Ayat
Terjemahan Per Kata
مَن
barang siapa
يُضۡلِلِ
menyesatkan
ٱللَّهُ
Allah
فَلَا
maka tidak
هَادِيَ
orang yang memberi petunjuk
لَهُۥۚ
kepadanya
وَيَذَرُهُمۡ
dan (Allah) membiarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kesesatan mereka
يَعۡمَهُونَ
mereka terombang-ambing
مَن
barang siapa
يُضۡلِلِ
menyesatkan
ٱللَّهُ
Allah
فَلَا
maka tidak
هَادِيَ
orang yang memberi petunjuk
لَهُۥۚ
kepadanya
وَيَذَرُهُمۡ
dan (Allah) membiarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kesesatan mereka
يَعۡمَهُونَ
mereka terombang-ambing
Terjemahan
Siapa saja yang Allah sesatkan, tidak ada yang mampu memberinya petunjuk dan Dia akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan.
Tafsir
(Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka) dengan memakai ya dan nun serta dirafa`kan sebagai jumlah isti'naf/permulaan; sedangkan apabila dijazamkan maka diathafkan secara mahall kepada lafal sesudah fa (terombang-ambing dalam kesesatan) mereka terombang-ambing dalam keadaan bingung.
Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk Dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa barang siapa yang telah ditakdirkan sesat oleh-Nya, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Dan seandainya dia berusaha dengan segala kemampuannya, maka sesungguhnya hal itu tidak memberi manfaat apa pun kepadanya. Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. (Al-Maidah: 41) Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Katakanlah, "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. (Yunus: 101)"
Mereka enggan mengikuti Al-Qur'an dan keterangan yang disampaikan Rasul, sehingga berlakulah keketapan Allah, yaitu barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, karena pilihan dan usahanya sendiri, atau karena kebejatan hati dan keengganannya memanfaatkan petunjuk, maka baginya tidak ada seorang pun yang mampu memberi petunjuk guna mengantarkannya kepada kebahagiaan dan memberinya kemampuan untuk melaksanakan petunjuk. Allah akan terus membiarkannya selalu terombang-ambing dalam kesesatan, sehingga tidak menemukan jalan kebenaran.
Wahai Nabi Muhammad, mereka, yaitu kaum Yahudi atau musyrik, atau siapa pun mereka, menanyakan kepadamu dengan maksud mengejek atau mengujimu tentang Kiamat, yang pada hakikatnya mereka tidak akui adanya, atau mereka pun sebenarnya tahu bahwa hanya Allah yang tahu tentang itu, Kapan terjadinya dan bagaimana mengetahuinya' Katakanlah kepada mereka, Sesungguhnya pengetahuan tentang waktu dan bagaimana Kiamat itu terjadi ada pada Tuhanku; tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia Yang Maha Mengetahui. Kiamat itu sangat berat dan mencekam bagi makhluk yang di langit dan di bumi karena tidak ada yang mengetahuinya dan sangat besar huru-haranya. Ia tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba. Mereka mengulang bertanya tentang itu kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat ada pada Allah, sehingga tidak ada yang dapat mengetahui kecuali atas informasi-Nya, padahal Dia telah menetapkan tidak memberitahu siapa pun tentang waktu kedatangannya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui sehingga mereka terus bertanya atau menduga-duga, termasuk tentang hal-hal yang gaib lainnya.
Kemudian Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang yang disesatkan oleh Allah, tidak ada baginya yang memberi petunjuk. Seorang menjadi sesat karena dia telah kehilangan potensi dalam dirinya (fitrah) untuk menerima petunjuk. Kehilangan potensi itu disebabkan kelengahan dirinya sendiri dalam memeliharanya dari pengaruh dan godaan setan dan hawa nafsu. Karena tidak adanya potensi itu, maka jiwanya tidak menanggapi isi Al-Qur'an sewaktu datang kepadanya. Bahkan dia mengadakan reaksi yang negatif, yakni menolak, tidak menerima Al-Qur'an. Meskipun Rasul yang datang membawa Al-Qur'an itu kepadanya mempunyai akhlak yang mulia, akal yang sempurna, tetapi karena dia telah kehilangan kesediaan itu, maka Al-Qur'an tetap tidak berpengaruh pada jiwa orang yang disesatkan Allah itu. Jiwanya telah gelap, tidak menerima ajaran Al-Qur'an. Karena itu tak ada cahaya petunjuk baginya.
