Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَنَّهُۥ
dan bahwasanya
كَانَ
adalah
يَقُولُ
mengatakan
سَفِيهُنَا
orang bodoh diantara kami
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
شَطَطٗا
melampaui batas
وَأَنَّهُۥ
dan bahwasanya
كَانَ
adalah
يَقُولُ
mengatakan
سَفِيهُنَا
orang bodoh diantara kami
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
شَطَطٗا
melampaui batas
Terjemahan
Sesungguhnya orang yang bodoh di antara kami selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.
Tafsir
(Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan) maksudnya orang yang bodoh di antara kami (perkataan yang melampaui batas terhadap Allah) dusta yang berlebihan, yaitu dengan menyifati Allah punya istri dan anak.
Tafsir Surat Al-Jinn: 1-7
Katakanlah (wahai Muhammad), "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur'an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah, dan sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin sekali-kali tidakakan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antarajin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun." Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menceritakan kepada kaumnya bahwa ada makhluk jin yang mendengarkan bacaan Al-Qur'an-nya, lalu mereka beriman dan membenarkannya serta taat kepadanya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Katakanlah (wahai Muhammad), "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur'an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar." (Al-Jin: 1-2) Yakni memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan keberhasilan. lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami. (Al-Jin: 2) Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an. (Al-Ahqaf: 29) Telah kami sebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini dalam tafsir surat Al-Ahqaf, sehingga tidak perlu diulangi lagi di sini.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan bahwasanya Maha tinggi kebesaran Tuhan kami. (Al-Jin: 3) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kebesaran Tuhan kami. (Al-Jin: 3) Yaitu perbuatan, perintah, dan takdir-Nya. Ad-Dahak telah mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa kebesaran Allah adalah tanda-tanda-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang ada pada makhluk-Nya. Dan telah diriwayatkan dari Mujahid dan Ikrimah, bahwa makna yang dimaksud ialah kebesaran (keagungan) Allah Tuhan kami. Qatadah mengatakan bahwa Mahatinggi kebesaran, keagungan, dan perintah-Nya.
As-Suddi mengatakan bahwa Mahatinggi perintah (urusan) Tuhan kami. Diriwayatkan dari Abu Darda dan Mujahid, serta Ibnu Juraij, bahwa Mahatinggi sebutan-Nya. Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. (Al-Jin: 3) Yakni Mahatinggi Tuhan kami. Adapun mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-jadd ialah kakek.
Seandainya jin mengetahui bahwa manusia mempunyai kakek, niscaya mereka tidak akan mengatakan, "Jaddu Rabbina. Sanad riwayat ini jayyid, tetapi aku tidak memahami makna kalam ini, barangkali ada sesuatu yang gugur dari perkataannya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. (Al-Jin: 3) Artinya, Mahatinggi Allah dari beristri dan beranak. Jin mengatakan bahwa Mahasuci Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahamulia dari hal tersebut, yaitu dari mempunyai istri dan anak.
Hal ini dikatakan oleh jin ketika mereka masuk Islam dan beriman kepada Al-Qur'an. Kemudian mereka (jin) mengatakan sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya: Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. (Al-Jin: 4) Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Orang yang kurang akal daripada kami. (Al-Jin: 4) Mereka bermaksud iblis. yang melampaui batas. (Al-Jin: 4) Menurut As-Suddi, dari Abu Malik, artinya perkataan yang melampaui batas. Menurut Ibnu Zaid, artinya zalim yang besar.
Dapat pula ditakwilkan arti firman-Nya, "Safihuna," sebagai isim jenis yang pengertiannya mencakup semua orang yang beranggapan bahwa Allah beristri dan beranak. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya: Dan bahwasanya orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan. (Al-Jin: 4) Yakni sebelum dia masuk Islam. (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah. (Al-Jin: 4) Maksudnya, kata-kata yang batil dan palsu alias tidak benar. Karena itulah maka dalam firman berikutnya disebutkan: dan sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. (Al-Jin: 5) Yaitu sebelum ini kami tidak mengira bahwa manusia dan jin bersepakat membuat kedustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka menisbatkan kepada-Nya punya anak dan punya istri.
