Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِلَّهِ
dan milik Allah
ٱلۡأَسۡمَآءُ
nama-nama
ٱلۡحُسۡنَىٰ
yang baik
فَٱدۡعُوهُ
maka berdoalah kepadaNya
بِهَاۖ
dengannya
وَذَرُواْ
dan tinggalkanlah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُلۡحِدُونَ
(mereka) mengingkari
فِيٓ
dalam/tentang
أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ
nama-namaNya
سَيُجۡزَوۡنَ
mereka akan diberi balasan
مَا
apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
وَلِلَّهِ
dan milik Allah
ٱلۡأَسۡمَآءُ
nama-nama
ٱلۡحُسۡنَىٰ
yang baik
فَٱدۡعُوهُ
maka berdoalah kepadaNya
بِهَاۖ
dengannya
وَذَرُواْ
dan tinggalkanlah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُلۡحِدُونَ
(mereka) mengingkari
فِيٓ
dalam/tentang
أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ
nama-namaNya
سَيُجۡزَوۡنَ
mereka akan diberi balasan
مَا
apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
Allah memiliki Asmaulhusna (nama-nama yang terbaik). Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (Asmaulhusna) itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Tafsir
(Allah mempunyai asma-asma yang baik) yang sembilan puluh sembilan, demikianlah telah disebutkan oleh hadis. Al-husna adalah bentuk muannats dari al-ahsan (maka bermohonlah kepada-Nya) sebutkanlah Dia olehmu (dengan menyebut nama-nama-Nya itu dan tinggalkanlah) maksudnya biarkanlah (orang-orang yang menyimpang dari kebenaran) berasal dan kata alhada dan lahada, yang artinya mereka menyimpang dari perkara yang hak (dalam menyebut nama-nama-Nya) artinya mereka mengambil nama-nama tersebut untuk disebutkan kepada sesembahan-sesembahan mereka, seperti nama Latta yang berakar dari lafal Allah, dan Uzzaa yang berakar dari kata Al-Aziiz, dan Manaat yang berakar dari kata Al-Mannaan (nanti mereka akan mendapat balasan) kelak di akhirat sebagai pembalasannya (terhadap apa yang telah mereka kerjakan) ketentuan ini sebelum turunnya ayat perintah berperang.
Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dari Abu Hurairah , disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu, seratus kurang satu. Barangsiapa yang dapat menghafalnya, masuk surga. Dia Maha Esa dan mencintai yang esa. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahih-nya.
masing-masing melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abuz Zanad dari Al-Araj dengan lafal yang sama. Imam Bukhari telah meriwayatkannya dari Abul Yaman, dari Syu'aib, dari Abu Hamzah, dari Abuz Zanad dengan sanad yang sama. Imam At-Tirmidzi telah mengetengahkannya di dalam kitab Jami'-nya, dari Al-Juzjani, dari Safwan ibnu Saleh, dari Al-Walid ibnu Muslim, dari Syu'aib, lalu ia menyebutkan hal yang semisal berikut sanadnya.
Tetapi di dalam riwayat itu sesudah lafal, "Menyukai yang esa," ditambahkan hal berikut, yaitu: Dialah Allah, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Mahasuci, Mahasejahtera, Maha Mengaruniakan Keamanan. Maha Memelihara, Mahamulia, Mahakuasa, Mahaperkasa, Maha Memiliki Keagungan, Maha Pencipta, Maha Membentuk Rupa, Maha Pengampun, Maha-menang. Maha Pemberi Karunia, Maha Pemberi Rezeki, Maha Pemberi Keputusan, Maha Mengetahui, Maha Menyempitkan Rezeki, Maha Melapangkan Rezeki, Yang Merendahkan, Yang Mengangkat, Yang Memuliakan, Yang Menghinakan, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, Mahabijaksana, Mahaadil, Mahalembut, Maha-waspada, Maha Penyantun, Mahaagung, Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, Mahatinggi, Mahabesar, Maha Memelihara, Maha Membalas, Maha Periksa, Mahaagung, Mahamulia, Maha Mengawasi, Maha Memperkenankan, Mahaluas, Mahabijaksana, Maha Mencintai, Mahaagung, Maha Membangkitkan, Maha Menyaksikan, Mahabenar, Maha Melindungi, Mahakuat, Mahateguh, Maha Menolong, Maha Terpuji, Maha Menghitung, Maha Memulai, Maha Mengembalikan, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, Yang Mahahidup Abadi, Yang Maha Berdikari, Yang Maha Pemurah, Yang Mahaagung, Yang Maha Esa, Yang Mahatunggal, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Yang Mahakuasa, Yang Maha Berkuasa, Yang mendahulukan, Yang mengakhirkan.
