Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوۡ
atau
تَقُولُوٓاْ
kamu mengatakan
إِنَّمَآ
sesungguhnya
أَشۡرَكَ
telah menyekutukan
ءَابَآؤُنَا
bapak-bapak kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَكُنَّا
dan kami adalah
ذُرِّيَّةٗ
keturunan
مِّنۢ
dari
بَعۡدِهِمۡۖ
sesudahnya
أَفَتُهۡلِكُنَا
apakah Engkau akan membinasakan kami
بِمَا
dengan apa
فَعَلَ
perbuatan
ٱلۡمُبۡطِلُونَ
orang-orang yang sesat
أَوۡ
atau
تَقُولُوٓاْ
kamu mengatakan
إِنَّمَآ
sesungguhnya
أَشۡرَكَ
telah menyekutukan
ءَابَآؤُنَا
bapak-bapak kami
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَكُنَّا
dan kami adalah
ذُرِّيَّةٗ
keturunan
مِّنۢ
dari
بَعۡدِهِمۡۖ
sesudahnya
أَفَتُهۡلِكُنَا
apakah Engkau akan membinasakan kami
بِمَا
dengan apa
فَعَلَ
perbuatan
ٱلۡمُبۡطِلُونَ
orang-orang yang sesat
Terjemahan
atau agar kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan (Tuhan) sejak dahulu, sedangkan kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka, apakah Engkau akan menyiksa kami karena perbuatan para pelaku kebatilan?”
Tafsir
(Atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu) dimaksud sebelum kami (sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka) maka kami hanya mengikut mereka (Maka apakah Engkau akan membinasakan kami) Engkau akan mengazab kami (karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?") dari kalangan orang-orang tua kami yang pertama kali melakukan kemusyrikan. Kesimpulan pengertian dari ayat ini bahwa mereka tidak mungkin berhujah dengan alasan itu sedangkan mereka telah melakukan kesaksian terhadap diri mereka sendiri tentang keesaan Tuhan itu. Penuturan tentang hal ini melalui lisan pemilik mukjizat/Nabi Muhammad ﷺ kedudukannya sama dengan penuturan terhadap jiwa manusia semuanya.
Tafsir Surat Al-A'raf: 172-174
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kekuasaan Tuhan), atau agar kalian tidak mengatakan, 'Sesungguhnya orang tua-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu'? Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa Dia telah mengeluarkan keturunan Bani Adam dari sulbi mereka untuk mengadakan persaksian atas diri mereka bahwa Allah adalah Tuhan dan Pemilik mereka, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan hal tersebut di dalam fitrah dan pembawaan mereka, seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Di dalam kitab Shahihain disebutkan melalui Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Riwayat lain menyebutkan: dalam keadaan memeluk agama ini (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau searang Majusi, seperti halnya dilahirkan hewan ternak yang utuh, apakah kalian merasakan (melihat) adanya cacat padanya? Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui Iyad ibnu Himar bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Allah subhanahu wa ta’ala, berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang hak), kemudian datanglah setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya dan mengharamkan kepada mereka apa-apa yang telah Aku halalkan kepada mereka.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku As-Sirri ibnu Yahya, bahwa At-Hasan ibnu Abul Hasan pernah menceritakan hadits berikut kepada mereka, dari Al-Aswad ibnu Sari, dari kalangan Bani Sa'd yang menceritakan bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah ﷺ sebanyak empat kali. Ia melanjutkan kisahnya, "Lalu kaum (pasukan kaum muslim) membunuh anak-anak sesudah mereka membunuh pasukannya. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka hal itu terasa berat olehnya, kemudian beliau bersabda, 'Apakah gerangan yang telah terjadi pada kaum sehingga mereka tega membunuh anak-anak?' Maka ada seorang lelaki (dari pasukan kaum muslim) bertanya, 'Bukankah mereka adalah anak-anak orang-orang musyrik, wahai Rasulullah ﷺ?' Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya orang-orang yang terpilih dari kalian pun adalah anak-anak orang-orang musyrik.
Ingatlah, sesungguhnya tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan melainkan ia dilahirkan dalam keadaan suci. Ia masih tetap dalam keadaan suci hingga lisannya dapat berbicara, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi atau orang Nasrani'. Al-Hasan mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. (Al-A'raf: 172) hingga akhir ayat" Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan Al-Basri dengan lafal yang sama.
Imam An-Nasai pun telah mengetengahkannya di dalam kitab Sunnah-nya melalui hadits Hasyim ibnu Yunus ibnu'Ubaid, dari Al-Hasan. Al-Hasan mengatakan bahwa hadits ini diceritakan kepadanya oleh Al-Aswad ibnu Sari', lalu Imam An-Nasai menuturkannya, tetapi ia tidak menyebutkan perkataan Al-Hasan Al-Basri dan pengetengahan ayatnya. Hadits yang menceritakan pengeluaran keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka ini, kemudian pemisahan antara ashabul yamin (ahli surga) dan ashabusy syimal (ahli neraka) dari kalangan mereka memang banyak.
