Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
فَعَلُواْ
mereka melakukan
فَٰحِشَةٗ
perbuatan keji
قَالُواْ
mereka berkata
وَجَدۡنَا
kami dapati
عَلَيۡهَآ
atasnya
ءَابَآءَنَا
nenek moyang kami
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَمَرَنَا
menyuruh kami
بِهَاۗ
dengannya
قُلۡ
katakan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَأۡمُرُ
menyuruh
بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ
dengan perbuatan keji
أَتَقُولُونَ
mengapa kamu mengatakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
وَإِذَا
dan apabila
فَعَلُواْ
mereka melakukan
فَٰحِشَةٗ
perbuatan keji
قَالُواْ
mereka berkata
وَجَدۡنَا
kami dapati
عَلَيۡهَآ
atasnya
ءَابَآءَنَا
nenek moyang kami
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَمَرَنَا
menyuruh kami
بِهَاۗ
dengannya
قُلۡ
katakan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَأۡمُرُ
menyuruh
بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ
dengan perbuatan keji
أَتَقُولُونَ
mengapa kamu mengatakan
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
تَعۡلَمُونَ
(kalian) mengetahui
Terjemahan
Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Tafsir
(Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji) seperti perbuatan syirik dan tawaf mereka di sekeliling Kakbah dalam keadaan telanjang seraya mengemukakan alasan mereka, "Kami tidak akan melakukan tawaf dengan pakaian yang biasa kami gunakan untuk maksiat." Kemudian mereka dilarang dari perbuatan tersebut (mereka berkata, "Kami mendapati nenek-moyang kami mengerjakan yang demikian itu) kami hanya mengikut kepada mereka (dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.") juga. (Katakanlah) kepada mereka ("Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengadakan perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?) bahwa Allah mengatakannya; istifham atau kata tanya di sini menunjukkan makna ingkar atau sanggahan.
Tafsir Surat Al-A'raf: 28-30
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, "Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak pernah memerintahkan berbuat kekejian. Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?"
Katakanlah (Muhammad), "Tuhanku memerintahkan aku menjalankan keadilan." Dan (katakanlah), Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) di setiap shalat dan berdoalah kepada-Nya dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.
Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.
Ayat 28
Mujahid mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik melakukan tawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang bulat. Mereka mengatakan, "Kami melakukan tawaf ini dalam keadaan seperti ketika kami dilahirkan oleh ibu-ibu kami." Para wanita meletakkan selembar kain atau sesuatu pada kemaluannya, lalu berkata: Apa pun yang terlihat darinya, baik sebagian atau seluruhnya, saya tidak menghalalkannya (haram).
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’.” (Al-A'raf: 28), hingga akhir ayat.
Menurut kami (Ibnu Katsir), orang-orang Arab di masa lalu selain kabilah Quraisy, bila mereka melakukan tawaf, maka mereka melakukannya tanpa berpakaian (telanjang bulat). Mereka mengartikan bahwa mereka tidak mau melakukan tawaf dengan memakai pakaian yang biasa mereka pakai untuk bermaksiat kepada Allah. Sedangkan orang-orang Quraisy yang dikenal dengan sebutan Al-Hamas selalu melakukan tawafnya dengan memakai pakaian mereka yang sedang dikenakannya.
Orang Arab lain bila diberi pinjaman pakaian oleh orang Hamas, maka ia bertawaf memakainya pakaian itu. Dan orang yang mempunyai pakaian baru, maka dipakainya untuk bertawaf, setelah itu ia membuangnya tanpa ada seorang pun boleh mengambilnya.
Barang siapa yang tidak mempunyai pakaian baru dan tidak pula ada seorang Hamas yang mau meminjamkan pakaian kepadanya, maka ia tawaf dengan telanjang bulat.
Bahkan terkadang terdapat seorang wanita melakukan tawaf dengan telanjang bulat, kemudian ia menjadikan sesuatu pada kemaluannya guna menutupi apa yang dapat ditutupinya, lalu ia berkata: “Apa pun yang terlihat darinya, baik sebagian atau seluruhnya, saya tidak menghalalkannya.” Kebanyakan kaum wanita melakukan tawaf di malam hari dengan telanjang. Hal ini merupakan suatu tradisi yang mereka buat-buat sendiri yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.
Mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan nenek moyang mereka itu bersandarkan kepada perintah Allah dan syariat-Nya. Maka Allah menyanggah mereka melalui firman-Nya: “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya’." (Al-A'raf: 28)
Dan Allah berfirman membantah mereka:
“Katakanlah.” (Al-A'raf: 28)
Wahai Muhammad, kepada orang-orang yang menyatakan demikian.
“Sesungguhnya Allah tidak pernah memerintahkan berbuat kekejian.” (Al-A'raf: 28)
Yakni apa yang kalian buat-buat itu adalah perkara yang keji dan mungkar, sedangkan Allah tidak pernah memerintahkan hal seperti itu.
“Mengapa kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui?” (Al-A'raf: 28)
Artinya, apakah kalian berani mengait-ngaitkan kepada Allah pendapat-pendapat yang kalian tidak ketahui kebenarannya?
Ayat 29
Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Tuhanku memerintahkan aku menjalankan keadilan’.” (Al-A'raf: 29)
Yaitu keadilan dan jalan yang lurus.
“Dan (katakanlah), ‘Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) di setiap shalat dan berdoalah kepada-Nya dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.’ (Al-A'raf: 29)
Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti ajaran para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan mengajarkan syariat-syariat yang mereka sampaikan.
Allah memerintahkan kepada kalian untuk beribadah dengan ikhlas hanya kepada-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu pertama, amal dikerjakan sesuai dengan tuntutan syariat yang benar, dan kedua, amal harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29), sampai dengan firman-Nya:
“Pasti kesesatan bagi mereka.” (Al-A'raf: 30)
Makna ayat ini masih diperselisihkan.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid mengenai makna firman-Nya:
“Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29)
Kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati.
Menurut Al-Hasan Al-Basri mengatakan, sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini. Demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan hidup.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29)
Yakni Allah memulai penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam keadaan hidup.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sebagaimana Allah memulai penciptaan kalian pada permulaannya, maka demikian pula Dia akan mengembalikan kalian pada akhirnya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Ja'far ibnu Jarir yang diperkuat dengan apa yang telah diriwayatkan melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, keduanya dari Al-Mugirah ibnun Nu'man, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan kami untuk menyampaikan suatu nasihat, lalu beliau bersabda: 'Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dikumpulkan kepada Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang lagi tak bersunat (tak berkhitan). Sebagaimana Kami telah menciptakan kalian pada permulaan. Demikian pulalah Kami akan mengembalikan kalian. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, dan sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya'.” Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Syu'bah. Juga di dalam hadits Bukhari melalui hadits Ats-Tsauri dengan lafal yang sama.
Warqa ibnu lyas (yaitu Abu Yazid) telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29)
Bahwa kelak orang muslim dibangkitkan sebagai orang muslim, dan orang kafir dibangkitkan sebagai orang kafir.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29)
Yaitu mereka dikembalikan berdasarkan pengetahuan Allah tentang diri mereka.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29) Sebagaimana yang telah ditetapkan atas kalian, maka demikian pulalah keadaan yang kalian terima. Menurut riwayat yang lain, sebagaimana keadaan yang kalian alami, maka kelak kalian akan seperti itu.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula.” (Al-A'raf: 29)
Yakni barang siapa yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya, sebagaimana yang telah ditentukan-Nya sejak permulaan kejadiannya, meskipun ia melakukan amalam-amalan ahli kebahagiaan (ahli surga).
Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan seperti apa yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka (penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.
Ayat 30
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula. Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.” (Al-Araf: 29-30)
Yaitu sebagaimana Kami menciptakan dan menjadikan sebagian dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
“Kalian akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kalian diciptakan semula. Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.” (Al-A'raf: 29-30) Sesungguhnya Allah ﷻ memulai penciptaan Ibnu Adam ada yang mukmin dan ada yang kafir (yakni dalam catatan takdir)
Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Dialah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang beriman.” (At-Taghabun: 2)
Kemudian Allah mengembalikan mereka pada hari kiamat dalam keadaan seperti permulaan kejadian mereka di dunia, yakni ada yang mukmin dan ada yang kafir.
Menurut kami, pendapat ini diperkuat dengan sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud di dalam kitab Shahih Bukhari yang mengatakan: Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya seseorang di antara kalian benar-benar mengamalkan amalan ahli surga hingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali hanya satu depa atau satu hasta. Namun takdir telah mendahuluinya (menentukannya), sehingga ia mengamalkan amalan ahli neraka, dan akhirnya ia masuk neraka.
Dan sesungguhnya seseorang di antara kalian benar-benar mengamalkan amalan ahli neraka, hingga tiada jarak antara dia dan neraka kecuali hanya satu depa atau satu hasta. namun takdir telah menentukannya, sehingga ia mengamalkan amalan ahli surga, dan akhirnya masuk surga.
Abul Qasim Al-Baghawi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Ja'd, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, dari Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengamalkan suatu amalan yang menurut pandangan orang lain dianggap sebagai amalan ahli surga, padahal sesungguhnya dia adalah ahli neraka.
Dan sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengamalkan suatu amalan yang kelihatan oleh orang lain sebagai amalan ahli neraka, padahal sesungguhnya dia termasuk ahli surga. Karena sesungguhnya semua amal perbuatan itu hanyalah terletak pada perbuatan akhirnya.” Demikianlah sepotong hadits dari Imam Bukhari yang diriwayatkannya melalui hadits Abu Gassan Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani dalam kisah Qazman di waktu Perang Uhud.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Kelak setiap orang akan dibangkitkan menurut amalan yang dilakukannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy, dengan sanad yang sama.
Sedangkan lafaznya berbunyi seperti berikut: “Setiap hamba akan dibangkitkan menurut amal perbuatan yang dikerjakannya sampai dia mati.” Dan Ibnu Abbas juga menyebutkan hal yang semisal.
Menurut kami, hal ini diperkuat oleh hadits Ibnu Mas'ud. Sebagai kesimpulannya menurut kami jika pendapat ini memang merupakan makna yang dimaksud oleh ayat, maka harus digabungkan dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Juga dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setiap anak dilahirkan menurut fitrah (agama Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, seorang Nasrani, dan seorang Majusi.”
