Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَتۡ
berkata
أُمَّةٞ
suatu ummat
مِّنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
لِمَ
mengapa
تَعِظُونَ
kamu menasehati
قَوۡمًا
kaum
ٱللَّهُ
Allah
مُهۡلِكُهُمۡ
membinasakan mereka
أَوۡ
atau
مُعَذِّبُهُمۡ
mengazab mereka
عَذَابٗا
azab
شَدِيدٗاۖ
sangat keras
قَالُواْ
mereka berkata
مَعۡذِرَةً
alasan
إِلَىٰ
kepada
رَبِّكُمۡ
Tuhan kalian
وَلَعَلَّهُمۡ
dan agar mereka
يَتَّقُونَ
mereka bertakwa
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَتۡ
berkata
أُمَّةٞ
suatu ummat
مِّنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
لِمَ
mengapa
تَعِظُونَ
kamu menasehati
قَوۡمًا
kaum
ٱللَّهُ
Allah
مُهۡلِكُهُمۡ
membinasakan mereka
أَوۡ
atau
مُعَذِّبُهُمۡ
mengazab mereka
عَذَابٗا
azab
شَدِيدٗاۖ
sangat keras
قَالُواْ
mereka berkata
مَعۡذِرَةً
alasan
إِلَىٰ
kepada
رَبِّكُمۡ
Tuhan kalian
وَلَعَلَّهُمۡ
dan agar mereka
يَتَّقُونَ
mereka bertakwa
Terjemahan
(Ingatlah) ketika salah satu golongan di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang sangat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan agar mereka bertakwa.”
Tafsir
(Dan ketika) diathafkan kepada lafal idz yang sebelumnya (suatu umat di antara mereka berkata,) yaitu kaum yang tidak ikut berburu dan juga tidak melarang orang-orang yang berburu ("Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang keras?" Mereka menjawab,) nasihat kami ("Agar kami mempunyai alasan) yang bisa dijadikan sebagai pelepas tanggung jawab (kepada Tuhanmu) supaya kami tidak dituduh lalai dalam masalah tidak memberikan larangan kepada mereka (dan supaya mereka bertakwa.") tidak berani melakukan perburuan lagi.
Tafsir Surat Al-A'raf: 164-166
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, "Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya.
Kami katakan kepadanya, Jadilah kalian kera yang hina." Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal penduduk kota tersebut. Mereka terpecah belah menjadi tiga kelompok: Satu kelompok melanggar larangan dan memakai tipu muslihat dalam berburu ikan di hari Sabtu, seperti yang telah diterangkan penjelasannya dalam tafsir surat Al-Baqarah; satu kelompok lagi melarang perbuatan itu dan memisahkan diri dari mereka yang melanggar, dan yang terakhir ialah kelompok yang bersikap diam, tidak mengerjakan, tidak pula melarang, tetapi mereka mengatakan kepada kelompok yang memprotes perbuatan tersebut, seperti yang dituturkan oleh firman-Nya: Mengampa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? (Al-A'raf: 164) Artinya, mengapa kalian melarang mereka, padahal kalian telah mengetahui bahwa mereka akan binasa dan berhak mendapat hukuman dari Allah.
Maka tiada faedahnya bagi larangan kalian terhadap mereka. Maka kelompok yang memprotes perbuatan itu menjawab perkataan mereka, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian. (Al-A'raf: 164) Sebagian ulama membacanya rafa, seakan-akan makna yang dimaksud ialah "sikap ini merupakan pelepas tanggung jawab kepada Tuhan kalian." Sedangkan ulama lainnya membacanya nasab yang artinya "Kami sengaja melakukan ini untuk pelepas tanggung jawab kepada Tuhan kalian." Dengan kata lain, janji yang telah ditetapkan Allah atas diri kami untuk menjalankan amar ma 'ruf dan nahi munkar.
dan supaya mereka bertakwa. (Al-A'raf: 164) Mereka mengatakan, "Mudah-mudahan dengan adanya protes ini mereka menjadi takut terhadap perbuatan mereka dan mau menghentikannya, serta mau kembali bertobat kepada Allah. Apabila mereka bertobat kepada Allah, niscaya Allah menerima tobat mereka dan merahmati mereka." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka. (Al-A'raf: 165) Artinya, ketika mereka menolak nasihat itu dan tetap melakukan pelanggaranya.
Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim. (Al-A'raf: 165) Yakni kepada orang-orang yang berbuat durhaka itu. siksaan yang keras. (Al-A'raf: 165) Allah menegaskan bahwa orang-orang yang ber-nahi munkar itu selamat, sedangkan orang-orang yang berbuat aniaya itu binasa. Adapun orang-orang yang bersikap diam, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan nasib mereka, karena setiap pembalasan itu disesuaikan dengan jenis pelanggarannya; sedangkan mereka yang bersikap diam bukanlah orang-orang yang berhak mendapat pujian, bukan pula orang-orang yang melakukan pelanggaran berat yang berhak untuk dicela.
Tetapi sekalipun demikian, para imam berbeda pendapat mengenai nasib mereka. Apakah mereka termasuk orang-orang yang dibinasakan ataukah termasuk orang-orang yang diselamatkan, ada dua pendapat mengenainya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, "Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang keras? (Al-A'raf: 164) Mereka adalah penduduk kota yang berada di tepi laut antara Mesir dan Madinah, kota itu dikenal dengan nama Ailah.