Pada sebagian dari hadits-hadits itu disebutkan adanya pengambilan kesaksian dari mereka terhadap diri mereka, bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Imam Ahmad mengatakan; telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Imran Al-Juni, dari Anas ibnu Malik , dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Dikatakan kepada seseorang dari kalangan ahli neraka pada hari kiamat nanti, "Bagaimanakah pendapatmu. seandainya engkau memiliki segala sesuatu yang ada di bumi, apakah engkau akan menjadikannya sebagai tebusan dirimu (dari neraka)?" Ia menjawab, "Ya." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Sesungguhnya Aku menghendaki dirimu hal yang lebih mudah daripada itu.
Sesungguhnya Aku telah mengambil janji darimu ketika kamu masih berada di dalam sulbi Adam, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi ternyata kamu menolak selain mempersekutukan Aku." Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Shahih-nya masing-masing melalui hadits Syu'bah dengan sanad yang sama. Hadits yang lain diketengahkan oleh Imam Ahmad, disebutkan bahwa: .
telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Jarir (yakni Ibnu Hazim), dari Kalsum ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari sulbi Adam a.s. di Nu'man tepat pada hari Arafah. Maka Allah mengeluarkan dari sulbinya semua keturunan yang kelak akan dilahirkannya, lalu Allah menyebarkannya di hadapan Adam, kemudian Allah berbicara kepada mereka secara berhadapan, "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi)." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap (keesaan Tuhan), atau agar kalian tidak mengatakan, sampai dengan firman-Nya, 'orang-orang yang sesat dahulu." (Al-A'raf: 172-173) Imam An-Nasai telah meriwayatkan hadits ini di dalam kitab Tafsirbagian dari kitab Sunnah-nya melalui Muhammad ibnu Abdur Rahim Sa'iqah, dari Husain ibnu Muhammad Al-Marwazi dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya begitu pula Ibnu Abu Hatim melalui hadits Husain ibnu Muhammad dengan sanad yang sama, hanya Ibnu Hatim mempredikatkannya mauquf. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak melalui hadits Husain ibnu Muhammad dan lain-lainnya, dari Jarir ibnu Hazim, dari Kalsum ibnu Jubair dengan lafal yang sama, lalu ia mengatakan bahwa hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Muslim berpegang kepada hadits ini karena ada Kalsum ibnu Jubair, dan ia mengatakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Abdul Waris, dari Kalsum ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, lalu ia menilainya mauquf (yakni hanya sampai kepada Ibnu Abbas). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Ulayyah dan Waki', dari Rabi'ah ibnu Kalsum, dari Jubair, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh ‘Atha’ ibnus Saib dan Habib ibnu Abu Sabit serta Ali ibnu Bazimah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Riwayat ini lebih banyak yang mengetengahkannya dan lebih kuat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku (yaitu Hilal), dari Abu Hamzah Ad-Daba'i, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbinya seperti semut kecil dalam bentuk air mani.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud, dari Jarir yang menceritakan, "Anak lelaki Dahhak ibnu Muzahim meninggal dunia dalam usia enam hari. Dahhak berkata, 'Wahai Jabir, apabila engkau letakkan anakku di dalam liang lahadnya, maka bukalah wajahnya dan lepaskanlah tali bundelannya, karena sesungguhnya anakku ini nanti akan didudukkan dan ditanyai.' Maka saya melakukan apa yang dipesankannya itu, Setelah saya selesai mengebumikannya, saya bertanya, 'Semoga Allah merahmatimu, mengapa anakmu ditanyai dan siapakah yang akan menanyainya.' Dahhak menjawab, 'Dia akan ditanyai mengenai perjanjian yang telah diikrarkannya semasa ia masih berada di dalam sulbi Adam.' Saya bertanya, 'Wahai Abul Qasim, apakah isi perjanjian yang telah diikrarkannya semasa ia masih berada di dalam sulbi Adam?' Dahhak menjawab, bahwa telah menceritakan kepadanya Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya Allah mengusap sulbi Adam, lalu mengeluarkan darinya semua manusia yang kelak akan diciptakan-Nya sampai hari kiamat.
Kemudian Allah mengambil janji dari mereka, yaitu hendaknyalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan pula bahwa Dialah yang akan menjamin rezeki mereka. Setelah itu Allah mengembalikan mereka ke dalam sulbinya. Maka hari kiamat masih belum akan terjadi sebelum dilahirkan orang (terakhir) yang telah melakukan perjanjian pada hari itu. Maka barang siapa dari mereka yang menjumpai perjanjian yang lain (yakni di dunia), lalu ia menunaikannya, niscaya perjanjian yang pertama bermanfaat baginya. Dan barang siapa yang menjumpai perjanjian yang lain, lalu ia tidak mengikrarkannya, maka perjanjiannya yang pertama tidak bermanfaat baginya.
Dan barang siapa yang meninggal dunia ketika masih kanak-kanak sebelum menjumpai perjanjian yang lain, maka ia mati dalam keadaan berpegang kepada perjanjian pertama dan dalam keadaan fitrah (suci dari dosa)." Semua jalur periwayatan ini termasuk bukti yang menguatkan ke-mauquf-annya-hanya sampai kepada Ibnu Abbas. Hadits yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir, disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Taibah, dari Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-Ajlah, dari Adh-Dhahhak, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang telah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. (Al-A'raf: 172) Lalu beliau ﷺ bersabda bahwa Allah mengambil mereka dari sulbinya sebagaimana ketombe diambil dari rambut kepala dengan sisir.