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui Iyad ibnu Himar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, "Allah ﷻ telah berfirman dalam hadits qudsi: 'Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif lurus dan cenderung pada kebenaran), tetapi datanglah setan menggoda mereka. Maka setan membuat mereka menyimpang dari agamanya'."
Dari penggabungan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah ﷻ menciptakan mereka agar di antara mereka ada yang mukmin dan ada pula yang kafir sebagai lawannya. Meskipun pada awal kejadian mereka Allah telah membekali mereka secara fitrah untuk mengetahui-Nya dan mentauhidkan-Nya, serta membekali mereka pengetahuan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia.
Seperti yang telah Allah ambil dari mereka hal tersebut melalui suatu perjanjian (di zaman azali), dan menjadikan hal itu sebagai fitrah dan insting mereka. Meskipun demikian, pada akhirnya Allah menakdirkan bahwa di antara mereka ada yang celaka (kafir) dan ada yang bahagia (mukmin). Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dialah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang beriman.” (At-Taghabun: 2)
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Setiap orang berpagi hari (memulai hari), lalu menjual dirinya, maka ada yang memerdekakan dirinya sendiri, ada juga yang membinasakan dirinya sendiri.”
Takdir Allah pasti terlaksana di kalangan makhluk-Nya, karena Dia adalah:
“Yang menentukan takdir (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (Al-A'la: 3), dan Dia adalah:
“Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)
Di dalam kitab Shahihain disebutkan: “Adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, maka dimudahkan baginya jalan mengerjakan amal orang-orang yang bahagia. Dan adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang celaka, maka dimudahkan baginya mengerjakan amal perbuatan orang-orang yang celaka.”
Karena itulah dalam ayat ini Allah ﷻ menyebutkan melalui firman-Nya:
“Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka.” (Al-A'raf: 30)
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan penyebab hal tersebut melalui firman selanjutnya, yaitu:
“Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al-A'raf: 30)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini merupakan dalil yang paling jelas untuk membuktikan kekeliruan orang yang menduga bahwa Allah tidak mengazab seseorang yang mengerjakan maksiat atau kesesatan yang diyakininya, kecuali bila ia melakukannya setelah memiliki pengetahuan darinya yang membenarkan sikapnya itu, lalu ia mengerjakannya dia dengan mengingkari Tuhan-Nya.
Seandainya memang demikian, niscaya tidak ada bedanya antara golongan orang-orang yang sesat yang menduga bahwa dirinya mendapat petunjuk, dengan golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk yang sesungguhnya. Allah ﷻ telah menjelaskan dan membedakan peristilahan keduanya dan hukum-hukum mengenai keduanya dalam ayat ini.
Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan bahwa Allah telah menjadikan setan sebagai teman bagi orang-orang yang ingkar. Pada ayat-ayat berikut diterangkan tentang orang yang senantiasa mengikuti tradisi nenek moyang mereka meskipun tradisi itu salah. Dan apabila mereka, yakni orang-orang yang senantiasa mendustakan Allah dan RasulNya, melakukan perbuatan keji, seperti menyekutukan Allah, atau tawaf dalam keadaan telanjang bulat, dan sebagainya, kemudian ketika mereka ditegur bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tercela, mereka berkata, Perbuatan tersebut kami lakukan karena kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian. Hal tersebut memang benar, bahwa nenek moyang kaum musyrik yang memelopori berbagai perbuatan keji tersebut, namun dengan penuh kedustaan mereka kembali berkata, Dan bahwa selain itu, Allah menyuruh kami mengerjakannya. Jelas hal ini merupakan kedustaan yang nyata. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengingkari hal tersebut. Allah berfirman, Wahai Nabi Muhammad! Katakanlah kepada mereka dengan penuh pengingkaran, Sesungguhnya Allah tidak pernah dan tidak pantas menyuruh berbuat keji, karena hal itu sangat bertentangan dengan kesempurnaan dan hikmah-Nya. Mengapa kamu melakukan kedustaan yang amat besar yaitu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui' Wahai Nabi Muhammad, berilah penjelasan kepada orang-orang yang berlaku dusta tersebut. Katakanlah pada mereka, Tuhanku menyuruhku agar kalian dan semua manusia berlaku adil, tidak berlebihan dalam beribadah dan dalam bermuamalah. Maka lakukanlah hal tersebut dalam semua peribadatan kalian. Hadapkanlah wajahmu, yakni arahkanlah seluruh perhatianmu, kepada Allah pada setiap salat. Tunaikanlah salat dengan sebaik-baiknya, sucikanlah lahir dan batinmu, dan bersihkanlah dari segala bentuk kekejian. Dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya, dan takut dari azab-Nya. Ingatlah, setelah kematian, kamu semua akan dibangkitkan dan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula, sehingga Allah akan membalas segala apa yang kamu perbuat dengan balasan yang setimpal.
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan orang-orang yang telah menjadikan setan sebagai pemimpinnya, apabila berbuat kejahatan, seperti mengingkari Allah dan menyekutukan-Nya, mereka mengemukakan alasan dan uzur, "Begitulah yang kami ketahui dan kami dapati dari nenek moyang kami. Kami hanya mengikuti apa yang telah dikerjakan mereka, bahkan Allah telah memerintahkan kepada kami yang demikian, dan kami hanya menuruti perintah-Nya." Pengakuan mereka jelas tidak dapat dibenarkan, karena Allah mempunyai sifat kesempurnaan, tidak mungkin dan tidak masuk akal akan menyuruh dan memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji seperti perbuatan tersebut di atas. Sebenarnya yang memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji tentunya tiada lain melainkan setan sebagaimana firman Allah:
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir)... (al-Baqarah/2: 268)
Mereka mengeluarkan perkataan yang dialamatkan kepada Allah, bahwa Dialah yang menyuruh berbuat jahat dan keji. Itu adalah ucapan yang tidak beralasan yang tidak didasarkan atas pengetahuan, padahal yang demikian itu akan mereka pertanggungjawabkan nanti di akhirat sebagaimana firman Allah:
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra'/17: 36).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah Allah menceritakan bagaimana kesudahan kedurhakaan iblis itu sampai dia diusir dengan hina dari dalam surga, Allah pun beralih kepada menceritakan Adam.
Ayat 19
“Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di surga itu."
Di permulaan kisah Adam, baru disebut sendirian. Malaikat diperintah sujud kepada Adam yang masih sendirian itu. Di dalam ayat ini beliau sudah mulai disebut berdua dengan istrinya. Artinya, sementara itu Allah telah menciptakan jodoh buat dia, istri buat teman hidupnya. Adapun yang diceritakan Al-Qur'an hanyalah asal mula kejadian Adam. Adapun asal mula kejadian istrinya, yang bernama Hawa itu tidaklah Al-Qur'an menceritakannya. Pengetahuan asal-usul tentang kejadian Siti Hawa, bolehlah manusia sendiri mencarinya. Karena kalau manusia telah tahu bahwa Adam terjadi dari tanah liat, tentu kejadian istrinya sudah dapat diqiyaskan oleh ahli akal. Hanya di dalam kitab Perjanjian Lama (Kejadian pasal: 2;21) diterangkan bahwa Allah mencabut sebilah tulang rusuk Adam sedang dia nyenyak tidur, lalu tulang rusuk itu diciptakan Allah menjadi seorang manusia perempuan, itulah Hawa. Ahli-ahli tafsir Al-Qur'an sebagian besar mengambil pendirian dari tulang rusuk ini pula karena ada hadits Nabi dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, mengatakan kejadian perempuan itu dari tulang rusuk.
Akan tetapi, ujung hadits itu menunjukkan bahwa perangai dan tingkah laku perempuan ada seperti tulang rusuk. Terlalu dikerasi dia patah, dibiarkan saja dia tetap bungkuk. Dan tidak pula ada hadits yang tepat mengatakan bahwa istri Adam terjadi dari tulang rusuk Adam. Ketika menafsirkan ayat Adam di surah al-Baqarah, hal ini pun telah kita perbincangkan.
Diperintahkanlah Adam dan istrinya tinggal berdiam di dalam surga itu dan firman Allah, “Maka makanlah olehmu berdua mana-mana yang kamu sukai." Setelah diberi kesempatan berdiam di dalam surga itu, diberilah keizinan bagi mereka berdua makan dan minum berenak-enak di dalamnya, sesuka hatilah memilih makanan yang berbagai ragam coraknya dalam surga itu.
“Tetapi, janganlah kamu bendua mendekat kepada pohon ini, sebab kamu akan termasuk dari mereka yang zalim."
Tegasnya, kalau kamu dekati dan kamu makan buahnya, kamu akan celaka.
Dengan ujung ayatini kita telah diberi pula pengertian bahwa pada manusia mula pertama sudah ada kebebasan. Dan sudah ditunjukkan bahwasanya kebebasan yang sejati itu ialah dengan adanya batas. Kebebasan dengan tidak mempunyai batas adalah kaos (kacau). Semua boleh dimakan, kecuali ini. Kalau batas itu dilanggar maka kebebasan tidak ada nilainya lagi. Orang yang melanggar larangan niscaya akan rugi, niscaya kebebasannya akan rusak.
Namun, kebebasan dengan adanya larangan yang tidak boleh ditempuh itu adalah tempat masuknya waswas setan. Tabiat manusia ialah ingin tahu dan ingin melanggar mana yang dilarang. Bertambah dilarang, bertambah besarlah keinginannya hendak tahu. Ada rupanya pohon yang terlarang. Sedangkan mendekat saja pun tidak boleh."Ada apa? Mengapa tidak boleh?'1 Di saat yang beginilah mudah masuknya setan,
Ayat 20
“Maka setan pun membisikkan kepada mereka keduanya yang akan menampakkan kepada keduanya dari kemaluan mereka berdua."
