Ayat
Terjemahan Per Kata
فَبَدَّلَ
maka mengganti
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
مِنۡهُمۡ
diantara mereka
قَوۡلًا
perkataan
غَيۡرَ
bukan
ٱلَّذِي
yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
فَأَرۡسَلۡنَا
maka Kami kirimkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
رِجۡزٗا
siksaan/azab
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
mereka adalah
يَظۡلِمُونَ
mereka berbuat dzalim
فَبَدَّلَ
maka mengganti
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ظَلَمُواْ
(mereka) dzalim
مِنۡهُمۡ
diantara mereka
قَوۡلًا
perkataan
غَيۡرَ
bukan
ٱلَّذِي
yang
قِيلَ
dikatakan
لَهُمۡ
kepada mereka
فَأَرۡسَلۡنَا
maka Kami kirimkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
رِجۡزٗا
siksaan/azab
مِّنَ
dari
ٱلسَّمَآءِ
langit
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
mereka adalah
يَظۡلِمُونَ
mereka berbuat dzalim
Terjemahan
Maka, orang-orang yang zalim di antara mereka mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak diperintahkan kepada mereka. Lalu, Kami timpakan kepada mereka azab dari langit karena mereka selalu berbuat zalim.
Tafsir
(Maka orang-orang yang lalim di antara mereka itu mengganti perkataan itu dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka) mereka mengatakan, "Habbatun fii sya`ratin sebagai ganti dari hiththatun" dan kemudian mereka memasuki pintu gerbangnya sambil merangkak bukannya membungkukkan badan (maka Kami timpakan kepada mereka azab) yakni siksaan (dari langit disebabkan kelaliman mereka.).
Tafsir Surat Al-A'raf: 160-162
Dan Kami bagi mereka menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Maka memancarlah darinya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman), "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian.
Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi mereka yang menganiaya dirinya sendiri. Dan (ingatlah) ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil), "Diamlah di kota ini saja (Baitul Maqdis) dan makanlah dari (hasil bumi)nya di mana saja kalian kehendaki." Dan katakanlah, "Bebaskanlah kami dari dosa kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik. Maka orang-orang yang zalim di antara mereka itu mengganti (perkataan itu) dengan perkataan yang tidak dikatakan kepada mereka, maka Kami timpakan atas mereka azab dari langit disebabkan kezaliman mereka.
Tafsir ayat-ayat ini telah dikemukakan di dalam tafsir surat Al-Baqarah yang Madaniyyah, sedangkan konteks ayat-ayat ini adalah Makkiyyah. Kami pun telah mengingatkan tentang perbedaan di antara Makkiyyah dan Madaniyah hingga tidak perlu untuk diulangi lagi di sini."
Lalu apa yang mereka katakan dan lakukan' Bukannya bersyukur dengan taat kepada Allah, orang-orang yang zalim di antara mereka mengganti perkataan hia'a'ah yang diperintahkan itu dengan perkataan yang tidak dikatakan, yakni diperintahkan kepada mereka. Mereka diperintah untuk mengucap, a'ia'a'ah (kami mohon dilepaskan dari dosa) namun mereka mengubah sambil mencemooh dan mengucapkan, hina'ah yang maknanya kami memohon gandum. Maka Kami timpakan kepada mereka azab dari langit berupa penyakit kolera atau lainnya yang mematikan, disebabkan kezaliman mereka Nikmat berikutnya adalah nikmat melimpahnya ikan buat mereka di hari ibadah. Dan tanyakanlah wahai Nabi Muhammad, yakni kepada mereka orang-orang Yahudi yang hidup pada masamu tentang kisah penduduk negeri yang terletak di dekat laut, yaitu Kota Ailah yang terletak di pantai Laut Merah, atau tepatnya di Teluk Aqabah, ketika mereka melanggar aturan Allah pada hari Sabat, yang menurut aturan mereka merupakan hari yang dikhususkan untuk ibadah dan terlarang untuk bekerja dan mencari ikan, yaitu ketika datang kepada mereka ikan-ikan yang berada di sekitar mereka yang bagaikan terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka sering kali berlaku fasik, keluar dari ketaatan kepada Alla.
Ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah bahkan merupakan kelengkapan dan penjelasan dari ayat tersebut. Pada ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah Allah memerintahkan agar Bani Israil memasuki Baitul makdis dengan menundukkan diri sebagai tanda ketaatan dan tanda bersyukur kepada Allah, karena mereka telah selamat dari pengejaran musuh, dan selamat pula dalam perjalanan yang amat berat dan sulit itu, dan selanjutnya memohonkan ampunan kepada Allah dari segala dosa yang telah mereka perbuat. Jika mereka lakukan semua perintah itu. Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka dan akan memberikan tambahan karunia dan pahala kepada mereka.
Pada ayat 161 dan 162 Surah al-Araf ini dipahami bahwa Bani Israil telah memasuki Baitulmakdis sebagaimana yang diperintahkan Allah itu. Juga mereka diperintahkan Allah agar berdiam dan menetap di negeri itu. Akan tetapi orang-orang zalim di antara mereka tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, bahkan mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah itu, walaupun perintah itu datangnya dari penolong yang membebaskan mereka dari kesengsaraan dan kesulitan. Mereka dengan mudah memutarbalikkan perintah-perintah itu. Mereka memasuki Baitulmakdis tidak dengan merendahkan diri, dan mereka tidak memohon agar dibebaskan dari dosa. Akibat keingkaran dan pembangkangan mereka itu, mereka ditimpa azab yang berat. Menurut sebagian ahli tafsir, azab yang ditimpakan kepada mereka itu ialah berupa wabah penyakit kolera yang berjangkit dan menular sebagian mereka.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 161
Untuk menjelaskan bagaimana mereka itu menganiaya atau melanggar peraturan yang ditentukan Allah, berkatalah ayat selanjutnya: “Dan, (Ingatlah) tatkala dikatakan kepada meieka, ‘Berdiamlah di negeni ini dan makanlah daripadanya mana-mana yang kamu sukai, dan katakanlah, ‘Kami mohon ampun.' Dan masuklah ke pintu itu dalam keadaan sujud, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, akan Kami tambah bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
Artinya, dan ingatlah olehmu, wahai penduduk Mekah tempat surah ini diturunkan, tatkala Allah berfirman kepada Bani Israil dengan perantaraan Musa, supaya mereka masuk ke dalam negeri itu, suatu negeri yang akan dijadikan tempat kediaman mereka yang baru. Di surah al-Baqarah ayat 58 disebutkan bahwa mereka disuruh masuk, di ayat ini disebutkan mereka disuruh berdiam di negeri itu. Negeri itu ialah Palestina. Dengan menyebut berdiam, dengan sendirinya tentu sudah disuruh masuk. Mereka disuruh berdiam dalam negeri itu dan boleh makan seenak-enaknya buah-buahan atau makanan yang banyak dalam negeri itu. Hendaklah kamu mengucapkan kata-kata doa memohonkan ampun dari Allah atas kesalahan setelah kealpaan selama ini. Baik di waktu masuk ke dalamnya ataupun setelah menjadi penduduknya, hendaklah selalu merendahkan diri kepada Allah, khusyu dan tadharru', jangan menyombong, tundukkan kepala, sujud tanda bersyukur kepada Allah. Kalau syarat ini kamu penuhi, kamu masuk ke dalam dengan khusyu merendahkan diri, dosamu akan diampuni oleh Allah, kesalahan-kesalahan selama ini akan dimaafkan. Dan, orang yang menyambung lagi dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang lain, niscaya akan ditambah pula oleh Allah dengan nikmat-nikmat-Nya yang berganda-ganda. Sebaliknya janganlah sombong masuk ke dalam negeri itu, jangan lupa kepada Allah. Sebab, nikmat kemenangan itu datang dari Allah sendiri.