Hatinya gelap bertambah gelap akibat perbuatan yang mungkar serta kelaliman yang melampaui batas. Keraguan semakin mencekam hati manusia yang demikian, dan akhirnya sulitlah baginya untuk memperoleh jalan keluar dari kesesatan itu.
Firman Allah swt:
Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka. (al-Muthaffifin/83: 14)
Setiap perbuatan yang jahat menambah gelap hati manusia. Hati yang gelap menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jahat kembali. Demikianlah akhirnya manusia yang sesat itu berputar-putar dalam lingkaran kesesatan. Mereka bergelimang dalam lumpur dosa dan kesesatan. Dia dapat lepas dan tertolong dari lingkaran kesesatan ini bilamana dia memiliki kemauan yang keras untuk kembali ke jalan Allah dan Nur Ilahi.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 181
“Dan, di antara yang telah Kami jadikan itu."
Artinya, di antara berbagai umat yang telah dijadikan oleh Allah. “Ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran." Artinya, bahwa umat itu telah menyediakan diri menjadi pelopor memberikan petunjuk kepada kebenaran. Mengadakan amar ma'ruf dan nahi mungkar.
“Dan dengan dia,"yaitu dengan kebenaran itu, “mereka berlaku adil."
Di dalam ayat ini tegas Allah menyatakan bahwasanya di dalam umat-umat dan bangsa-bangsa yang telah dijadikan dan diciptakan oleh Allah, Dia pun memilih suatu umat yang telah menyediakan diri menegakkan kebenaran dan keadilan.
Tersebut di dalam petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Rasulullah bahwa yang dimaksud oleh ayat ini ialah umat Muhammad ﷺ Menurut satu riwayat dari Said yang diterimanya dari Qatadah tentang tafsir ayat ini, dia berkata, “Sampai kepada saya berita dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berkata, ‘Yang dimaksud oleh ayat ini ialah kamu (umat Muhammad) dan untuk kaum itu (Bani Israil) dahulu dan kamu telah pernah pula tugas ini diberikan!' (Lalu beliau baca ayat 159 dari surah al-A'raaf ini yang telah terdahulu pula tafsirnya yaitu ayat yang berbunyi, ‘Dan dari kaum Musa ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran dan dengan dia pula mereka berlaku adil.'"
Menurut riwayat Abusy-Syaikh dan Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir, yang mereka terima dari Ibnu juraij, Nabi pun pernah bersabda tentang siapa yang dimaksud dengan ayat ini. Beliau bersabda:
“Yang dimaksud dengan ini menurut Ibnu Katsir ialah umat Muhammad. Dengan kebe-naran mereka menghukum dan memutuskan dan (dengan kebenaran pula) mereka mengambil dan memberi."
Dan, beliau bersabda pula di dalam sebuah Hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Begini bunyinya:
“Akan senantiasa ada suatu golongan daripada umatku, yang bersikap terus-terang dalam kebenaran. Mereka tidak terpengaruh oleh orang-orang yang berusaha menggagalkan mereka dan tidak pula oleh orang yang menentang mereka, sampai berdiri Hari Kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan, tambahan pada riwayat yang lain, “Sehingga telah datang perintah Allah (Kiamat), tetapi mereka tetap atas pendirian demikian."
Dengan sabda-sabda Nabi ini teranglah bahwa membela kebenaran dan menegakkan keadilan adalah sifat dari umat Muhammad yang sejati. Menjadi umat Muhammad padahal tidak berani menegakkan kebenaran dan keadilan, artinya telah menghilangkan tugas yang diistimewakan buat mereka. Sampai Hari Kiamat mereka wajib tegak membela kebenaran dan keadilan. Kalau itu tidak ada lagi, tidak pula ada artinya lagi mereka menyebut diri umat Muhammad. Orang yang mencoba menggagalkan dan merintangi sudah
pasti ada sampai Hari Kiamat. Oleh sebab itu, kalau Muslimin bergerak lalu mengeluh me-nerima halangan dan rintangan, itulah orang yang tidak tahu akan hakikat dirinya. Agama ini tidak akan hidup kalau tidak atas jihad.