Dan setelah kami mendengar Al-Qur'an ini dan kami beriman kepadanya, barulah kami mengetahui bahwa mereka dusta terhadap Allah dalam pengakuan mereka itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6) Yakni kami dahulu berpandangan bahwa diri kami lebih utama daripada manusia karena mereka sering meminta perlindungan kepada kami, bila mereka berada di sebuah lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti di hutan dan tempat-tempat lainnya yang angker.
Sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah mereka; mereka meminta perlindungan kepada pemimpin jin di tempat mereka beristirahat agar mereka tidak diganggu olehnya. Perihalnya sama dengan seseorang dari mereka bila memasuki kota musuh mereka di bawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di kota tersebut. Ketikajin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan kepada mereka karena takut kepada mereka, maka justru jin-jin itu makin membuatnya menjadi lebih takut, lebih ngeri, dan lebih kecut hatinya.
Dimaksudkan agar manusia itu tetap takut kepada mereka dan lebih banyak meminta perlindungan kepada mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6) Yaitu makin menambah manusia berdosa, dan jin pun sebaliknya makin bertambah berani kepada manusia. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim sehubungan dengan makna firman-Nya: maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6) Artinya, jin makin bertambah berani kepada manusia.
As-Suddi mengatakan bahwa dahulu bila seseorang melakukan perjalanan bersama keluarganya, dan di suatu tempat ia turun istirahat, maka ia mengatakan, "Aku berlindung kepada pemimpin jin lembah ini agar aku jangan diganggu atau hartaku atau anakku atau ternakku." Qatadah mengatakan bahwa apabila dia meminta perlindungan kepada jin selain dari Allah, maka jin makin menambah gangguannya kepada dia, dan membuatnya makin merasa takut.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id alias Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnul Kharit, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa dahulu jin takut kepada manusia, sebagaimana sekarang manusia takut kepada jin, atau bahkan lebih parah dari itu.
Dan tersebutlah bahwa pada mulanya apabila manusia turun istirahat di suatu tempat, maka jin yang menghuni tempat ini bubar melarikan diri. Tetapi pemimpin manusia mengatakan, "Kita meminta perlindungan kepada pemimpin jin penghuni lembah ini." Maka jin berkata, "Kita lihat manusia takut kepada kita, sebagaimana kita juga takut kepada mereka." Akhirnya jin mendekati manusia dan menimpakan kepada mereka penyakit kesurupan dan penyakit gila.
Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6) Yakni dosa. Abul Aliyah dan Ar-Rabi' serta Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna rahaqa, bahwa artinya takut. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6) Rahaqan artinya dosa.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah. Menurut Mujahid, rahaqan artinya kekufuran dan kedurhakaan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Farwah ibnul Migra Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik Al-Muzani, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari ayahnya, dari Kirdam ibnus Sa-ib Al-Ansari yang mengatakan bahwa ia keluar bersama ayahnya dari Madinah untuk suatu keperluan.
Demikian itu terjadi di saat berita Rasulullah ﷺ di Mekah tersiar. Maka malam hari memaksa kami untuk menginap di tempat seorang penggembala ternak kambing. Dan ketika tengah malam tiba, datanglah seekor serigala, lalu membawa lari seekor anak kambing, maka si penggembala melompat dan berkata, "Wahai penghuni lembah ini, tolonglah aku!" Maka terdengariah suara seruan yang tidak kami lihat siapa dia, mengatakan, "Wahai Sarhan (nama serigala itu), lepaskanlah anak kambing itu!" Maka anak kambing itu bergabung kembali dengan kumpulan ternak dengan berlari tanpa mengalami luka apa pun.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kepada Rasul-Nya di Mekah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosadan kesalahan. (Al-Jin: 6) Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibrahim An-Nakha'i hal yang semisal. Barangkali serigala yang mengambil anak kambing itu adalah jelmaan jin untuk menakut-nakuti manusia agar manusia takut kepadanya, kemudian ia mengembalikan anak kambing itu ketika manusia meminta tolong dan memohon perlindungan kepadanya, hingga manusia itu menjadi sesat, dihinakan oleh jin dan mengeluarkannya dari agamanya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul)pun. (Al-Jin: 7) Yakni Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun sesudah masa itu. Demikianiah menurut apa yang dikatakan oleh Al-Kalabi dan Ibnu Jarir."
