Ayat
Terjemahan Per Kata
إِلَّا
kecuali
عَلَىٰٓ
atas/terhadap
أَزۡوَٰجِهِمۡ
isteri-isteri mereka
أَوۡ
atau
مَا
apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُمۡ
tangan kanan mereka
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
غَيۡرُ
bukan/tidak
مَلُومِينَ
tercela
إِلَّا
kecuali
عَلَىٰٓ
atas/terhadap
أَزۡوَٰجِهِمۡ
isteri-isteri mereka
أَوۡ
atau
مَا
apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُمۡ
tangan kanan mereka
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
غَيۡرُ
bukan/tidak
مَلُومِينَ
tercela
Terjemahan
kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).
Tafsir
(Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki) yakni budak-budak perempuan (maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.).
Tafsir Surat Al-Ma'arij: 19-35
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.
Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara salatnya.
Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal manusia dan watak-watak buruk yang telah menjadi pembawaannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah. (Al-Ma'arij: 19) Yang hal ini ditafsirkan oleh firman selanjutnya: Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. (Al-Ma'arij: 20) Yakni apabila tertimpa kesusahan, ia kaget dan berkeluh kesah serta hatinya seakan-akan copot karena ketakutan yang sangat, dan putus asa dari mendapat kebaikan sesudah musibah yang menimpanya. dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. (Al-Ma'arij: 21) Yaitu apabila ia mendapat nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala, berbaliklah ia menjadi orang yang kikir terhadap orang lain, dan tidak mau menunaikan hak Allah yang ada padanya.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ali ibnu Rabah, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadits berikut dari Abdul Aziz ibnu Marwan ibnul Hakam yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sifat terburuk yang ada pada diri seorang lelaki ialah kikir yang keterlaluan dan sifat pengecut yang parah. Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Abdullah ibnul Jarah, dari Abu Abdur Rahman Al-Muqri dengan sanad yang sama, dan ia tidak mempunyai hadits dari Abdul Aziz selain dari hadits ini.
Kemudian dalam firman berikutnya disebutkan: kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. (Al-Ma'arij: 22) Yakni manusia itu ditinjau dari segi pembawaannya menyandang sifat-sifat yang tercela, terkecuali orang yang dipelihara oleh Allah dan diberi-Nya taufik dan petunjuk kepada kebaikan dan memudahkan baginya jalan untuk meraihnya. Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. (Al-Ma'arij: 23) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah orang-orang yang memelihara shalat dengan menunaikannya di waktunya masing-masing dan mengerjakan yang wajib-wajibnya.
Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Masruq, dan Ibrahim An-Nakha'i. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan tetap dalam ayat ini ialah orang yang mengerjakan salatnya dengan tenang dan khusyuk, semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Al-Muminun: 1-2) Demikianlah menurut Uqbah ibnu Amir. Dan termasuk ke dalam pengertian ini kalimat al-ma-ud da-im, artinya air yang tenang dan diam, tidak beriak dan tidak bergelombang serta tidak pula mengalir.
Makna ini menunjukkan wajib tuma-ninah dalam shalat, karena orang yang tidak tuma-ninah dalam rukuk dan sujudnya bukan dinamakan orang yang tenang dalam salatnya, bukan pula sebagai orang yang menetapinya, bahkan dia mengerjakannya dengan cepat bagaikan burung gagak yang mematuk, maka ia tidak beroleh keberuntungan dalam salatnya. Menurut pendapat yang lain, apabila mereka mengerjakan suatu amal kebaikan, maka mereka menetapinya dan mengukuhkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih diriwayatkan melalui Siti Aisyah , dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Amal yang paling disukai oleh Allah ialah yang paling tetap, sekalipun sedikit.
Menurut lafal yang lain disebutkan: yang paling tetap diamalkan oleh pelakunya Selanjutnya Aisyah mengatakan, Rasulullah ﷺ adalah seorang yang apabila mengamalkan suatu amalan selalu menetapinya. Menurut lafal yang lain disebutkan selalu mengukuhkannya. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. (Al-Ma'arij: 23), Telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Danial a.s. menyebutkan sifat umat Muhammad ﷺ Maka ia mengatakan bahwa mereka selalu mengerjakan shalat yang seandainya kaum Nuh mengerjakannya, niscaya mereka tidak ditenggelamkan; dan seandainya kaum 'Ad mengerjakannya, niscaya mereka tidak tertimpa angin yang membinasakan mereka; atau kaum Samud, niscaya mereka tidak akan tertimpa pekikan yang mengguntur. Maka kerjakanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu merupakan akhlak orang-orang mukmin yang baik.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al-Ma'arij: 24-25) Yakni orang-orang yang di dalam harta mereka terdapat bagian tertentu bagi orang-orang yang memerlukan pertolongan. Masalah ini telah diterangkan di dalam tafsir surat Az-Zariyat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan. (Al-Ma'arij: 26) Yaitu meyakini adanya hari kiamat, hari penghisaban, dan pembalasan; maka mereka mengerjakan amalnya sebagaimana orang yang mengharapkan pahala dan takut akan siksaan.