Lalu, Allah berfirman selanjutnya:
Ayat 182
“Dan, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami."
Termasuk juga orang yang mendustakan dengan perbuatan. Termasuk juga orang yang dengan mulut mengakui dirinya seorang Islam, padahal kehidupannya telah menjauhi agama.
“Akan Kami lalai lengahkan mereka dari jurusan yang mereka sendiri tidak tahu."
Menurut tafsiran Ibnu Katsir, “Artinya ialah bahwa dibukakan kepada mereka segala pintu rezeki dan segala wajah penghidupan di dunia ini, mereka menyangka bahwa mereka telah sampai kepada sesuatu yang dituju. Sebagaimana firman Allah,
“Setelah mereka lupakan apa yang Kami peringatkan, Kami bukalah ke atas mereka pintu-pintu dari tiap sesuatu. Sehingga setelah mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami ambillah dia dengan tiba-tiba maka dengan tiba-tiba pula mereka ditimpa putus asa. Maka, diputuskanlah ekor dari kaum yang zalim itu. Dan, segala puji-pujian bagi Allah, Tuhan sarwa sekalian alam." (al-Anaam: 44-45)
Al-Qasimi menafsirkan demikian, “Akan Kami ambil mereka dengan siksaan adzab melalui jalan yang tidak mereka sadari tidak segera disampaikannya, niscaya kamu akan ditimpa oleh celaka dan berlarut-larut dalam kesesatan.
Tidak, dia bukan gila. Dia adalah mencintai kamu, dia adalah teman kamu sendiri, sahabat kamu. Kalau masyarakat kamu tidak mengacuhkan peringatannya, masyarakat itu akan tenggelam dan hancur. Dan, kalau tiap-tiap pribadi tidak memperbaiki akhlak maka adzab Allah akan menimpa dari sebab dosa yang diperbuat. Orang yang suka mabuk minum-minuman keras, akan mati dalam kesengsaraan. Orang yang mengambil harta benda orang lain dengan kekerasan, akhir kelaknya dia pun akan ditundukkan orang dengan kekerasan. Orang yang telah melekatkan hatinya kepada kemegahan dunia, akan mati dan kemegahan itu tidak akan dibawanya ke kubur. Semuanya itu benar, bukan perkataan orang gila. Karena jiwamu sakit, itu sebab maka orang yang mengatakannya kamu katakan gila. Kamu tidak berani menghadapi kenyataan; kamu takut!
Setelah memberi ingat kepada mereka bahwa Muhammad bukanlah seorang gila, tetapi pembawa kabar demi keselamatan jiwamu dan masyarakatmu, kemudian mereka disuruh berpikir lagi dan merenungkan keadaan sekeliling.
Ayat 185
“Apakah mereka tidak, memandang kepada kerajaan semua langit dan bumi."
Sesudah diajak berpikir menilai apa yang diserukan oleh sekeliling, melihat kerajaan langit dan bumi. Sebagaimana yang telah dibayangkan pada ayat 179, mereka telah diberi hati maka perhatikanlah; diberi mata maka lihatlah; diberi telinga maka dengarkanlah. Lihatlah betapa luas kerajaan Allah itu, meliputi seluruh langit dan bumi, matahari dan bulan, bintang dan cakrawala, angin dan awan. “Dan apa-apa yang telah dijadikan Allah dari sesuatu," dj seluruh permukaan bumi dan di seluruh cakrawala langit. Lihatlah betapa teraturnya semua, mempunyai tadbir dan peraturan yang sangat sempurna. Lihatlah betapa di dalam kerajaan yang luas itu hidup manusia, di antaranya hidup kamu sendiri, diberi jaminan hidup, diberi hujan, dan diberi tumbuh-tumbuhan. Dahulunya kamu tidak ada, kemudian kamu lahir ke dunia. “Dan bahwa boleh jadi telah dekat ajal mereka?" Bila datang ajal, manusia pun mati, kembali ke alam baka. Muda mati, tua pun mati, tidak seorang yang dapat bertahan kalau ajal itu datang. Apakah mereka tidak berpikir, padahal semuanya itu terjadi tiap hari di hadapan mata mereka? Inilah pula setengah daripada peringatan yang dibawa oleh Rasul Allah itu, yang dia tuduh seorang gila.