Kemudian Allah berfirman kepada mereka: "Bukankah aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172) Maka para malaikat berkata: Kami ikut bersaksi agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan.Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini. (Al-A'raf: 172) Ahmad ibnu Taibah ini nama julukannya adalah Abu Muhammad Al-Jurjani kadi Qaumis, dia adalah salah seorang ahlu zuhud; Imam An-Nasai mengetengahkan hadisnya di dalam kitab Sunnah-nya. Imam Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadisnya dapat dicatat.
Ibnu Addi mengatakan Abu Muhammad Al-Jurjani banyak mengetengahkan hadits-hadits yang gharib. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdur Rahman ibnu Hamzah ibnu Mahdi, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Jarir, dari Mansur dengan sanad yang sama; dan riwayat ini lebih shahih kedudukannya. Hadits yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebutkan bahwa: .
telah menceritakan kepada kami Rauh (yaitu Ibnu Ubadah), telah menceritakan kepada kami Malik, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Zaid ibnu Abu Anisah, bahwa Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya, dari Muslim ibnu Yasar Al-Juhanni, bahwa Umar ibnul Khattab pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172), hingga akhir ayat.
Maka Umar ibnul Khattab mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ ditanya mengenai makna ayat ini, beliau ﷺ menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Adam a.s., kemudian mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, dan mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya, Allah berfirman, "Aku telah menciptakan mereka untuk dimasukkan ke dalam surga. dan mereka hanya mengamalkan amalan ahli surga. Kemudian Allah mengusap punggungnya lagi, lalu mengeluarkan darinya sejumlah keturunannya, dan Allah berfirman, "Aku telah menciptakan mereka untuk neraka dan hanya amalan ahli nerakalah yang mereka kerjakan." Kemudian ada seorang lelaki yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang terjadi dengan amal itu? Rasulullah ﷺ, menjawab: Apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk surga, maka Allah menjadikannya beramal dengan amalan ahli surga, hingga ia mati dalam keadaan mengamalkan amalan ahli surga, lalu Allah memasukkannya ke dalam surga berkat amal itu.
Dan apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, maka Dia menjadikannya beramal dengan amalan ahli neraka, hingga ia mati dalam keadaan mengamalkan amalan ahli neraka, lalu Allah memasukkannya ke neraka. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Al-Qa'nabi; sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya dalam kitab Tafsirnya, dari Qutaibah; dan Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Tafsir-nya.
meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Musa, dari Ma'an. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Abdul A'la dari Ibnu Wahb. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Rauh ibnu Ubadah dan Sa'id ibnu Abdul Hamid ibnu Ja'far. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab Shahih-nya. melalui riwayat Abu Mus'ab Az-Zubairi. Semuanya dari Imam Malik ibnu Anas dengan sanad yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, tetapi Muslim ibnu Yasar belum pernah mendengar dari Umar; hal yang sama telah dikatakan pula oleh Abu Hatim dan Abu Zarah. Abu Hatim menambahkan, di antara keduanya yakni antara Muslim ibnu Yasar dan Umarterdapat Na'im ibnu Rabi'ah. Perkataan Abu Hatim ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya, dari Muhammad ibnu Musaffa, dari Baqiyyah dari Umar ibnu Ju'sum Al-Qurasyi, dari Zaid ibnu-Abu Anisah, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Muslim ibnu Yasar Al-Juhami, dari Na'im ibnu Rabi'ah.
Na'im ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ketika ia berada di hadapan Umar ibnul Khattab yang saat itu telah ditanya mengenai makna firmanNya ini: Dan (ingadah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. (Al-A'raf: 172) Lalu ia mengetengahkan atsar ini. An-Hafidzh Ad-Daruqutni telah mengatakan bahwa Umar ibnu Ju'sum ibnu Zaid ibnu Sinan telah mengikut kepada Abu Farwah Ar-Rahawi, Riwayat keduanya (Abu Hatim dan Ad-Daruqutni) lebih berhak untuk dibenarkan daripada riwayat Imam Malik.
Menurut hemat kami, Imam Malik secara lahiriahnya sengaja menggugurkan nama Na'im ibnu Rabi'ah dari rentetan perawi hanyalah semata-mata karena keadaan Na'im tidak diketahui dan dia tidak mengenalnya, mengingat Na'im tidaklah dikenal kecuali melalui hadits ini. Karena itulah Imam Malik sering menggugurkan penyebutan sejumlah perawi yang tidak dikenalnya. Oleh sebab itu pulalah maka ia banyak me-mursal-kan hadits-hadits yang marfu dan me-maqtu-kan banyak hadits yang mausul.
Hadits yang lain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam tafsir ayat ini, bahwa: telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Ketika Allah menciptakan Adam, maka Allah mengusap punggung Adam, lalu berguguranlah dari punggungnya semua manusia yang Dia ciptakan dari anak keturunannya sampai hari kiamat.
