Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِمَّا
dan jika
يَنزَغَنَّكَ
menipu/menggodamu
مِنَ
dari
ٱلشَّيۡطَٰنِ
syaitan
نَزۡغٞ
tipuan/godaan
فَٱسۡتَعِذۡ
maka berlindunglah
بِٱللَّهِۚ
kepada Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
وَإِمَّا
dan jika
يَنزَغَنَّكَ
menipu/menggodamu
مِنَ
dari
ٱلشَّيۡطَٰنِ
syaitan
نَزۡغٞ
tipuan/godaan
فَٱسۡتَعِذۡ
maka berlindunglah
بِٱللَّهِۚ
kepada Allah
إِنَّهُۥ
sesungguhnya Dia
سَمِيعٌ
Maha Mendengar
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Jika setan benar-benar menggodamu dengan halus, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tafsir
(Dan jika) lafal immaa merupakan gabungan antara in syarthiah dan maa zaidah atau tambahan (kamu ditimpa suatu godaan setan) dimaksud jika setan memalingkan kamu dari apa yang kamu diperintahkan untuk melakukannya dengan suatu godaan (maka berlindunglah kepada Allah) sebagai jawab syarath sedangkan jawab amarnya dibuang, yaitu guna menolak setan daripada dirimu (sesungguhnya Allah Maha Mendengar) semua perkataan (lagi Maha Mengetahui) semua pekerjaan.
Tafsir Surat Al-A'raf: 199-200
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni ambillah dari lebihan harta mereka sejumlah yang layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari harta mereka.
Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat As-Suddi. Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf. 199) Makna yang dimaksud ialah 'infakkanlah lebihan dari hartamu'. Menurut Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-'afwa dalam ayat ini ialah lebihan. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Allah memerintahkan Nabi ﷺ agar bersifat pemaaf dan berlapang dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun.
Kemudian Nabi ﷺ diperintahkan untuk bersikap kasar terhadap mereka. Pandapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh. Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'bersikap lapang dadalah kamu dalam menghadapi akhlak mereka'. Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Urwah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Zubair) yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang mengatakan, "Jadilah engkau pemaaf," yakni terhadap akhlak manusia.
Menurut riwayat lain dari selain Bukhari, disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar. Dan menurut riwayat yang lainnya lagi disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa keduanya pernah menceritakan hal yang semisal. Di dalam riwayat Sa'id ibnu Mansur disebutkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam, dari Wahb Ibnu Kaisan, dari Abuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: jadilah engkau pemaaf. (Al- A'raf: 199) Maksudnya dalam menghadapi akhlak manusia.
Selanjutnya disebutkan, "Demi Allah, aku benar-benar akan bersikap lapang dada selama aku bergaul dengan mereka." Riwayat inilah yang paling masyhur dan diperkuat oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu' Jarir dan Ibnu Abu Hatim; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ubay yang menceritakan bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Nabi-Nya, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Wahai Jibril, apakah artinya ini?" Jibril a.s.
menjawab, "'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar memaafkan terhadap perbuatan orang yang berbuat aniaya kepadamu, dan kamu memberi orang yang mencegahnya darimu, serta bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu." Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula dari Abu Yazid Al-Qaratisi secara tertulis, dari Usbu' ibnul Faraj, dari Sufyan, dari Ubay, dari Asy-Sya'bi hal yang semisal. Semua riwayat yang telah disebutkan di atas berpredikat mursal dalam keadaan apa pun, tetapi telah diriwayatkan melalui jalur-jalur lain yang memperkuatnya.
Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari Jabir dan Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah, dari Nabi ﷺ yang keduanya di-isnad-kan oleh Ibnu Murdawaih. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah. telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abu Umamah Al-Bahili, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah ﷺ, lalu ia mengulurkan tangannya, menyalami tangan Rasulullah ﷺ, kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang amal-amal perbuatan yang paling utama." Rasulullah ﷺ, bersabda: Wahai Uqbah.
bersilaturahmilah kamu kepada orang yang memutuskannya darimu, berilah orang yang mencegahnya darimu, dan berpalinglah dari orang yang aniaya kepadamu. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Yazid dengan lafal yang sama, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan. Menurut kami. Ali ibnu Yazid dan gurunya Al-Qasim alias Abu Abdur Rahman berpredikat dha’if.
Imam Bukhari telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaafdan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Yang dimaksud dengan al-'urfu ialah hal yang makruf (bajik). Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri; telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Uyaynah ibnu Husatn ibnu Huzaifah tiba (di Madinah), lalu menginap dan tinggal di rumah kemenakannya, yaitu Al-Hurr ibnu Qais. Sedangkan Al-Hurr termasuk salah seorang di antara orang-orang yang terdekat dengan Khalifah Umar.
Tersebut pula bahwa teman-teman semajelis Umar dan dewan permusyawaratannya terdiri atas orang-orang tua dan orang-orang muda. Lalu Uyaynah berkata kepada kemenakannya, 'Wahai kemenakanku, engkau adalah orang yang dikenai oleh Amirul Muminin, maka mintakanlah izin masuk menemuinya bagiku." Al-Hurr berkata, 'Saya akan memintakan izin buatmu untuk bersua dengannya'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Al-Hurr meminta izin buat Uyaynah kepada Umar, dan Khalifah Umar memberinya izin untuk menemui dirinya.
