Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
لَهُمۡ
kepada mereka
نَصۡرٗا
pertolongan
وَلَآ
dan tidak
أَنفُسَهُمۡ
mereka sendiri
يَنصُرُونَ
mereka memberi pertolongan
وَلَا
dan tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
لَهُمۡ
kepada mereka
نَصۡرٗا
pertolongan
وَلَآ
dan tidak
أَنفُسَهُمۡ
mereka sendiri
يَنصُرُونَ
mereka memberi pertolongan
Terjemahan
(Berhala) itu tidak dapat memberikan pertolongan kepada mereka (para penyembahnya) dan (bahkan) kepada dirinya sendiri pun ia tidak dapat memberi pertolongan.
Tafsir
(Dan berhala-berhala itu terhadap mereka tidak dapat) terhadap para pengabdinya (memberikan pertolongan, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan) tidak dapat mencegah orang yang bermaksud merusak mereka, apakah orang itu mau memecahkannya atau mau berbuat yang lain. Istifham/kata tanya di sini mempunyai pengertian untuk mencemoohkan.
Tafsir Surat Al-A'raf: 191-198
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (wahai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu.
Maka serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan tangan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah,-kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-Ku, tanpa memberi tangguh (kepada-Ku)" Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan AlKitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.
Dan jika kalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kalian melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. Ayat-ayat ini merupakan sikap ingkar Allah terhadap orang-orang musyrik yang menyembah Allah dan menyembah selain-Nya, yaitu tandingan-tandingan Allah, berhala-berhala dan patung-patung; padahal semuanya itu adalah makhluk Allah, membutuhkan perawatan, dan dibuat oleh manusia; ia sama sekali tidak memiliki sesuatu pun dari urusan itu, tidak dapat membahayakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat melihat, dan tidak dapat membela para pengabdinya.
Bahkan berhala-berhala itu sendiri adalah benda mati, tidak dapat bergerak, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat. Sesungguhnya para penyembahnya sendiri jauh lebih sempurna ketimbang berhala-berhalanya, karena mereka mempunyai pendengaran, penglihatan, dan kekuatan memukul. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. (Al-A'raf: 191) Artinya, apakah kalian mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun, dan selamanya sembahan-sembahan itu tidak akan mampu melakukan hal tersebut.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala lainnya, yaitu: Wahai manusia telah dibuatkan perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Al-Hajj: 73-74) Melalui ayat-ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa sembahan-sembahan mereka, seandainya dikumpulkan semuanya, niscaya tidak akan dapat menciptakan seekor lalat pun. Bahkan seandainya lalat itu merebut sesuatu dari mereka yaitu berupa makanan yang tidak berarti, lalu terbang niscaya mereka tidak mampu mengambil kembali makanan itu darinya. Maka barang siapa yang memiliki sifat dan keadaan seperti itu, mana mungkin dapat dijadikan sebagai sembahan untuk dimintai rezeki dan pertolongannya? Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedangkan berhala itu sendiri dibuat orang (An-Nahl: 20; Al Furqan: 3) Yakni bahkan berhala-berhala itu dibuat dijadikan oleh orang, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat berikut: Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu? (Ash-Shaffat: 95) Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah berfirman: Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. (Al-A'raf: 192) Berhala-berhala itu sama sekali tidak dapat memberikan pertolongan apa pun kepada mereka, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., beliau memecahkan berhala-berhala kaumnya dan mencemoohkannya dengan penghinaan yang berat, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulinya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (Ash-Shaffat: 93) Dalam ayat yang lain disebutkan pula melalui firman-Nya: Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (Al-Anbiya: 58) Hal yang sama pernah dilakukan oleh Mu'az ibnu Amr ibnul Jamuh dan Mu'az ibnu Jabal ketika keduanya masih muda dan telah masuk Islam, yaitu di saat Rasulullah ﷺ telah tiba di Madinah. Keduanya merusak berhala-berhala orang-orang musyrik di malam hari, yaitu dengan memecahkannya dan menjadikannya sebagai kayu bakar buat para janda, agar kaumnya mau mengambil pelajaran dari hal tersebut dan menyalahkan diri mereka sendiri.