4-5. Jin yang mendengar bacaan Al-Qur'an tersebut melanjutkan testimoninya di hadapan kaumnya dengan menyatakan, "Dan sesungguhnya orang yang bodoh kurang sehat akalnya di antara kami dahulu selalu mengucapkan perkataan yang melampaui batas terhadap Allah yang Maha Esa, dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah, dengan menasabkan sekutu, istri dan anak kepada-Nya. "4-5. Jin yang mendengar bacaan Al-Qur'an tersebut melanjutkan testimoninya di hadapan kaumnya dengan menyatakan, "Dan sesungguhnya orang yang bodoh kurang sehat akalnya di antara kami dahulu selalu mengucapkan perkataan yang melampaui batas terhadap Allah yang Maha Esa, dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah, dengan menasabkan sekutu, istri dan anak kepada-Nya. ".
Dalam ayat ini, diungkapkan bahwa di antara jin-jin itu ada yang mengucapkan perkataan yang jauh dari kebenaran, yaitu bahwa Allah mempunyai anak dan teman wanita.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-JINN
(DARI HAL JIN)
SURAH KE-72, 28 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-28)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
CERITA KAUM JIN
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas (yang maknanya saja kita nukilkan di sini) bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ diiringkan oleh beberapa orang sahabat beliau pergi bersama-sama menuju Pasaran Ukadz. Kononnya pada waktu itu dalam kalangan setan-setan timbul hiruk-piruk tidak berketentuan, karena perhubungan dari langit terputus sehingga berita dan langit tidak ada lagi yang menetes turun ke muka bumi. Bahkan melayanglah apa yang sekarang kita namai meteor, yaitu batu pecahan bintang yang cepat sekali melayang di udara. Yang menurut keterangan Allah dalam wahyu, meteor itu adalah semacam panah Allah yang dipanahkan kepada setan-setan atau jin yang mencoba memasang telinga hendak mendengar berita-berita langit. Maka di saat Rasulullah ﷺ pergi menuju Pasar Ukadz itu, yaitu pasaran tahunan tempat orang Arab zaman Jahiliyah berjual beli dan berlomba bersyair, tertutup sama sekali berita langit itu, bahkan batu meteor melayang di udara, tandanya ada setan kena panah!
Lalu terjadilah keributan dalam kalangan setan-setan memperkatakan apa sebab jadi begini. Maka yang terkemuka di antara mereka menyuruh anak buahnya menyelidiki ke seluruh permukaan bumi, ke timur dan ke barat untuk menyelidiki apa sebab terjadi demikian.
Tersebutlah bahwa di antara yang disuruh itu sampailah ke Lembah Tihamah. Di satu perkebunan kurma bertemulah dengan rombongan Rasulullah yang hendak menuju Pasar Ukadz itu. Didapatinya Rasulullah sedang melakukan shalat Shubuh diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Beliau membaca Al-Qur'an dengan jahar. Lalu mereka dengarkan dengan tekun.
Sesudah mereka dengarkan, kembalilah mereka kepada tempatnya berkumpul dengan kawan-kawannya tadi, lalu dia berkata, “Kami telah mendengar Al-Qur'an, sungguh menakjubkan sekali kandungannya. Dia memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana, jalan yang cerdik dan benar. Karena telah percaya akan isi Al-Qur'an itu dan mulai sekarang kami tidak mau lagi mempersekutukan Allah kami dengan yang lain sesuatu jua pun."
Inilah menurut riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas itu asal-usul turun ayat. Ada lagi dua tiga hadits yang lain yang hampir sama maknanya dengan hadits ini. Muslim pun merawikan juga dengan susun kata yang lain.