“Maka, kepada perkataan yang manakah lagi, sesudah itu, mereka hendak percaya."
Peringatan atau ancaman yang disampaikan Rasul yang mereka tuduh gila itu, termasuklah perkataan ini. Padahal, kalau mereka bawa berpikir sejenak, mereka akan merasakan kebenarannya. Dan, kebenaran itu adalah kalam Allah, firman Allah. Tidak ada sabda lain dan kata lain lagi. Sebab, tidak ada kata lain yang mengatasi kata Allah. Ke mana mereka akan pergi lagi? Padahal mereka tidak dapat melepaskan diri daripada ikatan kerajaan Allah? Tidak ada kerajaan lain tempat lari mengeluarkan diri daripada kekuasaan Ilahi itu. Alangkah baiknya jika mereka sadar dan tunduk dengan sukarela, sebelum mereka terpaksa ditundukkan dengan kekerasan. Atau celaka kena kutuk karena pembangkangan itu.
Setelah itu berfirman Allah:
Ayat 186
“Barangsiapa yang disesalkan oleh Allah maka tidaklah ada baginya pemberi petunjuk dan Dia akan membiarkan mereka dalam kesesatan itu, jadi kebingungan."
Ayat ini adalah peringatan supaya segeralah terima kebenaran Al-Qur'an itu sebelum terlambat. Berpikirlah baik-baik dengan menilik kerajaan Allah yang meliputi langit dan bumi, moga-moga “nur" kebenaran itu akan menyinar ke dalam hatimu. Akan tetapi, kalau kamu tidak juga peduli, kalau kamu masih saja berkeras di dalam pendirian yang salah, niscaya kamu akan tersesat jauh. Kamu akan didorongkan pada celaka dengan tidak sadar atau diperlarut-larut dan diperpanjang-pan-jang kecongkakan kamu, dan kemudian balasan Allah datang dengan tiba-tiba. Kalau sudah sesat daripada jalan Allah, niscaya Allah tidak akan memberi petunjuk lagi, niscaya setanlah yang akan menuntun ke dalam kesengsaraan. Akhirnya menjadi bingung, tidak tentu lagi arah hidup yang akan ditempuh. Laksana kapal patah kemudi, mesinnya hidup juga, tetapi berputar-putar di sana ke di sana juga. Oleh sebab itu terimalah petunjuk Al-Qur'an itu dan turutilah apa yang dibimbingkan oleh Rasul, agar kamu beroleh kejayaan.
Memohonlah kita kepada Allah, moga-moga kita tidak termasuk orang yang kebingungan karena sesat jalan. Bayangkanlah betapa nasibnya orang yang kehilangan jalan di dalam rimba belantara yang lebat, tidak tahu lagi mana arah timur dan barat, utara dan selatan, sedang binatang buas selalu mengancam.
Bayangkanlah orang yang kehilangan jalan di padang pasir yang luas dan di dalam panas yang terik dan air buat diminum pun telah habis.
(187) Mereka bertanya kepada engkau perihal Sa'ah, bilakah datangnya. Katakanlah, “Pengetahuan tentangnya adalah di sisi Tuhanku. Tidak ada yang bisa menampakkannya pada waktunya melainkan Dia. Beratlah urusan itu di langit dan di bumi. Dia tidak akan datang kepada kamu, kecuali dengan tiba-tiba." Mereka akan, bertanya kepada engkau seolah-olah engkau lebih dekat perihal itu. Katakanlah, “Namun ilmunya hanyalah di sisi Allah. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidaklah mengetahui."
(188) Katakanlah, “Tidaklah aku kuasa mendatangkan manfaat atas diriku sendiri dan tidak pula menolak bahaya, kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah. Dan, kalau adalah aku mengetahui yang gaib, niscaya telah aku kumpulkan harta banyak-banyak dan tentu tidaklah aku akan disentuh oleh kesusahan, Tidaklah aku ini melainkan pemberi ancaman dan warta gembira bagi kaum yang beriman."