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. (Al-Ma'arij:27) Maksudnya, takut dan ngeri terhadap azab Allah subhanahu wa ta’ala: Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). (Al-Ma'arij: 28) Yakni tiada seorang pun yang merasa aman dari azab-Nya dari kalangan orang yang mengetahui akan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali hanya bila mendapat jaminan keamanan dari Allah subhanahu wa ta’ala Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (Al-Ma'arij: 29) Yaitu mengekangnya dari melakukan hal yang diharamkan baginya dan menjaganya dari meletakkannya bukan pada tempat yang diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. (Al-Ma'arij: 30) Maksudnya, budak-budak perempuan yang dimiliki oleh mereka. maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.
Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampauibatas. (Al-Ma'arij: 30-31) Tafsir ayat ini telah disebutkan di dalam permulaan surat Al-Muminun, yaitu pada firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al-Muminun: 1), hingga beberapa ayat berikutnya. sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam surat ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Al-Ma'arij: 32) Yakni apabila mereka dipercaya, mereka tidak khianat; dan apabila berjanji, tidak menyalahinya. Demikianlah sifat orang-orang mukmin dan kebalikannya adalah sifat-sifat orang-orang munafik, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits shahih yang mengatakan: Pertanda orang munqfik itu ada tiga, yaitu apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, menyalahi; dan apabila dipercaya, khianat.
Menurut riwayat yang lain disebutkan: Apabila berbicara, dusta; dan apabila berjanji, melanggar; dan apabila bertengkar, melampaui batas. Firman Allah Swt: Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. (Al-Ma'arij: 33) Yakni bersikap hati-hati dalam bersaksi, tidak menambahi dan tidak mengurangi, tidak pula menyembunyikan sesuatu. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (Al-Baqarah: 283) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al-Ma'arij: 34) Yakni waktu-waktunya, rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan sunat-sunatnya. Pembicaraan dimulai dengan menyebutkan shalat dan diakhiri dengan menyebutkannya pula, hal ini menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah shalat dan mengisyaratkan tentang kemuliaannya.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam permulaan surat Al-Muminun melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al-Muminun: 1) Maka di penghujung pembahasannya disebutkan hal yang sama dengan di sini, yaitu firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (Al-Muminun: 10-11) Dan dalam surat Al-Ma'arij ini disebutkan oleh firman-Nya: Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. (Al-Ma'arij: 35) Yakni dimuliakan dengan berbagai macam kenikmatan dan kesenangan surgawi."
29-31. Setelah diuraikan sifat yang berfungsi untuk memelihara diri, kini diuraikan hal-hal yang harus dijauhi untuk menghindari keburuk-an. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya secara mantap dan sungguh-sungguh, kecuali terhadap istri-istri pasangan-pasangan mereka yang sah menurut agama, atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela selama mereka lakukan tidak melanggar ketentuan agama. Maka barangsiapa mencari pelampiasan hawa nafsunya di luar itu seperti zina, homoseks, dan lesbian, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas ajaran agama dan moral, maka wajar dicela atau disiksa. 29-31. Setelah diuraikan sifat yang berfungsi untuk memelihara diri, kini diuraikan hal-hal yang harus dijauhi untuk menghindari keburuk-an. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya secara mantap dan sungguh-sungguh, kecuali terhadap istri-istri pasangan-pasangan mereka yang sah menurut agama, atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela selama mereka lakukan tidak melanggar ketentuan agama. Maka barangsiapa mencari pelampiasan hawa nafsunya di luar itu seperti zina, homoseks, dan lesbian, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas ajaran agama dan moral, maka wajar dicela atau disiksa.
Dalam dua ayat ini diterangkan sifat manusia yang hatinya tenteram, tidak berkeluh kesah dan tidak kikir, yaitu orang yang menjaga kehormatannya dan tidak melakukan perbuatan zina. Mereka hanya melakukan apa yang telah dihalalkan, hanya menggauli istri-istri mereka atau dengan budak-budak perempuan yang telah mereka miliki.
Perkataan fa innahum gairu mal?m?n (maka sesungguhnya mereka tidak tercela) memberi pengertian bahwa hak mencampuri istri atau budak-budak yang dimiliki, bukanlah hak tanpa batas, melainkan harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan agama. Menurut agama Islam, hubungan suami istri adalah hubungan yang suci, hubungan yang diridai Allah, hubungan cinta kasih, hubungan yang dilatarbelakangi oleh keinginan mengikuti sunah Rasulullah, dan ingin memperoleh keturunan. Hubungan suami-istri mempunyai unsur-unsur ibadah. Hubungan ini dilukiskan dalam firman Allah:
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah/2: 187)
Rasulullah ﷺ bersabda:
Dari ?Abdullah bin ?Amr bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ?Dunia itu adalah sesuatu yang menyenangkan, sebaik-baik harta benda kehidupan dunia itu ialah istri yang saleh.? (Riwayat Muslim)
Ayat ini memberikan petunjuk kepada suami-istri bahwa dalam melakukan hubungan dengan istri atau suami, tuan dengan budak perempuan, hendaklah dilakukan sedemikian rupa, sehingga dalam hubungan itu terdapat unsur-unsur ibadah, akhlak yang mulia, tata cara yang baik, dan sebagainya, sehingga dapat menjaga kemuliaan dan martabatnya sebagai seorang muslim. Tidak sekadar memenuhi hawa nafsu, keperluan biologis, atau seperti yang dilakukan oleh binatang, melainkan untuk tujuan yang agung.