Dalam bahasa yang dipakai dalam ayat ialah waswas, yang kita artikan membisikkan. Bisa juga diambil langsung bahasa Arabnya itu, yaitu ditimbulkan waswas di dalam hati keduanya oleh setan. Sebab bisikan setan adalah mewaswaskan dalam jiwa. Ada pun yang setannya itu sendiri tidaklah menampakkandirinya. Setan yang memperdayakan Adam dan Hawa di surga itu belumlah setan kasar, yaitu manusia yang merayu orang lain berbuat pelanggaran. Masih setan iblis musuh ruh jahat yang tidak mau sujud bersama malaikat itu. Hadits Rasulullah ﷺ yang shahih pun ada menyatakan bahwa setan itu terkadang menyelusup ke dalam diri manusia dan mengalir sebagai aliran darah, memasukkan pengaruhnya. Jika setan sudah bangkit di dalam diri manusia, macam-macamlah bisik rayuan yang terdengar oleh telinga nyawa. Maksud setan memasukkan waswas atas bisik ini, di dalam ayat ini diterangkan dengan jelas, yaitu supaya Adam dan Hawa menampak kemaluan mereka, yang rupanya sebelum buah kayu yang terlarang mereka makan, mereka tidak sadar akan adanya alat kelamin mereka atau tidak peduli akan alat kelamin itu atau mungkin juga ditafsirkan tidak tahu akan gunanya.
Di dalam tafsir kita ini, kita lanjutkan saja terus menurut semangat bunyi ayat. Tidak kita tumpangi beberapa tafsir yang mengatakan bahwa ketika itu iblis menjelma atau menumpang ke dalam tubuh ular. Ini pun ada juga terdapat dalam beberapa tafsir Al-Qur'an tetapi tidak bertemu sumbernya dari hadits yang shahih. Tampak dengan jelas bahwa penafsiran dengan ular ini diambil lagi dari israiliyat atau dengan isi kitab Perjanjian Lama yang memengaruhi beberapa penafsir Islam. Maka, dari memahamkan bunyi ayat ini, dapat kita mengambil kesimpulan bahwa buah kayu yang terlarang itu kalau dimakan, manusia pertama itu akan terbuka kemaluannya atau auratnya. Di dalam ayat, aurat atau kemaluan itu disebut sau atu huma. Kita artikan kemaluan keduanya. Artinya yang asal dari sau atu, rumpun asal kata su' artinya “jahat'1. Arti lebih dalam ialah bahwa tabiat asli manusia kurang senang melihat atau memperlihatkan kemaluannya. Itu sebabnya, dalam bahasa kita aurat itu diartikan kemaluan. Tabiat manusia sendiri atau nalurinya, merasa malu melihat kemaluan atau memperlihatkan kemaluan sendiri. Sehingga kelompok manusia yang masih sangat primitif di dalam rimba Afrika atau Irian pun, walaupun masih bertelanjang, belum mengenal pakaian, kemaluan yang sedikit itu masih mereka tutup. Setan iblis yang telah lebih berpengalaman mengetahui hal itu. Namun, manusia pertama belum tahu.
“Dan dia berkata, Tidaklah melaraang Tuhan kamu berdua dari pohon ini melainkan lantunan kamu berdua akan jadi malaikat atau lantunan kamu bendua akan jadi dari orang-orang yang kekal.'"
Inilah rupanya isi bisik atau waswas yang dimasukkan setan kepada keduanya, Adam dan Hawa. Kamu berdua dilarang memakan buah ini tidak lain maksudnya ialah supaya kamu jangan jadi malaikat atau menjadi makhluk yang kekal tidak mati-mati. Di sinilah masuk bisikan setan itu. Kamu dilarang Allah memakan itu ialah supaya kamu tetap jadi manusia saja dan kalau kamu makan tentu kamu jadi malaikat. Dapatlah diteruskan dalam penafsiran kita betapa luasnya pembisikan itu. Pertama keinginan manusia supaya hidup terus, tidak mati-mati dan keinginan inilah yang dibangkitkan setan kepada Adam dan Hawa. Keinginan mempunyai kekuatan dan keluasan bergerak dalam alam ini sebagai malaikat. Atau tidak pun jadi malaikat, baik jadi manusia juga, tetapi kekal, tidak mati-mati.
Keinginan-keinginan atau naluri ini sudah ada rupanya dalam dasar jiwa Adam. Namun, dia terhalang menurutkan kata perasaan itu, sebab dia dilarang mendekati buah dan pohon yang terlarang. Bertambah dilarang bertambah timbul keinginan itu. Apalagi manusia pertama belum berpengalaman. Karena selalu dibisiki, dirayu, dan dibujuk, niscaya timbullah keraguan. Waktu itulah setan iblis bersumpah,
Ayat 21
“Dan bersumpahlah dia kepada keduanya, ‘Sesungguhnyalah aku kepada kamu berdua, dari orang yang memberi nasihat.'"
Ayat ini memberikan pula pengertian kepada kita bahwa bujuk rayu atau bisikan dan waswas yang dimasukkan ini telah dikerjakan oleh setan iblis dengan bersungguh-sungguh. Dan seakan-akan kelihatan oleh kita dari ruang celah-celah arti ayat bahwa kedua nenek kita telah menghadapi peperangan dalam hati, di antara keinginan dan larangan. Di dalam ayat selalu disebut bahwa mereka sekali keduanya dihadapi oleh setan, untuk menampakkan bagi kita bahwa untuk melemahkan pendirian laki-laki, istri pun turut dirayu. Akhirnya si setan bersumpah bahwa apa yang dikatakannya itu adalah nasihat. Kata nasihat adalah bersisi kejujuran tidak bohong. Pendeknya, si setan iblis telah mulailah waktu itu melancarkan tekadnya akan memperdayakan manusia dari muka dan dari belakang, dari kiri dan dari kanan sebagai tersebut pada ayat 17 tadi. Dan karena perkataan ini telah dikuatkan pula dengan sumpah, tentulah bertambah goyang pendirian kedua suami-istri itu.
Ayat 22
“Maka dianjurkanlah keduanya dengan tipu daya."
Kalau sudah mulai setan menganjurkan, tandanya rayuannya sudah tampak akan berhasil. Meskipun telah tampak akan berhasil, si setan laknat itu selalu juga waspada, dia tidak sekali-kali melepaskan sikap tipu dayanya sehingga terperosoklah Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang itu. Manusia pertama belum berpengalaman."Maka setelah keduanya merasai pohon itu,"yaitu buahnya tiba-tiba."Terbukalah bagi keduanya kemaluan keduanya." Artinya setelah keduanya memakan buah itu, mulailah keduanya melihat bahwa mereka ada mempunyai alat kelamin. Masing-masing mulai sadar akan kemaluan sendiri dan kemaluan kawannya.
Ahli-ahli tafsir ada yang berkata bahwa mulanya mereka berpakaian yang indah-indah dari pakaian surga. Setelah buah itu mereka makan, pakaian surga itu tanggai dengan sendirinya. Ada pula yang mengatakan bahwa kemaluan keduanya tertutup dengan kuku, menjadi terbuka setelah makan buah itu. Dan ada pula yang mengatakan tertutup oleh semacam cahaya. Akan tetapi, karena penafsiran itu tidak dikuatkan oleh riwayat yang kuat dari Rasulullah saw„ barangkali tidak salah setelah memahami ayat itu kita menyatakan pendapat bahwa memakan buah itu menimbulkan kesadaran syahwat pada manusia? Menimbulkan kesadaran persetu-buhan pada laki-laki dan perempuan? “Dan bergegaslah keduanya menutupi atas keduanya dengan daun-daunan surga."
Artinya mulai saat itu mereka keduanya sadar akan alat kelamin masing-masing dan mulai tumbuh rasa malu melihatnya, baik melihat punya sendiri maupun melihat punya teman hidup sehingga bergegas (segera atau lekas-lekas) mengambil daun surga itu untuk menutupi aurat masing-masing. Mulailah terasa perubahan pandangan hidup maka timbullah malu dan timbullah rasa menyesal karena larangan Allah sudah dilanggar."Dan menyerulah Tuhan mereka kepada keduanya, ‘Bukankah telah Aku larang kamu berdua dari pohon itu?"‘
Setelah kamu keduanya telanjur melanggar larangan itu, kamu keduanya sudah mulai menderita, terutama menderita malu karena kemaluan tersingkap, merasa ngeri melihat diri bertelanjang.
“Dan telah Aku katakan kepada kamu berdua sesungguhnya setan itu bagi kamu berdua adalah musuh yang nyata?"
Dengan membaca surah Thaahaa ayat 117, kita dapat memahamkan ayat ini lebih jelas lagi bahwa setelah iblis itu dimurkai Allah karena tidak mau sujud kepada Adam.
Allah telah memberi peringatan kepada Adam dan istrinya supaya awas terhadap iblis sebab dia adalah musuh mereka. Rupanya karena naluri keingintahuan tadi, ditambah lagi dengan sumpah setan iblis itu bahwa dia memberi nasihat yang jujur, Adam terperosok. Allah memberi peringatan kalau rayuan iblis mereka perturutkan, mereka akan sengsara dan akan celaka. Bukanlah mereka akan jadi malaikat atau menjadi orang kekal, sebagai yang dibisikkan setan iblis, lantaran memakan buah itu, tetapi akan sengsara dan celakalah mereka, tidak layak lagi hidup di sana, sebab larangan Allah telah terlanggar. Karena teguran dan pertanyaan begitu dari Allah, sesal yang telah tumbuh sejak memakan buah itu, bertambah-tambah lagi. Insaf bahwa mereka telah disesatkan oleh musuh sendiri. Musuh yang datangnya bukan dengan kekerasan, te-tapi dengan tipu daya dan bisik-bisik dan memasukkan waswas, mencari sudut yang lemah dari benteng pertahanan manusia. Keduanya menyesal.
Ayat 23
“Keduanya menjawab, Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya dia kami.'"
Inilah perkataan, doa, dan munajat (seruan) kepada Ilahi yang telah menyatakan pengakuan kesalahan. Kami telah melanggar larangan. Sekarang, tahulah kami bahwa kami telah menganiaya diri, terasa oleh kami sekarang penderitaan batin kami sendiri. Oleh karena itu ampunan Engkaulah yang kami harapkan lagi.
“Dan jika tidaklah Engkau ampuni kami dan Engkau nahmati kami, sesungguhnya jadilah kami dari orang-orang yang rugi."