Hal yang seperti ini pun kemudian telah berlaku pada diri Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau menaklukkan negeri Mekah. Dia masuk ke dalam negeri itu dengan kemenangan yang gilang-gemilang, di atas untanya yang bernama Qashwaa, dia menekur dengan penuh kesyukuran dan terharu, merendahkan diri. Bukan menyombong karena mabuk kemenangan.
Ayat 162
“Maka, menggantilah orang-orang yang Zalim diri mereka dengan kata lain yang bukan dikatakan kepada mereka."
Di dalam ayat ini teranglah bahwa ada yang melanggar, ada yang berlaku aniaya, sebab digantinya kata pesan itu dengan kata lain. Mereka dipesan supaya berlaku khusyu memohon kepada Allah ketika masuk ke negeri itu, tetapi di antara mereka ada yang mengubah, tidak menunjukkan diri memohon ampunan Allah, tetapi menyombong dan congkak. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang memang tidak dapat menahan diri karena dimabuk kemenangan. Menurut suatu riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari, disebutkan bahwa mereka bukan menekurkan kepala, tetapi berjalan menginsut ekor.
Abu Hurairah pun tidak menerangkan bahwa riwayat itu diterimanya dari Nabi, mungkin didengarnya dari Ka'ab al-Ahbar lagi, sebab memang ada juga Abu Hurairah menerima riwayat dari Ka'ab itu. Pendeknya, ayat sendiri telah menjelaskan bahwa perintah Allah telah mereka tukar dengan kemauan sendiri. Mereka, kata orang sekarang, tidak teguh memegang disiplin.
“Lantaran itu Kami turunkanlah kepada mereka suatu bencana dari langit, akibat dari kezaliman mereka itu."
Perintah atau disiplin Allah tidak mereka ikuti, masuk ke dalam negeri itu tidak dengan sopan santun dan lupa mereka memohonkan ampun kepada Allah. Niscaya datanglah bencana menimpa diri mereka karena kezaliman dan pelanggaran itu. Mungkin juga karena masuk dengan kacau, segala makanan yang dihalalkan Allah untuk mereka tadi, makanan yang baik-baik karena diambil dengan tidak teratur karena tamak dan loba, sehingga hasilnya binasa dan rusak atau habis sebelum waktunya. Karena banyak juga terjadi, orang yang mabuk karena kemenangan dengan lahapnya menghabiskan yang ada, tidak memikirkan hari depan. Wahab bin Munabbih mengatakan mereka sampai di negeri itu ditimpa penyakit Tha'un (kolera), mungkin juga sakit perut karena memperturutkan selera. Maka, fasik dan aniaya mereka, mendapat balasan yang setimpal dari Allah sebagaimana dikatakan ayat 160 di atas tadi; orang-orang yang aniaya, bukanlah menganiaya Allah, melainkan menganiaya diri sendiri.
PENDUDUK TEPI PANTAI
Satu di antara keaniayaan mereka pula diterangkan pada ayat selanjutnya,
Ayat 163
“Dan tanyakanlah kepada mereka perihal negeri yang di dekat laut itu, ketika mereka melanggar peratunan pada hari Sabtu."
Artinya, cobalah tanyakan apabila bertemu dengan orang Yahudi itu bagaimana kisahnya penduduk tepi laut yang melanggar peraturan hari Sabtu itu.
