Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَنۡ
dan siapa
خَفَّتۡ
ringan
مَوَٰزِينُهُۥ
timbangannya
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَسِرُوٓاْ
(mereka) merugikan
أَنفُسَهُم
diri mereka sendiri
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
adalah mereka
بِـَٔايَٰتِنَا
dengan ayat-ayat Kami
يَظۡلِمُونَ
mereka ingkar
وَمَنۡ
dan siapa
خَفَّتۡ
ringan
مَوَٰزِينُهُۥ
timbangannya
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَسِرُوٓاْ
(mereka) merugikan
أَنفُسَهُم
diri mereka sendiri
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
adalah mereka
بِـَٔايَٰتِنَا
dengan ayat-ayat Kami
يَظۡلِمُونَ
mereka ingkar
Terjemahan
Siapa yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.
Tafsir
(Dan siapa yang ringan timbangannya) oleh sebab amal-amal keburukannya (maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri) yang membawa dirinya ke neraka (disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami) mereka tidak mau mempercayainya.
Tafsir Surat Al-A'raf: 8-9
Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Siapa yang berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang yang beruntung.
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.
Ayat 8
Firman Allah ﷻ: “Timbangan.” (Al-A'raf: 8)
Maksudnya, timbangan amal perbuatan kelak di hari kiamat.
“(Menjadi ukuran) kebenaran.” (Al-A'raf: 8)
Yakni Allah ﷻ tidak menzalimi seorang pun.
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firman-Nya:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidak ada seseorang yang dirugikan barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti Kami mendatangkan (pahalanya). Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan.” (Al-Anbiya: 47)
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun seberat zarrah. Dan jika ada kebaikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An-Nisa: 40)
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al-Qari'ah: 6-11)
Dan firman Allah ﷻ: “Apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (Al-Muminun: 101)
“Barang siapa yang berat timbangan (kebaikan)nya. Maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (Al-Muminun: 102-103)
Yang diletakkan pada timbangan amal perbuatan kelak di hari kiamat menurut suatu pendapat adalah amal-amal perbuatan, meskipun berupa sesuatu yang abstrak, tetapi Allah ﷻ mengubahnya menjadi bentuk yang nyata dan jelas kelak di hari kiamat. Al-Baghawi mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, bahwa surat Al-Baqarah dan Ali Imran kelak di hari kiamat akan datang (dalam bentuk) seperti dua awan, atau dua naungan, atau dua kumpulan burung-burung yang terbang berbaris.
Ini termasuk dalam hadits shahih tentang kisah Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an kelak akan datang kepada pemiliknya dalam rupa seorang pemuda yang berkulit pucat. Maka pemiliknya bertanya, "Siapakah kamu?" Ia menjawab, "Aku adalah Al-Qur'an yang membuatmu tidak dapat tidur di malam harimu dan membuatmu haus di siang harimu." Di dalam hadits Al-Barra mengenai kisah pertanyaan kubur disebutkan: Maka orang mukmin didatangi oleh seorang pemuda yang warna kulitnya bagus dan harum baunya. Maka orang mukmin itu bertanya, "Siapakah kamu? Ia menjawab, "Saya adalah amal salehmu." Lalu disebutkan hal yang sebaliknya tentang orang kafir dan orang munafik.
Menurut pendapat yang lain, yang ditimbang adalah kitab catatan amal perbuatan, seperti yang disebutkan di dalam hadits tentang bitaqah (kartu) mengenai seorang lelaki yang menghadap Allah, lalu diletakkan baginya pada salah satu sisi timbangan sebanyak sembilan puluh sembilan catatan amal, setiap catatan amal tebalnya sejauh mata memandang.