Kami telah menganiaya diri kami sendiri, sebab rayuan musuh kami, si iblis kami turuti dan larangan Engkau kami langgar. Telah nyata kelemahan kami. Rasa ingin tabu yang ada dalam diri, tidak dapat kami kendalikan karena bagusnya bujukan setan. Kehendak ibiis kami turuti, kehendak Allah kami lalaikan. Maka kalau tidaklah Engkau ampuni dosa kami yang telah telanjur itu dan kalau tidaklah Engkau beri rahmat bagi kami dengan petunjuk dan hidayah sehingga buat selanjutnya kami hati-hati, niscaya rugilah kami, jiwa kami takut akan kerugian itu tetapi jalan lain untuk membangkitkan jiwa kembali kepada kebahagiaan dan kemenangan, tidak ada. Jalan hanya satu, yaitu kembali ke dalam perlindungan Engkau, berjalan di atas jalan Engkau.
Di dalam surah al-Baqarah dahulu, ayat 37, Allah telah memberitahukan pula kepada kita, bahwasanya ucapan doa yang demikian adalah Allah sendiri yang mengajarkannya kepada Adam sehingga dia dan istrinya diberi tobat. Memang, siapa pula lagi yang akan mengeluarkan insan dari kesulitannya kalau bukan Allah sendiri.
Karena permohonan yang demikian, mengakui memang diri telah bersalah dan tidak mengelak dari tanggung jawab maka Allah telah memberi ampun kepada Adam dan Hawa atas kesalahan melanggar larangan itu. Namun, keadaan Adam dan Hawa setelah memakan buah itu telah berubah pandangannya terhadap keadaan sekeliling, terutama dalam soal kelamin sudah lain. Meskipun kesalahan itu telah diberi ampun, tidak juga dia berdua layak lagi buat tinggal di dalam surga.
Ayat 24
“Dia berfirman, ‘Turunlah kamu semua!'"
Kalau semua adalah kata jamak, artinya untuk orang banyak lebih dari berdua. Mereka adalah bertiga, yaitu Adam, Hawa, dan iblis."Yang sebahagian kamu dari yang sebahagian adalah musuh." Sesudah kejadian dalam surga itu, sejak iblis tidak mau sujud, sampai dia menyatakan maksud hendak memperdayakan Adam dan Hawa dengan segenap keturunannya, dan pada waktu yang ditentukan kelak, sampai pula kepada pelaksanaan perdayaan iblis yang pertama, sampai Adam dan Hawa terperosok melanggar larangan, sudah nyatalah bahwa sebagian mereka, yaitu golongan Adam dengan istrinya dengan golongan iblis dan kaki tangannya sudah timbul permusuhan. Yang menimbulkan permusuhan pertama ialah iblis. Manusia tidak memusuhi iblis pada mulanya. Namun, karena iblis sudah bertekad untuk memusuhinya, niscaya manusia tidak dapat lagi memandang kawan kepada iblis yang seluruh hidupnya bertekad memusuhi manusia. Maka Allah memberi peringatan bahwa mau tidak mau, permusuhan ini telah ada. Di samping itu Allah pun memberitahu di mana tempat tinggal mereka yang baru.
“Dan untuk kamu di dalam bumi itu adalah tempat menetap dan untuk kekal, sampai suatu ketika."
Dengan ujung ayat ini diterangkanlah tempat kediaman yang baru itu yaitu bumi. Di tempat kediaman yang baru itulah mereka; Adam, Hawa, dan Iblis akan hidup. Berusahalah di sana dan carilah bekal untuk pulang kembali ke akhirat. Atau pulang kembali kepada Allah sebab dahulunya datang dari Allah. Tinggallah sementara waktu di sana, sampai datang satu ketika. Orang seorang hidup di dunia, kemudian mati. Anak cucu manusia itu turun-temurun meramaikan dunia sampai datang pula waktunya dunia itu dikiamatkan.
Menurut setengah tafsir lagi, kalimat ihbi-thuu boleh diartikan “turunlah kamu semuanya" dari dalamnya, yaitu dari dalam surga, yang dimaksud dengan memakai fi'il amar yang berupa jamak (perintah kepada banyak orang), bukanlah pada Adam, Hawa, dan Iblis, melainkan pada Adam dan Hawa dan anak-anak keturunan yang akan datang di belakang. Dalam kalimat jamak itu, tidak untuk iblis.
Mereka tafsirkan demikian sebab perintah khusus menyuruh turun dan keluar daripada surga kepada iblis sudah terang dalam ayat 12 di atas. Ihbith: perintah turun kepada orang seorang (mufrad).
Dan kata ahli tafsir itu pula, walaupun waktu itu yang kelihatan baru Adam dan Hawa, keturunan mereka telah ada dalam diri mereka. Pendapat penafsiran ini mereka kuatkan dengan ayat 171 dari surah ini juga, yang kita akan sampai kepadanya. Bahwa tatkala manusia telah ditentukan buat menghuni dunia ini, Allah telah menanyakan pada lembaga manusia yang akan jadi itu."Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Semuanya telah menjawab: “Memang tiada lain, kami telah naik saksi!"
Namun, tafsir yang pertama sudah dapat pula dipahamkan jika diingat lanjutan ayat yang mengatakan bahwa setelah semuanya turun dari dalam surga atau keluar dari da-lamnya."Setengah kamu bagi yang setengah adalah musuh." Bahwa yang bermusuhan itu adalah manusia dengan iblis. Dan ayat selanjutnya menegaskan lagi:
Ayat 25
“Firman'Nya (pula): Di dalamnyalah kamu akan hidup dan di dalamnya kamu semua akan mati; dan daripadanya kamu akan dikeluarkan."
Dipersambungkanlah kembali atau dikaitkan ayat 25 ini dengan ayat 10 tersebut. Beginilah asal mulanya maka manusia diberi ketetapan Allah untuk hidup di atas bumi ini sehingga diberi pula berbagai macam mata penghidupan. Dan dapatlah pula dipahamkan bahwa di dunia hanya sementara, sebab asal kejadian dari tanah akan kembali ke tanah dan akan dikeluarkan kembali dari tanah, untuk mempertanggungjawabkan kepercayaan dan amal kepada Allah. Di sini diperingatkan bahwa manusia datang ke dunia bukanlah dua suami-istri Adam dan Hawa saja, tetapi bertiga dengan musuh mereka: Iblis! Sehingga mencari bekal buat kembali kepada Allah pada satu ketika itu meminta tenaga perjuangan yang hebat dahsyat. Sebab musuh akan meng-ganggu di mana-mana, dari muka, dari belakang, dari kanan, dan dan kiri.
Dari ayat ini kita mendapat kesan perbedaan manusia dengan Iblis. Iblis berdosa dan manusia berdosa. Pangkal dosa iblis ialah takabur sehingga tidak mau diperintah sujud dan setelah ditegur dia bertambah menyombong bahkan bertekad meneruskan dosa itu guna menghancurkan musuhnya. Manusia pun berdosa tetapi bukan karena sombong, hanyalah karena belum berpengalaman, sehingga mudah dirayu. Dan setelah ditegur, manusia segera tobat. Oleh sebab itu, manusia datang ke dunia ialah sesudah diberi tobat Dan manusia pun insaf, bahwa jika tidak ada ampunan dan rahmat Allah, dosa itu bisa terulang lagi. Mereka diberi tobat dan disuruh turun ke dunia. Langsung diangkat menjadi khalifah Allah di dalam bumi. Oleh karena itu, dalam dasar atau kalau hendak diriamai filsafat ajaran Islam, tidak ada dosa waris. Dosa hanya bisa bertemu kalau manusia tidak dapat mengendalikan diri dan terperosok karena rayuan musuh besarnya. Maka dari itu, hendaklah manusia itu di dunia berjuang menegakkan kehendak suci yang ada dalam jiwanya mendekati Allah dan menentang rayuan dari musuhnya yaitu iblis.
Dan dari Al-Qur'an pun kita mendapat pelajaran bahwa iblis itu adalah dari Jin (al-Kahf ayat 50), sama-sama terjadi dari api beracun.
Maka, dalam kalangan jin itu pun tidak semuanya jadi iblis dan jadi setan. Ada pula yang baik dan menerima syariat nabi-nabi. Tentang jin yang Mukmin dapat dibaca surah al-jinn.
Ada juga perselisihan pendapat ulama, sebagai ketika menafsirkan al-Baqarah dahulu tentang surga ini, telah kita uraikan. Sebab disebut jannah, kita artikan surga, dan dia pun berarti juga kebun atau taman yang indah. Setengah ahli tafsir mengatakan jannah yang diperkatakan ini ialah surga yang dijanjikan, itu. Dan setengah lagi mengatakan bukan surga yang dijanjikan, melainkan suatu taman indah di dunia ini. Namun, di mana tempatnya kita tidak tahu. Sebab surga yang dijanjikan itu tidak akan ada sama sekali iblis di dalamnya, sebab iblis adalah ruh jahat. Yang mana pun yang benar, Allah-lah yang tahu. Kalau benarlah jannah itu ialah surga yang dijanjikan maka rupanya memang tidaklah layak manusia mencapainya dengan tidak ada pengertian dan pengalaman, pahit dan getir perjuangan hidup, menang dan kalah menghadapi musuh. Akhirnya mencapai husnul khatimah dan timbangan yang berat pada kebajikan maka ber-haklah kembali ke sana dengan tenteram, sebagai an-nafsul muthma'innah, yakni jiwa yang telah mencapai ketenteramannya sesudah dikilang, diterpa, dan digembleng berbagai ujian hidup.
SIAPAKAH YANG MULA BERSALAH? LAKI-LAKI ATAUKAH PEREMPUAN?
Apabila kita tilik ajaran Islam dari sumbernya sendiri, yaitu Al-Qur'an, yang menerangkan kisah kesalahan Adam dan Hawa ini, pada beberapa surah, jelas sekali bahwa Adam dan Hawa keduanya sama bersalah. Keduanya sama-sama digelincirkan perdayaan setan dan iblis.
Di dalam surah al-Baqarah ayat 36, jelas sekali bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh iblis. Di dalam surah al-A'raaf ini pada ayat 20 sekali lagi dijelaskan bahwa mereka berdualah yang sama ditimbulkan waswas dalam hati mereka sehingga terperosok jatuh.