Surah Al-Ma?arij ini Makkiyyah, jadi waktu itu belum ada ketentuan pernikahan seperti yang kemudian diatur dalam Surah an-Nisa?/4: 24-25. Kata-kata au ma malakat aimanuhum yang terdapat dalam beberapa surah, sering diterjemahkan ?atau budak-budak perempuan yang mereka miliki? Ayat ini memerlukan penjelasan, seperti dikemukakan oleh beberapa mufasir secara lebih mendalam, bahwa ma malakat aimanuhum ialah perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, yang sekarang menjadi miliknya (biasanya dari tawanan perang), dan harus dalam arti tawanan dalam perang jihad, di bawah perintah imam yang saleh dan adil dalam menghadapi lawan yang hendak menindas orang beriman. Tawanan perempuan itu boleh digauli, tetapi harus dengan dinikahi terlebih dulu, dan perkawinan itu bukan karena didorong oleh nafsu, melainkan untuk memelihara kesucian pihak perempuan, yang dalam hal ini berarti pihak suami menghindari perbuatan zina dan sekaligus mengangkat martabat perempuan dari status budak bekas tawanan perang (yang memang sudah berlaku umum waktu itu) menjadi perempuan mereka, tidak lagi berstatus budak. Kebiasaan tawanan perang semacam ini sekarang sudah tidak berlaku lagi
Jika seorang muslim telah dapat melakukan hubungan dengan istrinya atau dengan budaknya sesuai dengan tuntutan agama Islam, berarti ia telah dapat menguasai puncak hawa nafsunya, karena puncak hawa nafsu itu terletak dalam hubungan seperti antara laki-laki dan wanita. Jika mereka telah dapat melakukan yang demikian, maka mereka akan lebih dapat melakukan hal-hal yang lain yang lebih rendah tingkatnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 29
“Dan orang-orang yang kemaluannya sangat dijaganya."
Faraj kita artikan kemaluan, biasa juga diartikan kehormatan. Artinya yang lebih tepat ialah alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan. Dalam ayat ini disebut bahwa salah satu ciri tanda orang yang beriman ialah yang menjaga dan tidak mempergunakan alat kelaminnya dengan salah atau tidak menjaga dan memeliharanya. Sudah jadi salah satu syarat menjaga hidup manusia di atas dunia ialah apabila dia mengatur persetubuhan dengan pernikahan. Jangan dihambur-hamburkannya saja mani ke mana-mana, dengan tidak menurut peraturan. Sebab itu dilarang dengan tegas melakukan persetubuhan di luar nikah. Itulah yang dinamai zina. Dan dilarang juga melakukan persetubuhan sejenis, yaitu samburit atau dalam bahasa sekarang homoseks.
Ayat 30
“Kecuali terhadap istri-istri mereka."
Persetubuhan dengan istri, yang telah dinikahi secara sah menurut agama. Yang demikian tidak lagi bernama menyia-nyiakan. “Atau hamba sahaya yang mereka miliki." Yaitu budak-budak perempuan yang didapat lantaran tertawan di waktu perang. Ilmu fiqih menjelaskan pula bahwasanya tawanan yang boleh disetubuhi itu ialah yang ditawan dalam peperangan karena agama, bukan sembarang tawanan saja. Dalam bahasa Melayu Kuno, hamba sahaya yang dipakai sebagai memakai istri itu dinamai gundik atau selir. Mereka tidak dinikahi, melainkan langsung disetubuhi sebab dia adalah sama saja dengan barang kepunyaan dari tuan yang empunya dia. Tetapi agama Islam mengakui bahwa anak yang didapat dari selir itu adalah anak yang sah, yang sama kedudukannya dengan saudara-saudara yang didapat dari istri. Menurut sejarah, raja-raja Bani Abbas sebagian besar adalah anak dari hubungan dengan selir atau gundik itu. Di zaman pemerintahan Sayyidina Umar beliau membuat peraturan bahwa gundik-gundik yang telah melahirkan anak, dinamai “Ummul Walad" (ibu anak-anak). Mereka, apabila telah melahirkan anak tidak boleh dijual lagi.