Menjadi syari'at pokok bagi orang Yahudi, (Bani Israil) hari Sabtu adalah hari istirahat, tidak boleh mengerjakan sembarang pekerjaan. Namun, mereka melanggar peraturan itu. Tanyakanlah kepada mereka bagaimana lanjutan nasib mereka karena pelanggaran itu. Kisah kaum itu tidak ada dalam satu kitab yang mereka namakan Taurat sekarang ini, tetapi menjadi cerita dari mulut ke mulut orang Yahudi di tanah Arab. Ayat ini turun masih di masa Mekah, sebelum Hijrah ke Madinah. Sebagaimana telah disebut pada dua ayat di atas tadi, Nabi kita ﷺ adalah ummi. Beliau tidak pandai membaca tulisan Taurat dan tidak mengerti bahasa Ibrani dan tidak pula bergaul dengan orang Yahudi sebelum hijrah, sehingga sumber cerita ini hanyalah beliau dapat semata-mata dari wahyu. Di dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi ﷺ menanyakan kepada orang Quraisy, supaya mereka pun memahamkan betapa jadinya kaum pelanggar peraturan hari Sabtu itu.
“Seketika datang kepada mereka ikan-ikan itu berkilat-kilat di hari mereka bersabtu itu, sedang di hari mereka tidak bersabtu (ikan-ikan) itu, tidak datang kepada mereka."
Hari Sabtu mereka wajib beristirahat sedang mereka sebagai penduduk tepi pantai ke-banyakannya nelayan. Oleh karena mereka hari Sabtu istirahat dan ikan-ikan telah merasa tidak terganggu lagi di hari itu, lama-lama muncullah ikan-ikan itu di hari Sabtu, “syurra'an" berkilat-kilat, berboyong-boyong datang, dia kelihatan muncul ke permukaan laut sehingga berkilat karena kena cahaya matahari. Ibnu Abbas menafsirkan demikian.
Nelayan di tepi pantai Sumatera, bila melihat ikan mengkilat itu biasanya tidak menyebut “aku melihat ikan" melainkan berkata “aku melihat kawan". Memang biasanya para nelayan bila melihat ikan berboyong itu tidak dapat menahan hati. Maka, demikianlah penduduk tepi laut Bani Israil itu, sehingga setelah beberapa kali Sabtu melihat ikan-ikan menepi amat banyak, mereka pun tidak tahan hati.
“Demikianlah Kami mencobai mereka dengan sebab mereka adalah kaum yang fasik."
Ikan terkilat tanda dia mendekat adalah ujian bagi orang yang lemah iman. Karena air selera mereka menjelijih melihat ikan sangat banyak, mereka tidak dapat menahan hati dan mereka langgarlah peraturan, mereka lupa kesucian hari Sabtu maka mereka saring atau mereka pukatlah ikan-ikan itu, padahal hari Sabtu. Mereka langgar peraturan agama mereka sendiri karena memperturutkan hawa nafsu.
Ahli-ahli tafsir menceritakan beberapa riwayat berkenaan dengan perangai dan helah penduduk tepi pantai Bani Israil itu. Setengah dari riwayat itu ialah bahwa mereka memasang jaring-jaring, pukat, lukah, dan sebagainya, sebelum hari Sabtu, (kira-kira senja hari Jum'at). Setelah masuk kepada hari Sabtu, berkerumunlah ikan-ikan itu datang dan semuanya masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu lalu mereka biarkan saja. Setelah malam harinya, malam Ahad, artinya hari Sabtu sudah lepas, barulah segala pukat, jaring, dan lukah itu mereka ambil, terdapatlah ikan yang banyak sekali.
Kata setengah tafsir pula, pada hari Sabtu itu juga lukah, jaring, dan pukat itu mereka angkat, tetapi tidak hari itu mereka makan. Karena setan memberikan “petunjuk" kepada mereka bahwa yang dilarang hanya makan ikan. Adapun menangkap ikan tidaklah dilarang. Lalu, perbuatan mereka menghelah-helah dan menipu peraturan Allah itu jika ditegur oleh orang-orang yang berani beramar maVuf, nahi mungkar, mereka jawab saja dengan “pokrol-pokrolan".
Inilah yang dijelaskan dengan ayat selanjutnya:
Ayat 164
“Dan, (ingat pulalah) tatkala berkata suatu umat dari antara mereka, ‘Mengapa kamu beri pengajaran suatu kaum yang Allah telah membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat?'Mereka menjawab, Untuk melepaskan kewajiban kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.'"
