Ayat

Terjemahan Per Kata
مَن
barang siapa
يَهۡدِ
memberi petunjuk
ٱللَّهُ
Allah
فَهُوَ
maka dia
ٱلۡمُهۡتَدِيۖ
orang yang mendapat petunjuk
وَمَن
dan barang siapa
يُضۡلِلۡ
Dia menyesatkan
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡخَٰسِرُونَ
orang-orang yang merugi
مَن
barang siapa
يَهۡدِ
memberi petunjuk
ٱللَّهُ
Allah
فَهُوَ
maka dia
ٱلۡمُهۡتَدِيۖ
orang yang mendapat petunjuk
وَمَن
dan barang siapa
يُضۡلِلۡ
Dia menyesatkan
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itulah
هُمُ
mereka
ٱلۡخَٰسِرُونَ
orang-orang yang merugi
Terjemahan

Siapa saja yang Allah beri petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk dan siapa saja yang Allah sesatkan, merekalah orang-orang yang merugi.
Tafsir

(Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi).
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah aranv-orane yang merugi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya, maka sesungguhnya dia telah merugi, kecewa, dan sesat tanpa dapat dielakkan lagi. Karena sesungguhnya sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan sesuatu yang tidak dikehendakiNya pasti tidak akan terjadi.
Karena itulah di dalam hadits Ibnu Mas'ud disebutkan hal seperti berikut: Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji, memohon pertolongan, memohon hidayah, dan memohon ampun hanya kepada-Nya. Dan Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan hawa nafsu kami dan keburukan-keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang dapat menyesatkannya; dan barang siapa disesatkan oleh Allah, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya Dan saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Hadits selengkapnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan dan kitab-kitab lainnya,.
Allah tidak meninggikan derajat siapa yang yang dibicarakan keadaannya oleh ayat-ayat yang lalu, karena yang bersangkutan enggan memanfaatkan petunjuk Allah yang telah diraihnya, sehingga Allah pun tidak memberinya kemampuan untuk mengamalkan petunjuk itu. Jika pada ayat yang lalu berbicara tentang siapa yang mendapat petunjuk dan disesatkan, pada ayat ini dijelaskan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain disesatkan. Dan demi keagungan dan kekuasaan Kami, sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia karena kesesatan mereka. Hal itu karena mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka layaknya seperti hewan ternak yang tidak menggunakan akal yang diberikan Allah untuk berpikir, bahkan mereka sebenarnya lebih sesat lagi dari binatang, sebab, binatang itu'dengan instinknya' akan selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya, sementara mereka itu malah menolak kebaikan dan kebenaran yang ada. Mereka itulah orang-orang yang lengah.
.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mendapat hidayat dari Allah ialah orang yang diberi bimbingan oleh-Nya dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya sesuai dengan fitrahnya dan tuntunan agama sendiri. Dia syukuri nikmat Allah, dia tunaikan kewajiban-kewajiban agama, maka berbahagialah dia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya yang merugi di dunia dan di akhirat ialah mereka yang dijauhkan dari pedoman yang ditetapkan Allah dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya, dia ikuti hawa nafsunya, tidak mau memahami ayat-ayat Allah dan tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Sesungguhnya jalan kepada petunjuk Allah itu hanyalah satu, yaitu beribadah kepada-Nya dengan amal kebajikan yang lahir karena iman itu. Sedangkan jalan yang menuju kepada kesesatan banyak ragamnya, karena manusia berpecah-belah, satu sama lain saling bermusuhan, dan menimbulkan pada bermacam-macam kejahatan.