Allah mengharamkan mereka berburu ikan pada hari Sabtu, padahal ikan-ikan itu datang kepada mereka pada hari Sabtunya dalam keadaan terapung-apung di permukaan tepi laut. Tetapi apabila hari Sabtu telah lewat, mereka tidak mampu lagi menangkapnya (karena sudah bubar). Hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian ada segolongan orang dari mereka berani menangkap ikan-ikan itu pada hari Sabtunya, lalu ada segolongan lain dari mereka yang melarangnya dan mengatakan kepada mereka, "Mengapa kalian menangkap ikan-ikan itu, padahal Allah telah mengharamkannya bagi kalian pada hari Sabtu ini?" Tetapi nasihat itu justru membuat mereka makin berani, bertambah sesat, dan sombong.
Kemudian ada segolongan lainnya dari mereka yang melarang para pemberi nasihat itu melarang mereka. Ketika hal itu berlangsung cukup lama, maka segolongan orang dari kelompok yang ketiga itu ada yang mengatakan, "Kalian telah mengetahui bahwa mereka adalah kaum yang telah berhak mendapat azab Allah atas diri mereka," seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka (Al-A'raf: 164) Mereka adalah orang-orang yang paling marah terhadap para pelanggar itu karena Allah daripada golongan lainnya.
Maka orang-orang yang memberi nasihat itu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa. (Al-A'raf: 164) Masing-masing dari kedua golongan selain golongan pelanggar itu telah melarang mereka yang melanggar. Ketika murka Allah menimpa para pelanggar itu, maka diselamatkan-Nya-lah kedua golongan tersebut yang mengatakan, "Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka," dan orang-orang yang mengatakan, "Agar kami mempunyai alasan (terlepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian.
Kemudian Allah membinasakan orang-orang yang berbuat durhaka, yaitu mereka yang menangkap ikan-ikan itu pada hari Sabtunya, lalu Allah mengutuk mereka menjadi kera. At-Aufi telah meriwayatkan hal yang mendekati atsar di atas, dari Ibnu Abbas. Sedangkan Hammad ibnu Zaid telah meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwasanya Ibnu Abbas tidak mengetahui selamatkah orang-orang yang telah mengatakan: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka. (Al-Aburaf: 164) ataukah mereka tidak selamat (yakni terkena azab itu juga).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa dirinya masih tetap mempertanyakan nasib mereka, hingga ia mengetahui bahwa mereka benar-benar telah diselamatkan pula, maka merasa tenteramlah hatinya. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki, dari Ikrimah yang mengatakan, "Pada suatu hari aku pernah datang kepada Ibnu Abbas. Saat itu Ibnu Abbas sedang menangis, dan tiba-tiba ternyata ia sedang memegang mushaf di pangkuannya.
Maka aku merasa segan untuk mendekat kepadanya. Aku masih tetap dalam keadaan demikian (menjauh darinya) hingga pada akhirnya memberanikan diri untuk maju dan duduk di dekatnya, lalu aku bertanya, 'Wahai Ibnu Abbas, apakah yang membuatmu menangis? Semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu.' Ibnu Abbas menjawab, 'Karena lembaran-lembaran ini'." Ikrimah melanjutkan kisahnya, 'Ternyata lembaran-lembaran yang dimaksud adalah surat Al-A'raf. Lalu Ibnu Abbas bertanya, 'Tahukah kamu kota Ailah?' Aku menjawab, 'Ya.' Ibnu Abbas berkata bahwa dahulu pada kota itu tinggallah suatu kabilah Yahudi yang digiring ikan-ikan kepada mereka pada hari Sabtunya, kemudian pada hari yang lainnya ikan-ikan itu menyelam ke dalam laut, sehingga mereka tidak dapat lagi menangkapnya kecuali setelah mereka menyelam dan bersusah payah serta mengeluarkan banyak biaya.
Pada hari Sabtunya ikan-ikan itu datang kepada mereka terapung-apung di permukaan air laut, kelihatan putih-putih lagi gemuk-gemuk, seakan-akan seperti perak seraya membolak-balikkan punggung dan perutnya di pinggir laut tempat mereka tinggal. Mereka tetap menahan diri seperti demikian selama beberapa waktu. Kemudian setan membisikkan mereka seraya mengatakan sesungguhnya kalian hanya dilarang memakannya saja pada hari Sabtu.
Karena itu, tangkaplah oleh kalian ikan-ikan tersebut pada hari Sabtu dan memakannya di hari-hari yang lain. Segolongan orang dari mereka mengatakan demikian, seperti yang dibisikkan oleh setan; sedangkan segolongan yang lainnya mengatakan, 'Tidak, bahkan kalian tetap dilarang memakan dan menangkap serta memburunya pada hari Sabtu.' Mereka dalam keadaan demikian (berdebat) selama beberapa hari hingga datanglah hari Jumat berikutnya. Maka pada keesokan harinya ada segolongan orang dari mereka berangkat menuju ke tepi pantai bersama dengan anak-anak dan istri-istri mereka (untuk menangkap ikan), sedangkan segolongan yang lainnya yaitu golongan yang kanan mengisolisasi diri dan menjauh dari mereka; dan segolongan yang lainnya lagi yaitu golongan kiri memisahkan diri, tetapi diam, tidak melarang.
Golongan kanan mengatakan, 'Celakalah kalian ini dari siksa Allah. Kami telah melarang kalian, janganlah kalian menjerumuskan diri kaitan ke dalam siksaan Allah.' Lalu golongan kiri mengatakan (kepada golongan kanan), seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang keras? (Al- A'raf: 164) Golongan kanan menjawab, seperti yang dikisahkan oleh firman-Nya: Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka bertakwa. (AkA'faf: 164) Yakni agar mereka menghentikan perburuan ikan di hari Sabtu.