Nabi kita Muhammad ﷺ membuat suatu contoh. Yaitu istri beliau yang bernama Shafiah binti Huyai adalah perempuan tawanan. Dia adalah anak perempuan dari Huyai bin Akhthab, salah seorang pemuka Yahudi yang sangat memusuhi Nabi dan meninggal dalam peperangan dengan Nabi dan anak perempuannya tertawan. Oleh Nabi ﷺ Shafiah itu tidak dijadikan gundik (selir), melainkan dimerdekakan dari perbudakan, dibebaskan dari tawanan, lalu beliau pinang Shafiah kepada dirinya sendiri, karena ayahnya tidak ada lagi. Mahar (mas kawin) ialah kemerdekaan yang diberikan Nabi itu. Perbudakan ini ada sejak zaman purbakala. Setengah dari kecurangan kaum Orientalis untuk memburukkan agama Islam ialah karena - kata mereka - Islam mengakui adanya perbudakan. Padahal perbudakan itu ada pada tiaptiap bangsa sebelum Islam. Dengan adanya peperangan-peperangan, maka orang-orang yang ditawan menjadilah budak, laki-laki jadi budak pekerja, perempuan jadi budak di rumah tangga. Kalau cantik boleh saja tuannya memakainya. Tidak ada public opinion yang melarang. Islamlah yang membuat peraturan bahwa anak dari hubungan dengan budak perempuan, adalah anak yang sah dari tuan yang menyetubuhinya. Kemudian datang pula peraturan Sayyidina Umar, bahwa budak perempuan yang telah menghasilkan anak tidak boleh dijual lagi. Dia tetap menjadi dayang-dayang terhormat dalam rumah tangga.
Islam pun memandang bahwa perbudakan itu tidak baik. Tetapi selama ada peperangan dan ada tawan-menawan, adalah “konyol" kalau Islam menghapuskan perbudakan, sedang kalau pihak dia ditawan orang lalu dijadikan budak, dia tidak dapat melarang.
Tetapi ada beberapa perbuatan mulia dianjurkan dengan memerdekakan budak. “Fakku raqabatin" memerdekakan budak adalah satu amal mulia.
I. Salah satu yang mustahak diberi zakat ialah “wafir riqamb" yaitu kalau ada budak diberi kesempatan oleh penghulunya menebus diri dengan sejumlah uang. Dia hendaklah diberi zakat, atau waliul-amri, supaya uang itu segera dikeluarkan dan dia segera bebas.
II. Ada berbagai macam denda atas suatu kesalahan, yang wajib dibayar di antaranya dengan memerdekakan budak.
1. Denda (kaffarah) sumpah adalah salah satu dari empat macam. Pertama, memerdekakan budak, kedua memberi makan sepuluh orang miskin, ketiga memberi pakaian sepuluh orang miskin, keempat puasa tiga hari berturut-turut.
2. Kaffarah bersetubuh dengan istri siang hari di bulan puasa: pertama memerdekakan budak, kedua memberi makan enam puluh orang miskin, ketiga puasa dua bulan berturut- turut.
3. Kaffarah zhihar, yaitu mengatakan serupa punggung istri dengan punggung ibu, atau bagian tubuh istri yang mendatangkan syahwat, salah satu dari tiga: pertama memberi makan fakir miskin enam puluh orang, kedua puasa dua bulan berturut-turut, atau ketiga memerdekakan seorang budak.
4. Membunuh seseorang dengan tidak sengaja, dendanya ialah memerdekakan seorang budak. Kalau membunuh sesama Islam dengan tidak sengaja, hendaklah memerdekakan seorang budak yang beragama Islam.
Sahabat Rasulullah ﷺ yang mendapat kehormatan mula-mula adalah seorang budak, kemudian dimerdekakan ialah Sayyidina Bilal bin Rabah, muadzin Rasul. Dia dianiaya dan dijemur di bawah cahaya matahari yang sangat terik oleh penghulunya karena menyatakan beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ketika dia dijemur hampir mati, Sayyidina Abu Bakar lewat di tempat itu. Lalu dibelinya beliau, sesudah dibelinya, dimerdekakannya.
Kita mengetahui bahwa sejarah dunia penuh dengan perbudakan. Bangsa Yunani mengakui adanya perbudakan. Bahkan Aristoteles pernah menyatakan syukurnya, sebab dia dilahirkan sebagai bangsa Yunani dan berguru kepada Plato dan dia bukan budak.
Republik Plato tentang filsafat pemerintahan, demikian juga Politic Aristoteles yang begitu masyhur, hanya berlaku buat bangsa Yunani yang merdeka, bukan untuk budak-budak, tegasnya tidak termasuk di dalamnya budak-budak.
Beratus bahkan beribu tahun perikemanusiaan menghadapi perbudakan. Amerika sebagai negara baru, tempat pengungsian (emigran dan pilgrim) orang Inggris di abad ketujuh belas, barulah dapat dibuka besar-besaran setelah memakai budak-budak. Orang kulit putih menjarahi negeri-negeri dan kampung-kampung orang Afrika yang masih biadab, membunuhi mana yang melawan, menawan mana yang tinggal, lalu diikat dan dirantai dan dibawa ke kapal, dijual ke Amerika.
Kita mengenal Perang Saudara yang sangat dahsyat di antara bangsa Amerika Serikat sebelah utara dengan sebelah selatan. Karena utara hendak menghapuskan perbudakan dan selatan mempertahankannya. Selatan akhirnya kalah, tetapi sampai kini, orang-orang Negro itu masih dipandang bangsa kelas dua di Amerika oleh yang berkulit putih. Masih ada sampai sekarang restauran-restauran, hotel- hotel, bahkan kakus umum yang tidak boleh dimasuki oleh kulit hitam.