Firman Allah:
Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (al-Anam/6: 153).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
GELAP SESUDAH TERANG
Sehubungan dengan ayat yang telah lalu tadi yang menerangkan bahwa di dalam dasar jiwa manusia memang sudah ada kepercayaan akan adanya Allah Pencipta, yang terdapat pada seluruh manusia, baik manusia yang masih hidup di dalam suasana primitif (bi-da-iy), masih bertelanjang atau bercawat, sampai kepada manusia yang sudah sangat tinggi ilmu pengetahuannya, sebagai Einstein dan Openheimer, baik mereka di dalam agama yang
mana saja atau bangsa apa saja maka sekarang Allah menggambarkan lagi bahwa manusia yang telah mengerti agama; yang telah sangat lanjut pengetahuannya, pun bisa tersesat juga, sebab dia berpaling dari kebenaran. Begini bunyi ayat:
Ayat 175
“Dan, bacakanlah kepada mereka benda orang yang telah Kami datangkan kepadanya ayat-ayat Kami, tetapi dia terlepas daripadanya."
Artinya, cobalah engkau ceritakan kepada mereka itu, wahai utusan-Ku, perihal orang yang tadinya telah mengenai ayat-ayat Allah. Kalau misalnya dia seorang Yahudi, dia telah mengerti hukum Taurat, kalau dia seorang Nasrani, dia telah mengerti pula segala hikmah ajaran Isa al-Masih, kalau dia orang Islam, dia telah banyak mengenal Al-Qur'an dan telah tahu memperbedakan mana hadits yang shahih, mana yang dhaif dan mana yang maudhu' (palsu). Pendeknva dia sudah terhitung ahli dalam ayat Allah. Akan tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat-ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas daripada ayat-ayat itu; tanggal atau ungkai atau copot dirinya dari ayat itu. Di dalam ayat ini disebut “insalakha", arti asalnya ialah menyilih. Yang selalu bertemu pada ular menyilih kulit, tanggal ayat itu dari dirinya sehingga dia tinggal telanjang. Demikian juga orang menyembelih kambing lalu dikuliti, sehingga tanggal kulitnya itu tinggal badannya saja tak berkulit, disebut juga insalakha. Oleh sebab itu amat dalamlah maksud ayat ini.
Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.
“Maka, setan pun menjadikan dia pengikutnya lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat."
Rupanya karena hawa nafsu, ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap. Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut setan sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat. Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Mekah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh setan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bershalat lagi.
Lalu, orang bertanya, mengapa engkau jadi pemabuk? Dia menjawab, “Tidak ada satu lafazh pun dalam Al-Qur'an atau Hadits yang menerangkan orang pemabuk masuk neraka!" Dan tentang shalat dia berkata pula, “Dalam Al-Qur'an surah al-Maa'un ada tersebut bahwa neraka wailun adalah untuk orang yang shalat." Maka karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Qur'an yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan Hadits-hadits itu, tetapi ayat dan Hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia telah tinggal dalam keadaan telanjang. Na'udzubillah min dzalik.
Ayat 176
“Dan, jika Kami kehendaki, niscaya Kami angkatkantah dia dengan (ayat-ayat) itu. Akan tetapi, dia melekat ke bumi dan memperturutkan hawa nafsunya."
Artinya, jikalau Allah menghendaki, dia bisa naik, bisa terangkat ke atas martabat yang mulia, sebab ayat-ayat Allah yang telah diketahuinya itu bisa memberikan cahaya kepadanya, tetapi bagaimanalah Allah hendak mengangkatnya, padahal dia sendiri lebih suka lekat ke bumi, sebab hawa nafsunya telah lebih menang atas jiwanya? Artinya, jiwa itu sudah sangat rusak. Maka, ayat yang sepatah ini memberikan kita pedoman, bahwa pemberian yang utama dari Allah kepada tiap-tiap kita manusia ini adalah dasar baik; kita dilahirkan dalam fitrah, tetapi kita sendiri pun diwajibkan berikhtiar sendiri melatih diri lebih baik, supaga naik martabat kita lebih tinggi. Kaiau kita beranggapan bahwa nasib buruk dan kehancuran yang menimpa diri kita adalah karena takdir Allah semata-mata maka paham kita tentang agama sudahlah tersesat. Apa guna Allah menurunkan agama, mengutus rasul-rasul memberikan bimbingan berbagai macam, kalau Allah sendiri pula yang semau-maunya menakdirkan kita “lekat ke bumi". Takdir Allah datang, pastilah menurut hukum sunnatullah yang tertentu. Kita sendiri sadar akan adanya diri kita dan adanya usaha dan ikhtiar kita. Kita bukan batu tercampak tergulung-gulung dalam alam ini dan bukan pula kapas yang diterbangkan angin. Kalau kita bangsa batu, tidaklah kita akan dijadikan Allah khalifah-Nya di bumi ini.
