Ayat
Terjemahan Per Kata
إِذَا
apabila
مَسَّهُ
menimpanya
ٱلشَّرُّ
kejahatan/kesusahan
جَزُوعٗا
berkeluh-kesah
إِذَا
apabila
مَسَّهُ
menimpanya
ٱلشَّرُّ
kejahatan/kesusahan
جَزُوعٗا
berkeluh-kesah
Terjemahan
Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah.
Tafsir
(Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah) atau sewaktu ia ditimpa keburukan berkeluh kesah.
Tafsir Surat Al-Ma'arij: 19-35
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah; dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.
Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara salatnya.
Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal manusia dan watak-watak buruk yang telah menjadi pembawaannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah. (Al-Ma'arij: 19) Yang hal ini ditafsirkan oleh firman selanjutnya: Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. (Al-Ma'arij: 20) Yakni apabila tertimpa kesusahan, ia kaget dan berkeluh kesah serta hatinya seakan-akan copot karena ketakutan yang sangat, dan putus asa dari mendapat kebaikan sesudah musibah yang menimpanya. dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir. (Al-Ma'arij: 21) Yaitu apabila ia mendapat nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala, berbaliklah ia menjadi orang yang kikir terhadap orang lain, dan tidak mau menunaikan hak Allah yang ada padanya.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ali ibnu Rabah, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadits berikut dari Abdul Aziz ibnu Marwan ibnul Hakam yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sifat terburuk yang ada pada diri seorang lelaki ialah kikir yang keterlaluan dan sifat pengecut yang parah. Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Abdullah ibnul Jarah, dari Abu Abdur Rahman Al-Muqri dengan sanad yang sama, dan ia tidak mempunyai hadits dari Abdul Aziz selain dari hadits ini.
Kemudian dalam firman berikutnya disebutkan: kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. (Al-Ma'arij: 22) Yakni manusia itu ditinjau dari segi pembawaannya menyandang sifat-sifat yang tercela, terkecuali orang yang dipelihara oleh Allah dan diberi-Nya taufik dan petunjuk kepada kebaikan dan memudahkan baginya jalan untuk meraihnya. Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. (Al-Ma'arij: 23) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah orang-orang yang memelihara shalat dengan menunaikannya di waktunya masing-masing dan mengerjakan yang wajib-wajibnya.
Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Masruq, dan Ibrahim An-Nakha'i. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan tetap dalam ayat ini ialah orang yang mengerjakan salatnya dengan tenang dan khusyuk, semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Al-Muminun: 1-2) Demikianlah menurut Uqbah ibnu Amir. Dan termasuk ke dalam pengertian ini kalimat al-ma-ud da-im, artinya air yang tenang dan diam, tidak beriak dan tidak bergelombang serta tidak pula mengalir.
Makna ini menunjukkan wajib tuma-ninah dalam shalat, karena orang yang tidak tuma-ninah dalam rukuk dan sujudnya bukan dinamakan orang yang tenang dalam salatnya, bukan pula sebagai orang yang menetapinya, bahkan dia mengerjakannya dengan cepat bagaikan burung gagak yang mematuk, maka ia tidak beroleh keberuntungan dalam salatnya. Menurut pendapat yang lain, apabila mereka mengerjakan suatu amal kebaikan, maka mereka menetapinya dan mengukuhkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih diriwayatkan melalui Siti Aisyah , dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Amal yang paling disukai oleh Allah ialah yang paling tetap, sekalipun sedikit.
