Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِكُلِّ
dan bagi tiap-tiap
أُمَّةٍ
ummat
أَجَلٞۖ
waktu tertentu
فَإِذَا
maka jika
جَآءَ
telah datang
أَجَلُهُمۡ
waktu mereka
لَا
tidak
يَسۡتَأۡخِرُونَ
mereka dapat mengundurkan diri
سَاعَةٗ
sesaat
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَقۡدِمُونَ
mereka dapat memajukan
وَلِكُلِّ
dan bagi tiap-tiap
أُمَّةٍ
ummat
أَجَلٞۖ
waktu tertentu
فَإِذَا
maka jika
جَآءَ
telah datang
أَجَلُهُمۡ
waktu mereka
لَا
tidak
يَسۡتَأۡخِرُونَ
mereka dapat mengundurkan diri
سَاعَةٗ
sesaat
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَقۡدِمُونَ
mereka dapat memajukan
Terjemahan
Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.
Tafsir
(Tiap-tiap umat mempunyai ajal) yakni masa tertentu (maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya) ajal itu (barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya) memajukan temponya.
Tafsir Surat Al-A'raf: 34-36
Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu yang ditetapkan). Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.
Wahai anak-anak Adam, jika datang kepada kalian rasul-rasul dari kalanganmu sendiri yang menceritakan ayat-ayat-Ku, maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ayat 34
Firman Allah ﷻ: “Dan setiap umat mempunyai ajal.” (Al-A'raf: 34)
Yakni setiap zaman dan generasi, ada batasan waktu yang telah ditetapkan.
“Maka apabila ajalnya tiba.” (Al-A'raf: 34)
Yaitu batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka.
“Mereka tidak dapat meminta penundaan barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.” (Al-Araf. 34)
Kemudian Allah ﷻ memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus rasuI-rasuI-Nya kepada mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
Ayat 35
“Maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan.” (Al-Araf: 35)
Maksudnya, barang siapa yang meninggalkan semua yang diharamkan dan mengerjakan semua ketaatan.
“Tidaklah ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Araf: 35)
Ayat 36
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya.” (Al-A'raf: 36)
Yakni hatinya menolak ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri, tidak mau mengamalkannya.
“Mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Araf: 36)
Yaitu akan menjadi penghuni tetap di dalam neraka selama-lamanya.
Orang-orang zalim yang melakukan perbuatan keji sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat terdahulu tidak langsung mendapatkan azab dan balasan perbuatan mereka, karena Allah telah menentukan waktu dan ajal tiap-tiap umat. Dan setiap umat atau bangsa yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya mempunyai ketentuan ajal-nya, yaitu batas waktu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Apabila ajalnya, yakni masa ketentuan azab Allah kepada umat atau bangsa, tiba, azab Allah pasti akan turun dan mereka tidak dapat meminta penundaan kedatangannya atau percepatan de-ngan memajukannya walau hanya sesaat atau sekejap pun.
Pada ayat yang lalu Allah menerangkan bahwa tiap-tiap umat atau bangsa ada ajalnya, maka pada ayat-ayat berikut ini diterangkan bahwa Allah mengutus para rasul pada umat manusia. Mereka menyampaikan pokok-pokok syariat sebagai petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar. Wahai anak cucu Adam! Jika datang kepadamu dari Allah rasulrasul dari kalanganmu sendiri agar kamu lebih mudah berkomunikasi dan akrab dengan mereka, yang membacakan dan menceritakan ayatayat-Ku kepadamu, dan menerangkan pada kalian bukti-bukti kebenaran risalahnya, maka taatlah kepadanya dan ikutilah ajarannya. Maka barang siapa bertakwa kepada Allah, dengan menaati perintah-Nya dan mengadakan perbaikan, baik dalam arti memperbaiki amalnya, maupun dalam arti memperbaiki diri dan lingkungan, maka tidak ada rasa takut pada diri mereka atas dunia yang harus mereka korbankan, karena tenggelam dalam lezatnya iman yang bersemayam dalam hati mereka. Dan di akhirat, mereka tidak bersedih hati.
Ayat ini menjelaskan kenyataan sejarah, bahwa tiap-tiap umat atau bangsa itu ada ketentuan yang disebut ajalnya, yaitu batas waktu tertentu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Yang menentukan ialah Allah sesuai dengan sunah-Nya dan kehendak-Nya. Ketentuan ajal maksudnya ialah ketentuan waktu turunnya azab bagi umat atau bangsa yang telah durhaka, tidak mau menerima kebenaran, berlaku sewenang-wenang sekehendak nafsunya, dan tidak segan-segan mengerjakan yang keji dan mungkar.
Maka ketentuan turunnya azab itu ada dua macam, yaitu yang pertama: umat itu hancur musnah sampai hilang dari permukaan bumi. Seperti malapetaka yang telah diturunkan Allah kepada kaum Nuh, 'Ad, tsamud, Fir'aun, Luth dan yang lainnya. Umat itu telah hilang dari permukaan bumi sebab kedurhakaan dan keingkaran mereka tidak menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing rasul. Sudah diberi peringatan berkali-kali, namun mereka tidak percaya, bahkan semakin membangkang dan sombong. Maka tibalah ajal mereka dengan kehancuran dan kebinasaan sampai musnah.
Firman Allah:
Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. (Hud/11: 102)
Azab yang merupakan kehancuran seperti ini, hanya khusus berlaku bagi umat-umat terdahulu yang tidak akan terjadi lagi pada umat Nabi Muhammad, sebab kedatangan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semua penghuni alam ini. Allah berfirman:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya'/21: 107)
Ketentuan kedua: umat itu menjadi hina, miskin, bodoh, dijajah, dan lain-lain. Allah menurunkan azab bukan untuk menghancurkannya, tapi umat itu hilang kebesarannya dan kemuliaannya, jatuh menjadi umat yang hina-dina, tidak ada harga dan kemuliaan lagi.
Kenyataan sejarah sudah banyak menunjukkan bahwa umat yang pada mulanya jaya dan terhormat, tapi akhirnya menjadi hina dan melarat, sebab mereka berfoya-foya menghamburkan harta kekayaan untuk maksiat. Berlaku sewenang-wenang berbuat aniaya sesama manusia, menghabiskan harta umat dengan cara yang tidak benar, baik dengan korupsi, menipu dan lain-lain. Penyakit syirik merebak dengan suburnya, di samping menyembah Allah, mereka juga menyembah makhluk-Nya. Maka datanglah ajal umat atau bangsa itu, mereka menjadi umat yang lemah dan hina di mata manusia. Kedatangan azab tidak dapat ditangguhkan walaupun sesaat dan tidak pula dapat dimajukan. Tidak seorang pun yang tahu saat datangnya azab itu, apakah di waktu malam, atau di waktu siang, kadang-kadang datangnya dengan tiba-tiba, di saat umat itu sedang lengah, sedang lupa daratan, sedang bersenang-senang, turunlah azab Allah dengan sekonyong-konyong. Seandainya diketahui kapan ajal itu akan datang, tentu mereka minta ditangguhkan, dan mereka segera memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, dan meninggalkan perbuatan keji dan dosa dan lain-lain.