“Jika Kami kehendaki, niscaya Kami angkat dia." Demikian firman Allah. Artinya, Allah tetap bersedia mengangkat manusia naik, asal dia sendiri tidak ingin hendak lekat saja di bumi karena diikat kakinya oleh hawa nafsunya.
“Maka, perumpamaannya adalah seperti anjing, yang jika engkau halaukan dia, lidahnya dijulurkannya. Atau engkau biarkan dia, lidahnya dijulurkannya juga." Alangkah hinanya perumpamaan yang diambil Allah daripada orang yang menyilih baju ayat itu dan menukarnya dengan kufur. Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya. Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur karena masih haus karena masih merasa belum kenyang. Walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga. Cobalah pelajari dengan saksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu
mengulurkan lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting. Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawa nafsunya belum juga terpenuhi. Bilakah hawa nafsu itu akan penuh?
“Demikianlah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah cerita-cerita itu, supaya mereka berpikir."
Menurut penafsiran dari Ibnu jarir at-Thabari, “Maka, ceritakanlah olehmu, hai Rasul, cerita-cerita yang telah Aku kisahkan kepada engkau ini, tentang berita orang yang telah datang kepada mereka ayat Kami itu, dan berita tentang umat-umat yang telah Aku kabarkan kepada engkau dalam surah ini, dan berita-berita lain yang menyerupai itu, sampaikan juga betapa akibat siksaan Kami terhadap mereka, sebab mereka telah mendustakan rasul-rasul yang Kami utus. Dan, hal yang seperti itu bisa saja kejadian pada kaum engkau, orang Quraisy yang mendustakan engkau, dan yang sebelum engkau dari Yahudi Bani Israil. Supaya mereka pikirkan hal ini baik-baik, supaya mereka mengambil i'tibar lalu mereka kembali kepada jalan yang benar, mereka taat kepada Kami. Jangan sampai hendaknya bersua pada diri mereka seumpama telah diderita oleh umat-umat yang telah terdahulu itu. Dan, supaya didengar pula cerita-cerita ini oleh orang-orang Yahudi yang hidup di zamanmu, yang mereka pun turunan Bani Israil yang terdahulu itu juga. Agar mengertilah mereka keadaan engkau yang sebenarnya, bahwa kenabian engkau adalah sah. Sebab, segala berita yang Kami sampaikan kepada engkau ini belumlah mereka ketahui selengkapnya. Yang mengetahui serba sedikit hanyalah yang dapat membaca kitab-kitab di antara mereka. Engkau tahu semuanya itu, sedang engkau ummi, tak pandai menulis dan membaca dan tidak pernah belajar kitab-kitab dan tidak pernah berguru kepada orang-orang yang dianggap pandai. Semuanya ini adalah hujjah atau alasan yang tegas sekali sebagai pembuktian bahwa engkau memang Rasulullah. Karena engkau mulanya tidaklah mengetahuinya kecuali karena wahyu yang Kami datangkan dari langit." Demikian kesimpulan penafsiran Ibnu larir tentang ujung ayat ini.
Ayat 177
“Bunuklah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami itu, dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat aniaya."
Allah sendiri mengakui memang amat buruk perumpamaan itu; mereka dimisalkan dengan anjing yang selalu kehausan, selalu mengulurkan lidah, sebab selalu tidak puas. Perhatikanlah sejak ayat sebelumnya. Tadinya ayat Allah itu telah ada dalam dirinya lalu dia muntahkan kembali, dia perturutkan pimpinan setan, lalu dia tersesat. Mau diangkat naik, dia tidak mau, dia tetap lekat ke bumi, sebab yang berkuasa atas dirinya tidak lagi iman, melainkan nafsu. Sedang batas kehendak nafsu itu tidak ada, kalau tidak dibatasi dengan hidayah Allah padahal hidayah Allah-lah yang mereka dustakan.