Ketika Uyaynah masuk menemui Umar, Uyaynah berkata. 'Wahai Umar. demi Allah, engkau tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.' Maka Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah, tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,' Wahai Amirul Muminin, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Dan sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh." Demi Allah, ketika ayat itu dibacakan kepada Umar.
Umar tidak berani melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada Kitabullah" Hadits diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'Ia secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Nafi', bahwa Salim ibnu Abdullah ibnu Umar bersua dengan iringan kafilah negeri Syam yang membawa sebuah lonceng.
Maka Salim ibnu Abdullah berkata, "Sesungguhnya barang ini diharamkan." Mereka menjawab, "Kami lebih mengetahui daripada kamu tentang hal ini. Sesungguhnya yang tidak disukai hanyalah lonceng besar, sedangkan lonceng seperti ini tidak apa-apa." Salim diam dan merenungkan firman-Nya: serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh, (Al-A'raf: 199) Menurut Imam Bukhari, yang dimaksud dengan istilah al-'urfu dalam ayat ini ialah perkara yang makruf (bajik). Ia menukilnya dari nas yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair, As-Saddt, Qatadah, Ibnu Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa bila dikatakan aulaituhu ma'rufan, "arifa, arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu Jarir mengatakan, Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan semua hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh. Sekalipun hal ini merupakan perintah kepada Nabi-Nya, sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi makhluk-Nya untuk bersikap sabar dalam menghadapi gangguan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka.
Tetapi pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak mengerti perkara yang hak lagi wajib yang termasuk hak Allah, tidak pula bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada Allah, tidak mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus diperangi oleh kaum muslim. Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Hal ini merupakan akhlak yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk disandang oleh Nabi-Nya, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberinya petunjuk ke akhlak ini.
Sebagian orang yang bijak ada yang menuangkan pengertian ini ke dalam dua bait syair berikut: Jadilah kamu pemaaf dan serulah (orang-orang) berbuat kebajikan, sebagaimana engkau diperintahkan. Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan lemah-lembutlah dalam berbicara kepada semua orang, maka hal yang baik bagi orang yang berkedudukan ialah berkata dengan lemah-lembut. Sebagian ulama mengatakan bahwa manusia itu ada dua macam: Pertama, orang yang baik; terimalah kebajikan yang diberikannya kepadamu, janganlah kamu membebaninya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, jangan pula sesuatu yang menyempitkan dirinya.
Adapun terhadap orang yang kedua, yaitu orang yang buruk, maka perintahkanlah dia untuk berbuat yang makruf. Jika ia tetap tenggelam di dalam kesesatannya serta membangkang tidak mau menuruti nasihatmu serta terus-menerus di dalam kebodohannya, maka berpalinglah kamu darinya. Mudah-mudahan berpalingmu darinya dapat menolak tipu muslihatnya terhadap dirimu, seperti yang disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami mengetahui apa yang mereka sifatkan.
Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku. (Al-Muminun: 96-98) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 34-35) Yakni orang yang beroleh wasiat ini.
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-A'raf: 200) Sedangkan dalam surat ini (yakni Al-A'raf) disebutkan pula hal yang sama, yaitu melalui firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) ketiga ayat ini berada di dafam surat Al-A'raf, Al-Muminun, dan Ha-mim Sajdah, tidak ada lainnya lagi.
Melaluinya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan petunjuk tentang tata cara menghadapi orang yang berbuat maksiat, yaitu menghadapinya dengan cara yang baik, karena dengan cara inilah jbinalannya dalam berbuat maksiat dapat dihentikan dengan seizin Hah subhanahu wa ta’ala Karena itulah dalam surat Fushshilat disebutkan: maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia. (Fushshilat: 34) Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk meminta perlindungan ;pada-Nya dari godaan setan yang tidak kelihatan, karena sesunguhnya setan tidak senang bila kita berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya setan itu hanya bertujuan untuk menghancurkan dan membinasakan kita cara keseluruhan.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata igi kita dan bagi kakek moyang kita jauh sebefum kita (yakni Nabi dam). Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan. (Al-A'raf: 200) yaitu jika setan menggodamu dengan perasaan marah yang karena itu kamu tidak mampu berpaling dari orang yang bodoh, dan justru kamu terdorong untuk memberinya pelajaran. maka berlindunglah kepada Allah. (Al-A'raf: 200) maksudnya, mintalah perlindungan kepada Allah dari godaannya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) Allah Maha Mendengar terhadap kebodohan orang yang berbuat kebodohan terhadap dirimu, dan Maha Mendengar terhadap permintaan perlindunganmu dari godaan setan serta lain-lainnya yang berupa obrolan orang lain. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya, Dia Maha mengetahui semua urusan makhluk-Nya, termasuk godaan setan yang telah merasuki hatimu. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Al-A'raf: 199) Maka Nabi ﷺ bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dengan amarah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Ajlah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) Menurut kami, pada permulaan pembahasan mengenai isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) telah disebutkan sebuah hadits tentang dua orang lelaki yang saling mencaci di hadapan Nabi ﷺ Kemudian salah seorangnya marah, sehingga hidungnya mekar karena emosinya.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat, seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah dari dirinya emosi yang membakarnya, yaitu: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutukKetika disampaikan kepada lelaki itu apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, maka si lelaki yang emosi itu menjawab, "Saya tidak gila." Asal makna dari lafal an-nazgu ialah kerusakan, penyebabnya adakalanya karena marah (emosi) atau lainnya. Sehubungan dengan pengertian ini disebutkan di dalam firman-Nya: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).
Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (Al-Isra: 53) Makna al-'iyaz ialah memohon perlindungan, naungan, dan pembentengan dari ulah kejahatan. Sedangkan al-malaz. pengertiannya tertuju kepada memohon kebaikan, juga pengertian memohon perlindungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Hani' dalam syairnya: Wahai Tuhan yang aku berlindung kepada-Nya dalam memohon apa yang aku cita-citakan, dan Yang aku berlindung kepada-Nya dari semua yang aku hindari.
Tiada seorang manusia pun yang dapat menambal tulang yang telah Engkau pecahkan, dan mereka tidak akan dapat mematahkan suatu tulangpun yang telah Engkau tambal. Mengenai hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) kebanyakan telah kami kemukakan, sehingga tidak perlu diulangi lagi."
Rasul sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kemungkaran orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya, dan setan akan memanfaatkan itu. Oleh karenanya, Nabi dan umatnya diingatkan, Dan jika setan datang menggodamu dengan merayu secara halus, melalui suatu bisikan, seperti saat dirimu murka karena hujatan-hujatan jahat mereka, maka berlindunglah kepada Allah, dengan memohon pertolongan kepada-Nya, niscaya Dia akan mengusir bisikan-bisikan itu. Sungguh, Dia Maha Mendengar setiap ucapan, termasuk permohonanmu itu, dan Dia Maha Mengetahui setiap perbuatan, termasuk yang direncanakan oleh setan. Setelah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad, kini petunjuk tertuju kepada kaum bertakwa secara umum. Sesungguhnya orangorang yang bertakwa, yang memberi batas pemisah antara diri mereka dengan perbuatan-perbuatan maksiat, sehingga menghalangi masuknya rayuan dan godaan setan yang dapat memalingkan mereka dari perintah Allah, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat untuk berbuat dosa dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah yang telah memerintahkan untuk taat dan bertobat kepada-Nya, maka ketika itu juga, dengan cepat bagaikan tiba-tiba, mereka melihat dan menyadari kesalahan-kesalahannya.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan, lalu dia tidak dapat melaksanakan prinsip di atas. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar selalu memohonkan perlindungan kepada Allah jika golongan setan datang, dengan membaca "Taawwuz", yaitu:
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".
Allah ﷻ Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari godaan setan itu.
Firman Allah swt:
"Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur'an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak ada akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan". (an-Nahl/16:98-99)
Sabda Rasulullah saw:
"Tidak seorang pun di antara kamu sekalian melainkan didampingi temannya dari jenis jin. Berkatalah para sahabat: Engkau juga hai Rasulullah? Beliau menjawab, "Saya juga". Hanya Allah menolong aku menghadapinya maka selamatlah aku dari padanya." (Riwayat Muslim dari Aisyah ra. dan Ibnu Masud)
Meskipun dalam ayat ini perintah ditujukan kepada Rasul, namun perintah ini meliputi seluruh umatnya yang ada di dunia ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 200
“Dan, jika mengenai kepada engkau suatu gangguan dari setan maka berlindunglah kepada Allah! Sesungguhnya Dia adalah Mendengar lagi Mengetahui."
Gangguan bukan saja akan datang dari luar, tetapi akan masuk ke dalam diri sendiri dengan secara halus, yaitu gangguan setan iblis. Allah peringatkan ini kepada Rasul-Nya Muhammad ﷺ setelah dekat kepada penutup surah, sebagai simpulan daripada permulaan surah dahulu, yang menerangkan bahwa iblis di dalam surga telah mengganggu nenek moyang kita Adam dan Hawa dengan perdayaannya, sehingga termakan buah yang terlarang. Maka, beliau, Nabi Muhammad ﷺ, apatah lagi umatnya ini, tidak pulalah akan terlepas daripada gangguan setan itu. Bukankah ketika akan disuruh keluar dari surga, iblis telah meminta kepada Allah agar dia diberi kesempatan mengganggu keturunan Adam dan Allah pun membiarkan. Allah berkata bahwa gangguan mereka itu tidak akan mempan kepada hamba-hamba-Ku. Kekuasaan dan pe-ngaruh mereka tidak akan masuk kepada orang yang selalu berlindung kepada Allah, Oleh sebab itu akhir penutup surah, Allah memperingatkanlah hal itu kembali. Agar jika dia datang mengganggu, lekas-lekas melin-dungkan diri kepada Allah.
Dia datang memperdayakan Nabi Yusuf dengan perantaraan Zulekha. Akan tetapi, Yusuf sadar dan selamat. Kalau Yusuf mau, tentu masuk perdayaan setan, sebab dia jauh dari orangtua dan saudaranya, dia waktu itu hanya seorang hamba sahaya, sedang yang merayunya ialah seorang perempuan cantik, induk semangnya yang berkuasa atas dirinya dan kaya raya pula. Kalau Yusuf yang bersih dicobanya juga memperdayakan, apatah lagi kita. Perdayaan perempuan hanya satu macam saja dari 700 macam perdayaan iblis.
Kita bisa marah sehingga tidak dapat mengendalikan diri. Seorang mahasiswa yang jatuh dalam ujian semester, bisa diperdaya-kannya, sehingga membunuh diri.
