Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱتَّخَذَ
dan mengambil/mengambil
قَوۡمُ
kaum
مُوسَىٰ
Musa
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
مِنۡ
dari
حُلِيِّهِمۡ
perhiasan-perhiasan mereka
عِجۡلٗا
anak lembu
جَسَدٗا
tubuh
لَّهُۥ
baginya
خُوَارٌۚ
suara
أَلَمۡ
apakah tidak
يَرَوۡاْ
mereka mengetahui
أَنَّهُۥ
bahwasanya ia
لَا
tidak
يُكَلِّمُهُمۡ
ia bicara dengan mereka
وَلَا
dan tidak
يَهۡدِيهِمۡ
ia memberi petunjuk mereka
سَبِيلًاۘ
jalan
ٱتَّخَذُوهُ
mereka menjadikannya
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
ظَٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
وَٱتَّخَذَ
dan mengambil/mengambil
قَوۡمُ
kaum
مُوسَىٰ
Musa
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
مِنۡ
dari
حُلِيِّهِمۡ
perhiasan-perhiasan mereka
عِجۡلٗا
anak lembu
جَسَدٗا
tubuh
لَّهُۥ
baginya
خُوَارٌۚ
suara
أَلَمۡ
apakah tidak
يَرَوۡاْ
mereka mengetahui
أَنَّهُۥ
bahwasanya ia
لَا
tidak
يُكَلِّمُهُمۡ
ia bicara dengan mereka
وَلَا
dan tidak
يَهۡدِيهِمۡ
ia memberi petunjuk mereka
سَبِيلًاۘ
jalan
ٱتَّخَذُوهُ
mereka menjadikannya
وَكَانُواْ
dan mereka adalah
ظَٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
Terjemahan
Kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai), membuat (sembahan berupa) patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan emas mereka. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan (kebaikan) kepada mereka? (Bahkan,) mereka menjadikannya (sebagai sembahan). Mereka adalah orang-orang zalim.
Tafsir
(Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa, mereka membuat) setelah pergi meninggalkan mereka untuk bermunajat (dari perhiasan mereka) yang telah mereka pinjam dari kaumnya Firaun dengan alasan untuk perkawinan (berhala) yang kemudian dipuja-puja oleh mereka (anak lembu) Samirilah yang mencetaknya berdasarkan permintaan mereka (yang bertubuh) sebagai ganti dari daging dan darah (dan bersuara) artinya suara yang dapat didengar; dan dapat bergerak sebab Samiri menaruh debu di mulutnya dari bekas teracak kuda malaikat Jibril, sebagai pengaruhnya berhala itu dapat hidup. Maf'ul dari lafal ittakhadza dibuang yang asalnya ialah lafal ilaahan, yakni sebagai tuhan. (Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat pula menunjukkan jalan kepada mereka?) lalu mengapa mereka menganggapnya sebagai tuhan mereka (Mereka menjadikannya) sebagai sesembahan (dan mereka adalah orang-orang yang lalim) disebabkan mengambilnya sebagai sesembahan.
Tafsir Surat Al-A'raf: 148-149
Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke Gunung Tur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata. Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi." Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan perihal kesesatan orang-orang yang sesat dari kalangan kaum Bani Israil karena mereka menyembah patung anak lembu yang dibuat oleh Samiri dari perhiasan bangsa Qibti.
Perhiasan emas itu asal mulanya mereka pinjam dari orang-orang Qibti di negeri Mesir, kemudian Samiri meleburnya dan menjadikannya patung anak lembu. Kemudian Samiri memasukkan debu dari bekas teracak kuda Malaikat Jibril a.s. ke dalam leburan emas itu sehingga jadilah sebuah patung yang berbentuk dan bersuara. Al-khuwar ialah suara lembu. Hal ini terjadi setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji Tuhannya.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan hal tersebut kepada Musa ketika Musa berada di Bukit Tur. Hal ini diungkapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, menceritakan perihal apa yang telah dilakukan oleh diri-Nya: Allah berfirman, "Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri."(Thaha: 85) Para ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan anak lembu ini, apakah ia mempunyai darah dan daging serta dapat bersuara, ataukah ujudnya tetap seperti patung emas, hanya di dalam rongganya terdapat udara sehingga bersuara seperti suara sapi.