Disebutkan bahwa Amr ibnul Jamuh seorang pemimpin di kalangan kaumnya mempunyai sebuah berhala yang menjadi sembahannya, ia selalu memberi berhalanya itu wewangian. Tersebut pula bahwa keduanya selalu datang kepadanya di malam hari, lalu membalikkan berhala itu dengan kepala di bawah dan melumurinya dengan kotoran hewan. Ketika Amr ibnul Jamuh melihat apa yang dilakukan terhadap berhalanya itu, maka ia memandikannya dan memberinya lagi wewangian, lalu meletakkan sebilah pedang di sisi berhala itu seraya berkata kepadanya, "Belalah dirimu!" Mu'az ibnu Amr Ibnu Jamal dan Mu'az ibnu Jabal kembali melakukan hal itu terhadap berhala tersebut dari Amr Ibnul Jamuh pun kembali melakukan hal yang sama (yakni membersihkan dan memberinya wewangian).
Kemudian pada akhirnya keduanya mengambil berhala itu dan mengikatnya bersama bangkai seekor anjing, lalu menggantungkannya dengan seutas tali di atas sebuah sumur yang ada di tempat itu. Ketika Amr ibnul Jamuh datang dan melihat hal tersebut, ia berpikir dan sampailah pada suatu kesimpulan bahwa agama yang dipeluknya itu adalah batil. Lalu ia membacakan sebuah syair:
Demi Allah, seandainya kamu adalah tuhan yang disembah, niscayalah kamu dan anjing tidak dapat dikumpulkan bersama-sama. Akhirnya Amr ibnul Jamuh masuk Islam dan mengamalkan Islamnya dengan baik, lalu ia gugur dalam perang Uhud sebagai seorang yang mati syahid; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada dia dan memberinya pahala yang memuaskannya, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jika kalian menyerunya untuk memberi petunjuk kepada kalian, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruan kalian. (Al-A'raf: 193) Artinya, berhala-berhala itu tidak dapat mendengar seruan orang yang menyerunya. Keadaannya akan tetap sama, baik di depannya ada orang yang menyerunya ataupun orang yang menggulingkannya, seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim yang disitir oleh firman-Nya: Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? (Maryam: 42) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa berhala-berhala itu adalah hamba-hamba Allah juga, sama dengan para penyembahnya.
Dengan kata lain, berhala-berhala itu makhluk juga, sama dengan para penyembahnya. Bahkan manusia jauh lebih sempurna daripada berhala-berhala tersebut, karena manusia dapat mendengar, melihat, dan memukul; sedangkan berhala-berhala tersebut tidak dapat melakukan sesuatu pun dari hal itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah." (Al-A'raf: 195), hingga akhir ayat. Maksudnya, panggillah berhala-berhala itu untuk menolong kalian dari-Ku, janganlah kalian memberi masa tangguh barang sekejap pun untuk itu, dan berupayalah kalian dengan semampu kalian.
Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh (Al-A'raf: 196) Yakni Allah-lah yang melindungiku dan memberikan kecukupan kepadaku, Dialah yang menolongku, hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan hanya kepada-Nya aku berlindung, Dia adalah Pelindungku di dunia dan akhirat. Dia adalah Pelindung semua orang yang saleh sesudahku. Hal ini semakna dengan perkataan Nabi Hud a.s. ketika berkata kepada kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.
Hud menjawab, "Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya Sebab itu, jatankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus." (Hud: 54-56) Semakna pula dengan perkataan Nabi Ibrahim kekasih Allah, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Maka apakah kalian memperhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. (Asy-Syu'ara: 75-78) Sama juga dengan perkataan Nabi Ibrahim kepada orang tuanya dan kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yangmenjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.
Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 26-28) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah. (Al-A' rif: 197), hingga akhir ayat. Ayat ini berkedudukan menguatkan apa yang disebutkan sebelumnya, hanya saja dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk khitab (sebagai lawan bicara), sedangkan pada sebelumnya disebutkan dengan ungkapan gaibah (yakni orang yang ketiga). Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. (Al-A'raf: 197) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jika kamu sekalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya.
Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198) Semakna dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kamu sekalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian. (Fathir: 14), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198) Sesungguhnya dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: berhala-berhala itu memandang kepadamu. (Al-A'raf: 198) Yakni menghadapi kamu dengan matanya yang melotot, seakan-akan dapat melihat, padahal berhala-berhala itu benda mati.
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan seperti makhluk yang berakal, sebab memang berhala-berhala mereka itu dibentuk seperti manusia (yakni patung manusia). Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu (Al-A'raf: 198) Dalam ayat ini diungkapkan dengan damir untuk makhluk yang berakal. As-Suddi mengatakan, yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang musyrik (bukan berhala, pent.). Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan dikatakan oleh Qatadah."
Sungguh bodoh mereka yang menjadikan makhluk sebagai sekutu bagi Allah, dan bukan hanya tidak dapat mencipta, berhala-berhala itu juga tidak dapat memberikan pertolongan kepada penyembahnya, dan bahkan kepada dirinya sendiri pun mereka, yakni berhala-berhala itu, tidak dapat memberi pertolongan jika ada yang merusak dan mengganggu mereka. Dan jangan duga, wahai para penyembah berhala, sembahan-sembahan kamu hanya tidak dapat membela diri atau membantu kamu. Yang lebih ringan dari itu pun mereka tidak mampu, yaitu jika kamu, wahai orang-orang musyrik, selalu menyerunya dengan meminta berhala-berhala itu untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhalaberhala itu dapat memperkenankan seruanmu karena mereka tidak mendengar dan juga tidak mengerti. Sama saja hasilnya buat kamu apakah kamu telah menyeru mereka, walaupun itu berkali-kali, atau sikap kamu mantap berdiam diri, tidak mengucapkan satu kata pun. Sama saja, tidak ada gunanya sama sekali. Mereka tetap tidak akan tersentuh atau bergerak.
Ayat ini seperti ayat-ayat yang lalu menggambarkan penyembah-penyembah berhala pada umumnya, termasuk kemusyrikan Arab Mekah. Allah menjelaskan bahwa sembahan-sembahan kaum musyrikin itu tidak punya kesanggupan apa-apa, baik dalam memberi pertolongan terhadap diri mereka sendiri, ketika terjadi serangan dari musuh kepada penyembah-penyembah itu, ataupun mereka ditimpa oleh malapetaka, patung-patung itu tidak dapat memberikan pertolongan. Bahkan bila ada seseorang mengotori patung-patung itu atau mencuri perhiasannya, niscaya patung itu tidak dapat membela dirinya sendiri. Demikianlah patung-patung itu hanya disembah dan dibela, tetapi menyembah itu tak dapat imbalan apa-apa dari patung itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEHIDUPAN SUAMI ISTRI
Ayat 189
“Dialah yang telah menciptakan kamu daripada diri yang satu, dan Dia jadikan daripadanya istrinya, supaya dia merasa tenang dengan dia."