Yang Mahaawal, Yang Mahaakhir, Yang Mahanyata, Yang Maha Tersembunyi, Yang Maha Menolong, Yang Mahatinggi, Yang Mahabijak, Maha Pengampun, Maha Membalas, Maha Memaafkan, Maha Penyayang. Yang Mempunyai Kerajaan, Yang Mempunyai Keagungan dan Kemuliaan, Yang Mahaadil. Yang Maha Menghimpun, Yang Mahakaya, Yang Memberi Kekayaan, Yang Maha Mencegah, Yang Menimpakan Bahaya, Yang Memberi Manfaat. Yang Maha Bercahaya. Yang Maha Pemberi Petunjuk, Yang Maha Membuat, Yang Mahakekal, Yang Maha Mewaris, Yang Maha Memberi Petunjuk, Yang Mahasabar.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib. Hadits ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah, tetapi kami tidak mengetahui pada kebanyakan riwayat adanya penyebutan asma-asma ini kecuali dalam hadits ini. Ibnu Hibban telah meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya melalui jalur Safwan dengan sanad yang sama. Ibnu Majah di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan hadits ini melalui jalur lain dari Musa ibnu Uqbah, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah secara morfu lalu ia mengemukakan asma-asma tersebut, tetapi ada penambahan dan pengurangannya.
Tetapi hal yang dijadikan pegangan oleh jamaah huffaz (ulama yang hafal hadits) mengatakan bahwa pengemukaan asma-asma Allah dalam hadits ini merupakan sisipan yang dimasukkan ke dalamnya. Dan sesungguhnya hal tersebut hanyalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim dan Abdul Malik ibnu Muhammad As-San'ani, dari Zuhair ibnu Muhammad, bahwa telah sampai kepadanya dari ulama yang jumlahnya bukan hanya seorang; mereka mengatakan hal yang sama.
Dengan kata lain, mereka menghimpunnya dari Al-Qur'an. Seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Ja'far ibnu Muhammad, Sufyan ibnu Uyaynah, dan Abu Zaid Al-Lugawi. Kemudian perlu untuk diketahui bahwa asmaul husna tidak hanya terbatas sampai bilangan sembilan puluh sembilan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya melalui Yazid ibnu Harun, dari Fudail ibnu Marzuq, dari Abu Salamah Al-Juhanni, dari Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud , dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda:
Tidak sekali-kali seseorang tertimpa kesusahan, tidak pula kesedihan, lalu ia mengucapkan doa berikut: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambamu, anak hamba, dan amat (hamba perempuan)-Mu, ubun-ubun (roh)ku berada di dalam genggaman kekuasaan-Mu, aku berada di dalam keputusan-Mu, keadilan belakalah yang Engkau tetapkan atas diriku. Aku memohonkan kepada Engkau dengan menyebut semua nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan dengannya diri-Mu, atau yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau Engkau menyimpannya di dalam ilmu gaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur'an yang agung sebagai penghibur kalbuku,-cahaya dadaku, pelenyap dukaku, dan penghapus kesusahanku," melainkan Allah menghapuskan darinya kesedihan dan kesusahannya, dan menggantikannya dengan kegembiraan.
Ketika ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami boleh mempelajarinya?" Rasulullah ﷺ menjawab: Benar, dianjurkan bagi setiap orang yang mendengarnya (asmaul husna) mempelajarinya. Imam Abu Hatim ibnu Hayyan Al-Basti telah meriwayatkan hal yang semisal di dalam kitab Shahih-nya. Seorang ulama fiqih yaitu Imam Abu Bakar ibnul Arabi, salah seorang imam mazhab Maliki telah menyebutkan di dalam kitabnya yang berjudul Al-Ahwazi fi Syarhit At-Tirmidzi, bahwa sebagian ulama ada yang menghimpun dari Al-Qur'an dan Sunnah sebagian dari asma-asma Allah yang banyaknya sampai seribu asma.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. (Al-A'raf: 180) Yang dimaksud dengan orang-orang yang menyimpang dalam ayat ini ialah mereka yang menyebut nama Al-Lata di dalam asma-asma Allah. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. (Al-A'raf: 180) Mereka mengakarkatakan Al-Lata dari lafal Allah; dan Al-Uzza dari lafal Al- 'Aziz (salah satu asma Allah). Qatadah mengatakan bahwa makna yulhiduna ialah mempersekutukan asma-asma-Nya (dengan nama-nama lain).
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ilhad artinya mendustakan. Asal kata menurut bahasa Arab artinya menyimpang dari tujuan, melenceng, membelok, dan melampaui garis. Termasuk ke dalam pengertian kata ini ialah sebutan al-lahd (liang lahat) pada kuburan. Dinamakan demikian karena liang ini dibuat di sisi bagian dalam galian dan tidak lurus dengan garis lurus galian kuburannya."