Dari ayat ini kita dapat membaca bahwa dari sebab pelanggaran itu penduduk tepi laut itu menjadi pecah tiga. Pertama yang melanggar peraturan Sabtu, kedua yang menegur kesalahan itu, dan yang ketiga bersikap masa bodoh, membiarkan saja orang-orang yang melanggar itu, tidak perlu diberi nasihat, sebab nasihat tidak juga akan mempan kepada mereka, sebab adzab siksa Allah akan mencelakakan mereka.
Golongan yang baik, ingat akan kewajibannya kepada Allah dan masih ada rasa kasihan kepada yang telah tersesat itu. Mereka berkeyakinan, kalau orang-orang yang tersesat itu diberi peringatan yang baik, moga-moga mereka kembali sadar dan bertakwa. Niscaya yang bersikap masa bodoh berbuat kesalahan juga, yaitu asal diri mereka lepas, biar orang lain sengsara. Jman mereka tidak mendalam karena hanya mementingkan diri sendiri.
Ayat 165
“Maka, tatkala mereka telah lupa apa yang diperingatkan kepada mereka."
Karena tidak juga mereka dapat menahan nafsu, melihat ikan-ikan mengilat-ngilatkan diri, berboyong-boyong tiap hari Sabtu sehingga mereka lupa pula kepada apa yang diperingatkan oleh teman sahabat mereka yang memandang bahwa memberi nasihat adalah kewajiban terhadap Allah, orang-orang itu melanggar lagi dan mencari berbagai macam dalih, supaya ikan yang banyak muncul di hari Sabtu itu dapat ditangkap.
“Kami selamatkanlah orang-orang yang telah mencegah dari kejahatan dan Kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan adzab yang pedih dari sebab mereka telah berbuat fasik."
Adzab yang pedih di sini menurut ahli tafsir ialah kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Artinya, penipuan diri sendiri yang mereka lakukan pada hari Sabtu itu tidaklah menambahkan mereka menjadi kaya. Yang terang saja ialah karena siang malam yang mereka pikirkan hanyalah mencari keuntungan, mengumpulkan harta benda, sehingga tidak ada hari istirahat. Dengan tidak mereka insafi, kekayaan yang mereka kumpulkan itu tidaklah memberi faedah kepada mereka, melainkan mereka telah menjadi budaknya. Mereka tidak mempunyai hari lagi yang disediakan buat mengenal Allah. Sebabnya ialah karena fasik. Kita telah tahu arti fasik, yaitu dengan terang-terang melanggar peraturan.
Pelanggaran kehormatan hari istirahat Sabtu adalah salah satu gejala saja dari kefasikan. Di ayat ini diterangkan bahwa yang diselamatkan Allah hanyalah orang-orang yang merasa bahwa menegur yang salah adalah suatu kewajiban. Adapun orang yang bersikap masa bodoh tadi tiada disebut bahwa mereka diselamatkan. Padahal, membiarkan saja orang lain berbuat salah dan merasa senang hati saja melihat mereka diadzab Allah, itu pun suatu kesalahan. Akhirnya adzab yang pedih datang, yang selamat dari adzab hanyalah yang berani menegur yang salah. Sebab, sudah menjadi sunnatullah bahwa kalau sudah ditempuh jalan yang salah akhirnya pasti bertemu kesulitan.
Ayat 166
‘Maka, tatkala mereka telah melanggar apa yang dilarang daripadanya."
Yaitu, khusus terhadap orang-orang yang masih saja menangkap ikan pada hari Sabtu itu.
“Kami katakanlah kepada mereka, Jadilah kamu monyet-monyet yang hina.'"