Jika mereka mau menghentikannya, maka hal tersebut lebih kami sukai agar mereka tidak terkena azab Allah dan agar mereka tidak dibinasakan. Dan jika ternyata mereka tidak mau menghentikan perbuatannya, maka alasan kami cukup kuat kepada Tuhan kalian (untuk melepas tanggung jawab). Akan tetapi, mereka yang dilarang tetap melakukan pelanggaran itu. Maka golongan kanan berkata, 'Wahai musuh-musuh Allah, demi Allah, sesungguhnya kalian telah melanggar, sesungguhnya kami akan datang malam ini ke kota kalian.
Dan demi Allah, kami tidak akan melihat kalian pada pagi harinya melainkan kalian telah ditimpa oleh gempa atau kutukan atau sebagian dari azab yang ada di sisi Allah.' Ketika pagi harinya tiba, golongan kanan mengetuk-ngetuk pintu perkampungan mereka, tetapi tidak dibuka; dan golongan kanan menyeru mereka, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya golongan kanan mengambil tangga, dan seorang lelaki dari golongan kanan menaiki tangga itu dan berada di atas tembok kampung tersebut.
Lalu ia melayangkan pandangannya ke seluruh perkampungan itu, kemudian berkata, 'Wahai hamba-hamba Allah, yang ada hanyalah kera-kera. Demi Allah, kera-kera itu meloncat-loncat seraya mengeluarkan suara jeritannya, semuanya mempunyai ekor'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka (golongan kanan) membuka pintu gerbangnya dan masuklah mereka ke dalam perkampungan itu. Kera-kera tersebut mengenal saudara mereka dari kalangan manusia, tetapi yang menjadi saudara mereka dari kalangan manusia tidak mengenal kera-kera itu.
Lalu kera-kera itu masing-masing mendatangi familinya dari kalangan manusia seraya menciumi pakaiannya dan menangis. Maka saudaranya yang manusia itu berkata, 'Bukankah saya telah melarang kalian melakukan hal ini? Maka si kera menjawab dengan anggukan kepala yang berarti mengiakan. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras. (Al-A'raf: 165) Selanjutnya ia mengatakan, "Maka saya melihat bahwa orang-orang yang melarang perbuatan jahat itu telah diselamatkan, sedangkan saya tidak melihat golongan lainnya (yang tidak terlibat) disebutkan.
Dan memang kita pun sering melihat banyak hal yang tidak kita sukai, tetapi kita tidak dapat mengatakan apa-apa terhadapnya." Ikrimah melanjutkan kisahnya, bahwa ia mengatakan, "Semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu, tidakkah engkau melihat bahwa mereka benar-benar membenci perbuatan para pelanggar itu dan bersikap oposisi terhadap mereka dan mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka? (Al-A'raf: 164) Ikrimah mengisahkan pula, "Setelah itu Ibnu Abbas memerintahkan agar aku diberi hadiah, dan aku diberinya dua buah baju yang tebal-tebal." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Mujahid, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Asyhab ibnu Abdul Aziz, dari Malik yang mengatakan bahwa Ibnu Rauman menduga bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan: datang kepada mereka ikan-ikan (yang ada di sekitar mereka) terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. (Al-A'raf: 163) Kisahnya seperti berikut: Ikan-ikan itu datang kepada mereka pada hari Sabtunya, dan apabila petang harinya pergilah ikan-ikan itu sehingga tiada seekor ikan pun yang kelihatan hingga hari Sabtu berikutnya.
Kemudian ada seorang lelaki dari mereka yang membuat perangkap berupa jala yang dipancangkan, lalu ia menangkap seekor ikan dari ikan-ikan yang ada pada hari Sabtunya. Kemudian apabila hari telah petang dan malam hari Ahad tiba, ia mengambil ikan itu dan memanggangnya. Maka orang lain mencium bau ikan itu dan mereka datang kepadanya, lalu menanyainya dari mana asal ikan itu, tetapi ia mengingkari perbuatannya terhadap mereka.
Sedangkan mereka terus mendesaknya hingga akhirnya ia mengatakan bahwa bau itu bersumberkan dari kulit ikan yang ditemukannya. Pada hari Sabtu berikutnya ia melakukan hal yang sama, mungkin kali ini dia menangkap dua ekor ikan. Kemudian pada petang harinya dan malam Ahad mulai masuk, ia menangkap ikannya dan memanggangnya. Mereka mencium bau ikan panggang, lalu mereka datang kepadanya dan menanyainya.
Akhirnya ia berkata kepada mereka, "Jika kalian suka, kalian boleh melakukan seperti apa yang kulakukan." Mereka bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Lalu ia menceritakan kepada mereka cara-caranya. Dan mereka melakukan seperti apa yang telah dilakukannya, hingga banyak orang yang meniru jejaknya. Tersebutlah bahwa mereka yang melakukan pelanggaran itu bertempat tinggal di sebuah perkampungan yang terbentang dan berpintu gerbang.
Ketika kutukan Allah menimpa mereka, tetangga-tetangga mereka yang tinggal di sekitar mereka datang mencari mereka untuk keperluan biasa yang terjadi di antara sesama mereka, tetapi para tetangga mereka menjumpai pintu gerbang kampung itu dalam keadaan tertutup. Kemudian para tetangga itu memanggil-manggil mereka, tetapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya mereka memanjat tembok kampung itu, dan tiba-tiba mereka menjumpai penduduknya telah berubah menjadi kera-kera.