Demikianlah, seseorang terjerumus ke dalam neraka karena mengabaikan tanda-tanda keesaan Allah dan tidak mengingat-Nya. Maka pada ayat ini, Allah mengingatkan agar kita tidak melalaikannya dan selalu memanggil-Nya dengan nama-nama-Nya yang terbaik. Dan hanya Allah Yang memiliki al-Asma'' al-a'usna', yakni nama-nama terbaik yang menunjukkan keagungan dan kemahasempurnaan-Nya, maka berdoalah dan bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya, yaitu al-Asma' ala'usna' itu. Dan tinggalkanlah serta waspadalah terhadap orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dengan menyalahartikan nama-nama-Nya. Jangan dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan menyebut nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat keagungan Allah, atau dengan memakai al-Asma' al-Husna', tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan al-Asma' al-Husna' untuk nama-nama selain Allah. Mereka kelak, di dunia atau di akhirat, akan mendapat balasan yang sesuai dengan kadar kedurhakaan mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
Kalau pada ayat 179 disebutkan tentang siapa yang akan menjadi penghuni neraka dari kalangan manusia dan jin, maka pada ayat ini di-tegaskan, dan di antara orang-orang yang telah Kami ciptakan ada umat yang menjadi teladan dan selalu memberi petunjuk dengan dasar kebenaran, dan dengan dasar kebenaran itu pula mereka setiap saat selalu berlaku adil, tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan, tetapi menelusuri jalan tengah yang merupakan jalan kebaikan, dan mereka juga selalu berlaku adil dalam memutus segala perkara. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni surga.
Al-Asmaul Husna artinya nama-nama Allah yang paling baik, paling luas, dan paling dalam pengertiannya, sebagaimana sabda Rasulullah:
"Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghafalnya masuklah dia ke surga." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Jumlah sembilan puluh sembilan itu tidaklah berarti batas jumlah, sesungguhnya nama Allah itu tidaklah terbatas. Dalam Al-Qur'an nama Allah lebih dari jumlah angka tersebut. Nama-nama itu merupakan sifat dari zat Allah Yang Maha Esa, bukan zat Tuhan yang dikira orang musyrikin.
Mengenai Asmaul Husna yang sembilan puluh sembilan itu diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan al-Hakim dari jalan (sanad) al-Walid bin Muslim sebagai berikut:
Dialah Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia. (1) Yang Maha Pengasih, (2) Yang Maha Penyayang, (3) Maharaja, (4) Yang Mahasuci, (5) Maha Sejahtera, (6) Yang Maha Menenteramkan, (7) Yang Maha Memelihara, (8) Yang Mahaperkasa, (9) Yang Mahakuasa, (10) Yang Maha Memiliki Kebesaran, (11) Yang Maha Menciptakan, (12) Yang Mengadakan, (13) Yang Membentuk Rupa, (14) Yang Maha Pengampun, (15) Yang Maha Mengalahkan, (16) Yang Maha Pemberi, (17) Yang Maha Memberi Rezeki, (18) Yang Maha Memberi Keputusan, (19) Yang Maha Mengetahui, (20) Yang Maha Membatasi Rezeki, (21) Yang Maha Melapangkan Rezeki, (22) Yang Maha Merendahkan, (23) Yang Maha Meninggikan, (24) Yang Maha Menjadikan Mulia, (25) Yang Menjadikan Hina, (26) Yang Maha Mendengar, (27) Yang Maha Melihat, (28) Yang Jadi Hakim, (29) Yang Mahaadil, (30) Yang Mahahalus, (31) Yang Mahateliti, (32) Yang Mahasantun, (33) Yang Mahaagung, (34) Yang Maha Mengampuni, (35) Yang Maha Mensyukuri, (36) Yang Mahatinggi, (37) Yang Mahabesar, (38) Yang Maha Memelihara, (39) Yang Maha Penentu Waktu, (40) Yang Maha Membuat Perhitungan, (41) Yang Penuh Kebesaran, (42) Yang Maha Pemurah, (43) Yang Jadi Pengawas, (44) Yang Maha Mengabulkan, (45) Yang Mahaluas, (46) Yang Maha Bijaksana, (47) Yang Maha Mencintai,(48)Yang Mahamulia, (49) Yang Maha Membangkitkan, (50) Yang Maha Menjadi Saksi, (51) Yang Penuh Kebenaran, (52) Yang Maha Menjadi Tempat Bertawakkal, (53) Yang Mahakuat, (54) Yang Mahakokoh, (55) Yang Maha Melindungi, (56) Yang Maha Terpuji, (57) Yang Maha Menghitung, (58) Yang Maha Menciptakan, (59) Yang Maha Mengembalikan, (60) Yang