Padahal bangsa Afrika yang seluruhnya disebut negro itu telah merdeka! Wakil-wakil mereka telah duduk dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sayyid Rasyid Ridha, ulama Islam yang terkenal pernah mengeluarkan fatwa enam puluh tahun yang lalu bahwasanya budak- budak yang sah menurut peraturan agama Islam ialah budak yang berasal dari tawanan perang dan perang itu hendaklah perang karena agama, sebagai perang-perang jihad yang berlaku di zaman Nabi ﷺ dan Khalifah- khalifah yang dahulu. Sebab itu maka budak yang berasal dari tawanan perang yang bukan perang karena agama, tidaklah sah diperbudak. Itu adalah merampas kemerdekaan orang merdeka.
Demikian juga tidaklah sah perbudakan negeri-negeri yang dijarah, penduduknya ditawan lalu dijual ke pasaran budak, sebagaimana banyak dilakukan oleh Kompeni Belanda di kepulauan kita ini di zaman dahulu, sehingga di antara budak-budak itu ialah Surapati yang kemudian dapat mendirikan sebuah kekuasaan di Pasuruan.
Ketika Sayyid Rasyid Ridha mengeluarkan fatwanya itu banyaklah orang-orang besar di Istanbul yang murka dan mencari ulama- ulama yang suka membatalkan fatwa Sayyid Rasyid Ridha itu. Maka meskipun fatwa telah keluar, perbudakan semacam itu belum juga hilang. Terutama masih terdapat sisa-sisanya di Tanah Arab. Sampai kepada tahun 1927, penulis tafsir ini masih mendapati Pasar Budak di salah satu sudut kota Mekah. Pasar terbuka, laksana pasar penjualan sapi saja! Umumnya yang diperjualbelikan itu ialah orang-orang Afrika.
Pada tahun 1957 Duta Besar Arab Saudi di Indonesia selalu diladeni oleh seorang anak muda yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dengan usaha Duta Besar tersebut saya pada bulan Februari 1958 jadi tetamu raja Saud di Riyadh. Seketika saya bermalam di Hotel Alkandarah di Jeddah, saya bertemu kembali anak muda pengiring Duta Besar itu di Hotel tersebut. Sebab Duta Besar sedang cuti di negerinya. Ketika itulah si Said, demikian nama pemuda itu, lama duduk di hadapan saya, seketika tuannya sedang tidak ada. Dia menyatakan terus terang bahwa dia adalah raqiiq, artinya budak dari Yang Mulia Duta Besar dan sejak masih kecil tinggal dengan beliau.
Tampaknya sebagai pemuda yang hidup di zaman modern, abad kedua puluh, Said telah insaf bahwa kedudukan seperti dia itu tidak layak lagi di zaman sekarang.
“Namamu Said, tetapi engkau tidak merasa bahagia," kataku kepadanya. “Memang, ya Ammi, namaku Said tetapi aku tidak berbahagia."
Setelah Raja Faishal asy-Syahidfi Sabilillah naik takhta pada tahun 1964 beliau adakanlah peraturan yang sangat radikal. Mulai tahun itu dimaklumkan bahwa sekalian budak di Saudi Arabia tidak ada lagi. Untuk itu Baginda meminta fatwa kepada ulama-ulama, supaya keputusan Baginda kukuh dari segi agama. Ulama-ulama memutuskan bahwa budak-budak yang sah menurut agama ialah yang didapat dalam tawanan perang karena agama. Itu pun dianjurkan oleh agama supaya dimerdekakan. Apatah lagi sekarang. Budak sudah mesti dihapuskan karena sebabnya tidak ada lagi. Ulama-ulama Wahabi telah menyatakan pendapat yang sama dengan Sayyid Rasyid Ridha.
Untuk jangan sampai merugikan orang-orang yang amat berat bercerai dengan budaknya Baginda Faishal mengganti kerugian harga budak itu, menurut patutnya, yang diputuskan oleh satu panitia. Penebus budak-budak itu ialah uang negara. Orang-orang kaya dianjurkan menebus budak-budak itu dengan zakat atau dengan shadaqah tathawwu'. Di akhir tahun 1964 habislah budak-budak itu dalam negara Saudi Arabia. Propaganda Kaum Yahudi atau negara Israel ke dunia bahwa mereka masih perlu menduduki
Palestina, bahkan menaklukkan Jazirah Arab untuk menghapuskan budak-budak dengan sendirinya sirna. Demikian juga propaganda Kaum Komunis yang masuk ke Tanah Arab dengan perantaraan Israel dengan sendirinya habis pula.
Budak-budak yang telah jadi orang merdeka itu diberi modal menurut kesanggupannya untuk hidup. Atau menjadi khadam yang digaji di rumah tuannya yang lama, yang muda diterima masuk sekolah, diterima masuk militer.