KAMI MENDENGAR AL-QUR'AN YANG MENAKJUBKAN
Ayat 1
“Katakanlah!"
Yaitu perintah Allah kepada Rasulullah ﷺ supaya hal ini beliau sampaikan kepada manusia. Ini adalah permulaan wahyu. “Telah diwahyukan kepadaku, bahwasanya telah mendengar sekumpulan dan jin," yaitu bahwa sekumpulan dari jin telah mendengar bunyi Al-Qur'an seketika Rasulullah melakukan shalat Shubuh bersama sahabat-sahabat beliau dengan suara jahar, lalu didengarkan baik-baik oleh jin itu.
“Lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengari Al-Qur'an yang menakjubkan itu."
Lalu al-Jinn itu meneruskan lagi bagaimana kesan yang tinggal dalam diri mereka mendengar bunyi Al-Qur'an.
Ayat 2
“Memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana."
Inilah kesan pertama yang tinggal dalam diri mereka setelah mendengar Al-Qur'an dibaca Nabi. Mula-mula mereka takjub, merasa heran tercengang mendengar ayat itu dibaca. Sebabnya ialah karena isi kandungannya teramat bijaksana sekali sehingga tidak ada jalan buat membantah dan menolak, kalau hati benar-benar bersih. “Maka kami pun berimanlah kepadanya." Setelah mengakui bahwa isi Al-Qur'an itu penuh dengan petunjuk kepada kebijaksanaan, tidak dapat tidak mestilah timbul iman atau kepercayaan akan kebenaran isinya. Maka oleh sebab telah mengaku beriman kepada Al-Qur'an dengan sendirinya timbullah akibat dari iman itu, yaitu
“Dan sekali-kali tidaklah kami akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami."
Beberapa pelajaran ayat ini menurut Buya:
1. Jin beriman setelah mendengar Al-Qur'an.
2. Jin pun paham akan bahasa manusia.
3. Jin yang beriman melakukan dakwah pula kepada sejenisnya yang belum beriman.
4. Jin terjadi daripada nyala api
5. Di antara jin dan iblis, dan kadang-kadang disebut juga ‘ifrit, semuanya itu adalah makhluk Allah dari jenis yang satu, tetapi ada yang kafir sebagaimana telah kita lihat pada kisah Iblis tidak mau sujud kepada Adam ketika diperintah oleh Allah, dan ada pula yang Islam sebagaimana yang kita lihat dengan jelas dalam ayat ini. Cuma dalam pemakaian Bahasa sehari-hari saja telah kita biasakan menyebut bahwa Iblis seluruhnya adalah kafir dan jin ada yang Islam.
6. bahwa Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidaklah bertemu berhadapan dengan jin yang menyatakan diri beriman setelah mendengar Nabi membawa Al-Qur'an dengan jahar di kala shalat Shubuh itu. Bahkan ayat membayangkan bahwa Nabi sendiri pun tidak tahu-menahu. Baru beliau tahu setelah wahyu ini datang memberitahukan.
7. Nabi ﷺ bersabda, “Jin lebih mendalam sambutan mereka daripada kamu seketika ayat-ayat ini aku baca. Setiap aku sampai kepada ayat “fabi aiyyi aalaa'i rabbikumaa tukadzdzibaan", jin-jin itu telah menyambut dengan ucapan,“Tidak ada satu pun nikmat Engkau yang kami dustakan, ya Tuhan. Bagi Engkaulah segala puji-pujian."
8. Beliau pun diutus kepada jin di samping kepada manusia. Sudah seyogianya beliau pun bertemu dengan mereka. Dan itulah kelebihan beliau, sehingga dapat bertemu dengan makhluk yang tidak akan dapat ditemui oleh manusia-manusia biasa.
Ayat 3
“Dan sesungguhnya Dia, Yang Maha tinggi, Kebesaran Tuhan kami."
Dalam suku kata pertama, dengan segala kesungguhan jin itu menyatakan pengakuan atas kemahatinggian Ilahi, setelah itu diakuinya pula kebesaran-Nya, “Kebesaran Tuhan Kami." Mereka pun telah sampai ke dalam inti kepercayaan dengan lanjutan pengakuan mereka.