Menghidupkan, (61) Yang Mematikan, (62) Yang Maha Hidup, (63) Yang Berdiri Sendiri, (64) Yang Maha Menemukan, (65) Yang Mahamulia, (66) Yang Mahamandiri, (67) Yang Maha Esa, (68) Yang Maha Tumpuan, (69) Yang Maha Kuasa, (70) Yang Maha Menentukan, (71) Yang Maha Mendahulukan, (72) Yang Maha Mengakhirkan, (73) Yang Mahaawal, (74) Yang Mahaakhir, (75) Yang Mahanyata, (76) Yang Maha Tersembunyi, (77) Yang Maha Melindungi, (78) Yang Maha Meninggikan, (79) Yang Maha Pelimpah Kebajikan, (80) Yang Maha Penerima Tobat, (81) Yang Maha Pembalas, (82) Yang Maha Pemaaf, (83) Yang Maha Penyantun, (84) Yang Memiliki Kekuasaan, (85) Yang Maha Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, (86) Yang Mahaadil, (87) Yang Menghimpun, (88) Yang Mahakaya, (89) Yang Maha Memberi Kekayaan, (90) Yang Maha Mencegah, (91) Yang Maha Pemberi Mudarat, (92) Yang Maha Pemberi Manfaat, (93) Yang Maha Bercahaya, (94) Yang Maha Pemberi Petunjuk, (95) Yang Maha Pencipta Keindahan, (96) Yang Mahakekal, (97) Yang Maha Mewarisi, (98) Yang Maha Pemberi Bimbingan, (99) Yang Mahasabar. (Riwayat at-Tirmizi dan al-Hakim)
Terjemahan nama-nama Allah sesungguhnya tidak dapat diterjemahkan secara tepat. Terjemahan ini sekedar untuk menjelaskan maknanya sesuai dengan keterbatasan bahasa Indonesia.
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menyebutkan nama-nama yang paling baik ini dalam berdoa dan berzikir. Karena dengan berdoa dan berzikir itu mereka selalu ingat kepada Allah, dan iman mereka bertambah hidup dan subur dalam jiwa mereka
Dalam pada itu Allah memerintahkan pula kepada orang-orang yang beriman agar mereka meninggalkan perilaku orang-orang yang menyimpangkan pengertian nama-nama Allah dari pengertian yang benar, misalnya dengan memberikan tawil atau memutar-balikkan pengertian sehingga mengaburkan kesempurnaan yang mutlak dari sifat-sifat Allah. Mereka yang berbuat demikian kelak akan ditimpa azab Allah. Penyimpangan atau penyelewengan dari nama-nama Allah Yang Maha Sempurna itu bermacam-macam bentuknya, antara lain:
1. Memberikan nama kepada Allah dengan nama yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an ataupun dalam hadis Rasul yang sahih. Semua ulama sepakat bahwa nama dan sifat Allah itu harus didasarkan atas penjelasan Al-Qur'an dan hadis Rasul (tauqifi).
2. Menolak nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah untuk zat-Nya, atau menolak untuk menisbahkan suatu perbuatan kepada Allah karena memandang yang demikian itu tidak patut bagi kesucian-Nya atau mengurangi kesucian-Nya. Mereka yang menolak ini memandang diri mereka seolah-olah lebih mengetahui dari Allah dan Rasul-Nya, mana yang layak dan mana yang tidak layak bagi Allah.
3. Menamakan sesuatu selain Allah dengan nama yang hanya layak bagi Allah.
4. Memutar-balikkan nama dan sifat-sifat Allah dengan penafsiran sendiri sehingga keluar dari pengertian dan maksud yang sebenarnya, seperti paham yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah sama dengan sifat manusia, seperti mendengar, melihat, berkata-kata, punya muka, tangan, kaki, tertawa, marah, senang dan sebagainya. Kendati Allah memiliki sifat mendengar, melihat dan sebagainya, namun mendengarnya Allah tidak sama dengan mendengarnya makhluk, melihatnya Allah tidak sama dengan melihatnya makhluk. Atau paham yang memberikan takwil terhadap sifat-sifat Allah sedemikian rupa sehingga sifat Allah itu tidak memilikik arti sama sekali.
5. Mempersekutukan Allah dengan sembahan selain Allah dalam segi nama yang khusus untuk Allah. Seperti memakai lafal Allah untuk sebuah berhala atau kata Rabbul alamin.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERHATI, TETAPI TAK MAU MENGERTI
Ayat 179
“Dan, sesungguhnya telah Kami sediakan untuk nenaka Jahannam beberapa banyak dari jin dan manusia. Pada mereka ada hati, (tetapi) mereka tidak mau memerhatikan dengan dia. Dan, pada mereka ada mata, (tetapi) mereka tidak mau melihat dengan dia. Dan, pada mereka ada telinga, (tetapi) mereka tidak mau mendengarkan dengan dia."