Datangnya ajal secara tiba-tiba itu, memberikan pengertian bahwa Allah Mahakuasa dan tidak bisa dihalangi dan ditandingi oleh kekuasaan manusia. Akhirnya umat itu menyesal, namun penyesalan itu tidak berguna.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 31
“Wahai anak-anak Adam, pakailah perhiasan kamu pada tiap-tiap masjid."
Dengan menyampaikan seruan kepada seluruh anak Adam, dapatlah kita pahamkan bahwa agama Islam ini bukanlah khusus untuk suatu bangsa saja, melainkan benarlah bahwa Muhammad ﷺ itu rahmat bagi seluruh alam. Laki-laki dan perempuan. Di sini diperintahkanlah kepada mereka, tegasnya kepada kita semuanya bahwa kalau kita masuk ke suatu masjid, artinya kalau kita hendak bersujud shalat karena arti asal dari masjid ialah tempat sujud, hendaklah kita memakai perhiasan. Artinya hendaklah memakai pakaian yang pantas dan yang terasa oleh hati kita sendiri bahwa begitulah yang pantas.
Selain dari itu, dapat pula kita pahamkan, kalau anak Adam hendak masuk ke dalam suatu masjid, hendaklah mereka mengambil perhiasan terlebih dahulu. Janganlah masuk-masuk saja ke dalam masjid dengan sembrono, tidak teratur.
Kita telah maklum menurut susunan ayat bahwa sebab turun ayat ini ialah karena orang jahiliyyah masuk ke Masjidil Haram dan thawaf dengan bertelanjang. Dalam ayat ini sudah dijelaskan bahwa bukan saja masuk ke dalam Masjidil Haram, bahkan masuk ke dalam segala masjid hendaklah berhias baik-baik, hendaklah pelihara suasana masjid itu karena dia tempat menyembah Allah dan tempat berkumpul berjamaah. Dan, kalau kita perdalam lagi pengertian masjid, yaitu tempat bersujud shalat kepada Allah, walaupun dalam rumah sendiri, sebaiknya sediakan tempat khusus untuk shalat sehingga tempat yang dikhususkan itu terpelihara kebersihan dan kehormatannya. Dan, ketika akan shalat, hendaklah berpakaian yang teratur sehingga tampak bahwa ketika akan menghadap Allah, kita benar-benar menghiasi diri kita. Bukankah wudhu itu pun termasuk menghiasi diri?
Berkata al-Kiya al-Harrasi, “Kenyataan ayat ini menunjukkan bahwa kita disuruh berhias bila masuk ke setiap masjid karena keutamaan yang berhubungan dengan masjid-masjid itu, bagi menghormati masjid dan perbuatan yang terjadi di dalamnya, seumpama i'tikaf, shalat, dan thawaf."
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Dalam ayat ini dan dalam arti yang terkandung di dalamnya, nyatalah bahwa menurut sunnah, sebaiknyalah kita berhias-hias ketika shalat, terutama pada hari Jum'at dan hari-hari raya. Hendaklah berharum-harum. Sebab, berharum-haruman termasuk perhiasan juga. Hendaklah gigi dibersihkan dengan menyikat gigi (siwak) karena menggosok gigi adalah penyempurnaan perhiasaan dan yang seutama-utama pakaian ialah yang putih."
Menurut satu riwayat yang disampaikan ath-Thabrani, diterimanya dengan isnad yang shahih dari Qatadah dari Muhammad bin Sirin bahwa sahabat Rasulullah ﷺ. Tamim ad-Dari pernah membeli sehelai rida (selendang pakaian laki-laki) seharga seribu, yang dipakainya khusus untuk shalat.
Sebagaimana kita ketahui dari tafsir-tafsir ayat-ayat di atas tadi yang mula-mula dicela ialah orang jahiliyyah yang thawaf bertelanjang, sampai perempuan pun sekadar kemaluan mereka saja yang mereka tutup dengan jengat kambing sepotong. Maka di dalam ayat ini datanglah perintah yang umum bahwa bukan saja masuk Masjidil Haram atau thawaf keliling Ka'bah, malahan tiap-tiap masjid, malahan apabila kita akan mulai shalat, yang sujud termasuk di antara rukunnya, walaupun shalat sendiri, hendaklah kita berhias, memakai pakaian yang pantas.
Ilmu fiqih telah memberi keterangan tentang batas-batas aurat. Ada hadits yang me-ngatakan bahwa yang aurat atau yang wajib ditutup ketika mengerjakan shalat ialah yang di antara pusat dan lutut. Itulah yang aurat! Ada pula hadits mengatakan bahwa yang aurat ialah sau aatani, artinya dua kemaluan; qubul dan dubur (pelepasan muka dan belakang), yang disebut juga sabdaini, artinya dua jalan. Kalau kita hanya berpegang kepada kedua hadits itu saja, dan telah diberi ketentuannya oleh ilmu fiqih, niscaya sah jugalah shalat kita kalau kita terpaksa karena tidak ada kain karena miskin hanya sekadar memakai celana kolor yang menutup di antara pusat dan lutut atau sekadar kedua kemaluan itu saja. Namun, di dalam ayat ini kita sudah disuruh berhias kalau sudah hendak shalat. Lantaran itu berusahalah kita agar kalau kita shalat, janganlah sampai hanya menutup kedua kemaluan saja, atau janganlah hanya menutup di antara pusat dan lutut saja. Untuk shalat sendiri-sendiri, tetapi kalau sudah pergi berjamaah tiap waktu, apalagi kalau sudah pergi ke Jum'at, kalau pakaian kita hanya sekadar celana kolor apalagi kalau hanya buat penutup dua kelamin, kita tidak wajib berjamaah dan ber-Jum'at lagi. Asal pergi berjamaah dan berjum'at, pakailah pakaian yang pantas, yang berhias, yaitu perhiasan sekadar kemampuan kita.
Kesimpulannya, sah shalat hanya dengan bertutup aurat. Kalau di atas ketiadaan atau terpaksa. Dan, berusahalah menghiasi diri.
