Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
berkata
ٱلۡمَلَأُ
pemuka-pemuka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱسۡتَكۡبَرُواْ
menyombongkan diri
مِن
dari
قَوۡمِهِۦ
kaumnya
لَنُخۡرِجَنَّكَ
untuk mengusir kamu
يَٰشُعَيۡبُ
wahai Syu'aib
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
مَعَكَ
bersamamu
مِن
dari
قَرۡيَتِنَآ
negeri kami
أَوۡ
atau
لَتَعُودُنَّ
kamu sungguh kembali
فِي
dalam
مِلَّتِنَاۚ
agama kami
قَالَ
(Syu'aib) berkata
أَوَلَوۡ
apakah meskipun
كُنَّا
adalah kami
كَٰرِهِينَ
orang-orang yang membenci
قَالَ
berkata
ٱلۡمَلَأُ
pemuka-pemuka
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱسۡتَكۡبَرُواْ
menyombongkan diri
مِن
dari
قَوۡمِهِۦ
kaumnya
لَنُخۡرِجَنَّكَ
untuk mengusir kamu
يَٰشُعَيۡبُ
wahai Syu'aib
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
مَعَكَ
bersamamu
مِن
dari
قَرۡيَتِنَآ
negeri kami
أَوۡ
atau
لَتَعُودُنَّ
kamu sungguh kembali
فِي
dalam
مِلَّتِنَاۚ
agama kami
قَالَ
(Syu'aib) berkata
أَوَلَوۡ
apakah meskipun
كُنَّا
adalah kami
كَٰرِهِينَ
orang-orang yang membenci
Terjemahan
Para pemuka yang sombong dari kaumnya berkata, “Wahai Syuʻaib, sungguh, kami akan mengusirmu bersama orang-orang yang beriman kepadamu dari negeri kami, kecuali engkau benar-benar kembali kepada agama kami.” Syuʻaib berkata, “Apakah (kami kembali padanya) meskipun kami membenci(-nya)?
Tafsir
(Pemuka-pemuka dari kaum Syuaib yang menyombongkan diri berkata,) mereka yang sombong tidak mau beriman ("Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami atau kamu kembali) sungguh mau kembali (kepada agama kami.") yaitu din/agama kami. Di dalam pembicaraan ini yang dipakai dhamir jamak padahal pembicaranya hanya seorang yaitu Syuaib sendiri. Sebab Syuaib itu sama sekali bukan berada dalam agama mereka, lalu ia menjawab sebaliknya (Syuaib menjawab, "Apakah) kami harus kembali kepada agamamu itu (kendatipun kami tidak menyukainya?") Istifham/kata tanya di sini mengandung pengertian pengingkaran.
Tafsir Surat Al-A'raf: 88-89
Pemuka-pemuka dari kaum Syuaib yang menyombongkan diri berkata, "Wahai Syu'aib! Sesungguhnya kami akan mengusir kamu dan orang-orang yang beriman kepadamu dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami." Syuaib berkata, "Dan apakah (kalian akan mengusir kami) meskipun kami membencinya?”
Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang besar kepada Allah, jika kami kembali kepada agamamu setelah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah Tuhan kami menghendaki(nya). Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Hanya kepada Allah sajalah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil), dan Engkaulah Pemberi keputusan terbaik.
Ayat 88
Demikianlah kisah dari Allah mengenai jawaban orang-orang kafir terhadap nabinya, yaitu Nabi Syu'aib dan pengikutnya dari kalangan kaum mukmin. Mereka mengancam akan mengusir dan mengasingkan Nabi Syu'aib dan pengikutnya dari tanah tempat tinggalnya.
Orang-orang kafir dari kaumnya menekannya agar kembali kepada agama mereka bersama-sama mereka. Pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada seorang rasul, tetapi makna yang dimaksud menyertakan pula para pengikutnya yang memeluk agamanya.