Dan Allqh menjadikan di antara kedua mata setiap manusia dari sebagian mereka secercah nur (cahaya), kemudian Allah menampilkannya dihadapan Adam. Maka Adam berkata, "Wahai Tuhanku, siapakah mereka ini?" Allah berfirman, "Mereka adalah anak cucumu. Adam melihat seorang lelaki dari mereka yang nur di antara kedua matanya mengagumkan Adam. Adam bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah orang ini? Allah berfirman, "Dia adalah seorang lelaki dari kalangan umat yang akhir nanti dari kalangan keturunanmu, ia dikenal dengan nama Daud.
Adam berkata, "Wahai Tuhanku, berapakah usianya yang telah Engkau tetapkan untuknya Allah menjawab Enam Puluh Tahun. Adam Berkata, "Wahai Tuhanku, saya rela memberikan kepadanya sebagian dari usiaku sebanyak empat puluh tahun. Ketika usia Adam telah habis, ia kedatangan malaikat maut, maka Adam berkata, "Bukankah usiaku masih empat puluh tahun lagi? Malaikat maut menjawab.Bukankah engkau telah berikan kepada anakmu Daud? Ketika malaikat maut menjawabnya, maka Adam mengingkarinya, sehingga keturunannya pun ingkar pula.
Adam lupa, maka keturunannya pun lupa pula. Adam berbuat kekeliruan, maka keturunannya pun berbuat kekeliruan pula. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ Imam Hakim telah meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadits Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin dengan sanad yang sama. Ia mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadits Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan hadits ini dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Hurairah .a., dari Rasulullah ﷺ Lalu ia menuturkan hadits ini semisal dengan hadits di atas sampai ia menyebutkan: .
Kemudian Allah memperlihatkan mereka kepada Adam. dan Allah berfirman Wahai Adam Mereka adalah keturunanmu Ternyata di antara mereka terdapat orang yang berpenyakit lepra, supak, buta, dan berpenyakit lainnya. Maka Adam berkata, "Wahai Tuhanku, mengapa Engkau lakukan ini terhadap keturunanku? Allah berfirman, "Agar mereka mensyukuri nikmat-Ku. Adam bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah mereka yang saya lihat memiliki nur (cahaya) yang paling menonjol di kalangan mereka? Allah berfirman, "Mereka adalah para nabi dari keturunanmu, wahai Adam." Hadits yang lain diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Qatadah An-Nadri, dari ayahnya, dari Hisyam ibnu Hakim , bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah amal perbuatan itu baru muncul kemudian, ataukah telah ditetapkan oleh takdir sebelumnya?" Rasulullah ﷺ bersabda:
Sesungguhnya Allah telah mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka. Kemudian Allah meraup mereka dalam kedua telapak tangan-Nya, lalu berfirman, "Mereka ini adalah ahli surga, dan mereka ini adalah ahli neraka." Maka ahli surga dipermudahkan untuk mengamalkan amalan ahli surga, dan ahli neraka dimudahkan untuk mengamalkan amalan ahli neraka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdur Rahman ibnu Qatadah An-Nadri. Hadits yang lain diriwayatkan oleh Ja'far ibnuz Zubair yang orangnya dha’if, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: ]. Setelah Allah menciptakan makhluk-Nya dan menetapkan takdirNya, maka Dia mengambil golongan kanan dengan tangan kanan-Nya dan golongan kiri dengan tangan kiri-Nya.
Allah berfirman, "Wahai golongan kanan! Mereka menjawab, "Kami penuhi panggilan-Mu dengan penuh kebahagiaan," Allah berfirman, "Bukankah Aku adalah Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Benar, ya Tuhan kami" Allah berfirman, "Wahai golongan kiri!" Mereka menjawab, "Kami penuhi panggilan-Mu dengan penuh kebahagiaan. Allah berfirman, "Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab, "Benar, ya Tuhan kami. Kemudian Allah mencampurkan mereka menjadi satu di antara sesama mereka.
Maka ada yang bertanya kepada-Nya, "Wahai Tuhanku, mengapa Engkau campur adukkan di antara sesama mereka? Allah berfirman, "Amal perbuatan mereka datang sesudah itu, dan mereka masing-masing akan mengamalkan amalannya agar mereka nanti kelak di hari kiamat tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini'. Kemudian Allah mengembalikan mereka ke dalam sulbi Adam. Hadits riwayat Ibnu Murdawaih.
Asar yang lain diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. (Al-Araf: 172) Pada hari itu Allah mengumpulkan seluruh manusia yang akan ada sampai hari kiamat nanti, lalu Allah menjadikan mereka dalam rupanya masing-masing dan membuat mereka dapat berbicara hingga mereka dapat berbicara, kemudian Allah mengambil janji dan ikrar dari mereka: dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172), hingga akhir ayat.
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mempersaksikan terhadap kalian tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, dan Aku telah mempersaksikan Adam kakek moyang kalian terhadap kalian, agar kalian kelak di hari kiamat tidak mengatakan, 'Kami tidak mengetahui." Ketahuilah oleh kalian bahwa tidak ada Tuhan selain Aku dan tidak ada Rabb selain Aku, maka janganlah Engkau mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.