Sebagaimana telah kita uraikan ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 65 maka sebagian ahli tafsir berkata bahwa benar-benar orang-orang itu dijelmakan Allah menjadi monyet dan tua-tua menjadi babi. Dan, menurut Mujahid, badan mereka tetap berupa manusia, tetapi jiwa mereka, hati, dan pikiran merekalah yang telah dijelmakan menjadi hati monyet, jiwa kera, dan pikiran beruk.
Beruk, kera atau monyet, mempunyai perangai sendiri yang lucu. Apabila dia dipelihara dan dipautkan pada suatu pautan maka tiap-tiap orang yang lalu lintas di hadapannya akan dicibirkannya. Semua orang yang melihatnya disangkanya musuh. Mula saja dia melihat orang, dia sudah menggeregak mengajak hendak berkelahi lalu taringnya diperlihatkannya. Kalau dilemparkan makanan, bukan main cepatnya mengambil walaupun yang memberikan makanan itu dicibirkannya juga, dimakannya setengah dan disimpannya di lehernya yang setengah lagi karena tamaknya sebab takut akan diambil orang lain. Kalau dia telah tua dalam pautan, karena tidak ada pekerjaan lain, bulunya sendiri dicabutinya, sampai tinggal kulit licin. Kalau beruk-beruk itu masih liar, dia berjalan berkelompok-kelompok. Kerjanya mencari makanan walaupun dengan me-rusakkan tanaman yang ditanam orang dengan susah-payah. Seperti jagung, ubi talas, dan lain-lain, dirusakkannya. Setelah hasilnya dilicin-tandaskan maka setelah dia pergi, hanya me-ninggalkan kerusakan belaka.
Di Pariaman (Sumatera Barat) dipelihara orang beruk dan diajar memanjat kelapa. Orang lebih suka memelihara beruk betina, sebab tidak segarang beruk jantan. Akan tetapi, beruk betina ini pun macam-macam pula perangainya. Pencemburu. Kalau ada orang perempuan yang mendekat kepada orang laki-laki yang memelihara, dia pun marah dan mau menggigit, sebab dipandangnya yang memeliharanya itu ialah lakinya! Oleh sebab itu, jika penduduk tepi pantai Bani Israil disumpah dengan badannya penuh bulu jadi beruk, adalah itu satu kehinaan. Akan tetapi, akan lebih hina lagi kalau badan masih tetap badan manusia, dan perangai ditukar menjadi perangai beruk.
Sebab kalau orang melihat seekor beruk sedang mencibir-cibirkan orang yang lalu lintas, tidaklah menghina jika orang berkata kepadanya, “Hai beruk!", tetapi kalau manusia yang berperangai seperti perangai beruk lalu dimaki orang dengan kata, “Hai beruk!" barulah bernama satu penghinaan.
Perangai beruk adalah perangai meng-helah-helah. Beruk sendiri tidaklah sampai sejahat manusia yang meniru perangai beruk. Menghelah-helah hukum, memutar-mutar agar yang haram boleh dihalalkan adalah perangai beruk. Dilarang memakan ikan di hari Sabtu lalu mereka pukat dan tangkap ikan di hari Jum'at sore dan mereka ambil pukat itu pada sore hari Sabtu. “Kami tidak memakan ikan, kami cuma menangkapnya saja!" Seakan-akan Allah itu bodoh. Padahal, merekalah yang bodoh.
Perangai menghelah-helah, menipu seperti ini banyak juga kejadian pada orang yang mengaku dirinya Islam sendiri, ‘Tidak wajib lagi berzakat sekarang, sebab yang dizakatkan hanyalah emas dan perak. Sedang sekarang orang berjual beli dengan uang kertas." “Saya hibahkan seluruh harta benda saya kepada anak saya, sehari sebelum cukup setahun supaya terlepas dari kena zakat. Nanti selepas harta itu, kalau anak saya hendak menghadiahkan harta itu kembali kepada saya, siapa pula yang akan melarang." Memang pantas!!