Aturan berhias shalat itu telah ditentukan oleh hadits. Satu hadits ialah yang dirawikan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi dari Abdullah bin Umar, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Apabila shalat seseorang kamu (aninya hendak shalat) pakailah dua kain. Karena Allah Yang Mulia dan Mahatinggi lebih pantas buat kita berhias di hadapan-Nya. Kalau tidak ada pa-danya dua helai kain, pakailah izar (bersarung) bila shalat. Dan, jangan berkerudung shalat, sebagai shalat Yahudi. Dan, jangan berselimut-selimui tidak berketentuan." (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)
Dan, sebuah hadits lagi dirawikan oleh Bukhari, Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“Sekali-kali janganlah kamu shalat dengan hanya sehelai kain, tidak ada di bahunya sesuatu apa pun." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Imam Ahmad)
Ditambah dengan hadits-hadits yang lain dapatlah dipahamkan bahwasanya Rasulullah ﷺ memandang tidak baik shalat hanya dengan sehelai kain saja. Terutama di dalam masjid-masjid. Misalnya, sebagai kebiasaan kita bangsa Indonesia shalat memakai kain sarung, padahal tidak berbaju. Apalagi kalau hanya shalat dengan hanya sehelai celana, padahal tubuh tidak tertutup. Semuanya dilarang dengan hadits-hadits yang shahih. Malahan ada pula hadits yang untuk kebiasaan kita di sini agak ganjil, padahal termasuk perhiasan shalat, yaitu sebuah hadits yang dirawikan Ibnu Adi, Abusy-Syaikh, dan Ibnu Mar-dawaihi dari Abu Hurairah, berkata Rasulullah
“Pakailah perhiasan shalat!" Maka bertanyalah mereka, ‘!Apakah perhiasan shalatV' Beliau bersabda, “Pakailah Na'al kamu dan shalat dengan dia." (HRIbnu Adi, Abusy-Syaikh, dan Ibnu Mardawaihi)
Na'al artinya ialah segala alas kaki, terompah, kasut, dan sepatu. Meskipun di negeri kita ini shalat di dalam masjid tidak terbiasa memakai kasut, sepatu, dan terompah, hadits ini menambah pengetahuan kita bahwa misalnya ketika shalat hari raya di tanah lapang, orang tidak perlu membuka sepatunya, malahan Rasulullah ﷺ menyuruh memakainya terus untuk perhiasan shalat menghadap Allah.
Dari segala keterangan ini telah tampaklah oleh kita apa maksud berhias shalat itu. Yaitu, berhias menurut kemampuan kita. Kalau ada kain satu, apa boleh buat, kita berhias dengan yang satu. Kalau kita mempunyai kain dua-tiga, ada sarung, ada baju, ada kemeja, walaupun hanya shalat sendiri dalam kamar, janganlah hanya dengan sehelai kain sarung dan kemeja. Alangkah baiknya di atas kemeja itu berbaju pula. Namun, kalau kita miskin, apa boleh buat, dengan sehelai celana saja pun jadi.
Setengah ulama fiqih berpendapat bahwa kalau orang tidak mempunyai pakaian yang layak untuk dipakai pergi berjamaah dan ber-Jum'at tidaklah wajib berjum'at lagi. Malahan setengah ulama fiqih berfatwa bahwa seorang alim yang tidak mempunyai lagi agak sehelai serban untuk menghiasi kepalanya, bolehlah dia meninggalkan Jum'at.
Besar sekali kesannya berhias shalat atau berhias masuk masjid ini kepada cara hidup Muslim. Apalagi pada hari jum'at, dianjurkan untuk berwangi-wangi, berharum-haruman, berhias-hias, sampai sangat dianjurkan mandi sebelum berjum'at. Kalau ada orang yang pemalas mandi, tetapi yang sekali seminggu, yaitu pagi Jum'at, hendaklah dia mandi. Imam Ghazali menganjurkan suami-istri bersetubuh malam Jum'at, supaya terkumpul wajib mandi junub dengan amanah mandi jum'at.
Dan makruh (dibenci) memakan makanan busuk yang akan mengganggu penciuman orang dalam shaf. Di dalam hadits di-makruhkan memakan bawang yang berbau ketika akan berjum'at Apalagi petai dan jering (jengkol) di negeri kita.
Oleh sebab itu, dalam kehidupan modern kita ini, apabila kantor telah ditutup, pulanglah dahulu untuk mandi dan memakai pakaian yang bersih, baru ke Jum'at. Kurang baik kalau dari kantor dengan pakaian berpeluh-peluh (keringat), langsung saja ke Jum'at.
Ayat inilah yang memengaruhi sehingga bila agama Islam masuk ke daerah Majusi atau Wasani (penyembah api dan penyembah berhala), Islamlah yang mengajarkan pakaian bersih kepada penduduknya. Saroyini Naydu, penyair perempuan bangsa India yang terkenal mengakui bahwa kedatangan Islam ke Indialah yang mengajarkan kami untuk berpakaian bagus. Dan, dalam perlombaan agama Islam dengan agama Kristen merebut pengaruh di Afrika, Islamlah yang lebih banyak berjasa,
mempercepat civiliasi penduduk yang tadiriya belum beragama, yang tadiriya bertelanjang bugil. Islam yang mengajar mereka berpakaian sehingga kononnya, ketika pihak zendirig dan misi Kristen mengeluh melihat kemajuan Islam di negeri itu, mereka telah dibantah oleh pihak Kapitalis mereka sendiri, yang mengatakan bahwa di daerah-daerah yang pengaruh Islam lebih dalam, pemakaian kain lebih maju dan lebih memberi keuntungan kepada pabrik-pabrik di Eropa.
Namun, janganlah salah paham, terutama orang perempuan karena di ayat ini telah dibicarakan dari hal perhiasan. Sedangkan kepada orang laki-laki telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan perhiasan, yaitu pakaian yang lengkap dan pantas ketika shalat, tetapi dengan perempuan, lain soalnya."Perempuan tidak wajib shalat Jum'at." Shalat berjamaah ke masjid pun mereka tidak wajib. Meskipun begitu, kalau mereka ke Jum'at atau berjamaah, tidak boleh dihalangi. Kepada mereka diterangkan bahwa shalat di rumah bagi mereka lebih afdhal, daripada shalat ke masjid. Apa sebab berbeda hukum dan tuntunan kepada laki-laki dengan kepada perempuan dan hal ini? Sebab bagi perempuan perhiasan itu lain artinya. Kalau orang perempuan dianjurkan shalat Jum'at dan jamaah ke masjid, berhias sebagai laki-laki pula, niscaya masjid akan menjadi medan atau pasar buat apa yang diriamai orang zaman sekarang “jual tampang", atau tentu akan keluar segala perhiasaan mereka, gelangnya, subangnya, minyak wanginya sehingga suasana ibadah jadi berlain sama sekali. Oleh sebab itu, agama merekankan benar-benar, kalau perempuan hendak pergi juga ke Jum'at dan ke jamaah, janganlah mereka berhias. Yaitu berhias menurut arti yang umum bagi kaum perempuan. Pakailah pakaian seseder-hana-sederhananya, serupa ketika menjenguk orang kematian (ta'ziah) dan hendaklah tutup auratnya di waktu shalat dengan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan dan hendaklah dia shalat pada shaf yang di belakang, tidak boleh sama shaf dengan laki-laki. Semuanya itu adalah peraturan dari Nabi ﷺ yang dapat dilihat di dalam hadits-hadits dan kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian, menjadi benar-benarlah tujuan orang pergi ke Jum'at atau berjamaah karena hendak menyembah Allah, tidak sedikit pun dicampuri dengan maksud lain, artinya tidak sampai syirik dengan niat hendak melihat wajah perempuan cantik dan berhias.
Kemudian, datanglah sambungan ayat, “,Dan makanlah kamu dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan."