Kemudian bitaqah tersebut didatangkan yang di dalamnya bertuliskan kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah.” Lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Tuhanku, apa bitaqah ini dan semua catatan ini?" Allah ﷻ menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan dizalimi.” Lalu bitaqah tersebut diletakkan di sisi timbangan yang lainnya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka catatan-catatan itu menjadi ringan dan bitaqah itu menjadi berat.” Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur ini, dan ia menilainya shahih.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang ditimbang itu adalah diri orang yang bersangkutan. Seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut: Kelak di hari kiamat didatangkan seorang lelaki yang gemuk, tetapi di sisi Allah timbangannya tidaklah seberat sebuah sayap nyamuk yang kecil. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (Al-Kahfi: 105)
Di dalam manaqib (riwayat hidup) sahabat Abdullah ibnu Mas'ud disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Apakah kalian merasa aneh dengan kedua betisnya (Ibnu Mas'ud) yang kecil itu. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kedua betisnya itu dalam timbangan amal perbuatan jauh lebih berat daripada Bukit Uhud.” Tetapi dapat pula digabungkan pengertian dari semua atsar tersebut, bahwa kadang-kadang yang dinilai adalah amal perbuatannya, kadang-kadang catatan amalnya, dan adakalanya diri orang yang bersangkutan.
Dan barang siapa ringan timbangan kebaikan-nya karena banyak melakukan dosa, maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami. Padahal, ayat-ayat tersebut telah jelas mengemukakan kebenaran yang sulit terbantahkan. Namun kesombongan dan sikap iri pada hati mereka menyebabkan mereka enggan menerima ayat-ayat tersebut, bahkan mendustakannya. Setelah itu, pada ayat ini Allah menjelaskan tentang anugerah-Nya kepada manusia. Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi menjadi pemilik dan pengelolanya, dan di sana Kami sediakan sumber penghidupan untukmu seperti tempat untuk kamu menetap, sumbersumber makanan dan minuman, dan sarana kehidupan lainnya. Akan tetapi, sedikit sekali kamu bersyukur atas semua kenikmatan itu dengan mengerahkan semua energi yang didapat dari semua nikmat itu untuk beribadah kepada Allah. Bahkan, kamu banyak mengingkarinya dengan menyembah selain Allah, serta berbuat kemaksiatan dan kerusakan di bumi.
Barang siapa yang ringan timbangan amalnya, karena keingkarannya, imannya lemah sehingga ia banyak melakukan pelanggaran agama; ibadah ditinggalkan; amal-amal kebaikan disia-siakan, dan yang digemarinya adalah larangan-larangan agama, banyak menipu, menyakiti hati sesama manusia, memusuhi tetangganya, menyia-nyiakan anak yatim, membiarkan orang-orang sekelilingnya lapar dan menderita, asal dia kenyang dan senang. Manusia yang seperti ini akan merugi di akhirat nanti, dan akan dimasukkan ke dalam api neraka yang membara, seperti firman Allah:
Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al-Qari'ah/101: 8-11)
Yang ditimbang ialah amal perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ishak az-Zajjaj, "Telah sepakat ahlu sunnah tentang adanya timbangan itu, dan amal perbuatan hamba itulah yang ditimbang di akhirat nanti. Timbangan itu mempunyai lidah dan dua daun neraca timbangan." Pernyataan Abu Ishak ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw:
"Diletakkanlah timbangan-timbangan itu di Hari Kiamat, maka ditimbanglah amal kebaikan dan amal kejahatan. Barang siapa lebih berat timbangan kebaikannya dari timbangan kejahatannya, sekali pun seberat butir biji, maka masuklah ia ke dalam surga, dan barang siapa timbangan kejahatannya lebih berat dari timbangan kebaikannya, sekalipun seberat butir biji masuklah ia ke dalam neraka." (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi dari Jabir r.a.).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah al-A'raaf
(Benteng Tinggi)
SURAH KE-7, 206 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Mahamurah lagi Pengasih,
Surah al-A'raaf dimulai pada ayat yang pertama dengan huruf-huruf pula, sebagaimana telah kita dapati surah al~Baqarah dan surah Aali Tmraan dimulai dengan huruf. Dan kita akan berjumpa lagi kelak surah-surah yang dimulai dengan huruf, kecuali surah al-Baqa-rah dan Aali ‘Imraan, surah yang dimulai dengan huruf itu semuanya diturunkan di Mekah.
Ayat 1
“Alif-Laam-Miim-Shaad."