Menurut lafal yang lain disebutkan: yang paling tetap diamalkan oleh pelakunya Selanjutnya Aisyah mengatakan, Rasulullah ﷺ adalah seorang yang apabila mengamalkan suatu amalan selalu menetapinya. Menurut lafal yang lain disebutkan selalu mengukuhkannya. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya. (Al-Ma'arij: 23), Telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Danial a.s. menyebutkan sifat umat Muhammad ﷺ Maka ia mengatakan bahwa mereka selalu mengerjakan shalat yang seandainya kaum Nuh mengerjakannya, niscaya mereka tidak ditenggelamkan; dan seandainya kaum 'Ad mengerjakannya, niscaya mereka tidak tertimpa angin yang membinasakan mereka; atau kaum Samud, niscaya mereka tidak akan tertimpa pekikan yang mengguntur. Maka kerjakanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu merupakan akhlak orang-orang mukmin yang baik.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (Al-Ma'arij: 24-25) Yakni orang-orang yang di dalam harta mereka terdapat bagian tertentu bagi orang-orang yang memerlukan pertolongan. Masalah ini telah diterangkan di dalam tafsir surat Az-Zariyat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan. (Al-Ma'arij: 26) Yaitu meyakini adanya hari kiamat, hari penghisaban, dan pembalasan; maka mereka mengerjakan amalnya sebagaimana orang yang mengharapkan pahala dan takut akan siksaan.
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. (Al-Ma'arij:27) Maksudnya, takut dan ngeri terhadap azab Allah subhanahu wa ta’ala: Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). (Al-Ma'arij: 28) Yakni tiada seorang pun yang merasa aman dari azab-Nya dari kalangan orang yang mengetahui akan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali hanya bila mendapat jaminan keamanan dari Allah subhanahu wa ta’ala Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, (Al-Ma'arij: 29) Yaitu mengekangnya dari melakukan hal yang diharamkan baginya dan menjaganya dari meletakkannya bukan pada tempat yang diizinkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. (Al-Ma'arij: 30) Maksudnya, budak-budak perempuan yang dimiliki oleh mereka. maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.
Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampauibatas. (Al-Ma'arij: 30-31) Tafsir ayat ini telah disebutkan di dalam permulaan surat Al-Muminun, yaitu pada firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al-Muminun: 1), hingga beberapa ayat berikutnya. sehingga tidak perlu diulangi lagi dalam surat ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Al-Ma'arij: 32) Yakni apabila mereka dipercaya, mereka tidak khianat; dan apabila berjanji, tidak menyalahinya. Demikianlah sifat orang-orang mukmin dan kebalikannya adalah sifat-sifat orang-orang munafik, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits shahih yang mengatakan: Pertanda orang munqfik itu ada tiga, yaitu apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, menyalahi; dan apabila dipercaya, khianat.
Menurut riwayat yang lain disebutkan: Apabila berbicara, dusta; dan apabila berjanji, melanggar; dan apabila bertengkar, melampaui batas. Firman Allah Swt: Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. (Al-Ma'arij: 33) Yakni bersikap hati-hati dalam bersaksi, tidak menambahi dan tidak mengurangi, tidak pula menyembunyikan sesuatu. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. (Al-Baqarah: 283) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al-Ma'arij: 34) Yakni waktu-waktunya, rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan sunat-sunatnya. Pembicaraan dimulai dengan menyebutkan shalat dan diakhiri dengan menyebutkannya pula, hal ini menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah shalat dan mengisyaratkan tentang kemuliaannya.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam permulaan surat Al-Muminun melalui firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al-Muminun: 1) Maka di penghujung pembahasannya disebutkan hal yang sama dengan di sini, yaitu firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (Al-Muminun: 10-11) Dan dalam surat Al-Ma'arij ini disebutkan oleh firman-Nya: Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. (Al-Ma'arij: 35) Yakni dimuliakan dengan berbagai macam kenikmatan dan kesenangan surgawi."
19-22. Setelah diuraikan tentang orang-orang yang durhaka, kini diuraikan sebab-sebab kedurhakaan mereka, yaitu adanya sifat buruk pada manusia: Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa sedikit kesusahan atau musibah, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan harta yaitu keluasan rezeki, dia menjadi sangat kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat dengan baik dan benar, sehingga dapat mengalahkan sifat negatif tersebut. 19-22. Setelah diuraikan tentang orang-orang yang durhaka, kini diuraikan sebab-sebab kedurhakaan mereka, yaitu adanya sifat buruk pada manusia: Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir. Apabila dia ditimpa sedikit kesusahan atau musibah, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan harta yaitu keluasan rezeki, dia menjadi sangat kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat dengan baik dan benar, sehingga dapat mengalahkan sifat negatif tersebut.