Sudah kita ketahui ketika menerangkan surah al-Baqarah tentang kejadian Adam dan Hawa dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat yang pertama dari surah an-Nisaa'. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil jalan yang kedua, yaitu bahwasanya manusia itu, baik laki-laki ataupun perempuan pada dasarnya adalah satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama jiwa insan. Yang membedakan di antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit perubahan pada kelamin saja. Sebab, itu, baik laki-laki ataupun perempuan, pada hakikatnya adalah satu pada asal kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu itulah dijadikan yang perempuan. Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula terjadi ialah Adam. Sesudah Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian badannya. Akan tetapi, kita pun boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan ayat yang tengah kita bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan khusus Adam saja. Dari bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah diadakan bakal istrinya. Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan dari makhluk lain, melainkan dari sesama manusia juga, sekadar diubah kelaminnya menjadi penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi, pemberi (aktif). Sebelum manusia laki-laki itu mendapatkan jodohnya, gelisahlah hidupnya karena belum berteman. Akan tetapi, setelah mendapat jodoh atau istri, mulailah dia tenang. Di dalam ayat ini terdapat kata-kata yaskuna, yang kita artikan tenang atau tenteram. Di dalam surah ar-Ruum ayat 21, disebutkan juga bahwasanya salah satu ayat kebesaran Allah ialah mengadakan istri buat kamu, supaya kamu tenang, itaskunuu ilaihi" Ketenangan adalah lawan dari kegelisahan. Dia disebut juga sakinah. Rumah tangga tempat diam suami istri bahkan disebut “maskan", tempat bertenang. Seorang pemuda akan gelisah sebelum mendapat teman hidup. Seorang perempuan menunggu siapakah gerangan laki-laki yang akan menjadi teman hidupnya, sedang laki-laki mencari. Maka, Allah menakdirkan keduanya bertemu dan berjodoh, mendirikan “maskan" tempat diam dan tenang. Bersuami istri, bercampur gaul. Dari pergaulan dan percampuran mereka, didapatlah keturunan. Bunyi ayat selanjutnya pun demikian:
“Maka, tatkala dia telah mencampurinya, mengandunglah dia, suatu kandungan yang ringan lalu dia terus dengan dia." Artinya, dicampurilah si istri oleh si suami menurut lazimnya orang bersuami-istri. Karena percampuran atau persetubuhan mereka, si istri pun mulailah mengandung. Mulanya masih ringan saja, sekadar perubahan selera atau berhenti haidh. Di dalam ayat ini tersimpullah kata-kata yang halus sekali tentang permulaan hamil.
Si perempuan merasa bahwa dia telah mulai mengandung, dia telah berhenti membawa bulan (haidh) dan mulai berubah-ubah selera, tetapi itu dirasanya masih ringan saja. Sekalian perempuan yang mulai mengandung mengetahui dan melihat setiap hari sesamanya perempuan mengandung, terutama kandungan yang telah tua, lebih dari tujuh bulan. Perempuan yang telah mengandung dekat melahirkan itu kelihatan payah, lebih payah dari dia yang mulai mengandung, tetapi hal itu masih dirasanya ringan saja, bahkan dia perempuan itu masih tetap dengan suaminya, bertambah kasih sayangnya dan perasaan bahagianya. Bertambahlah kedua belah pihak menunjukkan kasih sayang dan cinta mesra, demi karena anak yang mulai dikandung. Demikianlah sejak bulan-bulan pertama, kedua dan ketiga dan selanjutnya, sehingga kian bertambah bulannya, menjelang tujuh bulan, kian beratlah kandungan itu, sampai nanti dekat lahirnya pada masuk bulan kesepuluh. Maka, tersebutlah dalam lanjutan ayat:
“Maka, tatkala telah benar, bendoalah keduanya kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Engkau anugerahi kami seorang anak laki-laki yang baik, akan jadilah kami daripada orang-orang yang bensyukur.'"