Penulis tafsir ini ketika mendapat tuduhan dari fitnah yang hebat dan didesak-desak untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah dipikirkannya, yaitu dituduh mengkhianati negara dan tanah cairnya, telah bersumpah-sumpah mengatakan tidak pernah jangankan berbuat, sedangkan teringat pun tidak. Akan tetapi, polisi yang memeriksa masih saja belum percaya. Di saat yang sangat sulit, di saat awak merasa tidak bersalah; di saat itulah datang setan merajai; lebih baik bunuh saja diri, ambil pisau silet, potong saja urat nadi, sebentar engkau sudah mati. Dengan itu engkau akan terlepas dari tekanan jiwa ini. Padahal, sebagai salah seorang yang dididik dari kecil dalam suasana beragama, si penulis tafsir ini sudah tahu bahwa membunuh diri adalah haram dan kekal dalam neraka. Alhamdulillah, setelah dia teringat akan amal usahanya selama ini, sebagai khidmat kepada kaum Muslimin dan ibadah kepada Allah, dia membaca, “Na'udzubillahi minasyaithanir rajim", dan ingat bahwa kehilangan seorang yang membunuh diri, belumlah berarti sebagai kepecahan telur sebuah dari golongan umat Muhammad ﷺ, segera dia ingat kepada Allah dan segeralah matanya terbuka, melihat kebenaran sejati, bahwasanya cobaan yang dideritanya belum sekuku jika dibandingkan
Ucapkanlah dengan lidah yang datang dari hati sanubari, bahwa tempat berlindung dari bahaya setan itu ialah Allah, dan bacalah:
“Aku berlindung kepada Allah dari (usaha) setan terkutuk."
Perlindungan diri kita yang tulus ikhlas serta menyerah kepada Allah itu didengar oleh Allah dan diketahui-Nya.
Ayat 201
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila menyentuh akan mereka suatu gangguan dari setan, mereka pun (segera) Ingat lalu mereka pun melihat."
Orang yang beriman selalu membentengi diri mereka dengan takwa. Yaitu selalu me-melihara hubungan baiknya dengan Allah dan selalu pula awas. Akan tetapi, sekali-sekali tentu ada terlalai, sebab mereka adalah manusia. Di saat terlalai sedikit itu, setan pun mencoba mengganggu, walaupun mereka orang yang telah bertakwa. Tiap-tiap kita merasai perjuangan dengan setan itu setiap hari, setiap saat. Seumpama seorang supir mobil mengendalikan mobilnya dengan amat awas, tetapi sekali-sekali dia mengantuk. Kalau dia tidak lekas sadar, dia bisa terjerumus masuk jurang. Sebab, soal-soal yang dihadapi manusia di dalam hidup itu terlalu aneka warna.
Cobalah perhatikan ayat 27 yang dahulu, di sana dikatakan bahwa dia dan golongannya melihat kamu, sedang kamu tidak melihat mereka. Akan tetapi, meskipun dia tidak kelihatan oleh mata, tetapi pengaruhnya itu terasa kalau dia telah masuk. Sedang di dalam shalat, dicobanya juga mengganggu kita. Jerat yang dipasang setan siang dan malam, menurut ibnu Abbas, tidak kurang dari 700 macam. Kita mempunyai nafsu dan mempunyai syahwat.
Kita mempunyai keinginan-keinginan yang hanya akal dan iman yang dapat membatasinya.
…dengan cobaan yang diderita oleh ulama-ulama yang besar, dan belum tujuh tahun menderita di penjara sebagai yang diderita oleh Nabi Yusuf a.s. karena tuduhan palsu.
Di sinilah si penulis tafsir ini mengerti apa sebab polisi menjaga keras supaya orang-orang yang tengah diperiksa, dijauhkan sangat dari senjata tajam. Perebutan pengaruh dengan setan ini berlaku kira-kira satu jam. Setelah itu penulis tafsir menang dan tenang: “Alhamdulillah!"
Ayat 202
“Dan, kawan-kawan mereka menolong mereka di dalam kesesalan, kemudian mereka tidak berhenti."
Di sinilah perbedaan di antara orang Mukmin dan bertakwa dengan orang yang musyrik, Kalau orang yang bertakwa segera ingat dan sadar, tetapi orang yang musyrik akan bertambah disesatkan oleh setan-setan, sebab setan-setan itu telah menjadi kawan-kawan mereka. Sebab, dasar iman kepada Allah tidak ada, atau diri tidak dilatih sejak semula dengan takwa. Oleh sebab itu mereka bertambah hanyut, bertambah sangsi, bertambah sesat. Sebab, kawan-kawan yang mengelilingi tidak lain daripada setan-setan maka tidaklah sanggup lagi mereka mencabut diri dari dalam lumpur kehinaan itu, dan mereka tidak bisa berhenti lagi, mesti jalan terus, sampai bersama-sama dengan setan-setan itu masuk neraka, sebagai yang telah dinyatakan dengan tegas kepada setan itu ketika menjawab permohonannya memperdayakan manusia pada ayat 18 per-mulaan surah ini.
Sekarang disebutkan lagi ketakutan kaum musyrikin yang telah dipengaruhi setan itu terhadap Rasul ﷺ:
“Dan, apabila tidak engkau bawakan kepada mereka suatu ayat, mereka berkata,
Ayat 203
“Mengapa tidak engkau pilihkan dia."