Jika manusia ditimpa kesusahan, mereka tidak sabar dan tabah, kadang-kadang berputus asa. Akan tetapi, jika memperoleh rezeki dan karunia yang banyak dari Allah, ia menjadi kikir. Kegelisahan dan kekikiran itu timbul pada diri manusia lantaran mereka tidak beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ia merasa seakan-akan dirinya terpencil, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongnya dalam kesukaran itu. Namun apabila mendapat rezeki, ia merasa bahwa rezeki itu diperolehnya semata-mata karena usahanya sendiri, tanpa pertolongan dari orang lain. Mereka beranggapan bahwa rezeki dan karunia yang diperolehnya itu bukan karunia dari Allah. Oleh karena itu, timbullah sifat kikir.
Lain halnya dengan orang yang beriman. Ia percaya bahwa segala yang datang kepadanya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, baik yang datang itu berupa penderitaan maupun kesenangan. Cobaan itu diberikan kepadanya untuk menguji dan menambah kuat imannya. Oleh karena itu, ia tetap tabah dan sabar dalam menerima semua cobaan, serta bertobat kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya jika ada kesalahan yang telah dilakukannya. Sebaliknya jika ia menerima rahmat dan karunia dari Allah, ia bersyukur kepada-Nya dan merasa dirinya terikat dengan rahmat itu. Kemudian ia mengeluarkan hak orang lain atau hak Allah yang ada dalam hartanya itu, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ayub:
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ?(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.? Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami. (Al-Anbiya?/21: 83-84)
Orang yang beriman tidak akan bersedih hati dan putus asa terhadap urusan dunia yang luput darinya, dan tidak akan berpengaruh pada jiwanya, karena ia yakin kepada Qada dan Qadar Allah. Belum tentu yang dikira buruk itu, buruk pula di sisi Allah, dan yang dikira baik itu, baik pula di sisi-Nya. Mungkin sebaliknya, yang dikira buruk itu, baik di sisi Allah dan yang kelihatannya baik itu adalah buruk di sisi Allah. Ia yakin benar hal yang demikian, karena dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (an-Nisa\\\\\\\'/4: 19)
Adapun orang kafir tidak mempunyai kepercayaan yang demikian. Mereka tidak percaya bahwa suka dan duka yang didatangkan Allah kepada seseorang merupakan cobaan Allah kepadanya. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan malapetaka baginya. Ketika dalam keadaan senang dan gembira, mereka hanya melihat seakan-akan diri mereka sajalah yang ada, sedangkan yang lain tidak ada, sebagaimana firman Allah:
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. Dan jika Kami berikan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, ?Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan terjadi. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.? Maka sungguh, akan Kami beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka kerjakan, dan sungguh, akan Kami timpakan kepada mereka azab yang berat. (Fussilat/41: 49-50)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MANUSIA BERSIFAT KELUH KESAH
Pada ayat-ayat 19 sampai 23 ini diterangkanlah bagaimana Allah menciptakan tabiat-tabiat yang buruk pada manusia, yang mereka hendaklah berusaha mengubah kejadian itu dengan melatih diri sendiri, sehingga kemanusiaannya naik meninggi, bukan dia jadi manusia yang jatuh martabat.
Allah berfirman,
Ayat 19
“Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah."
Keluh kesah tidak mempunyai ketenangan hati, selalu cemas, selalu ketakutan dan selalu merasa kekurangan saja. Berbagai macam sakit jiwa dapat pula mengiringi keluh kesah itu.
Ayat 20
“Apabila disentuh akan dia oleh suatu kesusahan dia pun gelisah."