“Tidaklah Dia mengambil istri dan tidak pula beranak."
Itulah pengakuan tauhid sejati, yang telah sampai kepada puncaknya bahwa Allah itu berdiri sendirinya, Mahatinggi tiada yang menyamai-Nya dalam ketinggian-Nya. “Kebesaran Tuhan Kami," mutlak kebesaran itu, sehingga “Tidaklah Dia mengambil istri dan tidak pula beranak,"
Sudah mesti, menurut akal yang sehat bahwa Allah Yang Mahatinggi, Mahamulia, Mahaagung dan mempunyai Kebesaran Yang Mutlak tidak beristri karena beristri adalah sifat dan tanda kekurangan yang ada pada makhluk yang bernyawa. Allah mengadakan sifat alam “berjantan-berbetina" dengan syahwat faraj atau sex, untuk menyambung turunan. Karena kalau seseorang meninggal dunia, Allah menakdirkan anaknya akan meneruskan kehidupan. Untuk beranak dia mesti beristri. Maka amat janggallah pikiran kalau sampai kepada kesimpulan bahwa Allah Yang Mahaagung itu memerlukan istri, karena istri akan memberinya anak. Allah tidaklah dapat diserupakan dengan raja-raja penguasa dunia, yang cemas kalau dia tidak meninggalkan putra mahkota yang akan menyambut kekuasaan kalau datang masanya dia meninggalkan dunia ini.
Lalu jin-jin yang telah Islam itu mengakui terus terang bahwa dalam kalangan jin-jin itu sendiri ada yang bebal, berpikir kacau balau,
Ayat 4
“Dan bahwasanya orang-orang yang bebal di antara kami."
Yaitu yang berpikir kacau balau, yang jiwanya tidak bersih, yang pendapat akalnya tidak teratur.
“Mengatakan terhadap Allah kata-kata yang tidak karuan."
Sebagai puncak kedustaan seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya. Yaitu mengatakan Allah beristri dan kemudian itu Allah beranak. Misalnya dalam kalangan manusia pemeluk Kristen ada yang memandang Siti Maryam, ibu Isa al-Masih adalah istri Allah, sebab dia melahirkan “Putra" Tuhan, yaitu Isa al-Masih atau Yesus Kristus. Dalam ayat cerita jin ini, kepercayaan demikian timbul dari jin yang safih, yang berarti bebal, yaitu berpikir tidak jernih, atau menutup pintu buat orang berpikir. Padahal semuanya itu adalah tidak masuk akal, kalau kita hendak mendalami siapa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah ﷻ
Ayat 5
“Dan sesungguhnya kami, berat persangkaan kami."
Di ayat ini mereka menjelaskan diri mereka dengan Kami. Yaitu kami yang telah mengakui kebenaran Rasul, kami yang telah mendengar bacaan Nabi akan Al-Qur'an di kala shalat Shubuh itu, atau kami yang telah menemui Nabi di malam gulita sehingga Ibnu Mas'ud dan sahabat-sahabat yang lain kehilangan hampir semalam suntuk, atau kami yang bertemu tujuh jin banyaknya di perjalanan pulang beliau dari Thaif. Mereka mengatakan berat persangkaan kami, atau tidak berdetak di hati kami, atau tidaklah mungkin kejadian.
“Bahwasanya sekali-kali tidaklah akan mengatakan manusia dan jin terhadap Allah kata-kata yang dusta."
Kata-kata yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena iman yang sejati tidaklah mungkin dicampuradukkan dengan dusta.
Ayat 6
“Dan sesungguhnya adalah laki-laki dari kalangan manusia, memperlindungkan diri kepada beberapa laki-laki dan kalangan jin."
Surah ini seluruhnya mengakui bahwa jin itu memang ada! Dari sejak zaman jahiliyah lagi, orang sudah percaya akan adanya jin. Orang Arab jahiliyah ada kepercayaan bahwa di lekak-lekuk tempat yang seram, di bukit, di gunung, di lembah ada jin-jin penguasa. Maka kalau mereka berjalan kemana-mana, mereka lebih dahulu memberi hormat kepada “penjaga" atau “penguasa" tempat itu.