Firman Allah ﷻ: "Dan apakah (kalian akan mengusir kami) meskipun kami membencinya?” (Al-A'raf: 88)
Nabi Syu'aib berkata kepada mereka, "Apakah kalian tetap akan melakukan ancaman terhadap kami, meskipun kami tidak menyukai apa yang kalian serukan kepada kami? Karena sesungguhnya jika kami kembali kepada agama kalian dan bergabung dengan kalian melakukan kebiasaan kalian, berarti kami telah mengadakan kebohongan besar terhadap Allah dengan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Ungkapan ini mengandung pengertian keengganan dan kebencian Nabi Syu'aib untuk mengikuti seruan mereka.
Ayat 89
“Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah Tuhan kami menghendakinya).” (Al-A'raf: 89)
Ungkapan ini merupakan pernyataan pengembalian segala sesuatu kepada Allah yang dibenarkan, karena sesungguhnya
“Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal.” (Al-A'raf: 89)
Yaitu dalam semua urusan kami, baik yang kami kerjakan maupun yang kami tinggalkan. Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu dan ilmu-Nya pun meliputi segala sesuatu.
“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil).” (Al-A'raf: 89)
Maksudnya, putuskanlah perkara yang terjadi antara kami dan kaum kami, dan tolonglah kami dalam menghadapi mereka.
“Dan Engkaulah Pemberi keputusan terbaik.” (Al-A'raf: 89)
Yakni sebaik-baik Pemberi keputusan, karena sesungguhnya Engkau Maha Adil dan tidak akan pernah melakukan kezaliman sama sekali.
Pemuka-pemuka dan pembesar kaum Nabi Syuaib yang menyombongkan diri dan menolak beriman berkata, Wahai Syuaib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman kepadamu dari negeri kami, kecuali jika engkau kembali kepada agama kami atau diam dan membiarkan kami melakukan apa yang kami inginkan. Nabi Syuaib berkata, Apakah kamu akan mengusir kami, atau kami mengikuti agama kalian yang sesat, atau membiarkan kalian, kendatipun kami tidak suka itu karena kami tahu kesesatannya' Tidak mungkin itu akan terjadi. Nabi Syuaib menolak keras keinginan mereka agar kembali kepada agama mereka, Sungguh, kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu atau merestui perbuatanmu, apalagi setelah Allah melepaskan dan menyelamatkan kami darinya dengan menunjuki kami jalan yang benar. Dan tidaklah pantas kami memilih kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki itu. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi sebab pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu, sehingga Dia tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Hanya kepada Allah kami bertawakal, menyerahkan segala urusan dengan melaksanakan semua kewajiban, seraya memohon petunjuk dan pertolongan. Selanjutnya Nabi Syuaib dan pengikutnya bermohon, Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak yakni adil. Engkaulah pemberi keputusan terbaik.
.
Ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin suku Madyan berkata kepada Nabi Syuaib, bahwa mereka akan mengusir Syuaib dan para pengikutnya dari negeri mereka, apabila Nabi Syuaib tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka, serta menghentikan dakwahnya kepada kaumnya.
Dengan perkataan lain, mereka menyuruh Nabi Syuaib dan para pengikutnya untuk memilih apakah mereka akan tetap dalam agama baru dan melanjutkan dakwah tetapi diusir dari negeri mereka, ataukah bersedia kembali kepada agama nenek moyang dan menjadi anggota masyarakat dari kaumnya yang musyrik.
Perlu diketahui bahwa kata-kata "kembali kepada agama nenek moyang" memberi kesan, seolah-olah Nabi Syuaib pernah menjadi penganut agama kaumnya, dan tentu pernah juga turut menyembah sembahan yang mereka sembah. Hal ini tidak benar, karena para nabi dan rasul Allah senantiasa terhindar dari dosa-dosa besar, termasuk dosa yang disebabkan kemusyrikan kepada Allah.
Pada akhir ayat tersebut diterangkan, bahwa Nabi Syuaib menjawab tantangan mereka dengan mengajukan pertanyaan, apakah mereka akan tetap memaksa dirinya dan para pengikutnya untuk kembali kepada agama mereka atau mereka akan mengusir dirinya dan para pengikutnya dari negeri Madyan bila ia menolak anjuran itu.