Bila ditimpa susah, dia tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia menjadi gelisah, menyesali nasib atau menyalahkan orang lain. Maunya hanya “tahu beres" saja, tidak mau terganggu sedikit jua pun. Pada ayat 10 dari surah al-‘Ankabuut diterangkan juga perangai orang yang demikian. Yaitu apabila mereka bertemu penderitaan pada jalan Allah, dianggapnyalah fitnah manusia sebagai adzab Allah juga. Pendeknya, orang seperti ini tidak pernah mau menyelidiki di mana kekurangan dan kelemahan dirinya, tidak mau tahu bahwa hidup di dunia itu mesti bertemu kesusahan dan kesenangan. Tidak ada yang senang dan mudah saja.
Ayat 21
“Dan apabila disentuh akan dia oleh kebajikan dia pun mendinding diri "
Mendinding diri, tidak mau dihubungi oleh orang lain, dia mencari seribu macam akal untuk mengelakkan kalau ada orang yang akan datang meminta pertolongan. Ada-ada saja jawabnya untuk menyembunyikan kemampuannya. Dia bakhil, tidak mau menolong orang. Maka lupalah dia akan kesusahan yang pernah menimpa dirinya. Bertambah dia mampu, bertambahlah bakhilnya. Dan dia pun tidak keberatan mendinding diri itu dengan macam-macam kebohongan. Perangai semacam ini sangatlah buruknya.
Ayat 22
“Kecuali orang-orang yang shalat."
Tetapi diberi pula syarat pada ayat yang selanjutnya, orang shalat yang macam apa?
Ayat 23
“Yang mereka itu atas shalat itu tetap mengerjakan."
Ayat 22 dan 23 ini menyatakan bahwa hanya orang yang shalat saja yang dapat menyembuhkan dirinya daripada keluh kesah dan gelisah itu. Yang selalu kusut mukanya ketika ditimpa susah, mendinding diri seketika mendapat kesenangan atau keuntungan. Orang shalat dapat bebas dari penyakit yang berbahaya itu. Sebab dengan shalat yang sekurang-kurangnya lima waktu dikerjakan siang dan malam, ditambah lagi dengan shalat- shalat nawafil (sunnat) yang lain, jiwanya tidak akan merasakan keluh kesah lagi. Sebab dia telah berangsur mendekat kepada Allah. Dengan shalat insaflah dia bahwasanya orang hidup di dunia tidaklah akan sunyi daripada susah dan senang, rugi dan beruntung. Maka di waktu mendapatkan kesusahan tidaklah dia akan gelisah, melainkan bersabar menderitanya. Dengan sebab sabar dia dapat mengendalikan diri, akalnya tidak pernah tertutup. Allah akan memberi petunjuk dan hidayat kepadanya, sehingga pintu yang tertutup menjadi terbuka. Dan kalau kemudian keuntungan didapat, kesenangan pun tiba, segera dia bersyukur kepada Allah. Syukur itu bukan saja ucapan dengan mulut, bahkan juga diiringi oleh perbuatan. Syukur, yaitu dengan mengingat makhluk Allah yang lain yang dalam sengsara, lalu ditolong, sebab Allah telah melepaskan dirinya sendiri dari kesusahan pula dan belum tentu lain hari akan mendapat percobaan seperti itu pula.
Tetapi di dalam ayat dua beriring ini dijelaskan bahwa orang shalatlah yang sanggup membebaskan diri dari penyakit resah gelisah itu. Yaitu orang yang tetap shalatnya, Sebab shalat itu bukanlah semata- mata rukun syarat tertentu, yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam itu saja. Di luar shalat seperti itu dia pun tetap shalat, artinya tetap ada hubungun jiwanya dengan Allah. Tetap ingat akan Allah. Sebab ada juga orang-orang yang mengerjakan shalat, padahal dalam melakukan shalat itulah dia lupa akan Tuhannya. Sebab shalatnya itu hanya semacam `kebiasaan" yang telah kehilangan khusyu dan kehilangan nikmat.