Selain berpakaian yang pantas, makan pulalah makanan yang sederhana dan minuman yang sederhana. Di sini, tampak bahwa keduanya memengaruhi pada sikap hidup Muslim, yaitu menjaga kesehatan ruhani dengan ibadah dan memakan dan meminum makanan dan minuman yang pantas, tidak berlebih-lebihan bagi kesehatan jasmani. Tergabunglah kebersihan pakaian dan kebersihan makanan dan minuman, jangan berlebih-lebihan sehingga memperturutkan selera saja. Sebab makan minum yang berlebih-lebihan bisa pula mendatangkan penyakit. Berlebih-lebihan, dapat pula merusak kepada rumah tangga dan perekonomian diri sendiri. Di ujung ayat ditegaskan,
“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan."
Allah tidak suka dengan orang yang ber-belanjakeluarlebihbesardaripadapenghasilan yang masuk. Keborosan membawa celaka bagi diri dan celaka bagi rumah tangga. Hal ini dijelaskan lagi oleh hadits yang dirawikan oleh Abd bin Humaid, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi dalam Syu'babul Iman, diterima dari jalan Amr bin Syu'aib, dia menerima dari ayahnya, ayahnya menerima dari neneknya,
“Makanlah kamu dan minumlah dan bersedekahlah dari berpakaianlah, tetapi tidak dengan sombong dan berlebih-lebihan. Karena Allah amat suka melihat bekas nikmat-Nya pada hamba-Nya." (HR an-Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Mardawaihi, al-Baihaqi, dan Abd bin Humaid)
Ibnu Abbas menjelaskan, “Makanlah apa yang engkau suka, minumlah apa yang engkau suka, tetapi janganlah memakai yang dua, yaitu sombong dan boros."
Ikrimah menjelaskan lagi, “Jangan berlebih-lebihan ialah pada memakai pakaian dan makanan dan minuman."
Ibnu Munabbih berkata, “Boros ialah jika orang berpakaian atau makan atau minum barang-barang yang di luar dari kesanggupannya."
Berlebih-lebihan atau boros ialah melampaui batas yang patut. Makanlah sampai kenyang; kalau sudah mulai kenyang berhentilah, jangan diteruskan juga karena selera masih terbuka. Minumlah sampai lepas haus; kalau haus sudah lepas, jangan diteruskan juga minum, nanti badan menjadi lelah, sebagaimana tentara Thalut yang dilarang minum sebelum menyeberang menuju Palestina kecuali seteguk air. Yang meminum lebih dari seteguk air lemahlah badannya hingga tidak kuat berjuang lagi.8
Ukuran dalam hal ini adalah kesadaran iman kita sendiri. Orang kaya raya yang mempunyai berpuluh pesalinan pakaian, tentu tidak pantas pergi ke masjid dengan pakaian lusuh. Orang miskin yang pakaiannya hanya dua salin saja, tentu kepayahan kalau dia hendak menyediakan lagi pakaian lain yang segagah pakaian orang kaya. Makanan dalam rumah pun mempunyai tingkat-tingkat pula. Iman menjadi alat penimbangan yang halus dalam urusan kesederhanaan dan keborosan ini.
Dan ini pun memerlukan mempelajari pengendalian rumah tangga dan kerjasama yang erat di antara suami dan istri dan anak-anak sehingga rumah tangga itu menjadi rumah tangga yang disinari oleh ajaran Islam.
Ayat 32
“Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dia keluarkan untuk hamba-hambaNya? Dan yang baik-baik dari karunia-Nya?"
Pertanyaan ini adalah pertanyaan sanggahan, bertanya sambil menyalahkan. Dari siapa pula kamu mendapat pelajaran yang menyuruh kamu meninggalkan berhias?
Apa sebab timbul kata sanggahan ini dalam ayat? Karena memang, sebagaimana didapat orang yang sangat berlebih-lebihan, yang amat tidak disukai Allah, ada pula orang yang meninggalkan perhiasan sama sekali, sebagai orang yang thawaf dengan bertelanjang itu. Orang yang menyangka bahwa kalau kita hendak beragama yang khusyu, hendaklah kita tinggalkan segala perhiasan. Kita lihat bekas pendirian yang demikian pada pemeluk agama Hindu atau orang Yogi, yang kadang-kadang hanya memakai sekadar cawat penutup kedua aurat dan bagian badan yang lain terbuka saja. Kononnya dalam kalangan Kristen zaman dahulu ada pendeta-pendeta yang benci mandi, benci mengerat kuku, dan mencukur jenggot. Dan, terdapat pula dalam kalangan kaum sufi dalam Islam sendiri, yang sampai puasa terus-terusan, memakai pakai-an sekadar penutup aurat saja. Pakaian yang dikenal sebagai pakaian shuf, yaitu terdiri dari bulu. Hal serupa ini timbul sendirinya dalam segala agama karena ada paham orang bahwasanya jiwa ini hendaklah dibebaskan dari pengaruh benda. Apatah lagi di dalam
agama Hindu dan Budha dikatakan bahwa hidup ini adalah sengsara belaka. Untuk men-capai derajat nirwana, hendaklah orang menyiksa jasmani. Maka, tanya sanggah yang terlukis dalam ayat ini adalah menjelaskan bahwa jalan yang benar adalah al-Wasath atau jalan tengah; jangan boros dan jangan menolak berhias. Atau al-iqtishad, artinya sederhana di antara berlebih-lebihan dan sangat mengurangi sehingga menganiaya diri. Di ayat ini Allah telah menjelaskan bahwa Allah telah mengaruniakan perhiasan bagi hamba-hamba-Nya, Perhiasan itu bukan untuk orang lain, melainkan buat hamba sendiri. Mengapa perhiasan itu tidak diambil? Dan, Allah telah memberikan karunia yang baik-baik. Mengapa karunia itu tidak disambut dengan baik pula?
Berkata ar-Razi, “Perkataan ziinah (perhiasan), mencakup sekalian perhiasan di antaranya ialah membersihkan badan, di antaranya pula ialah tunggangan yang baik, dan di antaranya pula perhiasan kaum perempuan. Dan, termasuk pula dalam lingkungan thayyibaat (yang baik-baik dari rezeki) tiap-tiap yang enak rasanya dan menimbulkan selera dari makan-makanan dan minum-minuman. Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ telah menolak paham Utsman bin Mazh'un yang pernah bermaksud hendak memotong kemaluannya dan hidup sebagai seorang pendeta."
Maka datanglah sambungan ayat, “Katakanlah, ‘Dia adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam hidup di dunia dan khusus (untuk mereka) di hari Kiamat."‘ Artinya bah-wasanya orang-orang yang beriman pun mendapat bagian daripada perhiasan dan karunia yang baik-baik itu dan di akhirat kelak hanya mereka saja yang diberi karunia khusus memakai perhiasan itu dan orang yang kafir tidak akan mendapat.