Kepercayaan ini pun merata rupanya di mana-mana. Pada suku-suku bangsa kita di Indonesia, Melayu dan Jawa juga ada kepercayaan akan jin-jin itu. Berbagai namanya pada istilah kita: dewa, dewi, peri, mambang, begu, hantu, orang sibunian, dan lain-lain sebagainya. Bangsa kita pun memuja dan memanggil mereka meminta hindarkan dari bala. Setiap tahun nelayan di Laut Utara Pulau Jawa menghantarkan sajen (sajian) kepala kerbau ke tengah-tengah laut untuk menghormati jin penguasa laut. Demikian pula di Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu (Kelantan, Trengganu). Mantra dukun-dukun di kampung saya di waktu masih kecil terdengar memanggil,
“Nan di bigak dan di bigau,
Nan di Sarojo Tuo,
Nan di puncak Singgalang,
Nan di puncak Merapi dan sebagainya, dan sebagainya."
Bahkan sampai sekarang di Sumatera Timur masih tertinggal kebiasaan menepung tawari, yang bermaksud memuja jin supaya jangan mengganggu kepada orang yang di tepung tawari itu.
Inilah yang dijelaskan oleh jin sendiri, pengakuan mereka kepada Allah, lalu disampaikan Allah berupa wahyu kepada Nabi kita Muhammad ﷺ dan disuruh Nabi kita menyampaikan kepada kita, di awal ayat 1 dengan kalimat Qul, Katakanlah! Artinya sampaikanlah kepada umatmu, bahwa banyak lakilaki di antara manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jin-jin “nan di bigak, nan di bigau" dan sebagainya itu. Akibatnya bagaimana?
Lanjutan ayat menjelaskan,
“Maka mereka itu telah menjadikan mereka menyombong kacau balau."
Tegas sekali rangkaian pangkal ayat dengan ujung ayat. Ada manusia yang mencari perlindungan kepada jin, padahal tempat kita berlindung yang sejati ialah Allah. Bahkan kita disuruh berlindung kepada Allah daripada pengaruh setan yang dirajam. Sekarang si manusia itu berlaku terbalik, kepada jin atau setan mereka meminta perlindungan dari bahaya. Apa jadinya? Karena jin itu jelas sama-sama makhluk dengan dia, dan jin itu tidak mempunyai kuasa apaapa, lantaran dia yang dipuja, oleh si manusia tadi, maka tidaklah kena alamat yang dituju. Maka menyombonglah jin dan setan, berlantas angan kepada manusia yang melindungkan dirinya itu. Sebab tahu bahwa si manusia tidak tahu akan harga dirinya. Selanjutnya bukanlah manusia tadi menjadi tenang, bahkan menjadi bertambah kacau pikiran. Sebab bergantung kepada akar lapuk.
Memang ada jin yang kafir dan ada jin yang Islam. Meminta perlindungan kepada jin yang kafir, yang pemimpin besarnya ialah Iblis, sudah terang melanggar larangan Allah sendiri,
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu, sebab itu maka hendaklah kamu anggap dia jadi musuh." (Faathir: 6)
Kalau setan Iblis telah memusuhi kita, adakah pantas kita melindungkan diri kepadanya? Artinya melindungkan diri kepada musuh sendiri? Niscaya jalan yang sesatlah yang akan dia anjurkan.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh memperlindungkan diri atau dengan kata yang lebih halus meminta tolong, dan kata yang lebih halus lagi mengambil jin jadi khadam, itu pun tiada layak.
Di dalam Al-Qur'an Allah menjelaskan bahwa Allah memuliakan anak Adam, mengangkatnya tinggi di darat dan di taut, dan memberinya rezeki dengan yang baik-baik, dan melebihkan anak Adam dari kebanyakan isi alam ini, sebagaimana tersebut dalam surah al-Israa' ayat 7. Dan Allah menyatakan bahwa yang Allah jadikan khalifah-Nya di muka bumi adalah insan, bukan jin, bahkan bukan malaikat!