Dengan sebab dia melakukan shalat, dia pun ingat akan kewajibannya sebagai seorang yang berserah diri kepada Allah. Tentang itu datang sambungan firman Allah,
Ayat 24
“Dan orang-orang yang pada harta bendanya ada hak yang tertentu."
Sesudah dia mengerjakan shalat jelaslah bahwa Imannya kepada Allah telah bertambah kukuh dan meluas. Dia ingat akan kewajibannya kepada sama hamba Allah. Sebab Islam itu sendiri mendidik demikian. Terutama shalat itu sendiri, bukanlah semata-mata mengukuhkan iman kepada Allah, bahkan juga iman akan apa yang diperintahkan Allah. Di antara yang diperintahkan Allah sesudah perintah shalat ialah menyediakan sebagian daripada harta untuk membantu orang-orang yang patut dibantu bernama zakat. Baik zakat kekayaan, ataupun zakat pertanian, atau zakat peternakan. Maka orang-orang yang beriman itu telah menentukan hak-hak yang tertentu untuk yang mesti menerima tadi. Rasa bakhil dengan sendirinya hilang! Harta itu ialah
Ayat 25
“Untuk orang yang meminta dan yang tidak punya apa-apa."
Maksud yang meminta di sini bukanlah orang peminta-minta yang mengganggu penglihatan mata itu, orang-orang penganggur yang telah membiasakan hidupnya hanya dari meminta. Yang meminta di sini ialah, baik petugas-petugas pemungut zakat, atau orang-orang yang sudah sangat terdesak, karena misalnya dia berutang. Tidak ada tempat dia mengadu lagi kecuali kepada yang lebih mampu, mohon dibayarkan utangnya. Atau penuntut-penuntut ilmu yang kekurangan biaya, yang termasuk dalam golongan Ibnus Sabil, atau seperti yang banyak terjadi di zaman dahulu, yaitu orang yang akan dimerdekakan dari perbudakan asal dia sanggup membayar sekian, lalu orang yang diperbudak itu minta tolong dari zakat.
Orang yang mahrum, kita artikan orang yang tidak punya apa-apa. Misalnya orang yang berniaga, lalu rugi, bahkan kadang-kadang habis licin tandas hartanya karena rugi atau karena utangnya, yang di dalam agama dinamai muflis.
Ayat 26
“Dan orang-orang membenarkan Hari Pembatasan."
Yaitu orang-orang yang percaya sungguh dia bahwasanya di belakang hidup kita yang sekarang ini, ada lagi hidup sesudah mati, untuk menerima ganjaran daripada amal yang dikerjakan pada masa hidup yang pertama ini. Baik mendapat balasan baik, buruk mendapat pembalasan buruk. Bahkan kepercayaan kepada Hari Pembalasan itu, yang boleh juga disebut menurut tulisan asalnya Hari Agama, karena agama kita di dunia ini, di waktu itulah kelak akan menentukan nasib kita di akhirat. Karena kepercayaan kepada hari itu adalah kontrol yang menentukan nilai perbuatan dan amal kita di dunia ini.
Ayat 27
“Dan orang-orang yang dari adzab Allah, mereka merasa ngeri."
Sebab Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi-nabi yang sebelumnya telah menjelaskan bagaimana ngeri dan seramnya adzab Allah kalau terjadi di hari Pembalasan itu kelak, dia pun ngeri memikirkannya, dia pun takut akan berbuat apa yang dilarang oleh Allah dan dia pun taat mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah. Sebab
Ayat 28
“Sesungguhnya dari adzab Allah tidaklah mereka akan aman."
Itulah sebab mereka amat ngeri memikirkannya. Maka untuk mengelakkan diri daripada adzab di akhirat itu kelak, misalnya panas hangatnya api neraka, sampai mengelupas kulit kepala, tidaklah dapat kalau di akhirat itu sendiri hendak dielakkan. Melainkan elak- kanlah sementara hidup di dunia ini. Jauhilah dia sementara masih hidup, supaya di Hari Pembalasan jangan bertemu dengan adzab ngeri yang diancamkan Allah itu.