Lalu kera-kera itu mendekat dan mengusap orang-orang yang telah mereka kenal sebelumnya, begitu pula sebaliknya. Dalam surat Al-Baqarah telah kami sebutkan atsar-atsar yang mengisahkan berita kampung ini dengan keterangan yang cukup memuaskan. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa kelompok yang diam termasuk orang-orang yang binasa. Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Daud ibnu Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka membuat-buat bid'ah pada hari Sabtu. Maka Allah menguji mereka di hari Sabtu itu, lalu Allah mengharamkan kepada mereka ikan-ikan pada hari Sabtu. Dan tersebutlah bahwa apabila datang hari Sabtu, maka ikan-ikan itu datang kepada mereka dengan terapung-apung di permukaan laut, mereka semuanya dapat melihatnya. Tetapi apabila hari Sabtu telah berakhir, ikan-ikan itu pergi dan lenyap serta tidak kelihatan lagi sampai hari Sabtu berikutnya.
Apabila hari Sabtu datang, ikan-ikan itu datang terapung-apung, dan mereka tinggal selama beberapa waktu menurut apa yang dikehendaki Allah dalam keadaan demikian. Kemudian ada seorang lelaki dari mereka menangkap ikan itu dan melubangi hidung ikan itu dengan tali, lalu tali itu ditambatkannya pada sebuah pasak di pinggir laut dan membiarkan ikan itu berada di air selama hari Sabtu.
Keesokan harinya ia mengambil ikan itu dan memanggangnya, lalu memakannya. Lelaki itu melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka hanya memandangnya, tidak mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang melarangnya kecuali hanya segolongan orang. Lama kelamaan kejadian tersebut berada di pasar-pasar, dan mereka berani melakukannya secara terang-terangan (yakni menangkap ikan di hari Sabtu). Lalu berkatalah segolongan orang kepada mereka yang melarang perbuatan itu, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? Mereka menjawab, "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian. (Al-A'raf: 164) Mereka mengatakan, "Kami membenci perbuatan mereka yang melanggar itu." dan supaya mereka bertakwa.
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka (Al Araf 164-165) sampai dengan firman-Nya: kera-kera yang hina. (Al-A'raf: 166) Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka terdiri atas tiga kelompok. Sepertiga dari mereka melarang perbuatan itu, sedangkan sepertiga yang lain mengatakan: Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan mengazab mereka? (Al-A'raf: 164)." Dan sepertiga yang terakhir ialah mereka yang melakukan pelanggaran itu. Maka tiada yang selamat dari azab Allah kecuali hanya orang-orang yang melarang, sedangkan selain mereka semuanya binasa.
Sanad atsar ini jayyid sampai kepada Ibnu Abbas, tetapi ralat yang dilakukannya berpegang kepada pendapat Ikrimah yang menyatakan bahwa golongan yang diam termasuk orang-orang yang selamat, merupakan pendapat yang lebih utama daripada berpegang kepada pendapat ini, karena sesudah itu kedudukan mereka jelas bagi Ibnu Abbas. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras. (Al-A'raf: 165) Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa orang-orang yang masih tetap hidup adalah orang-orang yang selamat.
Lafal ba-is mempunyai qiraat yang cukup banyak, maknanya menurut pendapat Mujahid ialah keras, sedangkan menurut riwayat lain yaitu pedih. Menurut Qatadah maknanya menyakitkan. Tetapi pada garis besarnya masing-masing pendapat mempunyai pengertian yang berdekatan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Yang hina. (Al-A'raf: 166) Yakni hina dina lagi tercela."
Setelah menjelaskan keadaan para pendurhaka itu, ayat ini menguraikan sikap orang-orang yang sebelum ini pada ayat 159 telah disinggung, yaitu umat Nabi Musa yang memberi petunjuk kepada kebenaran. Ayat ini menyatakan, Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka, yaitu tatkala sekelompok orang-orang saleh dari leluhur Bani Israil'yang tidak berbuat jahat seperti yang lainnya'bertanya kepada mereka yang menasihati orang-orang yang berbuat jahat dengan berkata, Mengapa kamu bersusah payah menasihati kaum yang akan dibinasakan sehingga punah sama sekali karena dosa yang mereka lakukan, atau diazab oleh Allah di akhirat nanti dengan azab yang sangat keras' Mereka menjawab, Kami melakukan itu agar kami mempunyai alasan dan pelepas tanggung jawab kepada Tuhanmu, dan sebenarnya kami berharap agar mereka bertakwa. Alasan mereka itu ialah mereka telah melaksanakan perintah Allah untuk memberi peringatan. Nasihat yang berkelanjutan pada ayat-ayat terdahulu bertujuan mengantar para pendurhaka itu sadar dan bertakwa, tetapi ternyata mereka tetap lengah dan lupa. Maka setelah mereka golongan yang diberi nasihat melupakan, yakni mengabaikan, apa yang diperingatkan kepada mereka dan tidak juga mendengarkan nasihat itu, Kami selamatkan orang-orang yang terus menerus melarang orang berbuat jahat dan tidak melakukan kejahatan dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim, antara lain kepada mereka yang mengail ikan pada hari Sabat, siksaan yang keras, dalam bentuk kesengsaraan dan kemelaratan. Hal itu disebabkan mereka selalu berbuat fasik, tidak mau taat kepada Allah, Tuhan mereka.
Sikap segolongan nenek-moyang Bani Israil yang mencela segolongan Bani Israil yang lain, yaitu memperingatkan Bani Israil yang telah mengingkari perintah Allah dan tidak menghentikan larangan-Nya. Dalam ayat ini dipahami pula bahwa tidak semua nenek-moyang Bani Israil mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat itu, ada di antara mereka yang melaksanakannya.
Dari ayat ini juga dapat diketahui bahwa dalam menyikapi perintah dan larangan Allah mereka terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat.