Alangkah pentingnya ayat ini untuk Muslim di dalam perjuangan hidup. Dunia ini penuh perhiasan dan penuh karunia yang baik-baik. Orang yang beriman hendaklah turut mencari dan mengusahakannya. Turut mengambil mutiara dari laut, menambang emas dari dalam batu, mendulang berlian dari dalam tanah. Mendirikan pabrik-pabrik buat menghasilkan pakaian-pakaian yang bagus. Semua perhiasan dan karunia Allah itu tersebar di seluruh permukaan bumi. Dan, adanya perhiasan atau karunia yang baik itulah yang menyebabkan kehidupan manusia ini menjadi maju, kebudayaan bertambah tinggi, ilmu pengetahuan alam bertambah meluas. Kalau sekiranya perhiasan dan karunia yang baik-baik itu diharamkan lalu manusia hidup di bawah dari sederhana, bagaimanakah akan jadiriya kehidupan itu? Padahal manusia dikirim Allah ke muka dunia ini adalah untuk menjadi khalifah bumi.
Apabila semangat iman dan Islam sudah patah karena kemunduran berpikir karena dijajah bangsa asing, karena kemiskinan, kelaparan dan penyakit, timbullah jiwa yang patah lalu berkata bahwa dunia ini hanyalah untuk orang yang kafir saja. Buat kita orang Islam sudah ditakdirkan ialah kemiskinan. Ayat yang kita tengah tafsirkan ini telah memperbaiki keputusasaan berpikir itu. Ayat ini telah menyuruh ubah cara berpikir demikian. Dia berkata bahwa segala perhiasan dunia dan karunia Allah yang baik-baik itu ialah untuk orang yang beriman dalam dunia ini, dan mereka pula yang akan mendapatkan dengan khusus di akhirat. Di dalam dunia ini mungkin segala orang, baik kafir atau Mukmin sama-sama mendapat, tetapi di akhirat hanya orang yang beriman saja yang akan mencapainya. Oleh sebab itu, janganlah sampai si Mukmin tidak mendapat di dunia dan di akhirat pun tidak pula. Ujung ayat selanjutnya,
“Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mau mengetahui."
Demikianlah tuntunan yang diberikan Allah atau perintah yang diturunkan untuk mengatur hidup orang yang beriman kepada Allah, bukan mengharamkan barang yang halal, bukan pula mengabaikan rezeki yang baik-baik yang diberikan Allah. Berhiaslah dengan dasar iman, terima apa yang dianugerahkan Allah.
Di dalam ayat ini diterangkan ziinat Allah, perhiasan Allah.
Tentu orang yang beriman telah maklum manakah perhiasan Allah, perhiasan yang disukai Allah, yang sesuai dengan iman, bukan ziinatusy-syaithan, perhiasan yang diasung-asungkan oleh setan.
Pada zaman modern sekarang ini timbullah perhiasan-perhiasan yang gila-gila, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Perhiasan-perhiasan yang menimbulkan nafsu kelamin sehingga orang berpakaian, baik laki-laki apalagi perempuan, sudah sangat jauh dari sikap hidup orang yang beriman. Dunia dibuat menjadi gila oleh tukang atau ahli-ahli model pakaian. Pada masa tafsir ini disusun timbullah pakaian yang membuka paha perempuan sehingga hanya sedikit au-ratnya saja yang memang jijik kalau itu yang kelihatan, itu saja yang tinggal tertutup. Laki-laki perempuan bergaul bebas, mandi-mandi di tempat pemandian umum dengan pakaian menyolok mata.
Ketika penulis tafsir ini melawat ke Kota London (Desember, 1968) pada waktu itu hampirlah hari besar Natal. Maka, keluarlah model-model pakaian yang hebat-hebat, perhiasan yang disejalankan dengan membuka aurat perempuan. Semua model pakaian yang membuat seluruh dunia jadi gila itu adalah orang-orang Yahudi.
Orang Yahudi atau yang dikenal sekarang dengan sebutan Zionis telah memakai berbagai alat untuk merusak jalan pikiran dunia dengan film, radio, televisi, model pakaian dan uang. Maka, perhiasan demikian bukanlah ziinatullah, melainkan perhiasan yang akan membawa dunia pada kehancuran akhlak.
Di dalam ayat ini dijelaskan juga tentang rezeki atau karunia Allah yang baik-baik, ath-thayyibaati minar rizqi. Bolehlah orang mendirikan rumah yangbesar dan bagus,yanglayak dengan kedudukannya. Bolehlah orang yang mempunyai kendaraan, mobil yang indah dan bagus menurut model yang terbaru. Namun, hendaklah pokok pangkal yang menghasilkan barang itu dari harta yang halal. Janganlah sumber asalnya dari penipuan, korupsi dan sebagainya. Dan, janganlah segala rezeki itu didapat dengan meninggalkan perintah Allah, lalai dari jalan Allah sehingga budi menjadi kasar karena kekurangan beribadah.
PERHIASAN BATIN
Ayat 33
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhanku hanyalah kejahatan-kejahatan mana yang zahir daripadanya dan mana yang batin dan dosa dan keaniayaan dengan tidak benar dan bahwa kamu persekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangannya, dan bahwa kamu katakan atas (nama) Allah, sesuatu yang tidak kamu ketahui.'"
Di dalam ayat ini Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan bahwa bukanlah berper-hiasan atau makan minum yang sederhana yang haram. Itu adalah semata kulit lahir. Yang haram ialah melalaikan perhiasan batin atau perhiasan ruh. Apabila ruh telah terjaga baik, jangan berbuat dosa yang melanggar batas kesucian ruh itu maka janganlah cemas jika badan yang lahir ini diberi perhiasan. Yang pertama sekali ialah agar kamu jauhi berbuat yang jahat-jahat, yang di dalam ayat ini disebut fawaahisy, yang dapat diartikan juga dengan perbuatan-perbuatan yang keji dan nista, terutama sekali yang berhubungan dengan faraj.
Di dalam zaman modern disebut soal seks, nafsu kelamin. Diterangkan di sini kejahatan yang zahir dan kejahatan yang batin, yaitu yang berterang-terang dan yang sembunyi-sembunyi. Sebagai keadaan yang kita hadapi di zaman sekarang, yaitu perempuan memakai pakaian-pakaian yang menarik perhatian dan nafsu kelamin, berpakaian tetapi bertelanjang, termasuklah kepada yang zahir. Menonton pertunjukan kesenian yang mempertunjukkan badan tubuh perempuan yang sangat merangsang nafsu syahwat, itu pun termasuk dosa keji yang zahir. Atau hubungan yang dirahasiakan dengan berbagai macam teknik. Seumpama penyakit “Homoseksual", laki-laki sama laki-laki atau yang dikatakan “lesbian", perempuan sama perempuan dan lain-lain sebagainya.
Sebagaimana dahulu pada ayat 151 dari surah al-An'aam telah bertemu pula perihal kejahatan atau kekejian yang zahir dan yang batin itu maka dalam ayat ini dia bertemu kembali. Kekejian seperti inilah yang diterangkan terlebih dahulu sebab semuanya ada hubungannya dengan perhiasan. Allah tidak mengharamkan zinatullah atau perhiasan Allah. Namun, dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang berhias karena ingin dilihat, terutama dilihat oleh jenis yang berlainan. Laki-laki berlagak supaya tiap perempuan tertarik kepadanya. Apalagi perem-puan. Perempuan melagak agar tiap laki-laki tergiur melihatnya. Oleh sebab itu, di dalam ayat ini Allah menyuruh Rasul-Nya, memberi ingat, bukan berhias pakaian yang haram. Yang haram ialah jika dalam berhias itu ada terkandung maksud kelamin. Karena apabila telah dibukakan satu pintu, akan berturut-turutlah kejahatan yang lain yang akan mengikutinya.