Di dalam segala bahasa terdapat perkataan hati. Dan, perkataan hati ini, baik dalam bahasa Arab bahasa Al-Qur'an, atau dalam bahasa kita sendiri mempunyai dua arti. Pertama hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dadanya. Itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh. Kemudian lagi arti yang kedua, yang kadang-kadang berarti akal, kadang-kadang berarti perasaan yang halus, disebut juga rasa hati atau hati kecil atau hati sanubari atau hati nurani. Sebenarnya menurut penyelidikan tubuh lahir batin manusia, jiwa dan badannya, orang sependapat bahwa kegiatan berpikir ialah dari otak, bukan dari hati. Akan tetapi, bahasa yang dipakai telah menentukan bahwa kalimat hatilah yang dipakai untuk menyatakan pikiran nurani. Imam Ghazali panjang lebar membicarakan akal, hati, dan ruh, di dalam kitab Ihya Ulumiddin, yang beliau simpulkan bahwa arti ketiga kata itu hanyalah satu saja.
Ayat ini menyatakan bahwa dua makhluk Allah yang utama, pertama Jin, kedua manusia, telah diberi oleh Allah hati. Maka, boleh juga kita artikan bahwa mereka telah diberi Allah otak buat berpikir. Akan tetapi, mereka telah disediakan buat menjadi isi neraka jahannam, kalau hati itu tidak mereka gunakan buat mengerti, berpikir, merenung atau buat memahamkan.
Di sini tersebut “yafqahuun", artinya berpikir atau berpaham. Menurut ahli bahasa, orang yang berpikir atau orang yang berpaham ialah orang yang dapat melihat yang tersirat di belakang yang tersurat. Melihat nyata barang yang tidak tampak, yang ada di balik yang tampak. Pada ayat ini didahulukan menyebut hati dan berpaham, daripada menyebut mata dan melihat dan telinga dan mendengar. Sebab, mata dan telinga adalah dua pancaindra yang menjadi alat saja bagi hati untuk berhubungan ke luar diri. Apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga, dibawa ke dalam hati dan dipertimbangkan. Seumpama matahari dan bulan kelihatan oleh mata sama besarnya, tetapi hati menyatakan tidak!
Misalnya kita berdiri di hadapan rumah kita pagi-pagi di kala matahari mulai naik. Yang mula kelihatan ialah alam sekeliling kita: matahari, tumbuh-tumbuhan, rumah, burung terbang, kembang dan sebagainya. Semua kelihatan oleh mata. Kemudian kelihatan ayam berkokok, didengar oleh telinga. Semuanya menjadi perhatian. Lama-lama hati tadi mulai berfiqih, artinya menaruh perhatian, sehingga kian lama kian tampaklah oleh hati barang yang tidak tampak oleh mata dan tidak terdengar oleh telinga. Mulanya kelihatanlah bahwa tumbuh-tumbuhan itu adalah hidup.
Burung-burung yang bernyanyi itu adalah hidup. Padahal, zat hidup itu tidak kelihatan oleh mata, hanya kelihatan oleh hati, sebab diperhatikan. Sesudah itu meningkat lagi, lalu hati tadi memerhatikan diri kita sendiri, yaitu diri yang melihat dan mendengar dan memerhatikan itu. Siapa aku? Kemudian, setelah ketiganya itu tampak oleh mata dan oleh hati, terdengar oleh telinga dan hati, sampailah kepada kesimpulan bahwasanya ketiganya itu tergabung menjadi satu, dan tidak mungkin terjadi dengan kebetulan, pasti ada yang mengadakan.