Nabi Syuaib menegaskan kepada kaumnya, bahwa ia dan para pengikutnya tidak merasa gentar diusir dari negeri mereka, dan mereka akan tetap dalam agama Allah serta melanjutkan dakwah mereka. Kecintaan Nabi Syuaib kepada agama Allah lebih tinggi dari pada kecintaan kepada tanah air yang penduduknya ingkar kepada Allah. Ia dan para pengikutnya mengutamakan hidup dalam keridaan Allah, sehingga mereka benar-benar dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan keimanan adalah urusan hati yang tidak dapat dipaksakan bagaimanapun juga. Ia dan para pengikutnya benci kepada kemusyrikan, karena kemusyrikan merupakan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
Seorang rasul yang mengemban amanat menyiarkan agama Allah tidak keberatan meninggalkan tanah tumpah darahnya, apabila situasi dan keadaan di tempat itu tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas. Seperti diketahui, Nabi Ibrahim telah melaksanakan hijrah, meninggalkan tanah tumpah darahnya yaitu kota Ur di Kaldea, demi untuk menegakkan agama Allah. Demikian pula Nabi Muhammad telah hijrah dari Mekah ke Medinah karena kecintaannya kepada agama Allah melebihi kecintaan kepada tanah air dan lain-lainnya. Orang-orang yang enggan hijrah karena Allah, akan dimurkai Allah, sebagaimana firman Allah :
"Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya: "bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)". Mereka (para malaikat) bertanya: "Bukanlah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?" Maka Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun". (an-Nisa/4: 97-99).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 88
“Berkata pemuka-pemuka yang menyombong dari kaumnya itu."
Di sini Allah telah memberi petunjuk kepada kita bahwasanya dari kaum Nabi Syu'aib yaitu yang merasa kuat telah merasakan sikap yang menyombong atau membesarkan diri atau menyombongkan diri. Di sini bertemu kalimat ‘istakbaru' yang berarti membesarkan diri atau menyombongkan diri. Orang yang membesarkan diri bukanlah orang besar. Manusia itu sama di hadapan Allah; tidak ada seorang pun yang lebih besar dari yang lain. Apatah lagi kalau dipandang dari segi tubuh. Tinggi manusia hampir sama, besarnya pun hampir sama. Sebab itu, di dalam surah al-Israa' ayat 27, Allah melarang berjalan menyombong di atas permukaan bumi ini, Allah telah memperingatkan bahwa sesungguhnya “engkau tidak akan dapat merobek bumi," betapa pun gagah perkasamu dan “engkau tidak akan dapat menyamai bukit walaupun bagaimana tinggimu." Sebab itu, manusia yang insaf akan hakikat kelemahan dirinya tidaklah akan membesarkan diri.
Orang yang membesarkan diri adalah orang yang lupa daratan, kadang-kadang karena dia memegang kekuasaan. Lantaran kekuasaan itu, dia pun mabuk. Dia menyangka manusia boleh diperlakukannya sekehendak hatinya saja. Lantaran membesarkan diri dan tidak mau kenal bahwa kekuasaan Allah lebih tinggi dari kekuasaannya, mereka pun berkata kepada Syu'aib, “Sesungguhnya akan kami keluarkan engkau hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman beserta engkau dari desa kami." Mereka menyombong lantaran di tangan mereka terpegang kekuasaan dalam negeri. Sebab itu, Syu'aib disuruh memilih salah satu di antara dua. Pertama, segera keluar dari dalam negeri ini bersama sekalian orang yang percaya akan ajarannya atau menjadi pengikut-nya. “Atau kamu sungguh-sungguh kembali kepada agama kami."
Artinya, kalau mereka masih tetap bertahan pada kepercayaan yang baru itu, mereka harus segera keluar dari daerah kekuasaan mereka. Dibuang atau dikucilkan.