Kemudian itu diterangkan pula tentang al-itsmu. Yang telah kita artikan dosa.
Kemudian disebut lagi al-baghyu bi ghal-ri1-baq, yang kita artikan aniaya-aniaya dengan tidak benar.
As-Suddi menafsirkan: al-itsmu (dosa) ialah berbuat sesuatu maksiat, dan al-baghyu (aniaya) ialah menyakiti orang lain dengan tidak menurut kebenaran.
Mujahid mentafsirkan, “Al-ltsmu ialah sekalian perbuatan maksiat. Dan orang yang bagha ialah yang berbuat di luar kebenaran walaupun kepada dirinya sendiri."
Berkata Ibnu Katsir, “Kesimpulan tafsir ialah bahwa al-itsmu ialah sekalian kesalahan yang mengenai diri yang berbuatnya dan al-baghyu ialah suatu kesalahan yang telah mengenai orang lain!"
Berdasar kesimpulan yang telah diberikan oleh Ibnu Katsir ini dapatlah kita memberi penjelasan perbedaan di antara al-itsmu (dosa) dengan al-baghyu (aniaya). Misalnya, kita berhati benci kepada orang lain. Itu namanya al-itsmu. Kemudian, kita pukul dia, kita tinju. Itu namanya al-baghyu, artinya menyakiti orang lain tidak dengan jalan yang benar. Bertindak menjadi hakim sendiri.
Saya teringat bahwa di dalam bahasa daerah Minangkabau terdapat kata “bagak" dan “membagak". Besar kemungkinan bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab. Seorang yang dengan sewenang-wenang menganiaya orang lain, disebut membagak.
Dan mempersekutukan sesuatu dengan Allah, memperserikatkan yang lain dengan Dia. Memandang ada lagi yang lain yang berkuasa bersamaan dengan Allah. Dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sudah lebih besar dari keempat dosa sebelumnya. Kemudian, datang lagi dosa keenam yang lebih hebat lagi, yaitu kamu katakan di atas nama Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui. Membuat-buat aturan yang seakan-akan bersifat keagamaan, dikatakan berasal dari Allah, padahal tidak ada Allah memerintahkan yang demikian. Tidak ada pengetahuan tentang hakikat agama, hukum perintah dan larangan Allah, semuanya gelap baginya. Namun, dia memandal-mandai dan menambah-nambah peraturan agama.
Di negeri kita, Indonesia, ini banyaklah timbul gerakan-gerakan “kebatinan" atau gerakan “klenik" dibuat-buat dan dikarang-ka-rangkan saja oleh orang-orang yang mengakui dirinya guru, padahal sama sekali hanya karangannya sendiri, lalu diikuti dengan membuta tuli oleh murid-muridnya yang bodoh.
Ini pun suatu dosa yang sangat besar.
Di sini terdapatlah enam macam larangan kekejian: (1) lahir, (2) batin, (3) dosa dalam hati, (4) dosa aniaya terhadap orang lain, (5) mempersekutukan yang lain dengan Allah, (6) memandal-mandai membuat sendiri peraturan-peraturan agama yang dikatakan datang dari Allah, padahal hanya datang dari khayatnya sendiri saja.
Dan jika dipertimbangkan lagi tingkat-tingkat dari keenam dosa ini, yang hampir sama besarnya, nyatalah bahwa dosa keenam adalah puncak dari kejahatan.
Berkata penafsir al-Jusyammi, “Ayat ini menunjukkan tentang haramnya sekalian dosa; firman Allah tentang berbagai kekejian dan dosa meliputi akan sekalian dosa kecil dan perbuatan-perbuatan yang nista dan berbuat berbagai janji yang menyalahi syara dan kata-kata yang merusak dan kepercayaan yang batil.
Ke dalam firman Allah yang zahir dan yang batin termasuk segala perbuatan anggota dan perbuatan hati, khianat, makar, dan menipu. Dalam kata-kata al-baghyu tersebut segala macam penganiayaan kepada orang lain. Maka, termasuklah di dalamnya segala langkah orang yang melawan negara dan kaum Khawarij, yang keluar dari jamaah; bahkan termasuk juga di dalamnya segala perbuatan penguasa negara membela yang bersalah.
Dan termasuk pula di dalam firman Allah “dan bahwa kamu persekutukan yang lain dengan Allah" mengharamkan tiap-tiap syirik dan beribadah memperhambakan diri kepada yang selain Allah.
Dan termasuk di dalam firman Allah, “Dan, bahwa kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui" sebagai (aniaya) ialah menyakiti orang lain dengan tidak menurut kebenaran.
Mujahid mentafsirkan, “Al-Itsmu ialah sekalian perbuatan maksiat. Dan orang yang bagha ialah yang berbuat di luar kebenaran walaupun kepada dirinya sendiri."
Berkata Ibnu Katsir, “Kesimpulan tafsir ialah bahwa al-itsmu ialah sekalian kesalahan yang mengenai diri yang berbuatnya dan al-baghyu ialah suatu kesalahan yang telah mengenai orang lain!"
Berdasar kesimpulan yang telah diberikan oleh Ibnu Katsir ini dapatlah kita memberi penjelasan perbedaan di antara al-itsmu (dosa) dengan al-baghyu (aniaya). Misalnya, kita berhati benci kepada orang lain. Itu namanya al-itsmu. Kemudian, kita pukul dia, kita tinju. Itu namanya al-baghyu, artinya menyakiti orang lain tidak dengan jalan yang benar. Bertindak menjadi hakim sendiri.
Saya teringat bahwa di dalam bahasa daerah Minangkabau terdapat kata “bagak" dan “membagak". Besar kemungkinan bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab. Seorang yang dengan sewenang-wenang menganiaya orang lain, disebut membagak.
Dan mempersekutukan sesuatu dengan Allah, memperserikatkan yang lain dengan Dia. Memandang ada lagi yang lain yang berkuasa bersamaan dengan Allah. Dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sudah lebih besar dari keempat dosa sebelumnya. Kemudian, datang lagi dosa keenam yang lebih hebat lagi, yaitu kamu katakan di atas nama Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui. Membuat-buat aturan yang seakan-akan bersifat keagamaan, dikatakan berasal dari Allah, padahal tidak ada Allah memerintahkan yang demikian. Tidak ada pengetahuan tentang hakikat agama, hukum perintah dan larangan Allah, semuanya gelap baginya. Namun, dia memandal-mandai dan menambah-nambah peraturan agama.
Di negeri kita, Indonesia, ini banyaklah
timbul gerakan-gerakan “kebatinan" atau gerakan “klenik" dibuat-buat dan dikarang-ka-rangkan saja oleh orang-orang yang mengakui dirinya guru, padahal sama sekali hanya ka-rangannya sendiri, lalu diikuti dengan membuta tuli oleh murid-muridnya yang bodoh.