BILA HARI AKAN KIAMAT
Di ayat 185 di atas tadi, mereka telah disuruh berpikir dengan memandang kerajaan langit dan segala isi yang ada di dalamnya lalu disuruh lanjut berpikir tentang keadaan hidup mereka sendiri bahwa tiap orang yang hidup pasti akan mati, apabila ajalnya atau janjinya telah datang. Manusia hidup di dalam alam dari tidak ada menjadi ada dan kemudian mati. Alam itu sendiri pun dahulunya tidak ada, kemudian diadakan oleh Allah dan pasti datang masanya dia pun akan rusak binasa. Segala yang baru ini, adanya adalah di antara dua ‘Adam. Dahulu ‘Adam (tidak ada), kemudian ada dan nanti akan ‘Adam (tidak ada) lagi.
Ayat 187
“Mereka bertanya kepada engkau perihal Sa'ah, bilakah akan datangnya."
Sa'ah di sini telah diartikan dengan Kiamat. Padahal, kalimat Sa'ah atau saat itu pada mulanya berarti satu waktu. Kita selalu mengatakan tiba saat. Atau “aku duduk bersama dia sesaat lamanya". Dan, istilah satu saat telah dipakai juga dengan arti satu jam. Arloji yang telah membagi waktu sehari semalam, jadi 24 jam, dinamai 24 saat. Bahkan arloji sendiri pun di dalam bahasa Arab disebut sa'ah. Kita orang Indonesia telah memakai jadi bahasa kita dengan ucapan saat. Akan tetapi, dalam Al-Qur'an kalimat saat itu telah berarti Kiamat. Bagi orang seorang, kalau dia mati, disebut telah sampai saatnya. Satu negara atau suatu pekerjaan jika diserahkan kepada yang bukan ahlinya, dikatakan di dalam sebuah Hadits, “Tunggulah saatnya!" Artinya, “tunggulah saat binasanya."
Maka, yang dimaksud di dalam ayat ini ialah pertanyaan mereka tentang Sa'ah atau Kiamat yang besar itu. Bilakah masanya bumi ini akan hancur, langit akan digulung, bintang-bintang akan terpecah-belah dari susunannya, gunung-gunung akan hancur jadi abu, pendeknya bilakah masa dunia akan hancur lebur dan manusia yang masih hidup di waktu itu akan habis mati karena bumi tidak bisa didiami lagi. Yaitu yang dinamai Hari Kiamat.
Timbul pertanyaan seperti ini, sebab di dalam peringatan dan ancaman Rasul, selalu hal Kiamat dibawakan. Sebab, dua hal menjadi pokok kepercayaan beragama, pertama percaya kepada Allah, kedua percaya akan datangnya Hari Kiamat dan manusia akan dibangkitkan kembali dari alam kuburnya, untuk memperhitungkan dosa dan pahala.
Saat itu pasti datang. Maka, sekarang mereka bertanya, “Bilakah masanya?" Maka Nabi Muhammad ﷺ disuruh menjawab pertanyaan itu.
“Katakanlah, ‘Pengetahuan tentangnya adalah di sisi Tuhanku. Tidak ada yang bisa menampakkannya pada waktunya, melainkan Dia.'"
Artinya, Kiamat pasti datang, sebab apa yang ada di dalam alam ini pasti datang saat hancurnya, sebab yang kekal sendiri-Nya hanyalah Allah saja.