Namun, di dalam surah Thaahaa ayat 115, 117-120 bahwa yang dipikuli tanggung jawab atas kesalahan ini adalah Adam sendiri. Di ayat 120 pun dijelaskan bahwa yang pertama diperdayakan setan supaya memakan buah kayu terlarang itu ialah Adam. Di ayat 121 terang sekali bahwa istrinya hanya turut memakan karena yang dahulu jatuh ialah suaminya. Malahan di ujung ayat 121 itu pun jelas sekali bahwa yang mendurhakai Allah dan
yang tersesat langkahnya hanya Adam. Istrinya hanya terbawa-bawa. Demikianlah kalau Al-Qur'an kita tafsirkan dengan Al-Qur'an.
Di sini terdapat perbedaan yang jauh sekali dengan paham Yahudi dan Nasrani (Kristen) dengan paham Islam terhadap perempuan. Di dalam Kitab Kejadian (Perjanjian Lama) pasal 3 ayat 11 dan 12 kelihatan bahwa Adam mengelakkan tanggung jawab dari dirinya dan me-nyalahkan istrinya. Cobalah perhatikan!
Ayat 11:
“Maka firman Allah, ‘Siapa gerangan memberi tahu engkau bahwa engkau telanjang? Sudahkah engkau makan daripada pohon yang telah Ku-pesan jangan engkau makan buahnya."‘
Ayat 12:
“Maka sahut Adam, ‘Adapun perempuan yang telah Tuhan karuniakan kepadaku itu, yaitu memberikan daku buah pohon itu lalu kumakan."‘
Oleh sebab itu, menjadi dasar kepercayaanlah bagi pemeluk kedua agama itu bahwa yang pangkal bala, pangkal bencana, ialah perempuan.
Pokok pikiran dan pokok kepercayaan bahwa dosa pertama yang kemudian menjadi dosa waris itu adalah berasal dari dosa Hawa (Eva), dosa perempuan, karena dialah yang mula diperdayakan oleh iblis, yang masuk menyelusup ke dalam Surga Aden, menumpang dalam tubuh ular. Kalau bukan dosa Hawa tidaklah insan akan terusir dari surga dan berdosa buat selama-lamanya, turun temurun. Sehingga, salah seorang filsuf Kristen, Tertu-lian, menyatakan pendapat, “Kalau Adam tidak sampai mendurhakai Tuhannya, niscaya dia akan hidup suci bersih dan akan tetap mempunyai keturunan manusia jua, tetapi tidak dengan jalan seperti binatang ini."
Santa Augustinus menyatakan pendapat tentang perempuan, “Perempuan wajib dipandang sebagai orang yang akalnya sangat pendek, walaupun dia telah bersuami ataupun telah jadi ibu. Karena perempuan itu adalah sebangsa binatang atau makhluk yang tidak mempunyai kekuatan batin dan tidak mempunyai pikiran."
dengan tafsiran israiliyat, yang dibawakan Ka'ab al-Ahbar atau Wahab bin Munabbih, ten-tang perempuan pangkal dosa, tentang iblis menumpang dalam ular masuk surga dan se-bagainya. Semuanya itu hanya tafsir, tidak bertemu dalam Al-Qur'annya sendiri.
Dari sebab ajaran ini, sampal-sampai pa da bersetubuh pun, dalam hati kecil orang Kristen adalah dipandang sebagai akibat dosa akibat perdayaan iblis.
Setelah kita menilik pokok pangkal kepercayaan ini, pokok pangkal kepercayaan berkenaan dengan memakan buah terlarang, dapatlah kita pahamkan bahwa Hawa tersesat adalah karena patuh menurut suami saja. Oleh sebab itu, yang kena tanya terlebih dahulu bukan dia, melainkan suaminya. Dan di dalam Al-Qur'an surah Thaahaa itu jelas sekali bahwa Adam mengakui dan memikul tanggung jawab itu, lalu dia pun tobat.
Tobatnya diterima Allah, tobat istrinya pun diterima Allah. Di dalam Al-Qur'an surah Aali ‘Imraan ayat 33, jelas sekali bahwa kemudiannya dia telah dipilih oleh Allah, telah ishthafa buat memikul tanggung jawab untuk meramaikan dunia ini. Kemudian, bertemulah berpuluh ayat di dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan, sama-sama mendapat penghargaan dari Allah karena iman dan amal. Di samping Mukmin terdapat mukminat, di samping Muslimin terdapat Muslimat, di samping qanitin terdapat qanitat (yang tunduk khusyu' kepada Allah).
Disamping … dapat sholat yang berpuasa), di samping laki-laki yang berjalan mengembara mencari kebenaran saihin, terdapat pula saihat. Dan, untuk semuanya disediakan Allah pahala dan ampunan yang besar, dengan tidak ada perbedaan. Dijelaskan lagi dalam beberapa ayat bahwa suami yang taat kepada Allah akan diikuti pula oleh istrinya yang taat sama-sama masuk surga.
Namun, kadang-kadang penafsir-penafsir Al-Qur'an lama, ada juga yang menghiasinya
(26) Wahai anak-anak Adam, sesungguhnya telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa, tetapi inilah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka akan ingat.
(27) Wahai anak-anak Adam, janganlah sampai menipu akan kamu setan itu, sebagai telah di keluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka. Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya, dalam pada itu kamu tidak melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.
Peringatan Allah melalui kisah Adam dan Hawa dan Iblis yang di dalam surah al-A'raaf sudah selesai dan akan bertemu lagi atau diulangkan di dalam surah yang lain. Dengan disuruhnya Adam dan Hawa bersama iblis turun ke dunia dari dalam surga itu, ber-kembang-biaklah keturunan Adam dan Hawa itu di dunia. Di dalam menafsirkan ayat ini kita tidak boleh diganggu terlebih dahulu dengan teori lain, apakah ada manusia pertama selain Adam. Yang akan kita turuti sekarang ialah se-ruan Allah kepada manusia, anak-anak Adam itu setelah mereka bertempat tinggal dalam dunia.
Ayat 26
“Wahai anak-anak Adam!"
Susunan seruan cara begini telah memberi kejelasan lagi bahwa Nabi Muhammad ﷺ bukanlah diutus kepada orang Arab saja, melainkan kepada seluruh manusia; kepada seluruh keturunan nenek moyang yang di zaman purbakala telah lebih dahulu men-cencang melatih (meneroka) negeri ini atau bumi ini. Bukan kepada laki-laki saja karena anak Adam adalah laki-laki dan perempuan.
“Sesunggguhnya, telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa." Dengan susunan ayat ini, dapatlah kita sambungkan kembali dengan ayat, gara-gara sampai nenek kita keluar dari surga, yaitu karena beliau keduanya telah tabu apa antikemaluan alat kelamin. Mereka malu sehingga mereka ambillah daun-daun kayu surga menutupi kemaluan itu. Di sini, sudah dibayangkan bahwa malu melihat kemaluan sendiri adalah kesadaran manusia pertama akan diri. Namun, setelah mereka berketetapan di dunia dan beranak-anak, diturunkan Allah-lah pakaian. Artinya diturunkanlah kepada mereka wahyu atau ilham sehingga dapat mengatur pakaian sekadar penutup kemaluan itu. Kemudian, diturunkan pulalah pakaian yang akan menjadi perhiasan. Dengan demikian, tampaklah bahwa manusia pun diberi tuntunan dari Allah Yang Mahatinggi akan mengenakan pakaian yang bersifat hiasan maka mengenallah manusia akan keindahan.
Di dalam ayat ini disebut riisyan, kita artikan dengan pakaian perhiasan. Sedangkan artinya yang asal ialah bulu burung. Alangkah halus bahasa wahyu itu. Bukankah bulu burung perhiasan dari burung itu sendiri? Ingatlah bagaimana indahnya burung merak dan warna-warninya bulu-bulu burung yang lain. Oleh sebab itu, di dalam ayat ini didahulukan menyebut pakaian sekadar penutup aurat, sebagaimana masih kita lihat pada bangsa-bangsa yang belum beradab. Bagaimanapun mereka bertelanjang, namun kemaluan mereka tetap mereka tutup. Mungkin begitulah juga Adam dan Hawa mulai ada di dunia
Kemudian manusia bertambah maju. Besar kemungkinan keindahan bulu burung salah satu yang memberi mereka ilham buat memakai perhiasan sehingga berdirilah sampai ke zaman kita ini pabrik-pabrik pakaian di Lanchashire dan Enschede dan negeri-negeri yang lain. Terutama perhiasaan pakaian perempuan. Tepat sekali, di atas pakaian dalam, di sebelah luarnya, kita mengenakan pakaian yang disebutkan riisyan atau bulu. Sejak zaman permulaan (primitif) bulu-bulu memegang peranan penting buat pakaian. Orang Indian Amerika menghiasi kepalanya dengan bulu burung. Raja-raja dan jenderal-jenderal di Eropa begitu pula. Al-Qur'an sendiri di dalam beberapa surah (surah an-Nahl ayat 80), menyebut pula tentang kepentingan bulu unta dan bulu kambing. Sampai sekarang orang pergi ke Kutub Utara atau Selatan berburu beruang mengambil bulunya buat pakaian perempuan (mantel bulu). Bulu burung cenderawasih, bulu burung merak, dan lain-lain. Kopiah orang Pakistan dan Afghanistan dibuat dari bulu kambing yang masih dalam kandungan, dengan menyembelih induknya yang sedang mengandung. Ke-mudian, manusia membuat warna-warni pada pakaian yang dari bulu-bulu itu, manusia pun berhias diri, bersolek, melagak, mematut diri di hadapan kaca, lalu bernyanyi mencari pasangan. Maka dari itu, orang-orang yang me-lagak dan melenggang-lenggok mematut diri dalam pepatah orang Sunda disebut, “Merak Ngibing", burung Merak menari.
Kemudian, setelah menyebut kedua macam pakaian itu, disebut Allah-lah pakaian yang ketiga, pakaian takwa. Dengan ini, diterangkan bahwa pakaian bukanlah semata-mata dua yang lahir itu saja, tetapi ada lagi pakaian ketiga yang lebih penting, yaitu pakaian takwa, pakaian jiwa.
Ibnu Zaid menafsirkan bahwa takwa itu sendirilah pakaian.