Sebagaimana telah kita ketahui tadi, yang terbanyak budak-budak yang telah merdeka itu ialah orang-orang Afrika hitam. Di zaman dahulu orang Afrika Hitam itu di Mekah disebut orang Takarani, Sekarang seluruh Negeri Afrika, seperti Ghana, Guinea, Nigeria, Nigeria Kongo, Volta Huju, Pantai Gading, Mali dan lain-lain telah jadi merdeka. Jika orang-orang dari negeri itu naik haji, perasaan mereka tidak tertekan lagi melihat orang sewarna dengan mereka jadi budak, melainkan warga negara Saudi yang bebas merdeka. Bahkan perasaan mereka sangat tersinggung jika mereka pergi menghadiri sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Mereka masuk ke dalam sidang sebagai duta-duta dari negeri merdeka, tetapi apabila mereka masuk ke dalam restauran-restauran yang melarang kulit berwarna (coloured), sedang yang dimaksud dengan coloured itu hanya yang hitam, perasaan mereka sangat tersinggung.
Peraturan yang dibuat oleh Raja Faishal di negaranya sendiri itu jadi perhatian dan mendapat sambutan pula di negeri-negeri Arab yang lain. Perbudakan betul-betul habis dari daerah-daerah dan negara-negara Arab itu sekarang.
Maka segala perbudakan yang timbul dan sebab peperangan karena agama itu, sehingga ada perempuan jadi tawanan lalu jadi budak, dipakai sebagai istri oleh tuannya, tetapi tidak diangkat resmi sebagai seorang istri, menurut
suasana di zaman purba itu dijelaskan di ujung ayat
“Maka sesungguhnya mereka itu tidaklah tercela."
Atau tidaklah disalahkan, atau tidaklah dianggap berdosa.
Orang-orang yang merasa dirinya menjadi bangsa yang berkesopanan tinggi di zaman sekarang mencela ayat-ayat tentang kebolehan menyetubuhi budak atau hamba sahaya perempuan ini, lalu anak yang lahir dari persetubuhan itu diakui anak yang sah bagi ayahnya dan mendapat kedudukan yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain, yang dilahirkan dari istri yang dikawini. Padahal sudah kita saksikan dua kali perang dunia yang besar dan jijiknya perbuatan serdadu-serdadu yang menang jika masuk ke dalam suatu negeri, yang dinamai daerah pendudukan. Ingatlah masuknya tentara Jepang ke Cina, masuknya tentara Amerika ke Jepang, masuknya tentara Rusia ke Jerman dan masuknya tentara Amerika ke Vietnam. Beribu-ribu anak di luar nikah telah lahir, karena perkawinan tipuan atau pergundikan. Akhirnya anak-anak itu menjadi anak rumah pemeliharaan dengan tidak ada orang tua yang mengakuinya. Oleh sebab itu tidaklah salah peraturan Islam jika suatu negeri ditaklukkan, penduduk negeri itu kalah, orang laki-lakinya banyak binasa di medan perang, sedang istri-istri mereka atau gadis-gadis mereka tinggal. Apakah mereka akan dibiarkan jadi perempuan lacur, atau diberikan jadi hak bagi yang menawan, lalu memeliharanya dan berbuat seperti kepada istrinya sendiri. Dapat anak dari dia, anak itu mendapat hak sama dengan anak dari perempuan yang merdeka.
Khalifah Bani Abbas, yaitu al-Hadi dan Harun al-Rasyid adalah anak gundik, ibu mereka bernama Khaizuran. Al-Ma'mun yang sangat terkenal, ibunya adalah gundik bernama Murajil. Al-Mu'tashim yang menggantikan al-Ma'mun ibunya gundik bernama Maridah. Al-Watsiq Billah Harun ibunya gundik bernama Qarathis, dari perempuan Rum. Al-Mutawakkil ‘Alallah ibunya gundik bernama Syuja'. Al-Muntashir anak gundik bernama Habsyiyah. Al-Musta'in Billahi anak gundik namanya Mukhariq: al-Mu'taz, anak gundik bangsa Romawi bernama Qabihah (si jelek) karena sangat cantiknya, sehingga tuannya Khalifah al-Mutawakkil sangat tergila-gila kepadanya. Al-Muhtadi anak gundik namanya Wardah (kembang mekar). Al-Mu'tamid Alallah anak gundik namanya Fatyaan, orang Rum. Al-Mu'tadhid Billah anak gundik bernama Shawab. Al-Muktafi Billah anak gundik bangsa Turki namanya Jijak. Begitu pun khalifah-khalifah Bani Abbas yang lain, anak gundik atau anak budak langsung: al-Muqtadir, al-Qahir, ar-Radhi, al-Muttaqi, al- Mustakfi, al-Muthi', ath-Tha'i, al-Qadir, al-Qaim, al-Muqta'i, al-Mustazhhir, al-Mustarsyid, ar-Rasyid al-Muqtafi, al-Mustanjid, al-Mustadhi', an-Nashir Lidinillah, azh-Zhahir, al-Mustanshir, alMusta'shim (Khalifah penghabisan yang mati dibunuh Houlako Khan dari bangsa Tartar).