(34) Dan bagi tiap-tiap umat ada ajalnya. Maka apabila datang ajal mereka, tidaklah dapat mereka minta dimundurkan satu saat pun dan tidak dapat mereka minta dimajukan.
(35) Wahai, anak-anak Adam! Jika datang kepada kamu rasul-rasul dari antara kamu sendiri yang menceritakan kepada kamu ayat-ayat Kami maka barangsiapa yang bertakwa dan berbuat perbaikan, tidaklah akan ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.
(36) Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan membesarkan diri terhadapnya, mereka itu adalah ahli-ahli neraka. Mereka di dalamnya akan kekal.
BANGUN DAN BENTUK SUATU BANGSA
Pada ayat 31 sampai ayat 32 telah diterangkan betapa luasnya nikmat Allah di dalam alam dan anak Adam tidak dilarang mengambil perhiasan daripadanya, sampai pun masuk masjid dianjurkan supaya memakai perhiasan yang pantas. Kemudian, pada ayat 33 diterangkan apa yang haram diperbuat. Maka gabungan di antara ketiga ayat ini adalah membentuk akhlak dan tingkah laku, menimbulkan kegiatan berusaha, membuat hidup yang lebih maju dengan demikianlah akan terbentuk umat yang mempunyai kemajuan. Maka sekarang datanglah ayat 34, ayat yang menerangkan bangun berkembang dan runtuh hancurnya suatu umat.
Ayat 34
“Dan bagi tiap-tiap umat ada ajalnya. Maka, apabita datang ajal mereka, tidaklah dapat mereka minta dimundurkan satu saat pun dan tidak dapat mereka minta dimajukan."
Arti ajal ialah janji atau ketentuan ataupun batas. Ada hubungannya dengan takdir. Suatu umat ialah suatu kaum yang telah terbentuk menjadi suatu masyarakat atau kelompok. Mereka menjadi satu oleh karena persamaan nasib atau persamaan daerah kediaman atau karena persamaan keyakinan. Adapun arti saat sudah pernah juga kita ketahui pada penafsiran-penafsiran yang telah terdahulu. Arti saat ialah tempo atau waktu. Ada sesaat seketika atau sesaat satu jam, satu hari 12 saat dan ada saat dengan arti maut buat orang seorang. Dengan arti hilang kesatuan suatu umat, hilang kepribadiannya, misalnya karena telah dijajah oleh bangsa asing. Dan, saat berarti juga datangnya Kiamat.
Di dalam ayat ini diterangkanlah bahwa naik atau runtuhnya suatu umat adalah menurut jangka waktu yang telah ditentukan Allah. Jika datang masanya naik, walaupun bagaimana orang hendak menghalanginya, tidaklah terhalangi sebagaimana kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dan bila datang saatnya buat runtuh, tidak pula dapat dihalang-halangi sehingga kekuasaan Belanda yang telah sangat tertanam di bumi Indonesia sampai 350 tahun hanya runtuh habis dalam masa satu minggu saja dengan masuknya bala tentara Jepang.
Kemudian dikajilah apakah arti hidup dari suatu umat?
Manusia seorang hidup karena nyawanya. Habis nyawa dia pun mati. Adapun hidup suatu umat ialah diriyawai oleh nilai hidup umat itu sendiri, olehnaikatau runtuh akhlaknya. Baginya dibukakan kesempatan berhias, mencari nikmat dan karunia Allah. Dia, dilarang memboros berlebih-lebihan, di samping itu dia disuruh terus beribadah kepada Allah dan memakai perhiasan yang baik tatkala menghadapkan wajah kepada Allah. Dan, dia dilarang berbuat kekejian, lahir dan batin. Dosa dan menganiaya hak orang lain. Dilarang syirik dan berbicara tentang soal ketuhanan dengan tidak berilmu. Inilah modal-modal yang diberikan Allah buat hidup. Apabila suatu kelompok masyarakat memegang teguh peraturan-peraturan Allah ini, mereka bisa menjadi umat yang baik. Kalau dia akan ditimbulkan oleh Allah, tidak ada satu kekuatan alam, dari mana pun, yang dapat menghalangi kenaikannya. Akan tetapi, kalau peraturan-peraturan Allah itu mulai mereka abaikan, mereka mulai boros dalam soal pakaian, makanan dan minuman. Mulai lalai memerhatikan hubungan dengan Allah dan telah mementingkan diri sendiri-sendiri, memperturutkan hawa nafsu, pastilah akan datang ajal; datang janjinya buat jatuh. Bila saat janji itu datang, satu saat pun mereka tidak dapat meminta supaya dimundurkan dan tidak pula dapat minta dimajukan. Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghambat keruntuhan itu.
Tentang berdirinya suatu umat itulah yang pernah dilukiskan oleh penyair Islam Mesir yang terkenal, Ahmad Syauqi,
Umat-umat itu lain tidak adalah budiriya, Jika budiriya telah hilang umat-umat itu pun hilang,
Pernah saya salinkan dengan sajak bahasa Indonesia:
Tegak rumah karena sendi, runtuh sendi rumah binasa.
Tegak bangsa karena budi, hilang budi, hilanglah bangsa.
Manusia seorang yang hidup karena nyawanya. Habis nyawa dia pun mati. Adapun hidup suatu umat ialah diriyawai oleh nilai hidup umat itu sendiri, oleh naik atau runtuh
akhlaknya. Baginya dibukakan kesempatan berhias, mencari nikmat dan karunia Allah. Dia dilarang memboros berlebih-lebihan. Di samping itu, dia disuruh terus beribadah kepada Allah dan ada orang yang merasa dahulu bertahun-tahun baru meninggal dunia. Oleh karena itu, agama mewajibkan orang seorang menjaga kesehatan badannya dan menjauhi sebab-sebab yang akan membawa kepada penyakit, supaya umurnya terpelihara dengan baik, jangan sampai sekali diserang penyakit terus mati. Bangsa pun demikian pula. Harus ada dokter yang selalu memelihara kesehatan suatu bangsa, baik menunjukkan pantang-pantang yang tidak boleh dilalui dan menjaga penyakit jangan sampai datang ataupun mengobati penyakit yang telah menimpa. Ahli-ahli pikir, filsuf, para pendidik, adalah semuanya itu dokter bangsa.
Jadi, Allah mengatur ajal itu pun memakai sebab dan musabab.
Sejak dunia terkembang, sejak anak-anak Adam hidup bertebaran di muka bumi ini, telah berganti-ganti, bergilir-gilir bangsa-bangsa atau umat-umat yang datang atau yang pergi, yang musnah dan yang timbul, yang mati hancur karena penyakit sehingga habis karena banyak melanggar peraturan “Ilmu Kesehatan Bangsa", dan ada juga yang mati wajar karena tua, tetapi menurunkan anak keturunan bangsa-bangsa pula. Untuk bangsa-bangsa dan umat-umat yang bergilir datang itulah Allah mengutus rasul-rasul-Nya membawakan obat-obat sehingga hidup manusia berganti-ganti dan hidup umat bergilir-gilir itu mendapat tuntunan dari Allah sebab manusia seluruhnya itu adalah khalifah Allah di muka bumi.