Kemudian berfirmanlah Allah:
Ayat 178
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka itulah orang yang beroleh petunjuk."
Sebab tidak ada petunjuk yang lain yang akan menyelamatkan manusia, melainkan petunjuk Allah saja. Sebab itu, kedua perumpamaan yang tersebut di atas tadi, pertama menyilih dan terkelupas ayat-ayat Allah dari diri, sampai tinggal telanjang; kedua laksana anjing yang lidahnya selalu terjulur tidak mau kenyang-kenyang, janganlah hendaknya
bertemu pada diri kita. Lekas-lekaslah kita mendekati Allah.
“Dan banangsiapa yang Dia sesatkan, mereka itulah orang-orang yang rugi."
Bagaimana tidak akan rugi, kalau diri telah tersisih sendirinya daripada masyarakat yang baik; masuk tidak menggenapi, keluar tidak mengurangi. Umur bertambah susut, pekerjaan tidak berbekas. Kebenaran ayat-ayat Allah diketahui, tetapi diri sendiri mendapat kutuk daripadanya. Laksana anjing yang selalu kehausan, sebab nafsu tidak ada batasnya. Kesudahannya timbullah penyakit-penyakit jiwa yang lain, di antaranya ialah dengki dan hasad. Sebagaimana pernah kejadian, seorang yang telah merasa dirinya ulama, padahal ayat-ayat Allah digunakannya untuk memenuhi nafsu kebendaan, menjadi dengki kepada orang lain, yang ilmu orang itu tidak sebanyak ilmunya, tetapi dia amalkan, sehingga orang itu lebih dipercayai orang banyak. Maka, dia pun dengki melihat, mengapa dirinya sendiri tidak dihormati orang lagi padahal dia lebih “alim" lebih banyak mengetahui ayat-ayat. Padahal, dia telah lupa bahwa dialah orang yang per-tama sekali mendustakan ayat-ayat itu.
Moga-moga dijauhkan Allah kutuk seperti ini dari kita sekalian. Amin!
Di dalam Al-Qur'an sendiri tidak bertemu ayatlainyangmenerangkansiapakahorangnya, yang kulit ayat-ayat Allah telah menyilih dari dirinya itu dan dia telah berperangai sebagai anjing, dihalau dia menjulurkan lidah dan dibiarkan dia pun mengulurkan lidah juga! Di dalam Hadits yang shahih dari Rasul sendiri pun tidak bertemu, siapakah orangnya yang dituju itu. Lantaran itu tidaklah heran jika dua tiga macam keterangan ahli tafsir tentang israiliyat.
Dan, nama sahabat-sahabat yang utama sebagai Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu Abbas disebut juga sebagai sumber dari cerita-cerita ini.
Menurut satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, orang ini ialah Bal'am bin Abar dari Bani Israil.
Menurut Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Syekh dan Ibnu Mardawaihi dari Ibnu Abbas juga, orang ini ialah Bal'am bin Ba'ura dan dengan lafazh lain Bal'am bin Amir dari Bani Israil, Menurut satu riwayat dari Ibnui Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, orang ini adalah seorang penduduk negeri yang gagah perkasa, bernama Bal'am, yang telah banyak mendapat ilmu tentang rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Mahabesar. Raja negeri itu menyuruh Bal'am tersebut mendoakan kepada Allah supaya Musa dengan tentaranya yang hendak masuk ke negeri itu, dibinasakan Allah sebelum masuk.