Wahyu Allah ini telah menggambarkan benar-benar keinginan suami istri, terutama yang baru berumah tangga. Pada umumnya, orang terlebih dahulu menginginkan anak laki-laki. Akan tetapi, meskipun dapat anak perempuan, mereka pun bersyukur juga. Dan, ayat ini sesuai pula dengan perasaan orang Arab pada masa ayat ini diturunkan, yaitu lebih menginginkan anak laki-laki. Kalau kandungan istri telah tua, telah berat, macam-macamlah niat yang dipasang. Ada orang yang sejak dari bulan-bulan pertama istri mulai mengandung sudah menyediakan tempat tidur kecil, pakaian anak-anik, bahkan ada yang telah menyediakan nama si “buyung" atau si “upik" yang akan lahir. Macam-macam pula angan-angan misalnya kalau anak itu laki-laki, hendaknya menjadi pahlawan yang berjasa, menjadi seperti si anu dan si fulan, menjadi orang besar atau yang alim. Kadang-kadang disediakan nama anak dengan mengambil nama orang besar yang jadi pujaan di masa itu. Dan, kalau kehendak mereka dikabulkan Allah, mereka akan bersyukur.
Kemudian berfirmanlah Allah tentang tingkah-laku setengah manusia,
Ayat 190
“Maka, tatkala Dia telah memberikan kepada keduanya putra yang baik, mereka adakanlah bagi-Nya sekutu-sekutu dalam hal apa yang telah Dia berikan itu."
Di sinilah Allah menjelaskan lagi setengah daripada benih syirik yang ada pada jiwa setengah manusia. Ketika si istri dalam hamil sarat, mereka merasa cemas, mereka merasa takut kalau-kalau mendapat bahaya ketika melahirkan. Sebab itu, sangat-sangat mereka bermohon kepada Allah, moga-moga dapat anak laki-laki, moga-moga selamat tidak kurang suatu apa. Akan tetapi, setelah anak itu lahir dengan selamat, mulailah mereka membuat pujaan, tanda syukur, atau bernadzar. Mau mengantarkan sajian (sajen) kepada berhala atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Di zaman jahiliyyah, nenek moyang Nabi Muhammad ﷺ sendiri, yaitu Qushai, yang bertahun-tahun lamanya mengasingkan diri di negeri Qudha'ah, pulang kembali ke Mekah lalu meramaikan Ka'bah. Dia beroleh putra empat orang. Dia sangat bangga dengan ada-nya empat anak itu, untuk tanda syukurnya maka keempat anaknya diberinya nama, yang pertama Abdu Manaf (Manaf) adalah nama berhala. Kedua Abdu Syams (Syams) artinya matahari. Ketiga dinamainya Abdul Uzza, yaitu nama berhala Uzza yang terkenal sebagai per-sembahan orang Quraisy, dan anak keempat dinamainya Abdud Daar. Daar artinya rumah, yaitu Darun Nadwah, rumah tempat ketua-ketua Quraisy berkumpul bermusyawarat, sebagai balairung. Jadi keempat anaknya disebut sebagai hamba manaf, hamba matahari, hamba berhala Uzza dan hamba balairung. Ayat ini mencela kemusyrikan yang demikian. Ketika dalam kesusahan Allah yang dipuja dan setelah terlepas dari kesusahan, mulailah perbuatan syirik. Kalau ini dicela sebagai perbuatan orang Arab jahiliyyah, bukan berarti bahwa sisa jahiliyyah itu tidak terdapat lagi di zaman sekarang. Manusia mendapat putra kadang-kadang adalah laksana seorang yang masih cerdik pikirannya sebelum mendapat keuntungan lotre. Akan tetapi, setelah uang keuntungan itu datang, dia tidak dapat lagi mengendalikan diri lalu memporak-porandakan uang itu. Ada orang yang karena telah selamat melahirkan anak, lalu pergi ke kuburan keramat melepaskan nadzar. Padahal, bernadzar kepada yang selain Allah adalah syirik. Ada pula yang pergi memberi makan monyet-monyet di suatu tempat yang telah ditentukan, sebagai monyet di Gunung Padang, atau monyet di Perdagangan, dekat Pematang Siantar dan di banyak tempat yang lain. Padahal, mereka bukanlah penganut ajaran Darwin yang mengatakan asal usul manusia adalah dari monyet!