Hendaklah kita baca tepat menurut bunyi ejaan huruf dalam bahasa Arab. Tidak boleh kita baca misalnya “almash" dan sebagainya. Sebab, oleh Rasulullah ﷺ dibaca menurut ejaan tiap-tiap huruf itu. Alif dibaca sebagai biasa. Laam dibaca dengan panjang tiga alif. Miim dibaca dengan panjarig tiga alif dan Shaad dibaca dengan panjang tiga alif pula.
Setengah penafsir Salaf berpendapat bahwa tiap-tiap huruf di pangkal surah-surah yang tertentu itu ada artinya yang khas, di antara mereka berkata bahwa di dalam huruf-huruf itu tersembunyi nama Allah SWT, atau potongan kalimat-kalimat yang berarti nama Allah. Oleh karena itu, Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas memberi arti Alif-Laam-Miim-Shaad. (j*3l) Analluhu Afshalu, Akulah Allah. Aku akan menjelaskan. Dan menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dan Abusy-Syaikh dari Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi: Alif dari Allah, Mim dari Rahman, Shaad dari Shamad. Menurut Abusy-Syaikh dari adh-Dhahhak:
Anallahu ash-Shadiqu. Akulah Allah, yang benar. Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Alif-Laam Miim-Shaad, dan Tha-Ha, Tha-Sin-Mim, Ha-Mim, Qaaf, Nuun, dan yang seumpamanya itu adalah sumpah belaka, yaitu sumpah dari Allah dan semuanya adalah nama-nama dari Allah.
Namun, beberapa penafsir lain berpendapat bahwa semua huruf-huruf itu tidaklah mengandung makna yang tersembunyi, selain dari kekuatan huruf-huruf itu sendiri buat diucapkan. Gunanya ialah untuk memberi peringatan kepada si pendengarnya agar memerhatikan wahyu-wahyu yang akan turun sesudah huruf-huruf itu terdengar dibaca oleh Rasul ﷺ
Karena tidak ada kata yang tegas, hadits yang shahih dari penafsiran Rasul sendiri, penafsiran Ibnu Abbas itu dan penafsiran yang lain tadi diterima orang saja sebagai salah satu macam penafsiran. Menurut penafsir ar-Razi, tidak kurang dari 21 perkataan, yang hampir serupa dengan penafsiran Ibnu Abbas itu. Namun, sahabat yang lebih besar dari fbnu Abbas, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, berkata, “Tiap-tiap kitab ada rahasianya, rahasia Al-Qur'an ialah pada huruf-huruf itu."
Ali bin Abi Thalib berkata, “Tiap-tiap kitab ada inti sari keistimewaannya maka inti sari keistimewaan Al-Qur'an ialah huruf-huruf hi-jaiyah di pangkal surah-surah itu,"
Ahli-ahli tasawuf memperluas lagi penafsiran “rahasia" itu, tetapi tentu saja secara tasawuf pula. Ini dipelopori oleh Ibnu Arabi sendiri. Imam Ghazali berkata di dalam al-Ihya bahwa huruf-huruf di pangkal surah-surah itu ialah penggabungan perhatian dan menyadarkan atas ayat-ayat yang berikut di belakangnya sehingga orang-orang yang mendengar, setelah mendengar huruf-huruf itu tertarik perhatian mereka untuk mendengarkan lanjutannya. Az-Zamakhsyari yang amat ahli dalam bahasa, condong pada pendapat Ghazali, Al-Bahaqi, dan Ibnu Taimiyah dan muridnya al-Mundziri pun menguraikan dari kegunaannya sebagai penyadarkan, dengan memakai huruf-huruf yang inti dalam bahasa arab itu.
Ayat 2
“Suatu kitab."