2. Kelompok yang memberi nasihat pada kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya.
3. Kelompok yang membantah tindakan kelompok yang memberi nasihat itu.
Kelompok kedua mengatakan kepada kelompok ketiga: "Kami memberi pelajaran kepada mereka itu, adalah untuk membebaskan diri dari perbuatan dosa dan untuk melaksanakan tugas kami, yaitu mencegah perbuatan yang mungkar. Kami berharap agar orang-orang yang durhaka itu sadar dan kembali ke jalan yang benar dan lurus".
Ketika Bani Israil tetap membangkang dan tidak mau kembali ke jalan Allah, dan tetap mengabaikan nasihat-nasihat yang telah diberikan, maka Allah menimpakan azab yang berat kepada mereka dan menyelamatkan orang-orang yang memberi nasihat tersebut.
Sebagian ulama berpendapat bahwa azab Allah tidak menimpa golongan ketiga, sedang sebagian ulama lagi berpendapat bahwa azab itu juga menimpa golongan ketiga, karena yang taat itu hanyalah golongan kedua saja, sedangkan golongan ketiga tidak melarang dari mengerjakan perbuatan yang mungkar, bahkan membantah dan menyalahkan orang yang melarang mengerjakan perbuatan yang mungkar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 161
Untuk menjelaskan bagaimana mereka itu menganiaya atau melanggar peraturan yang ditentukan Allah, berkatalah ayat selanjutnya: “Dan, (Ingatlah) tatkala dikatakan kepada meieka, ‘Berdiamlah di negeni ini dan makanlah daripadanya mana-mana yang kamu sukai, dan katakanlah, ‘Kami mohon ampun.' Dan masuklah ke pintu itu dalam keadaan sujud, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, akan Kami tambah bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
Artinya, dan ingatlah olehmu, wahai penduduk Mekah tempat surah ini diturunkan, tatkala Allah berfirman kepada Bani Israil dengan perantaraan Musa, supaya mereka masuk ke dalam negeri itu, suatu negeri yang akan dijadikan tempat kediaman mereka yang baru. Di surah al-Baqarah ayat 58 disebutkan bahwa mereka disuruh masuk, di ayat ini disebutkan mereka disuruh berdiam di negeri itu. Negeri itu ialah Palestina. Dengan menyebut berdiam, dengan sendirinya tentu sudah disuruh masuk. Mereka disuruh berdiam dalam negeri itu dan boleh makan seenak-enaknya buah-buahan atau makanan yang banyak dalam negeri itu. Hendaklah kamu mengucapkan kata-kata doa memohonkan ampun dari Allah atas kesalahan setelah kealpaan selama ini. Baik di waktu masuk ke dalamnya ataupun setelah menjadi penduduknya, hendaklah selalu merendahkan diri kepada Allah, khusyu dan tadharru', jangan menyombong, tundukkan kepala, sujud tanda bersyukur kepada Allah. Kalau syarat ini kamu penuhi, kamu masuk ke dalam dengan khusyu merendahkan diri, dosamu akan diampuni oleh Allah, kesalahan-kesalahan selama ini akan dimaafkan. Dan, orang yang menyambung lagi dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang lain, niscaya akan ditambah pula oleh Allah dengan nikmat-nikmat-Nya yang berganda-ganda. Sebaliknya janganlah sombong masuk ke dalam negeri itu, jangan lupa kepada Allah. Sebab, nikmat kemenangan itu datang dari Allah sendiri.
Hal yang seperti ini pun kemudian telah berlaku pada diri Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau menaklukkan negeri Mekah. Dia masuk ke dalam negeri itu dengan kemenangan yang gilang-gemilang, di atas untanya yang bernama Qashwaa, dia menekur dengan penuh kesyukuran dan terharu, merendahkan diri. Bukan menyombong karena mabuk kemenangan.
Ayat 162
“Maka, menggantilah orang-orang yang Zalim diri mereka dengan kata lain yang bukan dikatakan kepada mereka."
Di dalam ayat ini teranglah bahwa ada yang melanggar, ada yang berlaku aniaya, sebab digantinya kata pesan itu dengan kata lain. Mereka dipesan supaya berlaku khusyu memohon kepada Allah ketika masuk ke negeri itu, tetapi di antara mereka ada yang mengubah, tidak menunjukkan diri memohon ampunan Allah, tetapi menyombong dan congkak. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang memang tidak dapat menahan diri karena dimabuk kemenangan. Menurut suatu riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari, disebutkan bahwa mereka bukan menekurkan kepala, tetapi berjalan menginsut ekor.
Abu Hurairah pun tidak menerangkan bahwa riwayat itu diterimanya dari Nabi, mungkin didengarnya dari Ka'ab al-Ahbar lagi, sebab memang ada juga Abu Hurairah menerima riwayat dari Ka'ab itu. Pendeknya, ayat sendiri telah menjelaskan bahwa perintah Allah telah mereka tukar dengan kemauan sendiri. Mereka, kata orang sekarang, tidak teguh memegang disiplin.
“Lantaran itu Kami turunkanlah kepada mereka suatu bencana dari langit, akibat dari kezaliman mereka itu."
Perintah atau disiplin Allah tidak mereka ikuti, masuk ke dalam negeri itu tidak dengan sopan santun dan lupa mereka memohonkan ampun kepada Allah. Niscaya datanglah bencana menimpa diri mereka karena kezaliman dan pelanggaran itu. Mungkin juga karena masuk dengan kacau, segala makanan yang dihalalkan Allah untuk mereka tadi, makanan yang baik-baik karena diambil dengan tidak teratur karena tamak dan loba, sehingga hasilnya binasa dan rusak atau habis sebelum waktunya. Karena banyak juga terjadi, orang yang mabuk karena kemenangan dengan lahapnya menghabiskan yang ada, tidak memikirkan hari depan. Wahab bin Munabbih mengatakan mereka sampai di negeri itu ditimpa penyakit Tha'un (kolera), mungkin juga sakit perut karena memperturutkan selera. Maka, fasik dan aniaya mereka, mendapat balasan yang setimpal dari Allah sebagaimana dikatakan ayat 160 di atas tadi; orang-orang yang aniaya, bukanlah menganiaya Allah, melainkan menganiaya diri sendiri.