Dan sesungguhnya Aku akan mengutus kepada kalian rasul-rasul untuk memberikan peringatan kepada kalian akan janji dan ikrar-Ku ini, dan Aku akan menurunkan kepada kalian kitab-kitab-Ku." Mereka menjawab, "Kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami dan Rabb kami, tidak ada Rabb dan tidak ada Tuhan selain Engkau." Pada hari itu mereka mengakui bersedia untuk taat, lalu Allah mengangkat kakek moyang mereka, Adam; dan Adam memandang mereka, maka ia melihat bahwa di antara mereka ada yang kaya, ada yang miskin, dan ada yang rupanya baik, ada pula yang tidak.
Maka Adam berkata, "Wahai Tuhanku, mengapa tidak Engkau samakan hamba-hamba-Mu itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku suka bila dipanjatkan rasa syukur kepada Ku. Nabi Adam melihat adanya para nabi di antara mereka yang bagaikan pelita karena memancarkan nur (cahaya), lalu mereka secara khusus diikat dengan janji lain, yaitu berupa risalah dan kenabian. Hal inilah yang diungkapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi (Al-Ahzab: 7), hingga akhir ayat. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Ini adalah seorang pemberi peringatan di antarapemberi-pemberi peringatan yang telah terdahulu. (An-Najm: 56) Termasuk pula ke dalam pengertian ini firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. (Al-A'raf: 102) Semuanya itu diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad di dalam kitab Musnad ayahnya.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsir masing-masing melalui riwayat Ibnu Ja'far Ar-Razi dengan sanad yang sama. Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf telah meriwayatkan atsar-atsar yang teks-teksnya bersesuaian dengan hadits-hadits ini. Kami cukupkan dengan apa yang telah kami sebutkan agar pembahasannya tidak bertele-tele, dan hanya kepada Allah-lah Kami memohon pertologan.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan keturunan Bani Adam dari sulbinya, lalu Dia memisahkan antara ahli surga dan ahli neraka di antara mereka. Adapun mengenai pengambilan kesaksian yang mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan mereka, maka tiada lain hanya terdapat di dalam hadits Kalsum ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, juga dalam hadits Abdullah ibnu Amr. Kami telah menjelaskan bahwa keduanya mauquf, bukan marfu' seperti yang telah disebutkan di atas.
Karena itulah ada sebagian ulama Salaf dan ulama Khataf yang mengatakan bahwa persaksian ini tiada lain adalah fitrah mereka yang mengakui keesaan Tuhan, seperti yang disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah dan Iyad ibnu Himar Al-Mujasyi'i. Juga seperti yang disebutkan melalui riwayat Al-Hasan Al-Basri, dari Al-Aswad ibnu Sari'; dan Al-Hasan menafsirkan ayat ini dengan pengertian tersebut.
Mereka mengatakan bahwa karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam. (Al-A'raf: 172) tidak disebutkan dari Adam. Dari sulbi mereka. (Al-A'raf: 172) tidak disebutkan dari sulbinya (Adam). anak cucu mereka. (Al-A'raf: 172) Yakni Allah menjadikan keturunan mereka generasi demi generasi, satu kurun demi satu kurun, sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat-ayat lain, yaitu: Dia-lah yang menjadikan kalian khalifah-khalifah di muka bumi. (Fathir: 39) dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62) sebagaimana Dia menjadikan kalian dari keturunan orang-orang lain. (Al-An'am: 133) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) "Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172) Maksudnya, Allah menjadikan mereka menyaksikan hal tersebut secara keadaan dan ucapan.
Kesaksian itu adakalanya dilakukan dengan ucapan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka berkata, "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.(Al-An'am: 130) Adakalanya pula dilakukan dengan keadaan (yakni dengan sikap dan perbuatan), seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. (At-Taubah: 17) Artinya, sedangkan keadaan mereka atau sikap dan perbuatan mereka menunjukkan kekafiran mereka, sekalipun mereka tidak mengatakannya.
Demikianlah pengertian yang terkandung di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-'Adiyat: 7) Demikian pula permintaan, adakalanya dengan ucapan, adakalanya dengan keadaan (sikap dan perbuatan), seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Dia telah memberikan kepada kalian (keperluan kalian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya (Ibrahim: 34) Mereka mengatakan bahwa di antara dalil yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dengan 'persaksian ini' adalah fitrah, yakni bila hanya persaksian saja yang dijadikan hujah terhadap kemusyrikan mereka, seandainya memang keadaannya demikian, maka niscaya yang terkena hujah hanyalah orang-orang yang telah mengucapkannya saja.
Dan jika dikatakan bahwa penyampaian Rasulullah ﷺ akan ketauhidan Allah sudah cukup untuk dijadikan bukti bagi keberadaan kesaksian ini, maka sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang yang mendustakan-Nya dari kalangan kaum musyrik, mendustakan pula semua apa yang telah disampaikan oleh para rasul lainnya, baik yang menyangkut hal ini (keesaan Tuhan) ataupun masalah lainnya. Maka hal ini menjadikannya sebagai hujah tersendiri terhadap diri mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna yang dimaksud dari 'persaksian ini' adalah fitrah yang telah ditanamkan di dalam jiwa mereka menyangkut masalah ketauhidan Allah.
Karena itulah disebutkan didalam firman Nya: agar kalian tidak mengatakan. (Al-A'raf: 172) Maksudnya, agar di hari kiamat kelak, kalian tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) terhadap ini. (Al-A'raf: 172) Yakni terhadap masalah tauhid atau keesaan Allah ini. adalah orang-orang yang lengah, atau agar kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan. (Al-A'raf: 172-173), hingga akhir ayat."