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa iman dan amal saleh, itulah pakaian takwa dan Allah berfirman, “Tetapi inilah yang lebih baik."
Kita teringat satu syair Arab,
“Jika seseorang tidak ada memakai pakaian takwa. Samalah dia dengan bertelanjang, walaupun dia berbaju.
Memang, beberapa banyaknya terutama orang perempuan, pakaian dan perhiasan mereka itulah yang menelanjangi jiwa mereka karena di dalam tidak ada takwa.
Coba lihat lagi susunan ayat. Pakaian bermula sekadar penutup aurat, pendiridirig malu. Mengiring pakaian perhiasan untuk eloknya hubungan dengan sesama manusia. Dan akhirnya serta intinya ialah pakaian takwa untuk menangkis serangan musuh besar tadi, yaitu Iblis.
Di ujung ayat Allah berfirman,
“Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka akan ingat."
Pakaian yang tiga macam itu adalah termasuk sebagian dari ayat-ayat Allah juga. Artinya, tanda kebesaran Allah yang telah memberi manusia kemajuan hidup. Memberi manusia hidup dan akal. Boleh kita rentang panjang bahwa kemajuan berpakaian, sejak dari primitif sampai kepada perhiasan adalah kemajuan hidup manusia itu sendiri, yang disebut kebudayaan. Orang memberi istilah, kebudayaan ialah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam kelilingnya. Bayangkan sajalah ini dan rentang panjanglah. Soal kemajuan berpakaian karena pengaruh iklim dan daerah, semuanya itu menjadi ayat-ayat atau tanda bahwa manusia hidup mendapat ilham dari Allah. Apatah lagi setelah Allah memberi peringatan pakaian ketiga, yaitu Takwa. Kalau diambil arti asal dari takwa, yaitu memelihara maka pakaian lahir memelihara aurat jangan terbuka dan perhiasan memelihara rasa keindahan dan takwa memelihara jiwa.
Setelah kita masuki pergaulan hidup sesama manusia ini, terasalah oleh kita betapa pentingnya peringatan ini bagi seluruh anak Adam. Di samping pakaian yang sangat perlu penutup aurat, perlulah pakaian takwa. Di samping pakaian indah laksana perhiasan bulu bagi burung, pakaian takwa pun sama perlunya. Karena, pakaian itu pun besar pengaruhnya terhadap pribadi. Orang Inggris mengatakan, “The dress makes the man “ pakaian membentuk orang. Seorang yang miskin sehingga pakaiannya hanya sekadar perlu penutup aurat bisa saja ditumbuhi penyakit “rasa rendah diri" jika bercampur dengan orang banyak. Karena kekurangan pakaian, orang tidak berani menempuh helat ramai. Maka Allah memberi peringatan bahwa pakaian takwa lebih baik. Dengan peringatan demikian, rasa rendah diri itu pun hilang.
Sebaliknya, lantaran pakaian mewah, baju warna-warni, laki-laki dan perempuan, orang bisa jadi takabbur, mengangkat diri lebih dari semestinya. Oleh sebab itu, dilarang berpakaian dengan rasa khuyalaak, artinya takabur.
Dan di dalam ayat ini bertemu pula bahwasanya agama tidak mengharamkan pakaian berhias bahkan Allah-lah yang menurunkan ilham untuknya. Pakaian berhias yang tercela hanyalah yang tidak disertai pakaian takwa batin tadi. Oleh sebab itu, dapatlah kita turuti pada lanjutan ayat,
Ayat 27
“Wahai anak-anak Adam Janganlah sampai menipu akan kamu setan itu sebagai telah dikeluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya, supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka."
Sejak semula kita telah diberi peringatan oleh Allah bahwa setan telah meminta kesempatan yang luas untuk memperdayakan Adam dan anak cucunya. Dia akan datang dari muka dari belakang dan dari rusuk kanan dan rusuk kiri, dia tidak akan berhenti sebelum maksudnya berhasil. Adapun kamu wahai insan telah diberi ilham oleh Allah berpakaian yang perlu dan berpakaian perhiasan. Di dalam memakai pakaian itu janganlah kamu lupa, perdayaan setan iblis yang mula-mula sehingga nenek moyangmu melanggar larangan maka yang mula-mula sekali terbuka ialah apa arti kemaluan, sampai mereka tergopoh-gopoh dari karena sangat malu, mencabut daun kayu surga guna penutup aurat. Sebab hendaklah kamu selalu berpakaian lengkap.
Janganlah kamu lalai menjaga ketiga pakaian itu. Pengalaman nenek moyangmu hendaklah kamu jadikan pengajaran. Jika terbuka pakaian sebagai dasar pertama maka terbukalah auratmu. Sungguhlah aurat itu sangat lebih baiktertutup daripada terbuka. (Sehingga setengah ulama fiqih ada yang berpendapat makruh melihat aurat kedua pihak ketika ber-setubuh ... maaf). Pakaian perhiasan, sebagai tingkat kedua yang asal ilhamnya ialah dari bulu burung, ini pun sangat bersangkut-paut dengan kelamin tadi juga. Terutama orang perempuan. Berhias adalah salah satu alat utama perempuan. Oleh sebab itu, iblis pun bisa masuk dari pakaian perhiasan itu untuk membangkitkan nafsu kelamin (seks). Bukankah dari segi pakaian perhiasan ini iblis masuk mengacaukan dunia di zaman modern kita ini? Ingatlah apa yang diriamai “rok mini" atau “hot pants" atau “You can see" (kau boleh lihat) atau yang diisyaratkan oleh hadits Nabi,
“Berpakaian, tetapi bertelanjang."
Oleh karena itu, hendaklah kita, anak-anak Adam selalu memelihara ketiga macam pakaian itu, jangan sampai perdayaan iblis masuk lagi dari segi pakaian. Kita pakai celana dalam menutup aurat. Orang perempuan menambah dengan kutang yang baik, penutup susu. Di luar itu, kita kenakan pakaian yang bersikap berhias karena berhias termasuk nikmat Allah juga. Namun, kedua pakaian itu kita lengkapi dengan pakaian ketiga yang menjadi pakaian sejati, yaitu takwa.
In syaa Allah, dengan begini tipu daya dan rayuan setan tidak akan mudah masuk kepada kita dari segi pakaian. Kemudian, Allah memperingatkan lagi tentang setan itu, “Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya. Dalam pada itu kamu tidak melihat mereka." Di sini Allah menyatakan betapa sulit kita berjuang, karena setan selalu melihat dan memerhatikan gerak-gerik kita. Dengar juga pepatah nenek moyang, “Jerat tidak pernah melupakan balam, tetapi balam selalu lupa kepada jerat." Lantaran ini apa akal? Tentu saja mesti selalu awas dan waspada. Di sinilah perlunya pakaian takwa tadi. Sebab takwa mengandung berbagal-bagai arti, yaitu memelihara, awas, tidak putus berlindung kepada Allah, tawakal, sabar, ikhlas, dzikir (ingat kepada Allah). Maka, janganlah pakaian hanya sekadar penutup aurat atau berhias jasmani, padahal Allah dibiarkan bertelanjang.
Akhirnya diberikanlah kunci ayat, yaitu peringatan yang tegas dari Allah dan kepastian yang wajar.
“Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman."
Orang yang tidak beriman adalah laksana telanjang. Tempat masuk setan terbuka di mana-mana, di muka, di belakang, di rusuk kanan, di rusuk tidak ada iman artinya tidak ada pegangan sebab kepercayaannya kepada Allah dan hari akhirat tidak ada atau tidak kukuh. Inilah yang mudah jatuh. Orang selalu memerlukan pimpinan, jika tidak ada pimpinan Allah, pimpinan setanlah yang akan diterimanya.
Oleh sebab itu, dengan tegas dapat dikatakan, tangkal-tangkai, ilmu kebal, azimat sihir dan mantera untuk menangkis setan, tidaklah ada yang mujarab. Yang mujarab hanyalah iman saja. Tangkal penyakit pun demikian. Kita pernah melihat di sebuah kampung berjangkit penyakit cacar. Maka, dukun-dukun menyuruh menggantungkan daun pudirig, daun jeluang hitam, daun jeluang putih dan urat penang di muka pintu rumah. Dan, seorang perempuan tengah mengandung, dukun menyuruh memakukan ladam kuda di muka pintu rumah. Dan, penyakit sampan menjadi. Kemudian, orang ramal-ramai mengadakan ratib tolak bala keliling kampung. Dan, banyak lagi contoh-contoh yang lain. Maka, timbullah pertanyaan, “Apakah ini dari iman atau takwa?"
Tidak! Ini adalah dari takhayul dan khurafat. Belum sah kalau pada itu digantungkan iman. Berpikirlah yang sehat. Kalau penyakit cacar menjadi, segeralah minta seisi kampung diberi injeksi obat sakit cacar. Bukan menggantungkan sampah-sampah, sarap-sarap daun kayu di muka pintu rumah. Mikrob atau hama atau baksil penyakit yang menular di dalam kampung itu adalah termasuk golongan setan-setan yang kita manusia tidak melihatnya, padahal mereka dapat melihat kita. Setelah diteropong dengan alat pembesar (mikroskop) barulah kelihatan di dalam setitik air beribu-ribu setan kecil itu yang dapat memusnahkan manusia sekampung.
Di kampung-kampung pada zaman setengah abad yang lalu, banyak perempuan-perempuan meninggal dunia sesaat setelah melahirkan anak.
Pada masa itu, kalau perempuan hendak melahirkan anak dibawa turun ke lantai yang kotor, di sana disuruh beranak. Sehabis anak lahir, perempuan itu banyak yang mati. Dan kematian perempuan sehabis melahirkan itu diriamai diperdayakan oleh hantu lantai. Untuk menjaga jangan sampai diperdayakan hantu lantai maka sejak hamil tujuh bulan ladam kuda telah dipakukan di muka pintu rumah. Begitu bodoh rupanya hantu lantai sehingga dia tidak berani masuk ke dalam rumah yang dihambat dengan ladam kuda.
Apakah memasang ladam ini termasuk iman? Bukan, melainkan khurafat dan tolol. Hantu lantai ialah kotoran lantai. Apabila perempuan itu melahirkan anak di tempat yang bersih, disambut dengan segala alat yang bersih oleh bidan yang bersih pula, hantu lantai hilang dan lari.