Suatu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa jin yang Islam, jika berjumpa dengan manusia yang Muslim, jin itulah yang segan dan lari. Kalau shalat, jinlah yang jadi makmum di belakang, bukan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa jin itu sangatlah segan kepada manusia, baik jin yang kafir atau jin yang Islam.
Oleh sebab itu adalah amat janggal kalau manusia yang melindungkan diri kepada jin. Tentu saja kacau balaulah manusia karena berkalang ketumpuan, yang lebih tinggi martabatnya merendahkan diri kepada yang lebih rendah. Tanda bukti lagi atas kemuliaan manusia ialah bahwa Nabi Muhammad seorang manusia diutus kepada manusia dan jin.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, jin sendiri yang memberi ingat bahwa ada laki-laki dari kalangan manusia memperlindungkan diri kepada lakilaki dari kalangan jin, akibatnya ialah kekacaubalauan pikiran. Maksud Allah menaikkan derajat kita mendekati Allah, menjadi orang yang bertakwa sehingga lebih mulia di sisi Allah, bahkan disuruh agar berdoa memohon kepada Allah, bukan saja menjadi orang yang bertakwa bahkan menjadi imam pula dari orang yang bertakwa bukan menjadi khadam jin dan setan.
Mujahid menafsirkan sebagaimana terjemahan kita, yaitu karena manusia pergi memperlindungkan diri kepada jin, maka si jin itu menjadi sombong.
Tetapi Qatadah, Abui Aliyah, Rabi dan Ibnu Zaid menafsirkan, “Oleh karena manusia telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jin, dia pun diperbodoh oleh jin itu, sehingga kian lama pikirannya kian kacau, dan kian lama pikirannya kian takut kepada jin." Padahal Allah menentukan tempat takut hanya Allah.
Said bin Jubair menafsirkan, bahwa lantaran si manusia itu memperlindungkan diri kepada jin, maka bertambah lama bertambah condonglah si manusia tadi kepada kafir.
Al-Qurthubi menegaskan, “Tidak tersembunyi lagi bahwa pergi memperlindungkan diri kepada jin, bukan kepada Allah adalah syirik dan kufur."
Ada orang-orang berdukun yang katanya memelihara jin Islam. Jin itu katanya bisa disuruh-suruh. Malahan bisa disuruh mengambil mutiara ke dasar laut. Kalau dicari benar-benar fakta atau kenyataan dari berita ini, tidaklah bertemu pangkalnya yang benar dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak juga mustahil bahwa ada Jin itu disuruh Allah berkhidmat kepada manusia, tetapi itu hanya kemungkinan saja. Yang terang beralasan, baik dari Al-Qur'an atau dan hadits-hadits Nabi ialah bahwa malaikat bisa disuruh Allah mengawal manusia, karena teguh imannya. (Lihat surah Fushshilat ayat 30).
Dari Abu Hurairah Nabi ﷺ bersabda,
“Daripada Abu Hurairah r.a. daripada Nabi ﷺ berkata dia, Berkata Nabi ﷺ, “Apabila Imam telah mengatakan “Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar barangsiapa yang memuji-Nya), hendaklah dia menyambut dengan ucapan, “Allahumma Rabbana lakal hamdu" (Ya Tuhanku! Untuk Engkaulah, sekalian puji). Maka barangsiapa yang bersamaan kata-katanya itu dengan kata-kata malaikat, niscaya akan diampuni mana yang telah terdahulu dari dosanya. " (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits semacam ini banyak. Hadits malaikat bersama orang yang mengejar shaf pertama, malaikat bersama orang yang menyusun shaf baik-baik. Hadits bahwa malaikat menyampaikan kepada Nabi tiap-tiap shalawat dan salam yang diucapkan umatnya kepada Nabi ﷺ dan lain-lain sebagainya.
Mengapa kita ragu akan kebenaran Al-Qur'an lalu kita masuk berkhayal?