Cuma satu orang Khalifah yang bukan anak gundik atau anak budak dibeli. Yaitu al-Amin, anak Harun al-Rasyid. Sebab ibunya ialah Putri Zubaidah, saudara sepupu dengan Harun al-Rasyid sendiri.
Oleh sebab itu berlakulah kesamarataan kedudukan dalam Islam, karena keturunan diambil dari ayah, sebagaimana disebutkan oleh Saiyidina Ali bin Abi Thalib dalam salah satu syairnya,
“Tidak lain ibu-ibu manusia itu ialah tempat kandungan; dan simpanan, dan anak-anak dibangsakan kepada ayahnya."
Ayat 31
“Tetapi barangsiapa yang mencari juga di belakang itu."
Mencari lagi jalan lain untuk melepaskan syahwat faraj atau kelaminnya, di luar dari istri yang sah beserta budak perempuan yang dipunyai sendiri itu.
“Maka orang-orang begitu adalah orang-orang yang melanggar.`
Melanggar batas itu banyak dilakukan orang kalau orang itu tidak terkendalikan oleh agama. Sampai kepada saat sekarang ini, masih banyak terdapat di mana-mana perniagaan budak “putih". Bukan budak “hitam" seperti dahulu itu lagi. Banyak gadis-gadis remaja di Eropa ditipu oleh orang-orang jahat yang sama sekali kehilangan budi dan moral, untuk dijual pengisi rumah-rumah pelacuran di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri nyaris mengalir kejahatan memperniagakan perempuan untuk pengisi “bordeel" (rumah pelacuran). Pengisi steambath, nite club. Yaitu apa yang dinamai hostel, perempuan-perempuan muda yang katanya untuk menyambut tetamu dengan segala hormat, tetapi untuk dipergunakan bagi pemuaskan nafsu manusia-manusia yang sudah begitu jatuh budi pekertinya, tidak terkendalikan lagi. Kadang-kadang gadis-gadis yang masih suci, yang tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan terbenam ke dalam jurang pelacuran yang membuat hancur seluruh hidupnya itu. Mereka jatuh karena ditipu, kadang-kadang karena diminumkan obat untuk pembangkitkan syahwatnya buat setubuh. Kadang-kadang mereka dirusakkan dengan memakai alat-alat membuat mabuk dan lupa diri, seperti narkotik, marijuana, morphin dan lain-lain, sampai perempuan itu hancur sehancurnya dan terlempar keluar garis masyarakat, tidak sanggup buat pulang lagi ke rumah ibu bapaknya, dan susah buat kawin secara baik-baik. Dalam pada itu kaki tangan, cukong-cukong masih dikirim ke desa-desa buat mencari gadis yang baru.
Ayat 32
“Dan orang-orang yang terhadap kepada amanah dan janji, mereka pelihara."
Inilah sambungan dari sifat-sifat utama orang yang shalat, dan tetap dalam shalatnya. Mereka tetap shalat dan sebagai akibat dari shalat yang tetap itu ialah mereka memegang teguh amanah dan janji. Mereka pelihara, mereka jaga, jangan sampai amanah dikhianati, jangan sampai janji dimungkiri. Karena kalau amanah dan janji telah tidak terpelihara lagi, tanda penyakit munafik telah menyerang diri, yang sukar mengobatinya.
Amanah sama rumpun katanya dengan aman, iman, dan amin. Pokok arti ialah kepercayaan. Apabila seorang ayah meninggal dunia dan dia akan meninggalkan anak-anak kecil yang telah jadi yatim karena kematiannya itu, maka anak-anak yatim itu adalah amanah di atas pundak keluarga yang tinggal. Amanah ini wajib dipelihara.
Apabila seorang teman berangkat ke luar negeri, dan sebelum dia berangkat dititipkannya barang-barang berharga kepada salah seorang yang dipercayainya, dan dia berpesan, bahwa kalau dia meninggal dunia dalam perjalanan itu, hendaklah barang berharga itu diserahkannya kepada waris yang berhak menerima. Maka jadi amanah di pundak yang menerima titipan Itu buat menyampaikan barang berharga itu kepada waris si mati dengan secukupnya.
Seorang ayah mengawinkan anak perempuannya dengan menantu laki-lakinya. Ijab yang diucapkan dengan mulutnya ketika menyerahkan anaknya itu adalah amanah. Sambutan si menantu yang bernama qabul adalah penerimaan atas amanah. Dan Rasulullah ﷺ bersabda,
“Peliharalah perempuan baik-baik. Karena kamu mengambil mereka adalah sebagai amanah dari Allah, dan telah halal kamu menggaulinya dengan kalimat Allah."(HR Bukhari dan Muslim)
Maka kesetiaan dan keteguhan hati seorang suami memimpin istrinya adalah amanah dari ayah istrinya dan dari Allah.