Di dalam ayat ini didahulukan menyebut jin dan manusia. Sebagaimana telah kita ketahui beberapa ayat, jin ialah makhluk halus yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra manusia. Mungkin sekali disebut terlebih dahulu karena merekalah yang lebih besar mempunyai sifat-sifat yang disebutkan itu, yaitu kelalaian dan tidak ada pengertian atau perhatian, termasuklah setan iblis di dalam golongan jin, sebab satu asalnya, yaitu dari nyala api. (surah ar-Rahmaan ayat 15)
Ayat ini menerangkan bahwa semua makhluk insan atau jin itu telah sama diberi hati (pikiran), mata, dan telinga oleh Allah. Tentu saja hati, mata, dan telinga jin menurut keadaannya pula, yang kita tidak tahu bagaimana rupanya. Akan tetapi, di kalangan mereka banyak yang tidak mempergunakannya dengan baik. Hati tidak dibawa buat mengerti, mata tidak dibawa buat melihat, telinga tidak dibawa buat mendengar. Artinya, tidak mereka berpikir untuk mencari mana yang benar, mana yang bersih dan tidak, mereka hendak mencapai hakikat yang sejati, yaitu kebenaran dan keesaan Allah, sehingga bergelut dan ber-gelimanglah diri mereka dengan khurafat, kebodohan, jiwa kecil, dan kehinaan. Misalnya, dilihatnya beringin besar dan rindang lalu timbul takutnya lalu disembahnya. Nanti kelihatan lagi batu besar yang seram lalu di-sembahnya pula. Kelihatan olehnya gunung yang tinggi dan gagah perkasa lalu disembahnya pula, sebab hatinya tidak lanjut berpikir untuk sampai kepada hakikat pencipta alam. Sedang orang yang perhatiannya telah sampai kepada satu titik terakhir dari pemikiran sehingga bebas dari segala macam benda, akan naiklah martabat jiwanya ke tingkat yang tinggi. Sebab, dia telah sampai kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengatur atas alam, dan bebas dia daripada meminta atau memohon atau memuja atau menyembah kepada yang lain.
Sebab itu, di surah Faathir ayat 28, sesudah Allah berturut-turut dalam beberapa ayat menerangkan keadaan alam dan bumi, gunung, sungai, dan warna-warni batu-batu, Allah menegaskan:
“Hanya yang bisa takut kepada Allah ialah ulama." (Faathir: 28)
Dan, ayat ini mengandunglah arti yang dalam, bahwasanya kalau penyelidikan suatu ilmu tidak sampai kepada kesadaran dan takut kepada Allah, belumlah orang mendapat ilmu yang sejati, dan belumlah orang itu ulama. Arti ulama ialah orang-orang yang berilmu.
Sebab itu, ayat ini mengandung anjuran yang tegas, pergunakan hati buat memerhatikan, mata buat melihat dan telinga buat mendengar sehingga berakhir dengan kenal kepada Allah (makrifat), dan itulah dia ilmu. Kalau tidak maka nerakalah tempat mereka. Lalu, di ujung ayat dijelaskan lagi, “Itulah orang-orang yang seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat."
Binatang ternak tidak ada perhatian, sebab yang ada padanya hanya semata-mata hati sebagai bagian tubuh. Apa yang mereka lihat tidak jadi perhatian dan apa yang mereka dengar pun tidak menjadi perhatian. Yang ada padanya hanya naluri. Akan tetapi, manusia yang tidak memakai perhatian itu, lebih juga tersesatnya dari binatang. Bagaimana pun bodohnya binatang, tetapi kejahatannya tidaklah sampai sejahat manusia.
“Mereka itu adalah orang-orang yang lalai."
Orang itu menjadi lalai dan kelalaian itulah yang menyebabkan tidak adanya perhatian. Lalai mereka memerhatikan keselamatan diri mereka dunia dan akhirat. Mereka lalai sebab itu tidak diingatnya arti dirinya sebagai manusia. Mereka lalai sehingga yang mereka ingat hanyalah soal perut berisi. Mereka lalai sehingga tidak ada hubungan jiwanya dengan alam keliling, padahal alam keliling adalah saksi atas adanya Yang Mahakuasa. Mereka lalai, sehingga berpikir hanya sekitar diri, tidak peduli masyarakat; tidak peduli cita-cita bertanah air dan berbangsa. Mereka hanya melihat kulit sehingga isi kehidupan menjadi kosong. Sebab itu, datangnya ke dunia tidak membawa faedah bagi sesama manusia dan kembali masuk kubur pun tidak membawa kerugian bagi orang lain; dan tempatnya di hari nanti ialah di dalam neraka Jahannam.
Kemudian berfirmanlah Allah, setelah memberi peringatan tentang hidup yang sengsara karena tidak mempergunakan hati, mata, dan telinga itu. Allah berfirman supaya orang yang beriman mendekati Allah:
Ayat 180
“Dan, bagi Allah-lah nama-nama yang baik, sebab itu senulah akan Dia dengan nama-nama. itu."
Nama ialah perkataan yang menunjukkan atas sesuatu zat atau menunjukkan zat dan sifat. Allah mempunyai nama-nama dan semua nama itu adalah nama yang baik. Serulah Dia dengan nama-nama-Nya yang semuanya baik itu.