Menulis Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi di dalam kitabnya Ightsatu!Lahlan:
“Setengah dari pada tipu daya setan untuk memperdayakan orang Islam ialah helah, kecoh, dan tipu, mengandung maksud menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan meruntuhkan apa yang diwajibkan-Nya, dan menentang Allah dalam hal yang disuruh-Nya dan dilarang-Nya. Yaitu dari pendapat-pendapat pikiran yang batil, yang sepakat Salaf atas mencelanya. Ra'yi (pendapat pikiran) itu ada dua macam. Pertama, pendapat pikiran yang sesuai dengan nash-nash agama dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan perbandingannya. Ra'yi yang semacam itulah yang diakui oleh Salaf dan Ra'yi semacam itu pulalah yang mereka amalkan. Dan, macam Ra'yi yang kedua, yaitu Ra'yi yang menyalahi nash, yang dapat disaksikan kesalahannya dan kucar-kacirnya, Ra'yi semacam itulah yang dicela oleh Salaf dan tidak mereka terima. Helah pun dua macam pula. Pertama, helah atau ikhtiar bagaimana supaya perintah Allah dapat dilaksanakan dan apa yang Dia cegah dapat dihentikan, serta membebaskan diri daripada yang haram dan melepaskan dengan selamat hal yang besar daripada kezaliman yang menghambat kelancarannya dan mengeluarkan orang yang kena aniaya (mazlum) daripada kecaman tangan orang-orang yang aniaya dan sewenang-wenang. Ini adalah helah yang terpuji, dipelihara orang yang me-ngerjakannya dan mengajarkannya. Kedua, ialah helah ‘untuk melepaskan diri daripada kewajiban untuk menghalalkan barang yang haram, dan memutar balik yang teraniaya, agar dipandang bahwa dialah yang aniaya, dan sebaliknya. Yang benar supaya dianggap salah, yang salah supaya dianggap benar. Inilah yang sepakat seluruh Salaf mencelanya. Buat menentang helah jahat inilah mereka bersorak mencegahnya di atas permukaan bumi ini,"
Selanjutnya di halaman lain Ibnul Qayyim berkata Allah menceritakan di dalam Al-Qur'an tentang orang-orang Yahudi yang melanggar peraturan istirahat hari Sabtu itu yang mereka diubah Allah menjadi beruk karena mereka menghelah-helah untuk menghalalkan hal yang diharamkan Allah dengan memasang pukat dan jaring hari Jum'at petang lalu membangkitkannya pada hari Ahad pagi.
Dan, berkata setengah Imam, bahwasanya cerita ini adalah ancaman besar bagi orang-orang yang suka menghelah-helah dalam hal yang dilarang oleh syara', mengacau-balaukan fiqih, padahal mereka bekas ahli-ahli fiqih. Karena fiqih yang sejati adalah yang takut kepada Allah, dengan memelihara batas-batas yang telah ditentukan Allah dan menghormati larangan-Nya dan tidak mau melampauinya. Mereka menghelah itu tampaknya bukanlah mengubah hukum, tetapi memutar-mutar hukum. Pelanggar hari Sabtu di tepi pantai itu bukanlah memutar-mutar hukum itu karena mendustakan Nabi Musa a.s. atau karena kafir kepada Taurat, melainkan mejmutar-mutar berbelit-belit. Pada lahirnya mencukupi hukum, padahal dalam batinnya melanggar hukum. Itu sebabnya maka mereka diubah Allah menjadi monyet. Karena rupa monyet memang mendekati rupa manusia, sifat-sifatnya ada yang mirip padahal pada hakikatnya ada perbedaan.
Setelah orang-orang itu melanggar agama Allah dan yang mereka pegang bukan lagi hakikat agama, hanyalah pada kulit saja, bukan pada hakikatnya, dibalikkan Allah-lah rupa mereka menjadi monyet. Serupa perangai mereka dengan monyet padahal mereka manusia. Suatu balasan yang sangat setimpal. Sekian Ibnul Qayyim.