Termasuk jugalah dalam ini, orang yang melekatkan macam-macam azimat tangkal bala pada leher atau tangan anaknya; sebagai timbarah, timah putih inggu, kain hitam dan benang tujuh warna. Katanya supaya anak itu jangan diganggu jin dan setan. Semuanya itu adalah bekas dari kepercayaan animisme kuno. Semasa penulis tafsir ini masih kecil di kampung, masih mendapati beberapa upacara animisme itu dilakukan orang setelah anak lahir. Mesti sedia penyembur, terdiri daripada lada hitam, lengkuas dan jahe (sepedas), untuk menyembur ke kiri kanan anak itu, supaya setan pelesit atau jin permaya yang lain jangan mendekat dan mengganggu anak itu. Dan, upacara yang lucu terjadi seketika membawa anak turun mandi ke pancuran, disediakan sebuah lakar (alas periuk dari rotan) yang oleh dukun yang membawa anak itu pergi mandi, disepakkan ketika turun tangga.
Di jalan diserakkan beras kunyit dan selalu dipasangkan pelita, walaupun tengah hari. Dan, seketika dia dibawa pulang dari pancuran, disirami lagi dengan beras kunyit, lalu ketika akan naik tangga rumah, yang di atas rumah bertanya kepada dukun yang membawa bayi itu, ‘Apa yang dibawa?" Dukun menjawab, “Beras dan padi." Kemudian ditanya lagi, ‘Apa yang dibawa?" Dukun menjawab, “Emas perak!"
Sedang uri, bali, ketuban dan saudara bayi diletakkan ke dalam belanga lalu dikuburkan di dekat rumah, di atasnya dicoreng dengan sadah (kapur sirih) memakai rajah silang empat, seperti tanda salib.
Ini pun semuanya adalah sisa jahiliyyah, pemujaan kepada hantu dan semangat, supaya mereka jangan mengganggu. Setelah maju cara berpikir dan agama bertambah didalami, hilanglah sendirinya upacara-upacara yang ganjil itu. Maka, berfirmanlah Allah di akhir ayat,
“Mahasucilah Allah dari apa yang mereka persekutukan itu."
Cocoklah ujung ayat ini kepada perbuatan orang zaman jahiliyyah tadi, dan cocok juga terhadap perbuatan jahiliyyah di negeri kita sendiri, dengan contoh yang penulis tafsir lihat di kala masih kecil itu. Padahal, di dalam Islam sendiri, Nabi kita Muhammad ﷺ telah menunjukkan beberapa upacara yang tidak kurang indahnya dalam penyambutan kelahiran anak, yang semuanya itu tidak lepas dari dalam rangka tauhid. Di antaranya ialah memilihkan nama yang baik buat dia, misalnya nama Hasan, Husain, Zain, Muhammad, Ahmad atau memakai salah satu nama Allah di dalam Asma'ul Husna dengan dipangkali Abd, artinya hamba. Misal Abdullah (hamba Allah), Abdul ‘Aziz (hamba dari Yang Maha Bijaksana) dan seterusnya. Dan, setelah cukup usianya tujuh hari, sangatlah dianjurkan agar disembelihkan aqiqah, tanda bersyukur, dengan memanggil makan keluarga dan fakir miskin, untuk memaklumkan pada seluruh keluarga dan tetangga bahwa anggota rumah tangga telah bertambah.