Ahli-ahli ilmu pengetahuan pun mengakui hal itu dari segi pengetahuan, sehingga berbagai teori tentang kehancuran bumi atau kehancuran alam itu telah mereka kemukakan. Akan tetapi, semuanya itu hanya teori, agak-agak, hasil penyelidikan manusia yang kecil, dengan otak sekepal tangan. Adapun hakikatnya yang sejati dan bila akan terjadi Kiamat itu, seluruh ilmu pengetahuannya hanyalah pada Allah saja. Tidak ada seorang manusia pun yang tahu bahkan dengan jawaban ini Rasulullah ﷺ sudah disuruh menegaskan bahwa dia sendiri pun tidak tahu. Entah esok, entah lusa, entah 1.000 tahun lagi, entah sekian juta tahun lagi, tidak ada yang tahu bila hari akan Kiamat, melainkan Allah saja. Rahasia itu Dia simpan sendiri. Yang ada sekarang ialah Kiamat orang seorang, setelah dia hidup dia pun mati. Atau Kiamat suatu bangsa; setelah dia beritahukan saat akan datangnya Kiamat besar itu kepada manusia karena faedahnya pun tidak ada, melainkan membahayakan. Berkali-kali terjadi di benua Eropa, tersiar berita yang disiarkan oleh pemuka-pemuka agama bahwa hari akan Kiamat, orang semua sudah pada takut, sehingga masyarakat menjadi guncang. Kemudian setelah datang saat yang ditentukan itu, Kiamat tidak terjadi; setelah hilang keguncangan, orang pun kembali nakal lagi dan lantaran itu banyak orang yang hilang kepercayaannya kepada agama.
Di Indonesia ini pernah disebarkan orang satu surat kecil, katanya dikirim oleh Syekh Ahmad penjaga makam Rasulullah ﷺ di Madinah. Bahwa Syekh Ahmad itu bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ Lalu, beliau menyatakan bahwa pada tahun sekian akan terjadi bala bencana demikian, tahun sekian terjadi begini dan begitu dan tahun sekian matahari akan terbit dari barat, pintu tobat akan tertutup, setelah itu pada tahun sekian, hari pun Kiamat. Pada tahun 1916, surat “Syekh Ahmad" itu dibacakan orang di surau Jembatan Besi Padang Panjang. Akan tetapi, pada tahun 1956 surat Syekh Ahmad itu tersebar lagi di tanah Jawa. Apakah hasilnya? Ialah menimbulkan cemas, takut orang yang kecil jiwanya, dan menambah kufur orang yang kufur juga. Orang agaknya menyangka dengan menyebarkan surat ini orang akan taat beragama. Padahal, yang taat akan taat juga dan yang fasik akan bertambah fasik juga.
Sehabis Perang Dunia II timbul rasa takut dunia akan Kiamat lantaran bom atom atau bom nuklir. Banyak orang yang lekas-lekas kembali beribadah, gereja dan masjid pun penuh sesak. Akan tetapi, ada lagi pemudayang bertambah jadi nakal, menjadi “Crossboy". Sebab, kata mereka kalau memang dunia akan Kiamat maka pada sisa hidup yang tinggal sedikit ini hendaklah kita lepaskan nafsu, jangan ditahan-tahan. Minum sepuas-puasnya malam ini karena besok pagi belum tentu akan hidup.
“Beratlah urusan itu di langit dan di bumi."
Artinya, urusan Kiamat adalah urusan berat dan besar, baik di langit ataupun di bumi, tidak terpikul oleh satu makhluk pun, sebab dia adalah semata-mata rahasia Allah, sehingga Malaikat pun tidak ada yang tahu bila akan terjadinya. As-Suddi menafsirkan, “Karena dia adalah rahasia yang amat berat sehingga malaikat pun tidak ada yang tahu."
“Dia tidak akan datang kepada kamu, kecuali dengan tiba-tiba." Artinya, dia akan datang dengan tidak ada pemberitahuan lebih dahulu. Sedang manusia enak-enak dalam pekerjaannya sehari-hari, entah perempuan sedang menggendong anak, entah petani sedang membajak sawah, entah kapal terbang sedang
melayang di udara dan segala macam kegiatan hidup manusia biasa, tiba-tiba Kiamat datang, orang dikejutkan sebelum sampai berbuat apa-apa dan bersiap apa-apa.
Oleh sebab datangnya itu dengan tiba-tiba, manusia pun diberi peringatan bahwa takut menghadapi Kiamat itu bukanlah dengan kecemasan dan bukan dengan surat-surat sebagai yang dikirim “Syekh Ahmad" melainkan hendaklah manusia selalu ingat akan Allah, mengerjakan perintah yang dipe-rintahkan-Nya, dan menghentikan apa yang dilarang-Nya, sehingga walaupun bagaimana tiba-tiba datangnya, dan kita tiba-tiba mati, entah dihimpit rumah, entah terbakar, entah terlepas anak yang sedang dalam menyusu, atau gugur anak dalam kandungan, sebagai disebutkan di pangkal surah al-Hajj, tidak ada yang ditakutkan lagi. Karena yang menimbulkan takut menghadapi maut ataupun menghadapi Hari Kiamat, ialah karena hati bimbang menghadapi pertanyaan Allah, sebab hati itu selama ini terikat dan terpikat oleh dunia yang fana.