Atau agar kamu tidak beralasan dengan mengatakan seandainya tidak ada rasul yang Kami utus atau tidak ada bukti-bukti itu, Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami tidak mempunyai pembimbing selain mereka, sehingga kami mengikuti mereka saja, karena kami adalah keturunan yang datang setelah mereka dan hanya mengikuti jejak mereka. Maka apakah wajar wahai Tuhan, Engkau akan menyiksa dan membinasakan kami karena perbuatan syirik yang diwariskan kepada kami oleh orang-orang dahulu yang sesat' Agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa nenek moyang mereka dahulu telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tidak ada jalan lagi bagi mereka, hanya meniru nenek moyang mereka yang mempersekutukan Tuhan. Karena itu mereka menganggap mereka tidak patut disiksa karena kesalahan nenek moyang mereka. Dan demikianlah, dengan penjelasan yang rinci dan penuh hikmah, Kami menjelaskan ayat-ayat itu, berupa bukti-bukti keesaan kami dan semua tuntunan Kami agar mereka kembali kepada kebenaran, menyadari kesalahan mereka dan tidak menuruti begitu saja orang-orang yang berbuat kebatilan.
.
Kemudian dalam ayat ini, Allah menegaskan lagi bahwa tidaklah benar orang kafir itu berkata pada hari Kiamat sebagai alasan bahwa nenek-moyang merekalah yang pertama kali menciptakan kemusyrikan kemudian meneruskan kebiasaan syirik itu kepada mereka. Sebagai keturunan dari mereka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan leluhur mereka sehingga tidak mengetahui jalan menuju tauhid. Apakah kami harus binasa dan disiksa akibat kesalahan dan perbuatan nenek moyang kami.
Taklid kepada leluhur tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengingkari keesaan Allah, karena bukti keesaan Allah sangat jelas di hadapan mereka, dan mereka mampu menarik kesimpulan dari bukti-bukti itu sehingga mereka sampai kepada tauhid.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
NYAWA BERJANJI DENGAN ALLAH
Ayat 172
“Dan, (ingatlah) tatkala Tuhan engkau mengambil dari anak cucu Adam dari tulang-tulang punggung mereka dan Dia jadikan mereka saksi atas diri mereka sendiri."
Artinya, di dalam tulang punggung tiap-tiap kita anak cucu Adam ini tersimpanlah lembaga dari tiap-tiap diri manusia yang akan melanjutkan hidup. Dahulunya kita yang hidup ini tersimpan lembaganya di dalam tulang punggung ayah kita dan ayah kita tersimpan lembaganya di dalam tulang punggung nenek kita, demikian seterusnya sampai kepada nenek moyang pertama Nabi Adam a.s.. Maka, di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa tiap-tiap kita yang masih dalam tulang punggung itu diambil oleh Allah, dengan qudrat iradah-Nya dikeluarkan dari dalamnya lalu dipanggil dan dijadikan saksi atas diri sendiri karena Allah akan bertanya. “Bukankah Aku Tuhan kamu?" Kita dikeluarkan dari tulang punggung bapak kita lalu ditanyai dengan pertanyaan demikian, yaitu bukankah Aku inilah Tuhan kamu? Bukankah tidak ada Tuhan lain selain daripada Aku? Semua menjawab, “Memang kami menyaksikan!" Artinya, memanglah hanya Engkau dan kami semuanya menyaksikan dengan diri sendiri bahwa yang Tuhan hanyalah Engkau.
Maksud ayat ialah menerangkan bahwasanya jiwa murni tiap-tiap manusia itu adalah dalam keadaan fitrah, masih bersih, belum ada pengaruh apa-apa. Pada jiwa yang masih murni itu sejak semula telah terdapat pengakuan bahwasanya pastilah ada pencipta dari seluruh alam ini. Tidaklah alam terjadi sendirinya dan tidak pula ada pencipta yang lain. Pencipta itu hanya Satu, Esa, Tunggal. Pada ayat ini dikatakan bahwa lembaga insan dikeluarkan dari tulang punggung tempat dia disimpan, lalu ditanyai langsung oleh Allah, bukankah Aku Tuhanmu? Mereka semua menjawab, “Memang!" Atau, “Benarlah bahwa Engkau Tuhan kami dan kami menyaksikan."