PENDUDUK TEPI PANTAI
Satu di antara keaniayaan mereka pula diterangkan pada ayat selanjutnya,
Ayat 163
“Dan tanyakanlah kepada mereka perihal negeri yang di dekat laut itu, ketika mereka melanggar peratunan pada hari Sabtu."
Artinya, cobalah tanyakan apabila bertemu dengan orang Yahudi itu bagaimana kisahnya penduduk tepi laut yang melanggar peraturan hari Sabtu itu.
Menjadi syari'at pokok bagi orang Yahudi, (Bani Israil) hari Sabtu adalah hari istirahat, tidak boleh mengerjakan sembarang pekerjaan. Namun, mereka melanggar peraturan itu. Tanyakanlah kepada mereka bagaimana lanjutan nasib mereka karena pelanggaran itu. Kisah kaum itu tidak ada dalam satu kitab yang mereka namakan Taurat sekarang ini, tetapi menjadi cerita dari mulut ke mulut orang Yahudi di tanah Arab. Ayat ini turun masih di masa Mekah, sebelum Hijrah ke Madinah. Sebagaimana telah disebut pada dua ayat di atas tadi, Nabi kita ﷺ adalah ummi. Beliau tidak pandai membaca tulisan Taurat dan tidak mengerti bahasa Ibrani dan tidak pula bergaul dengan orang Yahudi sebelum hijrah, sehingga sumber cerita ini hanyalah beliau dapat semata-mata dari wahyu. Di dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi ﷺ menanyakan kepada orang Quraisy, supaya mereka pun memahamkan betapa jadinya kaum pelanggar peraturan hari Sabtu itu.
“Seketika datang kepada mereka ikan-ikan itu berkilat-kilat di hari mereka bersabtu itu, sedang di hari mereka tidak bersabtu (ikan-ikan) itu, tidak datang kepada mereka."
Hari Sabtu mereka wajib beristirahat sedang mereka sebagai penduduk tepi pantai ke-banyakannya nelayan. Oleh karena mereka hari Sabtu istirahat dan ikan-ikan telah merasa tidak terganggu lagi di hari itu, lama-lama muncullah ikan-ikan itu di hari Sabtu, “syurra'an" berkilat-kilat, berboyong-boyong datang, dia kelihatan muncul ke permukaan laut sehingga berkilat karena kena cahaya matahari. Ibnu Abbas menafsirkan demikian.
Nelayan di tepi pantai Sumatera, bila melihat ikan mengkilat itu biasanya tidak menyebut “aku melihat ikan" melainkan berkata “aku melihat kawan". Memang biasanya para nelayan bila melihat ikan berboyong itu tidak dapat menahan hati. Maka, demikianlah penduduk tepi laut Bani Israil itu, sehingga setelah beberapa kali Sabtu melihat ikan-ikan menepi amat banyak, mereka pun tidak tahan hati.
“Demikianlah Kami mencobai mereka dengan sebab mereka adalah kaum yang fasik."
Ikan terkilat tanda dia mendekat adalah ujian bagi orang yang lemah iman. Karena air selera mereka menjelijih melihat ikan sangat banyak, mereka tidak dapat menahan hati dan mereka langgarlah peraturan, mereka lupa kesucian hari Sabtu maka mereka saring atau mereka pukatlah ikan-ikan itu, padahal hari Sabtu. Mereka langgar peraturan agama mereka sendiri karena memperturutkan hawa nafsu.
Ahli-ahli tafsir menceritakan beberapa riwayat berkenaan dengan perangai dan helah penduduk tepi pantai Bani Israil itu. Setengah dari riwayat itu ialah bahwa mereka memasang jaring-jaring, pukat, lukah, dan sebagainya, sebelum hari Sabtu, (kira-kira senja hari Jum'at). Setelah masuk kepada hari Sabtu, berkerumunlah ikan-ikan itu datang dan semuanya masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu lalu mereka biarkan saja. Setelah malam harinya, malam Ahad, artinya hari Sabtu sudah lepas, barulah segala pukat, jaring, dan lukah itu mereka ambil, terdapatlah ikan yang banyak sekali.
Kata setengah tafsir pula, pada hari Sabtu itu juga lukah, jaring, dan pukat itu mereka angkat, tetapi tidak hari itu mereka makan. Karena setan memberikan “petunjuk" kepada mereka bahwa yang dilarang hanya makan ikan. Adapun menangkap ikan tidaklah dilarang. Lalu, perbuatan mereka menghelah-helah dan menipu peraturan Allah itu jika ditegur oleh orang-orang yang berani beramar maVuf, nahi mungkar, mereka jawab saja dengan “pokrol-pokrolan".
Inilah yang dijelaskan dengan ayat selanjutnya:
Ayat 164
“Dan, (ingat pulalah) tatkala berkata suatu umat dari antara mereka, ‘Mengapa kamu beri pengajaran suatu kaum yang Allah telah membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat?'Mereka menjawab, Untuk melepaskan kewajiban kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.'"