Jika kita baca rentetan ayat-ayat ini, sejak dari perintah berhias jika masuk ke dalam masjid, terutama ketika thawaf di keliling Ka'bah dan perintah makan dan minum dengan tidak berlebih-lebihan dan kita sambungkan pula dengan pertanyaan Allah “siapa yang mengharamkan perhiasan Allah" sampai kepada apa yang diharamkan Allah yang enam perkara itu, lalu kita masuk ke dalam ayat ini, yang menyatakan bahwa setiap umat mempunyai janji atau batas hidupnya yang tertentu, tak dapat digegaskan dahulu daripada waktunya ataupun diundurkan, apabila semuanya ini kita baca dengan saksama, tampaklah bahwa ayat terakhir ini amat rapat hubungannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya.
Perhatikanlah! Dahulu kaum Quraisy sebagai pelopor pertahanan jahiliyyah menguasai masyarakat Arab, menguasai peribadatan dan thawaf keliling Ka'bah dengan telanjang, dengan bersiul dan bertepuk-tepuk tangan dan Ka'bah mereka kelilingi dengan 360 berhala.
Masyarakat umat Quraisy itu kian lama kian bobrok dan runtuh, walaupun bagaimana mereka mempertahankannya. Sudah tulisan rupanya bahwa janji hidupnya hanya sehingga itu. Mereka runtuh karena keruntuhan akhlak. Waktu beribadah keliling Ka'bah mereka bertelanjang, mereka tidak memakai pakaian sehelai benang jua. Dengan alasan karena pakaian yang dipakai penuh najis dan dosa. Namun, kebatinan mereka sendiri, ruh mereka sendiri lebih telanjang lagi karena kejahatan-kejahatan yang mereka perbuat, yang zahir dan yang batin, kemesuman, perzinaan. Mereka berbuat dosa dengan niat yang salah (…-itsmu) dan mereka merugikan orang lain (al-baghyu) dan mereka persekutukan yang lain dengan Allah dan mereka berani membuat-buat suatu peraturan yang mereka katakan agama, padahal mereka katakan atas Allah hal-hal yang tidak mereka ketahui.
Umat ini dengan sendiri habis temponya. Laksana Belanda menduduki Indonesia 350 tahun tidak menyangka akan keluar. Tidak ada satu kekuatan yang dapat menahan.
Demikian jualah dalam sejarah perjuangan umat Islam, pernah mereka naik membubung kepada puncak kemuliaan, ketika mereka masih berpegang teguh kepada petunjuk Rasul ﷺ dan pernah pula mereka merosot turun tidak tertahan, setelah mereka berpecah sesama mereka. Namun, Allah pun menyatakan dalam ayat yang lain bahwa umat yang nyaris mati, dapat hidup kembali apabila semangat dan kesadaran mereka bangkit kembali.
Pada kaum Muslimin masih ada napas buat hidup, yaitu napas tauhid dan ma'rifat. Maka, bila mereka bangkit kembali karena kebangkitan tauhid itu, sudah tentulah mereka akan dapat mencapai kedudukan yang mulia kembali dalam perjuangan hidup ini.
Untuk itulah Allah melanjutkan firman-Nya,
Ayat 35
“Wahai anak-anak Adam, jika datang kepada kamu rasut-rasul dari antara kamu sendiri, yang menceritakan kepada kamu ayat-ayat Kami maka barangsiapa yang bertakwa dan berbuat perbaikan, tidaklah akan ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Dengan ayat 35 ini, kita diberi bekal untuk menghadapi segala kemungkinan. Seumpama bangsa Arab zaman dulu, sebelum Rasulullah ﷺ diutus, belumlah terbentuk menjadi suatu umat.
Mereka terdiri dari kabilah-kabilah yang berpecah-belah. Kedatangan Rasul membawa tuntunan Allah telah menyebabkan orang Arab menjadi umat. Bahkan selanjutnya agama Islam menjalar ke mana-mana dan diterima baik. Dia pun telah membentuk umat besar yang tidak terdiri dari Arab saja lagi. Telah masuk umat Persia, Turki, Hindi, Indonesia, dan seterusnya. Umat dalam kelompok ada yang habis gilirannya, mereka pun datang ajal, sesaat tak dapat ditangguhkan dan sesaat pun tak ada dimajukan. Manusia orang seorang pun demikian, lahir ke dunia, berangsur besar, remaja, muda belia, dewasa, tua dan mati. Tidak ada yang kekal. Namun, apa pelajaran rasul-rasul yang menceritakan ayat-ayat Allah itu telah dipegang teguh suatu umat, ataupun diri pribadi, tidaklah akan ada yang disesalkan jika ajal dan saat yang pasti tepat itu datang. Dengan berpedoman kepada ayat-ayat Allah, takwa kepada Allah dan selalu berbuat baik dan memperbaiki suatu amal sehingga kian lama kian tinggi, bebaslah diri dari rasa takut."Umur" pun bisa panjang walau badan sudah lama mati! Sebab rasa takut itulah yang sangat menghalangi kemajuan karena umur di dunia telah dihabiskan dengan sia-sia lalu masuk ke dalam neraka.
Ayat 36
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami."
Sebagaimana diketahui dalam penafsiran berkali-kali, mendustakan ayat-ayat Allah bukan saja dengan mulut, bahkan juga dengan perbuatan. Ayat Allah pun sudah kita ketahui. Dia berarti juga tanda dari kebesaran Allah, tanda dari adanya Allah. Yang dapat kita lihat dan perhatikan di sekeliling kita. Dan, ayat berarti juga perintah.
“Dan membesarkan diri terhadapnya."
Yakni sombong, merasa diri lebih pintar, tidak mau menuruti nasihat yang berharga karena merasa lebih mulia, sebagaimana sikap ketua-ketua orang Quraisy kepada Nabi Muhammad ﷺ
“Mereka itu adalah ahli-ahli neraka. Mereka di dalamnya akan kekal."
Bila sikap ingkar, kufur dan menyombong ini ada dalam satu bangsa maka bangsa itu akan runtuh, sebelum waktunya yang wajar. Oleh sebab itu, sebelum islam bangun karena Nabi Muhammad ﷺ diutus, keruntuhan Quraisy tidak dapat ditahan-tahan lagi. Sebab, kedustaan, kesombongan dan dengki adalah penyakit kanker dalam jiwa manusia yang akan membunuhnya sendiri. Apatah lagi setelah di akhirat kelak, nerakalah akan tempat mereka, jadi penghtmi neraka selama neraka itu ada.
Ayat ini dimulai (ayat 35) sekali lagi dengan menyeru manusia sebagai anak-anak Adam. Sebab itu, meskipun mulai diturunkan adalah terhadap kaum Quraisy di Mekah, dia berlaku untuk selanjutnya, bagi seluruh Bani Adam, selama bumi ini masih didiami manusia. Dia adalah sebagai salah satu dasar dari ilmu masyarakat. Ilmu tentang naik dan turunnya suatu bangsa. Dan, dasar pula daripada ilmu jiwa akhlak untuk pegangan perseorangan.