Kaum yang sombong itu merasa bahwa iman kepada Allah yang tengah tumbuh ini, bisa dilepaskan saja. Dan, orang kembali pada kekafiran kalau mereka diancam akan dikeluarkan dari kampung halaman, tanah tumpah darah, rumah tangga dan dusun. Karena manusia memang berat akan mehinggal-kan daerah tempat diam sejak kecil. Sebab itu, mereka diancam bahwa kalau mereka tidak kembali kepada agama nenek moyang yang sekarang mereka batalkan itu, mereka tidak akan diizinkan tinggal di kampung itu lagi. Dan, kalau agama yang baru dianut itu dilepaskan, bisalah mereka tinggal tetap di kampung halaman mengerjakan upacara agama yang selama ini dijalankan oleh yang berkuasa.
Anjuran itu telah dijawab oleh Syu'aib dengan tegas,
“Dia berkata,'Bagaimana kalau kami tidak sukar."
Bagaimana kalau kami tidak suka menukar agama? Apakah kami akan kamu usir juga?
Dengan bertanya demikian, Syu'aib sudah mengatakan bahwa menukar agama atau kembali kepada agama jahiliyyah, sudah terang mereka tidak suka. Karena sudah terang tidak suka, sikap apa yang akan mereka ambil terhadapnya dan kaumnya?
Dalam keterangan selanjutnya, Syu'aib sudah menjelaskan apa sebab dia tidak bisa kembali kepada agama jahiliyyah,
Ayat 89
“Sesungguhnya kami telah mengadakan dusta kepada Allah jika kami kembali pada agama kamu, sesudah kami diselamatkan Allah darinya."
Coba pahamkan maksud ayat ini baik-baik!
Apabila Allah telah menganugerahkan jalan kebenaran bahwa yang patut disembah itu hanyalah Allah Yang Maha Esa, tidak bersekutu yang lain dengan Dia, berarti bahwa jika kita telah diberi terang. Di dalam pikiran murni, tidak ada kekacauan lagi. Sebab, yang benar menurut akal yang benar menurut manthiq (logika) dan menurut ilmu berhitung yang tertinggi (wijskunde) bahwa mustahil Maha Penguasa dan Maha Pengatur berbilang. Dia mesti Satu. Kalau manusia telah sampai kepada pengertian ini, dia akan merasa lega dalam pikirannya. Sebab, untuk mencapai rasa bahagia dalam pikiran ialah bila kita sampai kepada hakikat kebenaran.
Seterusnya, apabila dia telah sampai pada tujuan yang demikian, tidaklah dia mau surut lagi kepada yang tidak benar. Sebab itu, orang yang telah mendapat isi pelajaran tauhid tidaklah mau lagi menyembah berhala. Sebab, menyembah berhala artinya adalah mendustai diri sendiri. Ibadah yang dilakukan berbeda dengan yang dipercayai dan diyakini dalam hati, sama artinya dengan “mengada-ada dusta atas Allah." Padahal, Allah telah menyelamatkan yang bersangkutan dari kepercayaan yang karut itu.
“Dan, tidaklah bagi kami akan kembali kepadanya kecuali jika dikehendaki Allah, Tuhan kami."
Renungkanlah arti yang sangat dalam yang terkandung dalam ayat ini; kecuali jika dikehendaki Allah, Tuhan kami. Hati yang telah mendapat tauhid, tidaklah akan mundur lagi kepada suasana musyrik. Perubahan kembali musyrik sesudah tauhid adalah mustahil pada adat. Matahari terbit dari Timur, terbenam ke Barat, Mustahil pada adat matahari berubah jalan kecuali kalau Allah menghendaki yang lain. Demikian pulalah Syu'aib mengatakan kepada kaumnya. Kalau sekali kami telah diberi petunjuk oleh Allah kepada jalan yang benar, mustahil pada adat bahwa kami akan musyrik kembali. Entah kalau Allah menghendaki lain. Sebab, kekuasaan mutlak adalah pada tangan Allah. Untuk menjelaskan dan memantapkan lagi pendirian itu, berkatalah Syu'aib selanjutnya, “Amat luaslah pengetahuan Tuhan kami atas tiap-tiap sesuatu." Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sehingga pun gerak hati kami dan gerak hati tuan-tuan tidak ada yang sembunyi bagi-Nya.