“Mereka akan bertanya kepada engkau, seolah-olah engkau lebih dekat perihal itu." Mereka desak-desak juga bertanya kepada Rasulullah ﷺ karena mereka merasa tidak puas dengan jawaban itu. Menurut tafsir Ibnu Abbas, mereka mendesar-desak juga menanyakan Kiamat, seakan-akan karena Nabi Muhammad itu lebih dekat kepada Allah, apalah salahnya kalau dibisikkan kepada mereka soal itu, meskipun secara rahasia. Sebab, dia adalah Nabi, tentu ada rahasia tersembunyi, yang apa salahnya dikatakan kepada mereka, supaya mereka bersiap-siap.
“Katakanlah, ‘Namun ilmunya hanyalah di sisi Allah.'"
Artinya, ditegaskan lagi bahwasanya dalam urusan Hari Kiamat ini, tidak ada orang yang mendapat kabar yang istimewa, karena dia “dekat" dengan Allah, sehingga berita itupun “dekat" (hafiyyun) dari dia. Pendeknya
dengan jawaban yang kedua ini Rasulullah ﷺ menegaskan lagi, bahwa dia sendiri pun tidak diberitahu oleh Allah bila Kiamat akan terjadi. Dia tetap akan terjadi dengan tiba-tiba. Maka, ilmu tentang itu khusus pada Allah saja.
“Akan tetapi, kebanyakan manusia tidaklah mengetahui."
Artinya, meskipun sudah diberi peringatan bahwasanya yang mengetahui bila Kiamat akan terjadi hanya Allah saja, tetapi masih banyak manusia tidak juga mau tahu hal itu; dia masih saja mengorek-ngorek, masih saja menanyakan bila akan terjadi.
Bukan saja Nabi Muhammad ﷺ itu tidak mengetahui bila hari akan Kiamat, sebab bila saat Kiamat hanya semata-mata Allah yang mengetahui. Bahkan keadaan nasib dan rahasia dirinya sendiri pun beliau tidak kuasa:
Ayat 188
“Katakanlah, Tidaklah aku kuasa mendatangkan manfaat akan diriku sendiri dan tidak pula menolak bahaya, kecuali apa yang dihendaki oleh Allah.'"
Di sinilah beliau menyatakan terus-terang rahasia nubuwwah yang paling besar, sebab beliau hanya utusan, bukan Allah, Beliau tekankan bahwasanya beliau adalah manusia. Beliau tidak dapat menciptakan sendiri manfaat buat dirinya atau menolak suatu bahaya; baik untuk dirinya ataupun untuk orang lain, kecuali dengan kehendak Allah semata-mata. Sebab itu, kepada pengikut beliau, dari semula sudah diperingatkan, bahwa kalau hendak memohon sesuatu hendaklah memohonkan langsung kepada Allah, jangan pakai perantara walaupun diri beliau ﷺ sendiri. Beliau diperintahkan oleh Allah menyampaikan hal ini, supaya umat jangan tersesat. Beliau, Muhammad ﷺ tidaklah dapat membawakan manfaat bagi dirinya dan bagi diri orang lain, dan tidak pula dapat menolak bahaya jika menimpa dirinya atau menimpa diri orang lain, kecuali atas kehendak Allah. Ketika orang Quraisy berniat hendak membunuhnya, yang memeliharanya hanya semata-mata Allah. Seketika rumahnya sudah dikepung, dia hendak dibunuh tidak lain hanyalah pertolongan Allah. Dan, seketika dia bersembunyi berdua dengan Abu Bakar r.a. di dalam gua di GunungTsur, yang melindunginya tidak lain dari karunia Allah. Kalau menekur saja sedikit orang-orang yang mencari itu, kelihatanlah beliau dan terbunuhlah beliau. Akan tetapi, dia diselamatkan Allah. Dan, pada waktu seorang perempuan Yahudi mencoba meracun beliau dengan memakai kaki kambing yang dipanggang, telah beliau gigit dan tertelan sedikit racun itu, syukur beliau lekas tahu dan memuntahkannya.