Apakah benar-benar kita keluar dari tulang punggung dan ditanya? Bilakah terjadinya hal itu? Setengah ahli tafsir menafsirkan bahwasanya kejadian itu ialah semasa ruh insan masih di dalam lembaga Adam. Ruh telah terjadi lebih dahulu daripada badan, waktu itulah pertanyaan datang. Tiap-tiap kita tidak ingat lagi, tetapi dia telah mendasar pada jiwa kita. Sebab itu, apabila manusia telah hidup di dunia ini, jiwa murninya telah menyaksikan bahwa Allah itulah Tuhan kita. Akan tetapi, ahli-ahli bahasa Arab mengatakan bahwa ayat Allah ini adalah sebagai suatu tamsil yang tinggi menurut balaghah. Allah bercakap-cakap dengan tiap-tiap jiwa itu bukanlah mesti berhadap-hadapan, tetapi iradah dan takwin Ilahi, atau kehendak Allah atau kekuasaan Pencipta, bertanya kepada lembaga akal yang murni yang tidak perlu dipikirkan bahwa itu adalah soal jawab dengan mulut. Di dalam ayat yang lain terdapat pula yang serupa ini, yaitu di dalam surah 41, Ha-Mim, Sajdah atau Fushilat ayat 11, bahwa Allah berfirman kepada langit dan bumi supaya datang dengan taat atau dengan paksa, lalu langit dan bumi menjawab bahwa kami akan datang dengan taat. Yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaannya. Maka, manusia itu pun demikian pula, yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaan dan kenyataan.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dengan ayat ini Allah mengabarkan bahwa dia telah mengeluarkan anak cucu Adam dari sulbi mereka untuk menyaksikan atas diri mereka sendiri bahwa Allah-lah Tuhan mereka dan yang menguasai mereka dan tidak ada Tuhan melainkan Dia, sebagai juga Allah telah membuat fitrah mereka demikian, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah:
“Dan tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang hanif, ialah fitrah Allah yang telah difitrahkan-Nya manusia atasnya, tidaklah ada gantian dari apa yang telah diciptakan Allah." (ar-Ruum: 30)
Dan, pada dua Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bersabda Rasulullah ﷺ:
“Tiap-tiap anak yang dilahirkan adalah di lahirku n di dalam fitrah." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan, di dalam riwayat lain:
“Dalam agama ini, maka ibu bapaknyalah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau menjadi dari tulang punggung bapak kita lalu ditanyai dengan pertanyaan demikian, yaitu bukankah Aku inilah Tuhan kamu? Bukankah tidak ada Tuhan lain selain daripada Aku? Semua menjawab, “Memang kami menyaksikan!" Artinya, memanglah hanya Engkau dan kami semuanya menyaksikan dengan diri sendiri bahwa yang Tuhan hanyalah Engkau.
Maksud ayat ialah menerangkan bahwasanya jiwa murni tiap-tiap manusia itu adalah dalam keadaan fitrah, masih bersih, belum ada pengaruh apa-apa. Pada jiwa yang masih murni itu sejak semula telah terdapat pengakuan bahwasanya pastilah ada pencipta dari seluruh alam ini. Tidaklah alam terjadi sendirinya dan tidak pula ada pencipta yang lain. Pencipta itu hanya Satu, Esa, Tunggal. Pada ayat ini dikatakan bahwa lembaga insan dikeluarkan dari tulang punggung tempat dia disimpan, lalu ditanyai langsung oleh Allah, bukankah Aku Tuhanmu? Mereka semua menjawab, “Memang!" Atau, “Benarlah bahwa Engkau Tuhan kami dan kami menyaksikan."
Apakah benar-benar kita keluar dari tulang punggung dan ditanya? Bilakah terjadinya hal itu? Setengah ahli tafsir menafsirkan bahwasanya kejadian itu ialah semasa ruh insan masih di dalam lembaga Adam. Ruh telah terjadi lebih dahulu daripada badan, waktu itulah pertanyaan datang. Tiap-tiap kita tidak ingat lagi, tetapi dia telah mendasar pada jiwa kita. Sebab itu, apabila manusia telah hidup di dunia ini, jiwa murninya telah menyaksikan bahwa Allah itulah Tuhan kita. Akan tetapi, ahli-ahli bahasa Arab mengatakan bahwa ayat Allah ini adalah sebagai suatu tamsil yang tinggi menurut balaghah. Allah bercakap-cakap dengan tiap-tiap jiwa itu bukanlah mesti berhadap-hadapan, tetapi iradah dan takwin Ilahi, atau kehendak Allah atau kekuasaan Pencipta, bertanya kepada lembaga akal yang murni yang tidak perlu dipikirkan bahwa itu adalah soal jawab dengan mulut. Di dalam ayat yang lain terdapat pula yang serupa ini, yaitu di dalam surah 41, H a-Mi m, Sajdah atau Fushilat ayat 11, bahwa Allah berfirman kepada langit dan bumi supaya datang dengan taat atau dengan paksa, lalu langit dan bumi menjawab bahwa kami akan datang dengan taat. Yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaannya. Maka, manusia itu pun demikian pula, yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaan dan kenyataan.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dengan ayat ini Allah mengabarkan bahwa dia telah mengeluarkan anak cucu Adam dari sulbi mereka untuk menyaksikan atas diri mereka sendiri bahwa Allah-lah Tuhan mereka dan yang menguasai mereka dan tidak ada Tuhan melainkan Dia, sebagai juga Allah telah membuat fitrah mereka demikian, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah:
“Dan tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang hanif, ialah fitrah Allah yang telah difitrahkan-Nya manusia atasnya, tidaklah ada gantian dari apa yang telah diciptakan Allah." (ar-Ruum: 30)
Dan, pada dua Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bersabda Rasulullah ﷺ:
“Tiap-tiap anak yang dilahirkan adalah di lahirku n di dalam fitrah." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan, di dalam riwayat lain:
“Dalam agama ini, maka ibu bapaknyalah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau menjadi■
Ayat 173
“Atau supaya tidak kamu katakan, yang musynik itu hanyalah bapak-bapak kami yang dahulu sedang kami ini hanyalah ketuiunan sesudah mereka.