Ayat ini berhubungan rapat dengan ayat yang sebelumnya. Kalau kita telah memper-gunakan hati untuk memerhatikan, untuk berpikir dan berfiqih, dengan kedua alat pancaindra yang penting untuk melihat warna dan bentuk dan mendengar bunyi nyaring, akhirnya perhatian kita akan sampai kepada Zat Yang Mahakuasa. Alam ini seluruhnya adalah syahid atas ada-Nya. Dari pintu yang mana saja pun kita masuk, akhirnya kita akan bertemu dengan Dia.
Kita rasakan jaminan hidup yang diberikan kepada kita dan kita selalu dipelihara, dilindungi dan diberi rezeki maka kita pun bertemulah dengan nama-Nya. Rabbun, Muhaiminun, Razzaq atau Raaziq. Kita rasai benar-benar bahwa kita ini disayangi dan dikasihi maka bertemulah kita dengan nama-Nya Rahman dan Rahim. Kita lihat induk ayam memelihara anak ayam yang masih kecil berlindung di bawah sayapnya dan kita lihat seorang ibu bangun tengah malam segera menyusukan putranya yang masih kecil dan dengan sabar penuh kasih cinta terus menyusukan sampai anak itu tertidur kembali maka bertemulah kita dengan nama-Nya Wadud.
Kita perhatikan hujan turun, kita perhatikan pula orang menggali tanah membornya sehingga minyak tanah keluar dan kita melihat padi masak menguning dan orang mulai menuai, kita merasai nikmat ketika buah-buahan musim maka teringatlah kita bahwa memang dia kaya maka bertemulah nama-Nya Ghaniy.
Sebab itu, bertambah banyak yang kita perhatikan, bertambah akan banyaklah bertemu nama-nama-Nya; al-Asma'ul Husna. Maka, panggillah dia, serulah dia, dengan nama-Nya, dengan salah satu nama-Nya. Sebab, nama-nama itu akan bertemu asal kamu selalu perhatikan.
Kalau engkau lihat tentara berbaris rapat dengan disiplin yang keras dan kuat, engkau bertemu dengan nama-Nya Aziz. Kalau engkau lihat seorang pemimpin atau orang bijaksana menyelesaikan suatu perkara dengan amat bijaksana, akan bertemulah engkau dengan nama-Nya Haakim. Kalau engkau perhatikan betapa majunya ilmu pengetahuan di zaman modern ini, sebagai anugerah-Nya kepada manusia, sebutlah nama-Nya ‘Aliim. Kalau engkau menyelidiki hakikat hidup, yang bertemu pada tumbuh-tumbuhan, pada barang di laut, pada binatang dan pada insan, engkau akan bertemu nama-Nya al-Hayyu. Dan, kalau engkau pun sadar bahwa tidak satu pun yang terlengah dari tilikan Allah, sebab selalu teratur tandanya Allah itu selalu sadar dan bangun, bertemulah engkau dengan nama-Nya Al-Qayyum.
Bertambah luas dan dalam ilmumu bertambah banyak nama-Nya itu bertemu. Akan tetapi, Nabi ﷺ menerangkan bahwa nama Allah yang banyak itu dapatlah engkau simpulkan menjadi 99 (sembilan puluh sembilan) yang harus diingat-ingat, tetapi pada hakikatnya nama Allah itu lebih banyak dari itu.
Nabi ﷺ bersabda, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah demikian bunyinya:
“Sesungguhnya bagi Allah itu adalah sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa yang menghitungnya masuklah cita ke surga." (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian selanjutnya Allah berfirman,
“Dan biarkanlah orang-orang yang tidak percaya kepada nama-nama-Nya itu.Mereka akan diganjari atas apa-apa yang telah mereka kerjakan."
Artinya, biarkanlah dan jangan kamu peduli kepada orang yang tidak mau percaya akan nama-nama itu, atau orang mulhid, yang kadang-kadang tidak mau mengakui kebesaran Allah dengan menilik nama-Nya. Tidak melihat sifat Allah yang terbekas pada perbuatan-Nya. Tidak mau percaya ada Allah, sebab tidak kelihatan oleh matanya padahal matanya itu sendiri pun belum pernah dilihatnya. Orang yang hanya menunjukkan perhatian kepada benda dan tidak mau mengerti apa yang ada di balik benda. Mereka itu pasti diganjari Allah dari bekas apa yang mereka kerjakan itu.