Yang memberi tahu itu adalah Allah. Sungguh pun begitu disebutnya juga bahwa salah satu sebab yang membawa wafatnya ialah bekas racun yang telah tertelan sedikit itu.
Di sinilah, kalau kita pakai pikiran yang cerdas, dapat kita pahami bahwa Nabi kita Muhammad ﷺ tetap seorang manusia, tidak boleh kita samakan dengan Allah, dan tidak boleh kita sembah. Apatah lagi jika kita meminta tolong dan memakai perantaraan yang lain, misalnya kubur orang yang dipandang keramat atau orang-orang yang masih hidup yang dikeramatkan atau dengan sukanya sendiri dikeramatkan, lalu dijadikan perantara buat menyampaikan permohonan kepada Allah.
Kemudian datang lagi lanjutan peringatan beliau, “Dan kalau adalah aku mengetahui yang gaib, niscaya telah aku kumpulkan harta banyak-banyak dan tentu tidaklah aku disentuh oleh kesusahan."
Inilah lanjutan daripada peringatan yang pertama tadi, yaitu beliau tidak tahu keadaan yang gaib. Terutama beliau tidak tahu bila beliau akan meninggal, sehingga lantaran itu beliau tidak mengumpul harta kekayaan banyak-banyak untuk jaminan hidup bagi anak-anak yang akan ditinggalkannya.
Beliau tidak mendirikan gedung-gedung indah buat tempat beliau berdiam bersenang-senang. Bahkan sejak beliau berjuang menegakkan seruan kepada manusia di Mekah, harta benda yang ada dalam tanggungannyalah yang habis beliau belanjakan. Kekayaan yang diterimanya dari istrinya yang dia cintai, Khadijah yang agung, harta itulah yang habis beliau belanjakan buat berjuang dan tidak ada persediaan lagi. Dua puluh tiga tahun menjadi rasul, tiga belas tahun dalam kesusahan di Mekah dan sepuluh tahun di Madinah, tidaklah beliau mengumpul harta benda untuk diri dan tidaklah lepas dari berbagai macam kesusahan, kesulitan rumah tangga, penderitaan kematian anak, dan kematian istri.
Kita ingat kesusahannya ketika Khadijah meninggal dunia dan pamannya Abi Thalib, sehingga tahun kematian dari dua orang yang beliau cintai itu dinamai, “tahun duka cita". Se-sampai di Madinah, di kala beliau telah mencapai kekuasaan demikian besar, mendapat kemenangan perang yang berturut-turut, sehingga harta rampasan (ghanimah atau anfal) telah datang berlimpah-limpah dan beliau sendiri berhak mendapat bagian seperlima, tetapi beliau tetap hidup sebagai biasa, dalam kesederhanaan dan tidak mengumpul harta.
Teringatlah kita riwayat beliau ketika beliau sedang di puncak kemegahan dan kekuasaan, Umar bin Khaththab masuk ke dalam rumah beliau, didapatinya beliau masih saja tidur di atas bangku-bangku yang memakai tilam daun kurma dianyam. Sehingga Umar bin Khaththab berkata, “Mengapa engkau masih saja hidup begini ya junjungan kami, padahal anak kunci masyriq dan Maghrib telah terserah ke tangan Tuan?" Lalu beliau jawab, bahwa beliau adalah Nabi, bukan Kisra dan bukan pula Kaisar.
Dan, teringatlah kita ketika istri-istri beliau datang berkumpul meminta tambahan belanja, karena hidup sangat berkurang-kurang, sampai turun ayat khiyar (al-Ahzab ayat 28), yaitu disuruh mereka memilih, apakah mereka menyukai dunia dan perhiasannya atau menyukai Allah dan Rasul.
Kemudian beliau disuruh menyampaikan pula:
“Tidaklah aku ini melainkan pemberi ancaman dan warta gembira bagi kaum yang beriman."