Sesudah ayat pertama rangkaian huruf-huruf, tertujulah seluruh perhatian yang mendengar pada soal yang akan diuraikan. Datanglah keterangan bahwa yang akan diuraikan itu ialah perihal suatu kitab, yaitu Al-Qur'an."Yang telah diturunkan kepada engkau." Inilah kitab itu, diturunkan kepada engkau untuk engkau pimpinkan dan ajarkan isinya kepada manusia itu."Maka janganlah ada dalam dada engkau rasa sesat daripadanya." Berkali-kali di dalam ayat yang lain, Allah memberikan peringatan kepada Rasul, agar beliau tenang dan jangan sesak dada di dalam menjalakan kewajibannya menyampaikan isi kitab itu kepada manusia karena kebanyakan dari manusia itu suka menentang, tidak mau percaya, bahkan menuduh beliau orang gila, menuduh sihir dan sebagainya. Lapangkanlah dadamu dan teruskanlah kewajibanmu. Di dalam surah at-Hijr ayat 97, Allah pun bersabda bahwa Allah tahu sampai sempit dadamu lantaran mendengar kata-kata mereka yang bukan-bukan itu, maka sucikanlah nama Allah dan teruslah bekerja dan bersu judlah kepada Allah."Supaya engkau ancamkan dengan dia." Dengan Al-Qur'an itu engkau sampaikanlah ancaman Allah kepada mereka yang tidak mau percaya itu, bahwa kalau mereka masih tetap bersikap demikian, mereka akan mendapat adzab dari Allah, baik kesengsaraan jiwa di dunia maupun siksaan neraka di akhirat.
“Dan peringatan bagi orang-orang yang beriman."
Meskipun bagi yang kufur, Al-Qur'an itu menjadi ancaman, bagi orang yang beriman dia akan menjadi peringatan, penunjuk jalan, sehingga mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kemudian Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan kepada tiap-tiap yang mau percaya, supaya mereka pegang teguhlah tuntunan Al-Qur'an itu.
Ayat 3
“Turutilah olehmu apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu."
Kepada manusia diterangkanlah dengan ayat ini, kitab yang diturunkan kepada Rasul itu, tidaklah lain gunanya, hanyalah untuk menuntun dan memimpin manusia. Itulah jalan selamat satu-satunya bagi mereka, kalau mereka menurutinya dengan setia. Dan itulah pegangan hidup yang sejati. Yang mengirimkan kitab itu kepada kamu ialah Allah sendiri, dengan perantaraan Rasul-Nya Muhammad ﷺ. Oleh sebab itu, “Dan janganlah kamu turuti yang selain dari Dia jadi penolong-penolong." Banyak jalan bersimpang-siur, tetapi jalan yang benar hanyalah satu, yaitu jalan Allah. Yang lain tidaklah bisa menjadi penolong, pembantu dan pembawa selamat ataupun pelindung. Tidak ada auliya' yang berarti wali-wali yang dapat memberikan keselamatan kepada manusia atau mendatangkan manfaat ataupun mudharat. Tidak ada yang lain, keucali hanya Allah, Allah membuktikan bagaimana Dia menjadi Wali kamu yang sejati, yaitu diturunkan-Nya Al-Qur'an untuk membimbingmu, sedangkan yang lain hanya membawa sesat kamu saja. Oleh sebab itu, janganlah kamu menyembah berhala dan jangan kamu turuti kehendak setan. Semuanya itu hanya membawamu sesat. Namun sayang,
“Sedikitlah kamu yang ingat."
Terlebih, banyak masih saja tidak ingat. Dia mengakui memang hanya Allah saja yang Tuhan, tetapi masih saja berwali atau meminta pertolongan kepada penolong yang lain. Itulah yang lebih banyak, karena tidak sadar.
Maka tibalah ancaman Allah:
Ayat 4
“Dan berapa banyak desa yang telah Kami binasakan dia."
Banyak desa yang telah dibinasakan Allah karena salah'mencari penolong, karena tidak
mau menuruti bimbingan Allah yang dibawakan oleh rasul-rasul Allah, karena sedikit yang ingat.
“Maka datanglah kepadanya siksaan Kami di tengah malam ataupun sedang mereka tidur di tengah hari."