Di dalam beberapa kitab tafsir ada bertemu sebuah riwayat, bahwa kedua ayat 189 dan ayat 190 ini diturunkan Allah menceritakan asal mula pertemuan nenek moyang kita, Adam dan Hawa, setelah mereka datang ke dunia. Kata riwayat itu, kedua nenek kita ingin dapat anak. Maka, dapatlah anak laki-laki lalu mereka namai Abdullah, tetapi anak itu mati ketika masih kecil. Kemudian dapat lagi anak laki-laki lalu mereka namai ‘Ubaidullah, tetapi masih kecil telah mati pula. Maka, bersedihlah kedua nenek kita itu, sebab tiap beranak tiap mati juga. Akhirnya Hawa mengandung lagi dan dapat pula anak laki-laki. Waktu itu datanglah iblis, musuhnya yang sama-sama disuruh keluar dari dalam surga itu. Kata riwayat itu, si iblis datang memberi nasihat kepada keduanya supaya anak itu diberi nama Abdul Harits. Setelah nasihat iblis itu diikuti oleh kedua nenek kita dan anak itu diberi nama Abdul Harits, barulah anak itu hidup, tidak mati-mati lagi.
Abdul Harits artinya hamba dari yang menyuburkan segala yang subur. Meskipun saudara pembaca bukan ahli penyelidik sha-hih dan dhaifnya sesuatu Hadits, tentu dengan pikiran tauhid yang sehat saudara telah membantah dengan sendirinya riwayat ini, walaupun siapa yang merawikannya, Terupakah di akal saudara bahwa Nabi Adam dan Hawa yang telah dikeluarkan dari dalam surga mau lagi menuruti perdayaan setan dan iblis, padahal Adam adalah seorang nabi? Percayakah saudara bahwa anak Adam mati karena anak itu bernama Abdullah dan ‘Ubaidullah? Sedang yang menasihati itu iblis pula?
Penafsir Ibnu Katsir telah membantah ayat ini. Ini pun adalah satu dongeng israiliyat yang dimasukkan orang ke dalam tafsir. Sanad-sanad dan perawi haditsnya mendapat jarah (cacat) dari ahli-ahli hadits. Dan, dari sini pulalah sumber dari satu kebiasaan orang awam menukar nama anak, sebentar tukar, sebentar tukar karena dia sakit-sakitan saja. Katanya, nama yang dahulu itu terlalu berat buat dia. Sehingga karena kurang hati-hati sebuah ayat yang mencela syirik, telah menjadi sebab buat orang berbuat syirik.
Oleh sebab itu, di antara banyak penafsir, yang lebih cocok dengan maksud ayat ialah penafsiran dari Imam Hasan al-Bishri, yang mengatakan bahwa ayat 189 dan 190 ini, terutama ayat 190 bukanlah untuk menceritakan Nabi Adam dan Hawa menuruti nasihat iblis, melainkan, pelajaran bagi kaum yang beriman supaya jangan berbuat syirik setelah anaknya lahir.
Kemudian datanglah lanjutan ayat:
Ayat 191
“Apakah mereka persekutukan apa-apa yang tidak menjadikan sesuatu, padahal merekalah yang dijadikan?"
Siapakah yang menciptakan anak dalam kandungan dari pertemuan dua mani dan pe-rempuan, kalau bukan Allah? Mengapa mereka pergi memuja berhala di zaman jahiliyyah dahulu atau jahiliyyah sekarang memuja monyet, memuja kubur, memuja keramat? Padahal bukan berhala, bukan monyet, bukan keramat itu yang menjadikannya? Bahkan segala yang dipuja itulah yang dijadikan, baik bahan bendanya yang dijadikan Allah ataupun dia diberi nama suatu berhala karena dijadikan oleh manusia. Suatu tempat dianggap sakti atau angker. Dia jadi sakti dan angker karena manusia mengatakan demikian sedang tempat lain di tempat itu juga yang tidak disaktikan diangkerkan, tidaklah sakti dan angker.
Ayat 192
“Dan, tidaklah mereka sanggup menolong mereka."
Baik berhala atau benda, monyet, gunung, pohon beringin, atau barang-barang lain yang dijadikan sekutu bagi Allah itu tidaklah dapat menolong kepada mereka yang datang meminta tolong itu.
“Dan diri mereka sendiri pun tidak bisa mereka tolong."