Artinya, jangan sampai kamu katakan pula bahwa apa yang kami kerjakan sekarang ini tidak lain daripada contoh teladan yang ditinggalkan bapak-bapak kami. Kalau perbuatan ini termasuk syirik maka yang bersalah bukan kami. Kami hanya menerima pusaka saja.
“Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami lantanan apa yang dikenjakan oleh orang-orang yang berbuat salah?"
Mengapa kami mesti memikul pula kesalahan mereka yang dahulu itu, yang memelopori syirik, sedang kami ini hanyalah keturunan mereka saja? Allah menerangkan pada ayat ini sekali lagi, bahwa maksud Allah menyebutkan di ayat yang terdahulu bahwa tiap jiwa telah dikeluarkan dari tulang punggung ayahnya dan ditanyai “bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dia menjawab, “Memang!" Ialah supaya jangan terjadi jawab lain oleh anak cucu karena kesalahan ayah dan nenek moyang. Sebab, anak cucu itu sendiri berfitrah dan berakal pula. Diberi sendiri-sendiri oleh Allah sehingga sangatlah tidak beralasan kalau si anak dan si cucu bahwa dia tidak bersalah kalau dia memperserikatkan Allah karena begitu yang dia pusakai, sebab dia sendiri ada akal, sebab itu dia sendirilah langsung berjanji dan naik saksi di hadapan Allah.
Ayat 174
“Dan, demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali."
Artinya, Allah mengemukakan ayat-ayat ini yang di sini berarti keterangan dari dalil, maksudnya ialah supaya orang-orang yang telah tersesat atau salah berpaham itu kembali kepada jalan yang benar. Jangan dikatakan bahwa agama itu tidak ada, sebab di dalam sanubari sendiri sejak lahir ke dunia perasaan tentang adanya Allah itu telah ada. Cuma kadang-kadang tertimbun oleh perdayaan setan; atau pertentangan yang hebat di antara hawa nafsu dengan jiwa murni. Dan, jangan pula beragama hanya taklid saja kepada yang dipusakai dari nenek moyang, sebab jiwa murni itu sendiri akan tetap membantah perbuatan yang salah sebab ada mempunyai akal!
Tidak kita abaikan di dalam penafsiran itu beberapa hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dengan berbagal-bagai thuruq (jalan) mengenai ayat ini.
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam kemudian menyapu punggungnya lalu Dia keluarkan daripadanya anak cucunya."
Pada lahirnya saja seakan-akan bertentangan bunyi hadits ini dengan bunyi ayat, padahal hadits ini ialah memperlengkap keterangan yang ada di dalam ayat. Di dalam ayat yang tersebut hanyalah bahwa Allah mengeluarkan anak cucu keturunan Adam dari dalam tulang punggungnya dan tidak termasuk Adam sendiri. Pikiran kita tentu sampai kepada kesimpulan bahwa kalau dari tiap-tiap anak cucu Adam dikeluarkan keturunannya dari tulang punggungnya, tentu Adam sendiri tidak ketinggalan dikeluarkan pula anak cucunya dari tulang punggungnya. Maka, datanglah hadits ini menerangkan bahwa memang demikian adanya. Adam sendiri pun dibegitukan oleh Allah, yaitu disapu Allah punggungnya, dikeluarkan pula anak cucunya dari dalam, lalu ditanyai sebagai pertanyaan yang tadi juga. “Bukankah aku Tuhan kamu?" Mereka menjawab, “Memang! Kami menyaksikan!" Dengan demikian tidaklah ada manusia yang terlepas dari tanya jawab yang demikian, sejak Adam sampai kepada anak cucu keturunannya, selama manusia masih ada dalam alam ini.
Dan, dapatlah disimpulkan bahwa agama itu telah sedia ada di dalam jiwa tiap-tiap manusia. Kewajiban Rasul dan kewajiban menyambut waris Rasul ialah membangkitkan kesadaran bertuhan itu dari dalam jiwa manusia.
Untuk menambah bahan pemikiran, bolehlah kita persambungkan renungan tentang soal ini kepada filsafat, yaitu di mana kedudukan manusia di tengah-tengah alam. Tentang empat soal yang selalu menjadi perbincangan manusia sejak mereka pandai berpikir, yaitu soal arti alam (cosmos), arti manusia di tengah alam, arti hidup dan arti siapa pencipta. Dan, boleh juga dilengkapi dengan yang dikenal dengan sebutan “Idealisms Plato", yang mengatakan bahwa di samping hidup yang nyata ini (realisme), manusia mempunyai lagi hidup yang lain, dalam alam cita (idealisme). Sebab, manusia itu selalu menciptakan hidup yang lebih baik, hidup yang lebih sempurna, yang kadang-kadang dinamainya juga “Hidup Ketuhanan". Plato mengakui pasti adanya hidup yang demikian, memang dari sanalah kita datang dahulunya dan ke sana pula kita ingin pulang. Sebab itu, Socrates, guru Plato sekali-kali tidak gentar menghadapi maut, sebab dia yakin bahwa dia akan pulang kepada hidup yang sejati itu.