Menurut satu riwayat lagi yang diterima dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, yang disuruh ceritakan kepada Nabi ini bukanlah Bal'am bin Ba'ura, tetapi seorang bangsa Arab sendiri dari Tsaqif, Thaif, Dia penyair jahiliyyah yang terkenal bernama Umaiyah bin Abis-Shalt. Umaiyah ini sebelum Rasulullah saw, diutus adalah dipandang terkemuka dan disegani dalam kaumnya. Dia pun benci kepada penyembah berhala, dia seorang yang mengakui beragama hanif. Setelah Rasulullah saw, diutus, dia sempat bertamu dengan beliau dan mendengarkan Rasulullah membaca surah Yaasiin. Setelah selesai dia mendengarkannya, dia tinggalkan majalis Rasulullah ﷺ. Di tengah jalan orang-orang Quraisy bertanya bagaimana pendapatnya. Dia menjawab, “Aku naik saksi, dia adalah benar!, tetapi aku akan menunggu dahulu perkembangan selanjutnya."
Kemudian dia pun berangkat ke negeri Syam dan berdiam di sana sampai delapan tahun. Sesudah berdiam di Syam sekian lama, dia pun kembali dan mulanya menyatakan maksud hendak masuk Islam. Akan tetapi, setelah didengarnya kekalahan musyrikin di Peperangan Badar, diurungkannyalah maksudnya masuk Islam itu dan dia pun kembali ke Thaif. Sampai di Thaif dia mati sebelum jadi masuk Islam.
Menurut riwayat lain lagi dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, orang ini ialah Shaifi bin Rahib.
Setelah diselidiki di dalam kitab orang Yahudi sendiri, Kitab Bilangan pasal 22 sampai 24, memang tersebut seorang yang diakui sebagai Nabi dalam kaumnya, Kaum Moab, bernama Belhum bin Beor. Raja negerinya ialah Balak bin Zippor. Negeri hendak diserang oleh Bani Israil di bawah pimpinan Nabi Musa dan kemah-kemah mereka telah terpasang di sebelah sisi sungai Yordan, bertentangan dengan Yerikho. Raja Balak meminta kepadanya, sebab doanya makbul di sisi Allah supaya dia berdoa mengutuk Nabi Musa dan Bani Israil, tetapi dalam kesimpulan cerita itu, dia tidak mau mendoakan kutuk bagi Nabi Musa, melainkan memohonkan berkat Allah untuk Bani Israil, melainkan dari Bani Moab. Oleh sebab itu kalau diperbandingkan riwayat-riwayat dalam tafsir itu dengan Kitab Bilangan tersebut, salah satu dari doa pertama tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain itulah yang benar, yaitu bahwa Belhum mempergunakan ilmunya yang tinggi buat menentang Nabi Musa. Atau Kitab Bilangan yang betul dan riwayat yang didengar oleh Ibnu Abbas dan dimasukkan ke dalam tafsir Al~Qur'an ini yang salah. Lain lagi dari riwayat Malik bin Dinar. Dikatakan bahwa Bal'am itu adalah pengikut Nabi Musa sendiri, diutus Nabi Musa kepada kaum Moab, dan Bal'am ini kalau berdoa, selalu makbul. Akan tetapi, setelah dia sampai kepada kaum itu, dia menerima uang sogok, sehingga dia menukar agama dan meninggalkan Musa.
Manakah yang benar? Riwayat tafsirkah atau bunyi Kitab Ulangan? Petrus Albustani di dalam Ensiklopedi Arabica, satu Ensiklopedi bahasa Arab terkenal di zaman modern ini, menulis demikian, “Setengah dari ahli-ahli tafsir kitab-kitab suci menyelidiki dengan saksama, berpendapat bahwa kisah-kisah Belhum yang tertulis di dalam Kitab Bilangan pasal 22 sampai 24 itu adalah tidak asli, yaitu dimasukkan kemudian ke dalam kitab suci."