Ahad, artinya janji. Janji pun seiring dengan amanah. Berjanji akan mengerjakan sesuatu, atau menyanggupi akan berbuat sesuatu, hendaklah dipenuhi. Jangan mengikat suatu janji yang tidak akan sanggup memenuhinya. Karena hubungan di antara manusia dengan manusia di dalam alam ini hanya bertali dengan amanah dan janji itu. Mungkir akan janji atau mengabaikan amanah, sama artinya dengan merusakbinasakan perikemanusiaan. Bahkan ilmu ekonomi yang tertinggi direkatkan dan dilekatkan adalah atas amanah dan janji. Politik dan diplomasi adalah janji! Semua relasi (hubungan) antara manusia adalah amanah dan janji. Apa yang dipegang dari manusia kalau bukan janji yang keluar dari mulutnya diucapkan oleh lidahnya?
Shalat tunggak-tungging tidak ada artinya kalau amanah dan janji tidak dipelihara baik-baik.
Ayat 33
“Dan orang-orang yang dengan kesaksian adalah mereka jujur."
Terjadi kesulitan di antara manusia sesama manusia. Kadang-kadang timbul masalah yang terpaksa dibawa ke muka pengadilan. Hakim memerlukan seorang saksi, maka orang yang diminta kesaksiannya karena dia mengetahui duduk perkara, hendaklah memberikan keterangan dengan jujur, sehingga jalan pemeriksaan perkara tidak sulit dan keputusan mudah diambil oleh hakim. Kesaksian palsu, atau kesaksian yang mengandung dusta, atau menyembunyikan hal yang sebenarnya, bernama “Syahadatuz-Zuur", artinya kesaksian dusta. Kesaksian dusta termasuk salah satu di antara tujuh dosa besar (sab'il mubiqaat).
Ayat 34
“Dan orang-orang yang terhadap shalat, mereka pelihara baik-baik."
Di ayat 23 Allah telah menyebutkan sifat utama orang beriman, yaitu shalat yang tetap. Di ayat ini diulang sekali lagi, yaitu bahwa shalatnya itu terpelihara baik-baik.
Ada orang yang tetap shalat. Asal waktu telah masuk dia segera shalat. Tetapi belum tentu shalatnya itu dipeliharanya shalat yang terpelihara ialah yang dikerjakan dengan khusyu dan tertib. Dengan thuma'ninah (tenang tentaram). Lengkap rukun dan syaratnya. Kukuh ruku dan sujudnya. Bukan seperti burung layang-layang, yang jelas benar bahwa dia ingin selesai lekas, seakan-akan menghadap Allah itu dianggapnya mengikat dirinya dan menghalangi pekerjaannya yang lain.
Sejak dari mulai mendengar adzan, hati sudah disediakan buat menyembah Allah. Pekerjaan yang lain tinggalkan dahulu, sebab panggilan untuk menghadap Allah telah datang. Setelah itu diambillah wudhu, dibersihkan sekalian anggota wudhu yang telah ditentukan di dalam Al-Qur'an. Setelah kedengaran iqamah, segera tampil ke muka jadi makmum di belakang imam. Bersiap mengerjakan perintah dengan teratur, dengan komando. Apabila telah dimulai takbir “Allahu Akbar", yang berarti Allah-lah Yang Mahabesar, menjadi kecillah segala urusan dan tidaklah berarti diri sendiri di hadapan kebesaran Allah, dan naiklah ingatan menembus awan-gumawan, menembus hijab, menempuh kasyaf, hilanglah ghairullah (yang selain Allah), yang teringat hanya satu: Allah!
Ayat 35
“Orang-orang itu, di dalam surga-surga kelak akan dimuliakan"
Inilah janji yang benar dari Allah. Yaitu bahwa sekalian mereka itu yang telah melengkapi segala syarat tadi, syarat dengan Allah dan syarat dengan sesama insan, Allah telah berjanji akan memberi mereka kemuliaan di dalam surga.
Ayat serupa ini bertemu pula di permulaan surah al-Mu'minuun. Di surah tersebut bertemulah kemenangan yang akan dicapai kaum yang beriman sejak dari ayat 1 sampai ayat 11, dan di surah ini, al-Ma'aarij, dari ayat 19 sampai ayat 35. Di ujung janji ini ayat 35, Allah menjanjikan bahwa orang-orang itu akan dimuliakan di dalam surga-surga yang telah disediakan. Sedang di dalam surah al-Mu'minuun ayat 10 dan 11 dikatakan bahwa mereka akan menerima waris. Waris itu ialah surga Firdaus. Di sanalah mereka akan ditempatkan.
Di pangkal surah al-Mu'minuun, yaitu ayat 1 Allah memberikan kepastian bahwa orang yang beriman itu telah mendapat kemenangan jika syarat-syarat ini mereka penuhi. Keutamaan dan kemenangan itu adalah pada dua masa. Pertama masa di dunia, yaitu hilang kegelisahan dan keluh kesah jiwa, karena shalat memberikan ketenteraman dalam hati. Kebahagiaan yang kedua ialah di akhirat kelak, karena mewarisi surga Firdaus.
Itulah cita-cita terakhir yang diharapkan oleh tiap-tiap orang yang beriman. Karena jika Allah telah menjanjikan akan diberi kemuliaan di dalam surga Firdaus, tandanya akan tercapai maksud inti dari segenap perjuangan ini, yaitu keinginan hendak melihat wajah Allah di dalam surga al-Firdaus itu.