“Kepada Allah-lah kami bertawakal." Dengan kata-kata seperti ini menyerahlah Syu'aib kepada agama yang lama, dia akan diusir bersama dengan sekalian orang yang beriman kepada ajaran yang dibawanya. Dia merasa bahwa kekuatan pertahanan yang lahir tidak ada padanya. Sebagaimana kebiasaan yang selalu terdapat di permukaan alam ini, pihak yang berkuasa merasa sombong dengan kekuasaannya dan tidak mau tunduk kepada kebenaran. Kalau yang berkuasa hendak bertindak mengusir kalau langit hendak jatuh, apalah artinya kekuatan telunjuk hendak menahannya. Sebab itu, sandaran terakhir pada Syu'aib hanya satu jua, yaitu tawakal kepada Allah. Akan diusir, usirlah. Akan dibunuh, bunuhlah, tetapi pendirian yang telah dipilih dan keyakinan yang telah tertanam, tidaklah ada sata kekuatan pun yang dapat menggesernya.
Tawakalnya itu diiringinya dengan doa, memohon agar Allah sendiri “turun tangan".
“Ya Tuhan kami! Bukakanlah kebenaran di antara kami dan di antara kaum kami krnena Engkaulah yang sebaik-baik pembuka kebenaran."
Doa di ujung ayat ini menunjukkan bahwa beliau telah bertemu jalan buntu. Kekuatan beliau sendiri untuk menguasai keadaan tidak ada, beliau tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan karena tampuk negeri terpegang di tangan pemuka-pemuka yang berniat mengusirnya itu. Sedang dia dan orang-orang yang beriman tidak hendak menerima pengusiran itu kalau bukan Allah yang memerintahkan hijrah dan tidak pula mereka hendak menerima paksaan supaya kembali kepada agama yang lama. Sekarang keputusan terakhir adalah kepada Allah sendiri.
Tentu timbul pertanyaan, “Apakah memang sebelum itu Nabi Syu'aib memeluk agama mereka? Kalau tidak, mengapa disuruh kembali? Tentu tidak! Sebagaimana Nabi kita Muhammad ﷺ dari masa kecilnya pun tidak pernah menyembah berhala orang Quraisy meskipun beliau ketika itu belum menjadi rasul. Akan tetapi, karena beliau salah seorang penduduk Mekah dan bergabung dalam pergaulan mereka, tentu dihitungkan orang dia masih memeluk agama mereka. Demikian jugalah Nabi Syu'aib. Sejak semula telah ditanamkan Allah dalam jiwanya rasa tantangan pada perbuatan kaumnya dan tidaklah beliau berbuat sebagaimana yang mereka perbuat. Akan tetapi, timbulnya pertentangan ialah setelah beliau menyatakan pendirian dan mencela perbuatan mereka lalu dia dituduh telah meninggalkan agama nenek moyang dan dipaksa mesti kembali. Seperti itu pulalah maksudnya seketika Nabi Yusuf memberi keterangn kepada kedua kawannya dalam penjara (surah Yuusuf ayat 37), bahwa beliau telah meninggalkan agama kaum yang tidak beriman kepada Allah. Bukanlah berarti bahwa beliau dahulu menyembah berhala.
Ancaman yang keras itu rupanya tidak menggoyangkan pendirian Syu'aib. Dia menambah teguh tawakalnya kepada Allah. Dalam pada itu kaumnya tidak pula berhenti mengancam dan menggertak pengikut-pengikut beliau.
Ayat 90
“Dan, berkata pemuka-pemuka yang taifun dari kaumnya itu, ‘Jika kamu mengikuti Syu'aib, sesungguhnya kamu itu adalah orang-orang yang rugi.'"
Jika Syu'aib tidak dapat diruntuhkan dengan ancaman, pengikutnyalah sekarang yang diancam. Mereka akan rugi kalau terus mengikuti Syu'aib. Seluruh orang terkemuka menyembah berhala, mereka akan tersisih terus-menerus kalau mereka tidak ikut. Semua orang berlomba-lomba mencari kekayaan dengan berbagai macam jalan, dengan sukatan dan timbangan dua ragam sehingga orang lekas kaya sedang mereka masih secara jujur-jujuran saja, tidak pandai menyesuaikan diri. Lantaran itu teranglah mereka akan terus rugi, jatuh miskin. Coba lihat kami, betapa senangnya hidup kami dengan harta benda banyak berlimpah-limpah.