Dari ayat ini kita dapat membaca bahwa dari sebab pelanggaran itu penduduk tepi laut itu menjadi pecah tiga. Pertama yang melanggar peraturan Sabtu, kedua yang menegur kesalahan itu, dan yang ketiga bersikap masa bodoh, membiarkan saja orang-orang yang melanggar itu, tidak perlu diberi nasihat, sebab nasihat tidak juga akan mempan kepada mereka, sebab adzab siksa Allah akan mencelakakan mereka.
Golongan yang baik, ingat akan kewajibannya kepada Allah dan masih ada rasa kasihan kepada yang telah tersesat itu. Mereka berkeyakinan, kalau orang-orang yang tersesat itu diberi peringatan yang baik, moga-moga mereka kembali sadar dan bertakwa. Niscaya yang bersikap masa bodoh berbuat kesalahan juga, yaitu asal diri mereka lepas, biar orang lain sengsara. Jman mereka tidak mendalam karena hanya mementingkan diri sendiri.
Ayat 165
“Maka, tatkala mereka telah lupa apa yang diperingatkan kepada mereka."
Karena tidak juga mereka dapat menahan nafsu, melihat ikan-ikan mengilat-ngilatkan diri, berboyong-boyong tiap hari Sabtu sehingga mereka lupa pula kepada apa yang diperingatkan oleh teman sahabat mereka yang memandang bahwa memberi nasihat adalah kewajiban terhadap Allah, orang-orang itu melanggar lagi dan mencari berbagai macam dalih, supaya ikan yang banyak muncul di hari Sabtu itu dapat ditangkap.
“Kami selamatkanlah orang-orang yang telah mencegah dari kejahatan dan Kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan adzab yang pedih dari sebab mereka telah berbuat fasik."
Adzab yang pedih di sini menurut ahli tafsir ialah kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Artinya, penipuan diri sendiri yang mereka lakukan pada hari Sabtu itu tidaklah menambahkan mereka menjadi kaya. Yang terang saja ialah karena siang malam yang mereka pikirkan hanyalah mencari keuntungan, mengumpulkan harta benda, sehingga tidak ada hari istirahat. Dengan tidak mereka insafi, kekayaan yang mereka kumpulkan itu tidaklah memberi faedah kepada mereka, melainkan mereka telah menjadi budaknya. Mereka tidak mempunyai hari lagi yang disediakan buat mengenal Allah. Sebabnya ialah karena fasik. Kita telah tahu arti fasik, yaitu dengan terang-terang melanggar peraturan.
Pelanggaran kehormatan hari istirahat Sabtu adalah salah satu gejala saja dari kefasikan. Di ayat ini diterangkan bahwa yang diselamatkan Allah hanyalah orang-orang yang merasa bahwa menegur yang salah adalah suatu kewajiban. Adapun orang yang bersikap masa bodoh tadi tiada disebut bahwa mereka diselamatkan. Padahal, membiarkan saja orang lain berbuat salah dan merasa senang hati saja melihat mereka diadzab Allah, itu pun suatu kesalahan. Akhirnya adzab yang pedih datang, yang selamat dari adzab hanyalah yang berani menegur yang salah. Sebab, sudah menjadi sunnatullah bahwa kalau sudah ditempuh jalan yang salah akhirnya pasti bertemu kesulitan.
Ayat 166
‘Maka, tatkala mereka telah melanggar apa yang dilarang daripadanya."
Yaitu, khusus terhadap orang-orang yang masih saja menangkap ikan pada hari Sabtu itu.
“Kami katakanlah kepada mereka, Jadilah kamu monyet-monyet yang hina.'"
Sebagaimana telah kita uraikan ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 65 maka sebagian ahli tafsir berkata bahwa benar-benar orang-orang itu dijelmakan Allah menjadi monyet dan tua-tua menjadi babi. Dan, menurut Mujahid, badan mereka tetap berupa manusia, tetapi jiwa mereka, hati, dan pikiran merekalah yang telah dijelmakan menjadi hati monyet, jiwa kera, dan pikiran beruk.
Beruk, kera atau monyet, mempunyai perangai sendiri yang lucu. Apabila dia dipelihara dan dipautkan pada suatu pautan maka tiap-tiap orang yang lalu lintas di hadapannya akan dicibirkannya. Semua orang yang melihatnya disangkanya musuh. Mula saja dia melihat orang, dia sudah menggeregak mengajak hendak berkelahi lalu taringnya diperlihatkannya. Kalau dilemparkan makanan, bukan main cepatnya mengambil walaupun yang memberikan makanan itu dicibirkannya juga, dimakannya setengah dan disimpannya di lehernya yang setengah lagi karena tamaknya sebab takut akan diambil orang lain. Kalau dia telah tua dalam pautan, karena tidak ada pekerjaan lain, bulunya sendiri dicabutinya, sampai tinggal kulit licin. Kalau beruk-beruk itu masih liar, dia berjalan berkelompok-kelompok. Kerjanya mencari makanan walaupun dengan me-rusakkan tanaman yang ditanam orang dengan susah-payah. Seperti jagung, ubi talas, dan lain-lain, dirusakkannya. Setelah hasilnya dilicin-tandaskan maka setelah dia pergi, hanya me-ninggalkan kerusakan belaka.
Di Pariaman (Sumatera Barat) dipelihara orang beruk dan diajar memanjat kelapa. Orang lebih suka memelihara beruk betina, sebab tidak segarang beruk jantan. Akan tetapi, beruk betina ini pun macam-macam pula perangainya. Pencemburu. Kalau ada orang perempuan yang mendekat kepada orang laki-laki yang memelihara, dia pun marah dan mau menggigit, sebab dipandangnya yang memeliharanya itu ialah lakinya! Oleh sebab itu, jika penduduk tepi pantai Bani Israil disumpah dengan badannya penuh bulu jadi beruk, adalah itu satu kehinaan. Akan tetapi, akan lebih hina lagi kalau badan masih tetap badan manusia, dan perangai ditukar menjadi perangai beruk.
