tengah-tengah. Pada waktu yang demikian gerhana mataharilah yang akan kejadian. Di bagian bumi yang setentangan dengan lindungan bulan itu gelaplah bumi sama sekali, karena cahaya matahari dihambat buat datang ke bumi oleh bulan. Tetapi kalau Kiamat telah datang, peraturan alam, daya tarik antara satu bintang dengan bintang yang lain, jarak tertentu yang diedari bumi keliling matahari telah mulai berubah. Pada waktu jika berkumpul matahari dan bulan artinya ialah Kiamat. Sebab bumi tidak akan mendapat cahaya lagi dan matahari dan bulan mulai terpisah dan tugasnya yang setama ini, yaitu jadi satelit bumi.
Ayat 10
“Berkatalah manusia pada hari itu, “Kemana tempat lari?"
Kalau sudah begitu keadaan alam sekeliling pada waktu itu, sehingga mata jadi terbelalak lantaran takut, dan bulan tidak bercahaya lagi dan matahari dan bulan seakan telah berkumpul, barulah manusia tahu apa yang telah berlaku. Alam dunia mulai digulung. Kalau selama ini ingin menghabiskan umur dalam durhaka dan maksiat, sekarang bagaimana lagi akan meneruskan maksiat dan durhaka itu. Ke mana akan pergi melarikan diri dan mengelakkan bahaya? Alangkah kecilnya manusia, laksana semut beriring saja dan tidak dapat mengelakkan diri kalau takdir yang Maharaya telah berlaku. Sedangkan sebesar-besar kapal di taut, hanyalah laksana sabut kelapa saja di tengah samudra luas. Hujan satu hari saja pun sudah membawa banjir, sehingga terendam dan hanyut rumah-rumah, musnah persediaan barang makanan, apatah lagi kalau yang datang jauh lebih dahsyat dari itu.