Artinya, ayat-ayat Allah datang sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang berturut-turut, tetapi kadang-kadang ada renggang agak lama, sehingga belum ada ayat baru yang akan dibacakan oleh Rasulullah ﷺ Maka, pada saat ayat yang baru belum juga datang, mulailah kaum musyrikin itu berkata, mengapa sekarang tidak ada lagi engkau membaca ayat baru, mengapa tidak engkau pilihkan buat kami ayat yang lain lagi? Apakah engkau sudah berhenti jadi nabi? Apakah malaikat tidak sudi lagi mendatangi engkau? Yang sudah nyata pertanyaan begini timbul dari kekufuran juga. Sebab, jika ada ayat datang, dibacakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau juga mendengarkan, sebagai tersebut di ayat 198 tadi. Sekarang agak lama baru wahyu datang, mereka ada pula yang bertanya; mengapa tidak datang lagi. “Katakanlah, Yang aku turuti hanyalah apa yang diwahyukan kepadaku daripada Tuhanku.'"
Di ayat ini disuruh menjelaskan bahwa wahyu bukanlah soal yang dapat aku buat sendiri, sehingga dapat aku pilihkan wahyu yang kamu rasa baik buat kamu. Aku tidak akan bercakap dengan kamu berdasarkan wahyu sebelum wahyu itu sendiri diantarkan Jibril kepadaku. “Ini adalah beberapa pandangan dan Tuhan kamu." Yang dengan akal pikiran yang ada pada kamu dapatlah kamu pikirkan dan renungkan, bagi keselamatan kamu sendiri dunia dan akhirat.
“Dan petunjuk dan rahmat bagi kamu yang beriman."
Isi wahyu adalah petunjuk jalan mana yang sepatutnya ditempuh dalam hidup ini. Apabila petunjuk itu dipegang teguh, dituruti dengan setia dan patuh, pastilah hidup itu akan selamat. Dan, itulah rahmat. Karen kebodohan adalah gelap-gelita, sedang petunjuk adalah sinar yang terang. Sinar terang adalah rahmat, sebab dia memberi kesegaran kepada akal. Perihal waktu datangnya, bukanlah Rasul yang menentukan, melainkan Allah sendiri.
DENGARKAN AL-QUR'AN DENGAN PENUH PERHATIAN
Kemudian datanglah peringatan kepada kaum yang telah beriman itu, kaum yang menginginkan petunjuk dan rahmat dari Allah, agar apabila Al-Qur'an dibaca hendaklah didengarkan baik-baik.
Ayat 204
“Dan, apabila dibacakan orang Al-Qur'an maka dengarkanlah dia dan berdiam dirilah; moga-moga kamu mendapat rahmat."
Al-Qu'ran adalah wahyu Ilahi. Dia telah disampaikan kepada umat manusia dengan perantaraan utusan Allah, Muhammad ﷺ Kalam Allah itu telah sampai kepada kita. Sedangkan ketika orang yang berjabatan tinggi lagi menyampaikan briefingnya, atau perintah harian, sangatlah tidak sopan kalau para hadirin melengah juga kepada yang lain. Apatah lagi wahyu Ilahi. Dan, hormatilah Al-Qur'an.
Menurut Imam Hasan al-Bishri dan Abu Muslim al-Ashfahani dan imam-imam ahli Zhahir, berdasarkan ini wajiblah kita mendengarkan dan berdiam diri kalau Al-Qur'an terdengar sedang dibaca orang. Perintah ini berlaku terus, yaitu perintah wajib, baik sedang di dalam shalat ataupan di luar shalat. Asal saja Al-Qur'an terdengar dibaca orang, dalam radio, TV atau disuarakan dalam mikrofon, wajib kita dengarkan berdasarkan perintah dalam ayat ini.
Namun, golongan yang lebih besar dari ulama-ulama ikutan, sama berpendapat bahwa yang keras diperintahkan mendengarkan dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang, ialah terhadap makmum sekitar imam shalat membaca dengan jahar (suara keras). Tersebut sabda Rasulullah ﷺ;
“Di dalam shalat memakai imam, lain tidak ialah agar dia diimamkan. Maka, bila dia takbir, barulah kamu takbir dan kalau dia sedang membaca hendaklah kamu diam." (HR Muslim)
Seperti itu juga arti dari sebuah hadits lagi yang diwarikan oleh Ashhabus Sunan dari Abu Hurairah:
“Dirawikan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah dari Abu Hurairah, bahwa Rasuluilah ﷺ setelah selesai shalat yang beliau menjahar padanya, berkata, ‘Adakah salah seorang di antara kamu membaca pula bersama aku tadi.' Menjawab seorang laki-laki, ‘Benar ya Rasulullah.' Maka beliau pun berkata, ‘Mengapa saya disaingi dalam membaca AbQur'anl' Ber-kata Abu Hurairah, ‘Sejak itu berhentilah orang membaca bersama Rasulullah ﷺ kalau beliau menjaharkan bacaannya dalam shalat, tatkala telah mereka dengar yang demikian dari Rasulullah.'" (HR Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
At-Tirmidzi mengatakan bahwa Hadits ini hasan (baik). Abu Hatim ar-Razi memastikan bahwa hadits ini shahih.
Dengan demikian teranglah bahwa kalau imam membaca dengan jahar (suara keras), hendaklah sekalian makmum berdiam diri mendengarkan. Cuma ada dalam suatu hal, sunnah mengecualikannya, yaitu membaca al-Faatihah.
“Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, berkata dia, ‘Pernah Rasulullah saus bershalat Subuh dengan kami. Tiba-tiba terganggu-ganggu beliau membaca. Setelah selesai shalat berkata beliau, ‘Saya perhatikan kalian membaca di belakang imam kalian.' Berkata (Ubadah), Kami jawab, ‘Ya Rasulullah, memang sebenarnya demikian, wadahi.' Lalu beliau bersabda, ‘Jangan kalian berbuat begitu (membaca), kecuali dengan Ummul Qur'an (al-Faatihah). Karena sesungguhnya tidaklah (sah) shalat bagi barangsiapa yang tidak membacanya.'"
Dan, terdapat pula dengan lafazh yang lain:
“Maka janganlah kamu baca sesuatu pun dari Al-Qur'an itu. Jika aku menjaharkannya, kecuali Ummul Qur'an." (HR Abu Dawud, an-Nasa'i, dan ad-Daruquthni, beliau berkata bahwa perawi-perawi Hadits ini tsiqat boleh dipercaya semuanya).
“Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari Anas bin Malik, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Apakah kamu membaca di dalam shalat kamu di belakang imam.; Padahal imam sedang membaca? Jangan
kamu berbuat begitu, tetapi hendaklah kamu membaca fatihatul-kitab dalam dirinya (dengan berbisik)."‘ (HR Ibnu Hibban)
Berkata Jalaluddin al-Qasimi, “Adapun hadits dari Abu Hurairah yang mula-mula kita nukilkan di atas tadi, tidaklah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa makmum tidak membaca sama sekali. Yang dilarang ialah makmum turut menjahar. Karena terjadi yang namanya menyaingi imam, apabila makmum menjaharkan bacaannya pula. Akan tetapi, kalau ia membaca dengan berbisik tidaklah terjadi menyaingi. Karena kalau diterima bahwa membaca dengan sirr (berbisik), termasuk juga dalam menyaingi imam, niscaya istifham inkari (pertanyaan yang berarti larangan) dari Rasulullah ﷺ itu, menjadi umum bagi seluruh Al-Qur'an, atau mutlak untuk sekaliannya. Maka, hadits Ubadah tadi adalah khas (khusus al-Faatihah boleh dibaca), atau muqayyad. Oleh sebab itu tidaklah ada pertentangan di antara yang ‘am dengan yang khas, atau di antara yang mutlak dengan yang muqayyad. Karena yang pertama ditegaskan atas yang kedua. Dan, demikian jugalah kata orang tentang maksud yang umum dari ayat ini. Dengan begitu dapatlah kita mengumpulkan jadi satu di antara dalil dari Al-Qur'an, dengan sunnah yang shahih. Sebab, sunnah itupun kita perdapat dari orang yang membaca Al-Qur'an itu sendiri." Demikian mufassir al-Qasimi menulis dalam tafsirnya Mahasinutta'wil, Aid 7, halaman 2953.
Setengah ulama Salaf menambahkan lagi bahwa bukan di waktu imam membaca dengan jahar itu saja kita yang jadi makmum wajib mendengar; seperti itu pula wajibnya kita berdiam diri mendengarkan ketika khatib membaca khutbah Jum'at atau khutbah kedua hari raya; hendaklah kita diam. Itulah sebabnya maka di setengah negeri, sebelum imam naik mimbar, ada muadzin memperingatkan agar orang berdiam diri seketika khatib telah naik ke atas mimbar. Meskipun cara yang demikian tidak boleh selalu dilakukan, takut akan disangka rukun khutbah pula, sehingga menjadi bid'ah.
Bahkan dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan, sampai orang yang menyuruh kawannya berdiam diri (anshit) shalatnya pun sudah tidak ada artinya iagi (Iagha). Akan tetapi, kalau ada orang yang terlambat datang lalu masuk ke dalam masjid, padahal khatib telah naik mimbar, dia masih disuruh Rasulullah saw, mengerjakan tahiyatul masjid. Rasulullah saw, yang sedang di atas mimbar pernah memerintahkan orang yang baru masuk itu supaya mengerjakan tahiyatul masjid terlebih dahulu sebelum duduk mendengarkan imam. Maka, menurut pendapat penyusun Tafsir al-Azhar ini, sama jugalah keadaannya dengan wajibnya mendengarkan dengan saksama seketika imam menjaharkan bacaan Al-Qur'annya, kecuali membaca al-Faatihah dengan berbisik. Sedangkan tahiyatul-masjid bagi orang yang terlambat masuk masjid, lagi diperintahkan oleh Nabi, padahal dia diwajibkan pula mendengarkan khatib; dan tahiyatul-masjid bukanlah wajib, hanyalah sunnah atau mustahab, apatah lagi membaca al-Faatihah dengan (berbisik) di belakang imam.
Ibnu Katsir menuliskan dalam tafsirnya ketika menguraikan tafsir ayat ini, bahwasanya Imam asy-Syafi'i dalam Qaul-nya yang Qadim berpendapat bahwa diwajibkan berdiam diri dan mendengarkan saja, dilarang membaca apa jua pun walaupun membaca al-Faatihah di belakang imam yang menjahar. Akan tetapi, di dalam Qaul-nya yang jadid, beliau menyatakan pendapat bahwa yang boleh dibaca di belakang imam yang menjahar hanya al-Faatihah saja.
Keterangan membaca al-Faatihah dengan sirr di belakang imam yang menjahar ini pun telah kita uraikan pula ketika menafsirkan surah al-Faatihah, di dalam Tafsir al-Azhar juz I cetakan ke-2.