Ayat 91
“Maka, ditimpatah mereka oleh suatu gempa."
Maka, datanglah suatu bencana alam yang hebat menimpa negeri itu. Di dalam ayat ini disebut bahwa gempa besar datang dan di dalam ayat lain disebut pula bahwa adzab yang menimpa orang Madyan ini ialah pekik (jerit) yang sangat keras. Ketika menafsirkan adzab yang menimpa kaum Shalih di ayat 77 sudah juga kita terangkan bahwasanya kedua-duanya ini sama-sama terjadi.
Apabila misalnya suatu gunung berapi meletus dengan dahsyatnya, gempa besar pun timbul, semua bergoyang dan bunyi letusan itu sangatlah kerasnya sehingga menyeramkan,
“Lalu terbenamlah mereka di tempat tinggal mereka."
Apabila suatu letusan dahsyat sudah terjadi, menderulah pekik dari bunyi letusan itu dan bergoyanglah bumi, timbullah gempa dan hati sendiri dan badan sendiri pun jadi berguncang. Tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari bahaya, terbenam tertimbunlah mereka, habis musnah.
Ayat 92
“Orang-orang yang mendustakan Syu'aib, seakan-akan tidak pernah ada di situ."
Artinya, setelah bencana hebat itu datang, habis punah penduduk negeri itu, tidak ada orang tinggal di sana lagi. Hanya yang tinggal bekas-bekasnya saja lagi. Si penentang-pe-nentang dahulu itu tidak bertemu lagi, bekasnya pun tidak, seakan-akan tidak pernah ada mereka di situ dahulunya. Menjadi peringatan pula kepada kaum Quraisy, tempat ayat-ayat ini diturunkan bahwa bekas negeri Madyan yang telah digulung padang belantara itu, yang kelihatan sekarang sepi tak ada manusia, dahulunya adalah suatu negeri yang ramai. Namun, mereka telah musnah.
“Orang-orang yang telah mendustakan Syu'aib adalah mereka orang-orang yang rugi."
Ujung ayat ini adalah membalikkan kenyataan. Karena sebagai tersebut jelas pada ayat 90 di atas tadi, mereka yang telah dibinasakan oleh adzab Allah itu pernah mengatakan bahwa barangsiapa yang mengikuti Syu'aib akan rugi besar sebab tidak menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekarang ternyata bukanlah yang mengikut Syu'aib yang rugi, melainkan yang mendustakan ajarannyalah yang rugi karena harta benda yang tidak halal yang dikumpulkan dengan segala macam tipu daya itu, membuat kusut sesudah bumi Allah selesai. Tidak sepeser pun dapat menebus diri dari siksaan Allah yang datang menimpa.
Ayat 93
“Lalu berpalingtah dia dari mereka dan berkata, ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya telah aku sampaikan kepada kamu segala risalah dari Tuhanku dan telah aku nasihati kamu. Maka, betapalah aku akan bersedih atas kaum yang kafir."
Sebagaimana ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengenai perjuangan Nabi Shalih di akhir juz lalu demikian jugalah pandangan kita tentang seruan terakhir Nabi Syu'aib ini. Yaitu, mungkin beliau katakan sebelum beliau bersama-sama orang-orang yang beriman berangkat meninggalkan negeri itu karena telah datang Isyarat Allah bahwa adzab akan segera datang lalu beliau bertinggal kata. Dan, boleh jadi juga beliau datang kembali ke sana melihat bekas bencana itu, melihat bangkai telah bergelimpangan, untuk jadi ingatan bagi yang hidup. Dan, peringatan kepada yang telah mati itu sendiri sebab ruh mereka mendengar. Seakan-akan beliau berkata, apalah lagi yang akan disesalkan kepadaku jika begini dahsyatnya bencana yang menimpa kamu; bukankah segala risalah perintah Allah telah aku sampaikan, nasihat telah aku berikan asal ada saja kesempatan.