Karena mereka, yaitu desa-desa itu, tegasnya penghuni desa-desa itu tidak ingat bahwa hanya Allah Penolong mereka, mereka pun lalai dan leka, mereka sembah yang lain. Murka Allah datang kepada mereka dengan tiba-tiba, dengan tidak mereka sangka-sangka. Ada yang datang sedang mereka nyenyak tidur istirahat tengah hari atau selepas tergelincir matahari. Menandakan bahwa adzab Allah itu datang, sedangkan mereka keenak-enakan menyangka bahaya tidak ada.
Ayat 5
“Maka tidaklah ada seruan mereka ketika datang siksaan Kami itu, kecuali mereka berkata, ‘Sesungguhnyalah kami ini orang-orang yang zalim.'"
Ayat ini menjelaskan bahwa setelah adzab itu datang dengan tiba-tiba, sedangkan mereka senang-senang dan tidak menyangka-nyangka, tidaklah dapat mereka mengelak lagi dan mengakulah mereka terus terang bahwa memang selama ini mereka telah lalai, lengah, tidak patuh pada perintah Allah, tidak mengacuhkan peringatan rasul-rasul yang diutus Allah. Mengakulah mereka bahwa mereka telah zalim. Sebab, pada saat adzab itu telah datang dari Allah, nyatalah bahwa penolong lain yang mereka cari-cari dan mereka pertahankan selama ini tidak seorang pun atau tidak satu pun yang dapat menolong. Namun, apalah artinya pengakuan zalim pada saat adzab telah datang dan negeri telah binasa? Apalah lagi arti seruan dan pengakuan pada waktu yang telah seperti demikian?
Ayat 6
“Maka sesungguhnya akan Kami periksa orang-orang yang dikirim (rasul-rasul) kepada mereka itu dan sesungguhnya akan Kami periksa rasul-rasul itu sendiri."
Sebagai sambungan dari ayat yang sebelumnya, setelah negeri itu binasa porak-poranda, urusan belumlah selesai sampai di itu saja. Manusia yang telah terkena siksaan Allah itu akan ditanyai: mengapa kamu jadi begini. Mengapa kamu menjadi zalim sehingga mendapat siksaan dan malapetaka yang begini dahsyat? Bukankah telah Kami utus kepadamu rasul-rasul? Tidakkah kamu pedulikan seruan mereka? Bagaimana saja cara sambutanmu kepada rasul-rasul Allah itu? Rasul-rasul itu sendiri pun akan diperiksa dan ditanyai: mengapa orang ini jadi begini? Bagaimana sambutan mereka atas seruan kamu atau perintah yang Allah suruh kamu menyampaikannya?
Berkata Ibnu Abbas, “Arti ayat ialah Allah akan menanyakan kepada mereka yang di-datangi Rasul itu, bagaimana sikap mereka menyambut apa yang disampaikan oleh rasul-rasul? Dan Rasul-rasul akan ditanya, “Bagaimana mereka menyampaikan atau menabligh-kan seruan Allah itu?"
Ayat ini penting diperhatikan, khusus untuk memerhatikan arti dari tanggung jawab. Tiap-tiap kita akan diperiksa, bagaimana pertanggungjawaban kita tentang kewajiban yang dipikulkan terhadap kita. Kalau umat tidak terlepas dari tanggung jawab bagaimana mereka menyambut Rasul, dan Rasul tidak lepas dari pertanggungjawaban bagaimana mereka melaksanakah perintah Allah buat bertabligh kepada manusia, niscaya dapatlah kita memahamkan bahwa kita ini semuanya adalah memikul tanggung jawab. Sebab, kita terpimpin oleh atasan kita dan kita memimpin akan bawahan kita. Raja memimpin rakyat, ayah memimpin anak, suami memimpin istri, istri memimpin dalam rumah tangga suaminya. Lebih-lebih setelah ditegaskan lagi oleh ayat berikutnya:
Ayat 7
“Maka sesungguhnya akan Kami ceritakan kepada mereka,dengan pengetahuan dan sekali-kali tidaklah Kami gaib."