Selain dari sekalian yang telah tersebut itu hendaklah kita perhatikan sebuah sabda Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abu Hurairah. Berkata dia:
“Bersabda Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa yang meridengarkan barang suatu ayat daripada Kitab Allah, akan dicatatkan untuknya kebaikan yang berlipat ganda. Dan, barangsiapa yang membacanya, akan adalah untuk nur (cahaya) di Hari Kiamat." (HR Inaarn Ahmad)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits yang amat penting ini hanya Imam Ahmad saja yang merawikan, (Imam Ahmad bin Hanbal).
Sebagaimana kita ketahui di dalam beberapa hadits, Rasulullah ﷺ senang sekali mendengarkan orang lain yang merdu suaranya membaca al-Qur'an di dekat beliau. Sampai dia menangis tersedu-sedu mendengar Al-Qur'an dibaca oleh Abu Musa al-Asy'ari; sampai beliau misalkan suara yang merdu itu dengan kecapi Nabi Dawud.
Supaya pembacaan itu menarik hati dan telinga, diajarkanlah pelajaran ilmu tajwid, artinya ilmu memperbaiki lidah khusus untuk membaca Al-Qur'an, sehingga enak didengar. Maka, orang yang suaranya laksana betung pecah, dan bacaannya tidak teratur atau lidahnya lahan tidak usahlah membaca A!-Qur'an dengan suara keras, supaya orang jangan bosan mendengarkan. Bukan Al-Qur'an yang salah, cuma yang membacanya tidak menarik. Akan tetapi, sebagai yang tersebut di dalam surah Luqmaan; bahwasanya suara yang paling buruk ialah suara keledai (Luqmaan ayat 19).
MENGINGAT ALLAH DI DALAM HATI
Ayat 205
“Dan, sebutlah Tuhan engkau di dalam hatimu dengan merendah diri dan takut, dan tidak dengan kata-kata yang keras pada pagi hari dan petang."
Tujuan kata kepada Nabi Muhammad ﷺ Akan tetapi, tujuan adalah untuk umum. Ingatlah Tuhanmu wahai insan!
Sudah tersebut di dalam beberapa surah di dalam Al-Qur'an bahwasanya dzikir, adalah ingat di dalam hati, atau disebut dengan mulut yang bertalian dengan ingatan hati adalah syarat mutlak bagi penyuburan iman. Ingat kepada Allah adalah pokok utama kepada pikir. (Aali ‘Imraan: 191)
Harta benda dan anak-anak sekalipun jangan jadi penghalang dengan dzikir kepada Allah. (al-Munafiqun: 9) Terlengah sedikit saja daripada dzikir kepada Allah, setan bisa saja memengaruhi. (al-Mujadilah:19 dan lain-lain) Maka, di dalam ayat ini Allah memberikan tuntunan bagaimana dzikir atau mengingat Allah itu.
Pertama: hendaklah Allah itu diingat di dalam hati atau direnungkan. Sebab, renungan yang mendalam itu adalah memperkuat rasa ikhlas.
Kedua: hendaklah dengan merendah diri, yang disebut tadharru'. Menekur mengingat hina dan papa kita makhluk ini di hadapan Allah. Kita ini tidak lebih daripada yaitu hamba. Di hadapan Allah Yang Mahamulia, Mahakaya dan Mahakuasa. Kita serahkan diri bulat-bulat kepada-Nya.
Ketiga: hendaklah dengan perasaan takut. Takut akan keagungan rububiyah dan kebesaran uluhiyah. Jika dicabut-Nya pertolongan-Nya dari kita, tidak ada yang lain yang akan kuasa menggantikan-Nya.
Keempat: Tidak usah disorak-sorakkan, dihimbau-himbaukan.
Berkata Ibnu Katsir, “Lantaran itu sebaiknya janganlah berdzikir itu dengan bersorak-sorai atau suara keras."
Diriwayatkan daripada Abu Musa al-Asy'ari r.a. berkata dia, “Diangkat orang suaranya tinggi-tinggi karena berdoa suatu perjalanan. Maka, bersabda ‘Nabi Muhammad ﷺ terhadap mereka, ‘Hai sekalian manusia! Tahanlah diri kalian, karena kalian tidak menyeru orang tuh dan tidak pula Dia g aib. Yang kamu seru ini adalah Maha Mendengar lagi sangat dekat. Lebih dekat kepadamu daripada duduk kendaraanmu sendiri!'"
Tegasnya, janganlah bersuara keras-keras sehingga berubah sifatnya daripada khusyu kepada hiruk-pikuk.
Kelima: bersamaan sebutan pada lidah dengan ingatan dalam hati. Sebab, dengan kalimat duunal jahri yang berarti “jangan keras-keras", dapatlah dipahamkan bahwa nama Allah itu disebut juga dengan lidah, ditekan oleh tadharru merendah diri, disertai dengan Italimatfiinafsika, dalam dirimu.
Keenam: ingatlah Dia pagi hari dan petang hari. Petang hari kita pun telah tenang kembali dari usaha dan pekerjaan.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai."
Pertalikanlah kembali ayat ini dengan lima ayat sebelumnya, yaitu ayat 200, bahwasanya orang yang telah teguh takwanya kepada Allah, apabila dia disentuh oleh setan dengan satu gangguan, mereka pun ingat kembali kepada Allah maka terbukalah mata mereka kepada jalan yang benar.
Di sinilah terletak kepentingan dzikir: ingat selalu.