Oleh karena itu, segala tangkal, mantra, ramuan dukun yang tidak masuk akal, semuanya itu timbul karena tidak adanya iman. Meskipun ada sedikit iman tidak disempurnakan oleh ilmu. Golongan yang begini sangat takut pada setan dan hantu, tetapi mereka telah mengerjakan pekerjaan untuk memperbanyak hantu, dan memperbesar pengaruh setan.
Oleh sebab itu, iman sebagai pertahanan batin dan takwa sebagai pakaian jiwa, lalu dilengkapi lagi dengan ilmu adalah menimbulkan nur atau cahaya sehingga setan lari terbirit-birit. Hantu lantai dan setan hama tidak tahan kena cahaya. Ibnu Abbas di dalam tafsirnya pernah mengatakan bahwa manusia yang kurang iman takut kepada setan, jin dan hantu. Namun, setan dan jin dan hantu itu lebih sangat takut dan lari sejauh-jauhnya apabila bertemu dengan orang Mukmin.
Orang-orang tua mengatakan perkataan qiyas bahwasanya setan dan hantu dan jin itu lari karena tidak tahan melihat kening orang Mukmin, Di kening orang itu tertulis dengan sinar yang terang benderang kalimat “La Ilaha ikallah" tiada Tuhan melainkan Allah. Melihat itu mereka tidak tahan, takut dan lari. Pa-hamkanlah ini!
Dalam bulan Februari 1964, yaitu setelah satu bulan lebih saya ditangkap dan ditahan, siang malam saya diperiksa dan dituduhkan kepada diri saya berbagai macam fitnah. Sudah ada maksud rupanya hendak memeras keterangan dari diri saya supaya memberikan pengakuan yang cocok dengan fitnah yang telah dikarangkan dan dituduhkan kepada diri saya itu.
Pada suatu malam, polisi yang memeriksa masuk ke dalam ruang tahanan saya membawa sebuah bungkusan. Melihat bungkusan itu saya menyangka, mungkin itu sebuah tape-recorder buat merekam pengakuan saya. Bungkusan itu telah diletakkan ke bawah meja. Dan, saya terus ditanyai dan ditanyai lagi, kadang-kadang lemah-lembut dan kadang-kadang kasar dan dengan paksa. Namun, karena tidak ada suatu kejadian yang akan diakui, saya menjawab seperti biasa. Setelah bosan bertanya, polisi itu pun keluar. Dan, bungkusan itu dibawa kembali.
Besok paginya salah seorang anggota polisi yang masih muda yang sejak semalam bergiliran menjaga dan mengawal saya, masuk ke dalam kamar tahanan saya. Air matanya berlinang. Dia rupanya simpati terhadap saya. Dia berkata bahwa bungkusan semalam itu adalah alat guna menyetrum saya. Katanya pula bahwa bapak Ghazali Syahlan yang sama ditahan dengan saya, telah pernah disetrum. Dia heran juga, mengapa niat menyetrum saya itu tidak dijadikan. Dalam hati, saya bersyukur kepada Allah. Dan, saya jawab, “Mungkin bapak inspektur polisi itu timbul kasihan setelah dilihatnya bahwa usia saya sudah lanjut."
Namun, beberapa hari kemudian, setelah tempat tahanan saya akan dipindahkan dari
asrama polisi di Sukabumi itu, inspektur polisi yang datang ke kamar saya membawa bung-kusan itu masuk ke dalam kamar saya, lalu minta saya ajarkan kepadanya doa-doa yang saya baca. Dia berkata, “Pasti ada doa-doa atau ilmu-ilmu sakti yang Pak Hamka simpan. Saya minta dengan jujur agar Pak Hamka sudi mengajarkannya kepada saya."
Di sinilah kelemahan saya. Saya mengakui saja terus terang dan saya tidak sampai hati menyembunyikan bahwa saya memang banyak membaca doa-doa yang diajarkan Nabi, pada saat-saat penting, terutama ketika akan tidur. Sedangkan, pada waktu aman di rumah doa ajaran Nabi itu saya baca, apalagi pada saat percobaan begini hebat.
Dia minta diajarkan.
“Baik!" kata saya. Kemudian, saya ajarkan dan tuliskan. Karena dia orang yang tadi hen-dak menganiaya saya itu kurang fasih huruf Arab, saya tuliskan pula huruf latinnya dan saya tuliskan artinya.
“Ya Allah, aku serahkan diriku kepada Engkau. Aku hadapkan wajahku kepada Engkau. Aku pertaruhkan (titipkan) urusanku ini kepada Engkau. Aku sandarkan punggungku kepada Engkau. Aku harapkan lindungan Engkau dan aku ngeri akan murka Engkau. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari Engkau, melainkan kepada Engkau jua. Ya Allah, aku percaya kepada kitab yang Engkau turunkan dan aku percaya kepada Nabi yang celah Engkau utus."
Saya melihat wajah teman itu, dia rupanya betul-betul mempelajarinya, rupanya hendak dijadikannya bekal hidup. Dan, wajahnya bertukar dari wajah seorang pemeriksa yang ganas kepada wajah seorang murid yang ingin diberi bekal hidup. Setelah doa itu dipelajarinya, dia hendak keluar dari kamar tahanan saya dengan langkah perlahan-lahan. Namun, ketika dia hendak berdiri, saya pegang lututnya dan saya katakan, ‘Tunggu sebentar! Saya peringatkan kepada Saudara bahwa bagi saya sendiri doa-doa semacam itu hanyalah merupakan tambahan belaka. Yang pokok adalah sebagaimana yang Saudara saksikan sendiri selama saya Saudara tahan. Saya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Saya patuhi segala perintah Allah menurut kesanggupan yang ada, baru kemudian saya memohonkan perlindungan-Nya."
Sesudah itu, beberapa orang polisi pemeriksa lagi berbisik-bisik ke muka kamar saya minta diajarkan doa-doa.
Rupanya mereka salah paham. Mereka tidak jadi menganiaya saya karena mereka sendiri yang mundur, menjadi teka-teki bagi diri mereka sendiri. Kemudian, mereka menyangka bahwa saya ada mempunyai “penaruhan".
Padahal soalnya biasa saja, yaitu penyerahan yang bulat kepada Allah. Kalau Allah belum mengizinkan, tidak ada aniaya makhluk yang akan mempan. Dan, kalau aniaya itu terjadi, asal kita tawakal kepada Allah dan teguh pada takwa maka jika kita tidak ragu menerima segala ketentuan. Sebab, nabi-nabi dan orang-orang utama pun tidak kurang yang mati karena dianiaya.
Dengan perumpamaan itu, tepatlah dapat kita pahami maksud ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa Allah telah menentukan bahwa setan-setan adalah pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang tidak beriman.
***
(28) Dan, apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, “Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu dan Allah pun telah memerintahkannya." Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji. Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."
(29) Katakanlah, “Tuhanku telah memerintahkan dengan perimbangan dan supaya kamu te-gakkan wajah-wajahmu di sisi tiap-tiap masjid dan serulah Dia, di dalam keadaan ikhlas agama untuk-Nya. Sebagaimana Dia telah memulaikan (menjadikan) kamu, kamu pun akan kembali."
(30) Satu golongan diberi-Nya petunjuk dan satu golongan (lagi) tertimpalah atas mereka kesesatan. Sesungguhnya, mereka telah mengambil setan-setan jadi pemimpin-pemimpin selain Allah dan mereka mengira bahwa mereka adalah mendapat petunjuk.
BERAGAMA TURUT-TURUTAN SAJA (TAKLID)
Di ayat yang telah lalu diterangkan bahwa pemimpin dari orang yang tidak beriman ialah setan. Kalau hati kosong dari iman maka hati yang kosong itu akan mencari pimpinan lain, pimpinan yang membawa pada sesat. Orang yang kurang percaya kepada Allah akan datang berduyun meminta perlindungan kepada dukun. Kemudian diterangkan lagi,
Ayat 28
“Dan apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu, dan Allah pun telah memerintahkannya."
Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, orang Arab pada zaman jahiliyyah mengerjakan thawaf ke-liling Ka'bah bertelanjang bulat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Konon, yang ditutup sekadar hanya kemaluan yang malu kalau terbuka itu saja yang mereka tutup secarik kecil kulit kambing. Thawaf telanjang itu telah ditegur oleh orang Islam yang telah mendapat ajaran daripada Rasulullah ﷺ, tetapi mereka masih saja melakukan thawaf secara demikian. Dan, kalau ditanya mengapa demikian, tidak ada lain jawab mereka hanyalah karena memang secara demikian mereka dapati yang dikerjakan nenek moyang mereka dulu. Kemudian, mereka katakan pula bahwa thawaf yang demikian tentu sudah diperintahkan Allah. Kalau tidak diperintahkan Allah, niscaya tidaklah nenek moyang mereka akan mengerjakannya. Untuk mematahkan alasan yang sangat lemah atau bukan alasan itu dan untuk menyadarkan mereka supaya beragama jangan hanya turut-tu-rutan pada pusaka nenek moyang, melainkan mempergunakan akal, Allah menyuruh Rasul menanyakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji."‘
Dengan sambutan Rasul yang demikian, disadarkanlah akal murni mereka bahwa ber-telanjang di tempat beribadah yang begitu suci, bercampur-gaul laki-laki dan perempuan, aurat hanya ditutup dengan secarik kecil kulit kambing atau tidak tertutup sama sekali, dipandang keji oleh akal yang sehat. Sejak manusia tumbuh akal, sejak itu pula orang tidak mau memperlihatkan kemaluannya. Nabi Adam dan Siti Hawa setelah sadar bahwa mereka tidak berpakaian surga lagi dalam Taman Firdaus, segera mereka mencari daun-daun kayu untuk' menutup aurat sehingga belum
pun ada wahyu, tetapi kemanusiaan itu sendiri sejak semula telah merasai bahwa itu adalah keji. Oleh sebab itu, tidaklah masuk akal bahwa Allah memerintahkan supaya kamu thawaf laki-laki dan perempuan dengan bertelanjang.