Di dalam ayat ini terdapat peringatan kepada orang yang beriman, supaya mereka biarkan saja atau janganlah dipedulikan sikap-sikap dari orang yang tidak mau percaya akan keesaan Allah. Di dalam ayat bertemu “yulhiduna" dari kalimat “lahad". Ingatlah apa maksud lahad yang dibuat orang ketika menguburkan orang mati. Di samping kubur yang lapang itu digali lagi kubur di sudut, untuk membaringkan mayat itu. Letak lahad bukan di tengah kubur, tetapi di sudut. Sebab itu, orang yang mulhid bolehlah diartikan orang yang menyudut. Dari situ pengambilan kata, yaitu membuat lagi lubang lain di samping lubang yang besar. Kemudian diterangkan maksud “melahad" terhadap nama Allah, ialah membuat pengertian atau lubang lain. Yaitu dua macam: pertama memberi sifat kepada Allah dengan yang bukan sifat-Nya. Kedua, memberi arti sifat-sifat Allah dengan yang tidak layak bagi-Nya,
Misalnya ada seorang sakit merana sudah berbulan-bulan, belum juga sembuh. Atau ada seorang dalam tahanan polisi sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tetapi perkaranya belum juga dibuka dan dia belum juga dilepaskan, padahal dia merasa tidak salah. Maka, berkatalah si orang sakit atau si orang tahanan itu bahwa Allah tidak adil. Ini namanya ilhad, dan orangnya mulhid. Telah memberi arti sifat Allah dengan salah.
Atau sebagai kejadian pada Madame Currie, sarjana perempuan yang terkenal yang mendapat Radium. Ketika ibunya sakit payah karena TBC, dia telah berdoa dan shalat dengan sangat khusyu agar ibunya disembuhkan Allah; padahal kehendak Allah jua yang berlaku, ibunya tidak sembuh walaupun dia telah berdoa sungguh-sungguh malahan ibunya itu mati. Sejak itu Madame Currie melepaskan kepercayaannya tentang adanya Allah. Itu pun namanya ilhad.
Kemudian di zaman sekarang arti ilhad telah diperluas lagi. Yaitu segala pendapatyang tidak mempercayai akan adanya Allah semesta sekalian alam, semuanya dinamai paham Mad, dan penganutnya bernama mulhid. Sama dengan ateis. Dan, ada juga yang menyebut dirinya Freethinker, bebas pikiran, tidak mau terikat dengan satu macam kepercayaan tentang adanya Allah sedikit pun. Mengakui juga ada Allah, tetapi disekutukan yang lain dengan Dia. Memberi arti satu sifat atau nama-Nya dengan arti yang salah.
Menyebutkan dengan rasa tidak hormat meskipun benar. Seumpama mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan pencuri atau Allah yang menjadikan najis dan sebagainya. Atau memakai perantaraan yang lain buat memohon kepada-Nya. Semuanya itu termasuk ilhad. Akan tetapi, puncak ilhad ialah yang tidak mau percaya akan adanya Allah tadi.
Ayat memberi peringatan, janganlah mereka dipedulikan, biarkanlah dan jangan diladeni. Sebab, perjalanan mereka itu pasti berakhir juga. Kalau mereka tidak mau percaya kepada Allah, sedang naluri mereka ingin juga akan kepercayaan, niscaya kepercayaan yang ada dalam lubuk jiwa itu akan mereka salurkan kepadayang selain Allah. Tidakpercaya kepada Allah, akhirnya mereka akan memuja benda. Tidak percaya kepada Allah, akhirnya mereka akan mempertuhankan sesama manusia. Akhirnya mereka akan memaksa jiwa sendiri dengan segala kekerasan untuk meninggalkan kepercayaan yang ada di dalam. Oleh karena tidak bisa lalu mereka salurkan saja kepada yang lain. Mereka akan menyembah benda atau menyembah orang, menyembah manusia, lebih daripada orang zaman Jahiliyyah menyembah berhala.
Biarkanlah mereka! Demikian kata ayat. Artinya, jangan kamu habiskan waktumu untuk meladeni orang yang demikian, tetapi tunjukkanlah hidupmu sendiri dan hidup masyarakatmu yang masih percaya kepada Allah, agar terus mencari Allah dan mendapat nama-Nya di dalam al-Asma'ul Husna tadi. Bagaimana pun akan bertegang-tegang di antara iman dan ilhad di dalam dunia ini, tetapi yang akan tetap berdiri hanyalah kepercayaan akan adanya Allah. Orang yang menegakkan paham ilhad pasti mati, tetapi pikiran manusia tidak akan mati. Bertambah banyaknya pengalaman dan hasil penyelidikan di antara yang mengatakan tidak ada dengan yang mengatakan ada, bagaimana pun berpikir secara dialektis, tetapi kesudahan pengajian tidaklah akan sampai pada tidak ada, melainkan pada ada juga.
Dan, segala kemajuan penyelidikan, segala kritik tentang kesalahan orang-orang yang percaya tentang adanya Allah yang dibangunkan atas khurafat yang tidak masuk akal, semuanya itu bukanlah akan meruntuh kepercayaan kepada Allah, melainkan akan menambah kecerdasan pemeluknya juga adanya.