Lantaran itu maka jelaslah dzikir yang dilakukan oleh kebanyakan penganut ajaran tasawuf, sebagai ratib-tahli) beramal-ramai, bersama-sama dengan suara keras, sampai saking asyik dan lupa diri, terjadi yang mereka namai jadzab sampai pingsan, bukanlah dzikir ajaran Nabi Muhammad saw, melainkan yang dibuat-buat kemudian (bid'ah) yang tidak berasal dari ajaran agama.
Dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ ialah tasbih: Subhaanallah, tahmid: Alhamdulillah, tahlil: La Ilaha Illallah, takbir: Allahu Akbar, Hauqalah: La Haula wala Quwwata lila Billahi, dan istighfar: Astaghfirullah.
Maka, datanglah ahli-ahli tasawuf membuat berbagai dzikir ciptaan sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul. Ada dzikir yang hanya membaca Allah saja berkali-kali dengan suara keras-keras, bersorak-sorak sampai payah dan sampai pingsan. Ada dzikir yang huw saja. Karena kata mereka huwa yang berarti Dia, ialah Dia Allah itu sendiri.
Kadang-kadang mereka adakan semacam demonstrasi sebagai menentang terhadap orang yang teguh berpegang kepada sunnah.
Maka, dzikir-dzikir semacam itu adalah berasal dari luar Islam atau telah menyeleweng sangat jauh dari pangkalan Islam.
Ayat 206
“Sesungguhnya mereka yang berada di sisi Tuhan engkau."
Yang dimaksud dengan mereka yang berada di sisi Allah ialah malaikat-malaikat. Mereka adalah pelaksana-pelaksana dari perintah Allah yang taat dan setia. Banyaklah disebutkan di dalam Al-Qur'an tentang malaikat itu. Diantaranya ialah malaikat yang ditugaskan memikul Arsy (al-Mu'min: 7) atau berkeliling di sekeliling Arsy Allah itu (az-Zumar: 75) Mereka itu terhitung dekat di sisi Allah. Mereka juga yang terbang Mi'raj di antara langit dengan bumi dalam sehari yang menurut perhitungan kita sudah 50,000 tahun (al-Ma'aarij: 4) dan beberapa ayat yang lain. “Tidaklah mereka menyombong daripada ibadah kepada-Nya." Begitu dekatnya malaikat-malaikat itu kepada Allah, tetapi mereka tidak menyombong membesarkan diri. Siap sedia selalu beribadah kepada Allah, baik di langit yang tinggi ataupun di bumi dan di mana saja, “Dan mereka pun mengucapkan kesucian atas-Nya." Kesucian ialah yang diungkapkan di dalam tasbih, yang termasuk di dalam dzikir juga.
Oleh Sebab itu, ujung surah sampai menerangkan bahwa malaikat pun taat kepada Allah dan selalu ingat kepada-Nya. Maka, ambil perbandinganlah oleh manusia.
“Dan kepada-Nyalah mereka bersujud."
Yaitu sujud menurut malaikat itu pula. Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an menjelaskan bahwa seluruh isi bumi dan langit ini sujud kepada Allah. Malahan di dalam surah al-Hajj ayat 19 diterangkan bahwa segala yang di langit, yang di bumi, sampai matahari dan bulan, bintang-bintang, bukit-bukit dan segala tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan, binatang pun semuanya sujud kepada Allah. Bagaimana cara sujud masing-masing tentu berbeda-beda, karena arti sujud yang sejati ialah ketundukan dan kepatuhan. Maka, kita manusia pun patutlah insaf akan yang demikian. Kalau segala makhluk sujud kepada Allah, kita pun sujud. Kita perlambangkan dengan anggota tentara yang berdisiplin, menjunjung perintah.
Apapun yang tengah dikerjakan maka bila kita mendengar orang lain membaca surah ini, sampai kepada akhir surah, terdengar kalimat walahuu yasjuduuna, yang berarti kepada Allah-lah malaikat-malaikat itu bersujud, kita pun bersujud. Dari perbuatan yang kecil kita menunjukkan kepatuhan di dalam melaksanakan perintah-perintah yang besar, dan menunjukkan pula betapa corak kita. Kita umat yang menentang segala persujudan dan ketundukan kepada yang lain, tetapi segera tunduk mencetahkan kening ke tanah, insaf akan kerendahan diri di hadapan Allah, apabila mendengar malaikat di langit pun bersujud kepada-Nya. Sebab, hanya Dia Tuhan kita. Dan, akan bertemulah kelak ayat-ayat seperti demikian pada surah-surah yang lain. Yang tersebut soal sujud kepada Allah, kita pun segera sujud. Baik seketika sendiri yang membacanya ataupun kita mendengar bacaan orang lain. Dan, bacaan yang diajarkan Nabi seketika sujud tilawah itu ialah:
“… wajahku kepada Tuhan yang telah menjadikannya dan memberinya rupa dan telah menganugerahkan pendengarannya dan penglihatannya, dengan kehendak-Nya sendiri dan kekuatan-Nya. Mahasucilah Allah yang sebaik-baik Pencipta."
Marilah kita ingat dan menyebut-Nya dengan segala kerendahan hati, insaf akan kelemahan kita dan kekuatan-Nya, kemampuan kita dan kekayaan-Nya, fana kita, baqa-Nya, kehinaan kita dan kemuliaan-Nya,
Dan, penulis tafsir berharap moga-moga senantiasa diberi-Nya hidayah untuk meneruskan Tafsir al-Azhar ini. Amin.
Selesai Tafsir surah al-A'raaf.
Pada Jum'at, 12 Jumadii Akhir 1385 H
8 Oktober 1965 M