Sebab kalau orang melihat seekor beruk sedang mencibir-cibirkan orang yang lalu lintas, tidaklah menghina jika orang berkata kepadanya, “Hai beruk!", tetapi kalau manusia yang berperangai seperti perangai beruk lalu dimaki orang dengan kata, “Hai beruk!" barulah bernama satu penghinaan.
Perangai beruk adalah perangai meng-helah-helah. Beruk sendiri tidaklah sampai sejahat manusia yang meniru perangai beruk. Menghelah-helah hukum, memutar-mutar agar yang haram boleh dihalalkan adalah perangai beruk. Dilarang memakan ikan di hari Sabtu lalu mereka pukat dan tangkap ikan di hari Jum'at sore dan mereka ambil pukat itu pada sore hari Sabtu. “Kami tidak memakan ikan, kami cuma menangkapnya saja!" Seakan-akan Allah itu bodoh. Padahal, merekalah yang bodoh.
Perangai menghelah-helah, menipu seperti ini banyak juga kejadian pada orang yang mengaku dirinya Islam sendiri, ‘Tidak wajib lagi berzakat sekarang, sebab yang dizakatkan hanyalah emas dan perak. Sedang sekarang orang berjual beli dengan uang kertas." “Saya hibahkan seluruh harta benda saya kepada anak saya, sehari sebelum cukup setahun supaya terlepas dari kena zakat. Nanti selepas harta itu, kalau anak saya hendak menghadiahkan harta itu kembali kepada saya, siapa pula yang akan melarang." Memang pantas!!
Menulis Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi di dalam kitabnya Ightsatu!Lahlan:
“Setengah dari pada tipu daya setan untuk memperdayakan orang Islam ialah helah, kecoh, dan tipu, mengandung maksud menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan meruntuhkan apa yang diwajibkan-Nya, dan menentang Allah dalam hal yang disuruh-Nya dan dilarang-Nya. Yaitu dari pendapat-pendapat pikiran yang batil, yang sepakat Salaf atas mencelanya. Ra'yi (pendapat pikiran) itu ada dua macam. Pertama, pendapat pikiran yang sesuai dengan nash-nash agama dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan perbandingannya. Ra'yi yang semacam itulah yang diakui oleh Salaf dan Ra'yi semacam itu pulalah yang mereka amalkan. Dan, macam Ra'yi yang kedua, yaitu Ra'yi yang menyalahi nash, yang dapat disaksikan kesalahannya dan kucar-kacirnya, Ra'yi semacam itulah yang dicela oleh Salaf dan tidak mereka terima. Helah pun dua macam pula. Pertama, helah atau ikhtiar bagaimana supaya perintah Allah dapat dilaksanakan dan apa yang Dia cegah dapat dihentikan, serta membebaskan diri daripada yang haram dan melepaskan dengan selamat hal yang besar daripada kezaliman yang menghambat kelancarannya dan mengeluarkan orang yang kena aniaya (mazlum) daripada kecaman tangan orang-orang yang aniaya dan sewenang-wenang. Ini adalah helah yang terpuji, dipelihara orang yang me-ngerjakannya dan mengajarkannya. Kedua, ialah helah ‘untuk melepaskan diri daripada kewajiban untuk menghalalkan barang yang haram, dan memutar balik yang teraniaya, agar dipandang bahwa dialah yang aniaya, dan sebaliknya. Yang benar supaya dianggap salah, yang salah supaya dianggap benar. Inilah yang sepakat seluruh Salaf mencelanya. Buat menentang helah jahat inilah mereka bersorak mencegahnya di atas permukaan bumi ini,"
Selanjutnya di halaman lain Ibnul Qayyim berkata Allah menceritakan di dalam Al-Qur'an tentang orang-orang Yahudi yang melanggar peraturan istirahat hari Sabtu itu yang mereka diubah Allah menjadi beruk karena mereka menghelah-helah untuk menghalalkan hal yang diharamkan Allah dengan memasang pukat dan jaring hari Jum'at petang lalu membangkitkannya pada hari Ahad pagi.
Dan, berkata setengah Imam, bahwasanya cerita ini adalah ancaman besar bagi orang-orang yang suka menghelah-helah dalam hal yang dilarang oleh syara', mengacau-balaukan fiqih, padahal mereka bekas ahli-ahli fiqih. Karena fiqih yang sejati adalah yang takut kepada Allah, dengan memelihara batas-batas yang telah ditentukan Allah dan menghormati larangan-Nya dan tidak mau melampauinya. Mereka menghelah itu tampaknya bukanlah mengubah hukum, tetapi memutar-mutar hukum. Pelanggar hari Sabtu di tepi pantai itu bukanlah memutar-mutar hukum itu karena mendustakan Nabi Musa a.s. atau karena kafir kepada Taurat, melainkan mejmutar-mutar berbelit-belit. Pada lahirnya mencukupi hukum, padahal dalam batinnya melanggar hukum. Itu sebabnya maka mereka diubah Allah menjadi monyet. Karena rupa monyet memang mendekati rupa manusia, sifat-sifatnya ada yang mirip padahal pada hakikatnya ada perbedaan.
Setelah orang-orang itu melanggar agama Allah dan yang mereka pegang bukan lagi hakikat agama, hanyalah pada kulit saja, bukan pada hakikatnya, dibalikkan Allah-lah rupa mereka menjadi monyet. Serupa perangai mereka dengan monyet padahal mereka manusia. Suatu balasan yang sangat setimpal. Sekian Ibnul Qayyim.