Tegasnya, yang tersebut dalam Kitab Bilangan sendiri, diragukan kebenarannya oleh kalangan Kristen sendiri. (Albustani pun seorang Kristen) dan kisah Bal'am bin Ba'ura yang didapat di dalam kitab-kitab tafsir Al-Qur'an itu pun diragui pula kebenarannya. Sebab, bertemu lagi sumbernya dua orang ahli pembawa israiliyat yang terkenal, yaitu Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih. Demikianlah dibukakan oleh al-Hafiz Ibnu Asakir tentang dari mana sumber riwayat ini. Maka, meskipun di dalam perawi ada nama Ibnu Abbas, dapatlah dimaklumi bahwa beliau mendapat sumber berita ini dari Ka'ab juga. Dan, di zaman beliau, belum beliau mengetahui adanya Kitab Bilangan dan beliau pun tidak mengetahui Bahasa Ibrani. Sebab itu, apa yang beliau dengar, beliau riwayatkan pula. Dengan dasar tuntutan Nabi Muhammad ﷺ bahwa riwayat Ahlul Kitab, tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Sedang Ka'ab al-Ahbar banyak nian membawa cerita ganjil, yang disangka dari Ahlul Kitab, padahal dalam kitab-kitab pegangan Ahlul Kitab itu sendiri setelah kemudian diperiksa, tidak bertemu.
Oleh sebab itu, barangkali lebih dekatlah kepada paham kita, apabila kita pertimbangkan riwayat yang dibawa oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash itu, bahwa orang ini adalah orang Arab sendiri, Umaiyah bin Abis-Shalt. Orang yang sudah ada pengertian, yang dalam hati kecilnya telah mengakui kebenaran Nabi, artinya telah memahami ayat Allah, tetapi kemudian membatalkan niatnya hendak masuk Islam lalu pulang ke negerinya di Thaif dan meninggal di sana dalam keadaan kafir.
Maka, apabila kita di zaman sekarang hendak langsung meresapkan isi Al-Qur'an, tidaklah salah kaiau kita ketahui riwayat-riwayat penafsiran itu, tetapi lebih tidak salah lagi kalau kita langsung saja merasakan dalam batin kita bagaimana pentingnya peringatan di dalam ayat ini, dengan tidak usah membawa-bawakan cerita yang tidak sunyi daripada israiliyat itu. Allah menyuruhkan kepada Rasul-Nya supaya kisah orang yang menanggalkan baju ayat Allah dari jiwanya, sehingga jiwa menjadi kosong laksana anjing. Tidaklah Allah menyebut orangnya, karena kisah ini selalu terjadi dalam masyarakat manusia, di dalam hidup yang telah dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Dia ada di zaman nabi-nabi yang dahulu dan dia pun ada di zaman Nabi Muhammad ﷺ sebagai Umaiyah bin Abis-Shalt yang disebut-sebut di dalam riwayat Abdullah bin Amr bin al-Ash itu, dan dia akan tetap ada di segala zaman. Bahkan karena banyak terjadi, orang yang mengetahui ayat-ayat Allah sampai mendalam, tetapi pengetahuannya itu digunakannya untuk meruntuhkan agama. Berapa banyaknya orientalis Barat, yang lebih “alim" daripada ulama Islam sendiri tentang Islam, tetapi pengetahuannya itu dipergunakannya untuk merobohkan Islam.
Pada ayat 176 telah tersebut firman yang tepat dari Allah, bahwa jika Kami kehendaki Kami angkatkanlah dia dengan ayat-ayat itu. Artinya ialah martabat manusia bisa diangkatkan Allah naik ke atas, kepada martabat yang lebih tinggi, sampai menjadi imam daripada orang-orang yang bertakwa. Akan tetapi, dia melekat ke bumi dan memperturutkan hawa nafsunya. Artinya, Allah ingin agar dia naik, tetapi dia hendak lekat ke bumi juga, tetap di bawah karena diperintah hawa nafsunya. Akal murni manusia dan cita-cita yang suci, dengan tuntunan iman dapat saja menaikkan martabat manusia mendekati tempat malaikat. Akan tetapi, dalam diri manusia ada hawa nafsu atau “bahimiyah" yang merunyutnya sehingga dia tetap di bawah-bawah saja, dan tak pernah naik ke atas.