Apabila pemeriksaan telah datang kelak di hari Kiamat, tidaklah seorang pun yang sanggup berdusta atau mengelak diri dari tanggung jawab. Sebab apa yang kita sembunyikan, Allah mengetahuinya. Apa yang kita lupa, Allah tetap mengigatnya. Kita diperiksa adalah dengan pengetahuan. Allah mengetahui segala gerak-gerik kita di kala hidup. Yang jujur ataupun yang curang Dia tahu. Catatan ada pada sisi Allah dan Allah tidaklah gaib dari sisi kita. Dia ada selalu pada waktu kita hidup ini, Dia tidak di tempat lain. Kalau kita tidak dapat melihat Dia, jangan sangka bahwa Dia tidak melihat kita. Tidak ada yang dapat disembunyikan di hadapan mahkamah Allah pada hari soal-jawab itu kelak.
Ayat 8
“Dan timbangan pada hari itu adalah benar."
Di sini ditegaskan bahwa pada hari itu kelak akan ditegakkan suatu timbangan yang Mahaadil, yang tidak pernah mengicuh, bukan suatu timbangan rusak.
Di dalam Al-Qur'an kita selalu bertemu firman Allah tentang adanya alat-alat gaib yang namanya kita diberi tahu, tetapi rangka-rangka pikiran kita tidak mungkin tepat tentang hal itu. Di sini, disebutkan timbangan: al-Wazan dan di ayat lain disebut al-Mizaan (surah ar-Rahmaan ayat 7) dan lain-lain. Disebut juga misalnya tentang Arsy, Kursi, Qalam, Al-Lauh, Al-Mahfuzh dan sebagainya. Kita percaya dengan sesungguh-sungguhnya tentang adanya alat-alat itu, tetapi daya pikir kita yang sekarang tidaklah akan tepat jika diuraikan sekarang juga. Sama dengan mengkhayatkan Negeri Mekah sebelum Mekah dilihat, berbeda dengan sesudah dilihat. Dengan al-Wazan dan timbangan ini, akan ditimbanglah jasa dan dosa, amal baik amal buruk, menerima Rasui atau menolak Rasul, menerima separuh-separuh atau menolak separuh-separuh. Hasil timbangan itu adalah benar, tidak ada sedikit pun kecurangan, kezaliman, atau merugikan, walaupun sebesar zarrah (atom) sekalipun.
Ayat 9
“Maka barangsiapa yang benat timbangannya, maka mereka ilu adalah orang-orang yang telah merugikan dirii mereka sendiri, dengan sebab mereka tenhadap ayat-ayat Kami berlaku zalim."
Timbangan mereka menjadi ringan. Ibaratnya kalau sekiranya timbangan di akhirat itu mempunyai dua daun timbangan, setelah ditegakkan dan dimasukkan pada yang sebelah kanan segala amal yang baik dan ke sebelah kiri segala amai yang buruk, nyatalah kosong terapung ke atas daun timbangan yang baik itu, sebab yang sebelah penuh dan berat dengan kejahatan. Orang yang hidup tidak berbuat baik, berartilah bahwa hidupnya itu kosong. Amal yang baik akan dibawa ke akhirat, menjadi bekal pengantar buat berhak masuk surga. Adapun amal jahat tidak ada harganya apa-apa sehingga hidup yang dilalui tidak berarti sama sekali, mereka mendapat ganjaran yang menyedihkan, yaitu adzab siksaan Allah. Dalam ayat diterangkan bahwa mereka telah rugi sebab mereka telah merugikan diri sendiri. Allah sekali-kali tidak dapat disalahkan, sebab Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya secukupnya, dan peringatan sudah ada sejak dahulu. Merekalah yang zalim, aniaya dan menuju langkah yang gelap di dalam hidup mereka.
Dengan adanya sebutan timbangan dan pertimbangan lalu tersebut soal berat dan ringan, soal bahagia dan kerugian, kita di sini telah menampak suatu sifat Allah yaitu Adil. Dan dengan ini kita pun mendapat kesan pula bahwasanya timbangan kebaikan amal manusia itu) walaupun murni sesama Mukmin tidaklah sama. Semuanya memang berat tetapi ada yang sangat berat, ada yang lebih berat dan yang paling berat. Yang ringan pun demikian pula. Namun, puncak keberatan ialah iman dan puncak keringanan ialah kufur.