Setelah mereka disadarkan bahwa beribadah thawaf dengan telanjang itu adalah perbuatan sangat keji dan mulai timbul kesadaran mereka bahwa itu keji sehingga mustahil bahwa Allah telah memerintahkan yang keji maka Allah memerintahkan Rasul melanjutkan pertanyaan,
“Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."
Di sini, tampaklah suatu soal jawab yang berdasar jalan pikiran teratur, yang menjadi sendiri, kukuh dari suatu ilmu. Mulanya disadarkan bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu hal yang keji. Hati kecil mereka telah mengakui bahwa perbuatan itu memang keji dan amal mereka hanya taklid turut-turutan belaka. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya tidak lagi menanyakan, “Bilakah Allah telah memerintahkannya?" atau ‘Tertulis dalam kitab yang mana?" Melainkan duduk pertanyaan, “Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?" Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.
Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja. Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul ﷺ dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut bid'ah.
Kita misalkan tentang thawaf bertelanjang sebagai riwayat lbnu Jarir ini. Orang jahiliyyah mengatakan bahwa perbuatan itu telah mereka dapati sejak nenek moyang. Kemudian, mereka kacaukan dengan alasan bahwa Allah
Ayat 28
“Dan apabila mereka mengerjakan sesuatu yang keji, mereka katakan, Telah kami dapati bapak-bapak kami atas pekerjaan itu, dan Allah pun telah memerintahkannya."
Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, orang Arab pada zaman jahiliyyah mengerjakan thawaf ke-liling Ka'bah bertelanjang bulat, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Konon, yang ditutup sekadar hanya kemaluan yang malu kalau terbuka itu saja yang mereka tutup secarik kecil kulit kambing. Thawaf telanjang itu telah ditegur oleh orang Islam yang telah mendapat ajaran daripada Rasulullah ﷺ, tetapi mereka masih saja melakukan thawaf secara demikian. Dan, kalau ditanya mengapa demikian, tidak ada lain jawab mereka hanyalah karena memang secara demikian mereka dapati yang dikerjakan nenek moyang mereka dulu. Kemudian, mereka katakan pula bahwa thawaf yang demikian tentu sudah diperintahkan Allah. Kalau tidak diperintahkan Allah, niscaya tidaklah nenek moyang mereka akan mengerjakannya. Untuk mematahkan alasan yang sangat lemah atau bukan alasan itu dan untuk menyadarkan mereka supaya beragama jangan hanya turut-tu-rutan pada pusaka nenek moyang, melainkan mempergunakan akal, Allah menyuruh Rasul menanyakan kepada mereka, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan barang sesuatu yang keji-keji."‘
Dengan sambutan Rasul yang demikian, disadarkanlah akal murni mereka bahwa ber-telanjang di tempat beribadah yang begitu suci, bercampur-gaul laki-laki dan perempuan, aurat hanya ditutup dengan secarik kecil kulit kambing atau tidak tertutup sama sekali, dipandang keji oleh akal yang sehat. Sejak manusia tumbuh akal, sejak itu pula orang tidak mau memperlihatkan kemaluannya. Nabi Adam dan Siti Hawa setelah sadar bahwa mereka tidak berpakaian surga lagi dalam Taman Firdaus, segera mereka mencari daun-daun kayu untuk' menutup aurat sehingga belum pun ada wahyu, tetapi kemanusiaan itu sendiri sejak semula telah merasai bahwa itu adalah keji. Oleh sebab itu, tidaklah masuk akal bahwa Allah memerintahkan supaya kamu thawaf laki-laki dan perempuan dengan bertelanjang.
Setelah mereka disadarkan bahwa beribadah thawaf dengan telanjang itu adalah perbuatan sangat keji dan mulai timbul kesadaran mereka bahwa itu keji sehingga mustahil bahwa Allah telah memerintahkan yang keji maka Allah memerintahkan Rasul melanjutkan pertanyaan,
“Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui."
Di sini, tampaklah suatu soal jawab yang berdasar jalan pikiran teratur, yang menjadi sendiri, kukuh dari suatu ilmu. Mulanya disadarkan bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu hal yang keji. Hati kecil mereka telah mengakui bahwa perbuatan itu memang keji dan amal mereka hanya taklid turut-turutan belaka. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya tidak lagi menanyakan, “Bilakah Allah telah memerintahkannya?" atau ‘Tertulis dalam kitab yang mana?" Melainkan duduk pertanyaan, “Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?" Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.
Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja. Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul ﷺ dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut bid'ah.
Kita misalkan tentang thawaf bertelanjang sebagai riwayat lbnu Jarir ini. Orang jahiliyyah mengatakan bahwa perbuatan itu telah mereka dapati sejak nenek moyang. Kemudian, mereka kacaukan dengan alasan bahwa Allah menengadah pun tidak sah. Yang dimaksud ialah khusyu tadi. Jangan sampai sebagai perbuatan orang jahiliyyah, sebagai tersebut dalam surah al-Anfaal ayat 35, beribadah sambil bersiul dan bertepuk-tepuk tangan sehingga hilang habis sirna ketekunan ibadah karena siul dan tepuk tangan.
Kemudian dijelaskan lagi, “Dan, serulah Dia," artinya bulatkanlah seruan dan doa ke-pada-Nya saja, jangan dicampur dengan yang lain."Di dalam keadaan ikhlas agama untuk-Nya" Memperjelas sekali lagi, saat berdoa hanya Allah yang diseru dan bahwa segala upacara ibadah haruslah ikhlas. Ikhlas artinya bersih suci, sejati, tidak emas bercampur loyang, bulat hati kepada Allah sehingga dimisalkan di belah dada, berani dibuka dan yang didapati di dalamnya hanya satu tujuan: untuk Allah! Apakah sebab sampai demikian?
Ujung ayat menjelaskan,
“Sebagaimana Dia telah memulaikan (menjadikan) kamu, kamu pun akan kembali."
Ujung ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan yang terasa di hati, apa sebab kita harus khusyu mengerjakan shalat, mendirikan dan menghadapkan muka kepada Allah di tiap tempat sujud. Jawab itu ialah sebagaimana dahulunya Allah telah memuliakan kejadian kita, daripada tidak ada menjadi ada. Maka, dengan kodrat dan iradat-Nya kita pun akan ada kembali sesudah mati, atau sesudah Kiamat.
Ayat 30
“Satu golongan dibeii-Nya petunjuk dan satu gotongan (lagi) tertimpalah atas dirt meteku kesesalan “
Seluruh manusia telah diciptakan Allah dari keturunan Adam. Kemudian, hidup dalam dunia ini dan kelak akan mati. Setelah mati semuanya pun akan kembali hidup di alam lain, alam akhirat. Kebangkitan kedua kali ini menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang mengikuti petunjuk Allah, kedua golongan yang tersesat.
Mengapa ada yang tersesat?
Lanjutan ayat telah memberikan jawaban, mengapa ada golongan yang tersesat: “Sesung-guhnya mereka telah mengambil setan-setan jadi pemimpin-pemimpin selain Allah."
Ingatlah kembali bahwa sejak semula Adam dijadikan dan iblis disuruh sujud lalu menolak, sudah tampak bahwa golongan ini akan terbagi dua. Dan, setelah iblis mencoba memercayakan Adam dan istrinya, sudah bertambah jelas bahwa golongan ini akan terbagi dua. Pada ayat 28 Allah memperingatkan bahwa apabila Adam dan keturunannya telah disuruh meninggalkan surga bersama iblis itu, barangsiapa yang mengikut petunjuk Allah, tidak usah mereka khawatir, tak usah mereka merasa takut ataupun bersedih hati. Sebab, mereka akan selamat. Di ayat 29 dijelaskan lagi bahwa orang yang menolak dan kafir, yang mendustakan ayat-ayat Allah, nerakalah tempatnya dan akan kekallah dia di dalam. Rupanya setelah hari Kiamat itu nanti, seluruh insan akan dihidupkan kembali. Sebagaimana dahulu mereka diadakan daripada tidak ada, sekarang mereka dibangkitkan pula daripada tidak ada kepada ada.
Sayyid Quthub menjelaskan lagi di dalam tafsirnya, Fi Zhilalil-Al-Qur'an, tentang tafsir ujung ayat 29 tadi bahwa sebagaimana kamu dimulaikan oleh Allah dahulu, kamu akan kembali begitu pula. Kata beliau dalam tafsirnya itu, kejadian manusia dan iblis dimulai dengan pertentangan cinta insani menegakkan kebenaran, menuju ridha Allah, berhadapan dengan perdayaan dan bujuk cumbu iblis agar manusia meninggalkan jalan Allah dan menuruti jalan mereka yang sesat. Ada di antara manusia meninggalkan jalan yang benar dan menuruti jalan iblis yang sesat. Maka, sampai hari Kiamat begitu jualah yang terjadi sebab yang pangkal mesti berujung. Golongan yang tersesat itu ialah karena mereka mengambil setan-setan jadi pimpinan. Setan-setan membujuk rayu mereka supaya meninggalkan jalan Allah yang benar, lalu berbuat yang keji dan kotor, kebencian dan permusuhan.
“Dan, mereka mengira bahwa mereka adalah mendapat petunjuk."
Demikianlah halusnya bujukan setan-setan itu sehingga di dalam kesesatan itu mereka merasa mendapat petunjuk. Yang salah mereka sangka benar, yang bengkok mereka sangka lurus. Yang batil mereka sangka hak sehingga kerap kali kejadian bahwa orang yang betul-betul hendak menegakkan kebenaran mendapat keaniayaan daripada orang yang mempertahankan barang yang salah.
Kebanyakan orang yang tersesat dalam kepercayaan dan amalan, menyangka mereka mendapat petunjuk. Mereka akan mempertahankan pendirian yang salah, seperti Fir'aun mempertahankan kekuasaannya di hadapan Musa, dan Abu Jahal mempertahankan berhalanya di hadapan Muhammad ﷺ Sebab, semuanya menyangka bahwa mereka di pihak yang benar. Sehingga orang yang benar-benar berdiri mempertahankan petunjuk dan hidayah Ilahi selalu mesti menghadapi perjuangan yang sengit, kadang-kadang dibayar dengan nyawa sendiri, barulah kebenaran sejati dapat tegak berhadapan dengan kebenaran saduran.