Ada dua pendapat mengenainya, hanya Allah yang lebih mengetahui. Menurut suatu pendapat, ketika anak lembu itu bersuara, maka mereka menari-nari di sekelilingnya dan teperdaya oleh buatan Samiri itu, lalu mereka mengatakan bahwa inilah tuhan kalian dan tuhan Musa, tetapi Musa melupakannya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudaratan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan. (Thaha: 89) Dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? (Al-A'raf: 148) Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari kesesatan mereka karena anak lembu itu dan kealpaan mereka kepada Pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu dan yang memilikinya, sebab mereka menyembah dan mempersekutukan-Nya dengan patung anak lembu yang bersuara itu, padahal anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka, tidak pula menunjukkan jalan kebaikan kepada mereka.
Tetapi memang gelapnya kebodohan dan kesesatan telah menutupi pandangan hati mereka, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Abu Daud, dari Abu Darda yang telah menceritakan, bahwa Rasulullah ﷺ pemah bersabda: Cintamu kepada sesuatu dapat membualmu buta dan pekak (tuli). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya. (Al-A'raf: 149) Setelah mereka dijatuhkan oleh tangan mereka sendiri, yakni menyesali perbuatannya sendiri. dan mengetahui bahwa dirinya telah sesat, berkatalah mereka, "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami. (Al-A'raf: 149) Sebagian ulama tafsir ada yang membacanya tarhamna dengan memakai huruf ta, sedangkan lafal rabbuna dibaca rabbana menjadi munada, dan yagfirlana dibaca tagfir lana.
pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 149) Artinya, niscaya kami termasuk orang-orang yang binasa. Hal ini merupakan pengakuan dari mereka tentang dosa yang telah mereka kerjakan dan kesadaran mereka untuk kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala"
Dan kaum Nabi Musa, setelah kepergian beliau ke gunung Sinai untuk bermunajat kepada Allah, mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh atau bersuara dari perhiasan emas. Mereka membuat patung anak sapi dari emas untuk disembah. Patung itu tetaplah patung tidak bernyawa. Suara yang seperti sapi itu hanyalah disebabkan oleh angin yang masuk ke dalam rongga patung itu dengan teknik yang dikenal oleh Samiri waktu itu. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa patung anak sapi itu tidak dapat berbicara dengan mereka sedikit pun, dengan pembicaraan apa pun, apalagi serupa dengan anugerah Allah kepada Nabi Musa, dan tidak dapat pula menunjukkan jalan apa pun kepada mereka, apalagi jalan keselamatan seperti dari gangguan dan siksaan Fir'aun' Mereka menjadikannya sebagai sembahan. Mereka, sejak dahulu hingga kini, adalah orang-orang yang zalim, yang telah merasuk kezalimannya dalam diri mereka. Setelah Nabi Musa datang, marah, membakar patung itu, dan menunjukkan kesesatan mereka, mereka pun sadar dan menyesal. Dan setelah mereka menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka sungguh telah tersesat dari jalan kebenaran, mereka pun memohon rahmat dan ampunan dengan berkata, Sungguh, jika Tuhan Pemelihara kami tidak memberi rahmat kepada kami, tidak menerima tobat kami, dan tidak mengampuni dosa kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang rugi.
.
Bani Israil telah menyembah patung anak sapi selama kepergian Musa ke Bukit Sinai menerima wahyu dari Allah. Patung anak sapi itu dibuat oleh Samiri (20: 85,87). Samiri membuat patung itu atas anjuran para pemuka Bani Israil, padahal ia manusia yang patuh dan taat serta mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
Nama Samiri disebutkan dalam Firman Allah swt:
Dia (Allah) berfirman, "sungguh, Kami telah menguji kaummu setelah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri." (thaha/20: 85)
Patung anak sapi itu dibuat dari emas, yang berasal dari emas perhiasan wanita-wanita Mesir yang dipinjam oleh wanita-wanita Bani Israil yang dibawanya waktu mereka meninggalkan negeri Mesir itu. Emas perhiasan itu dilebur dan dibentuk oleh Samiri menjadi patung anak sapi. Menurut ath-thabari emas-emas itu dipinjam dari gelang emas tanda perbudakan Bani Israil oleh penduduk asli Mesir. (Tafsir selengkapnya lihat surah Taha/20: 85)
Keinginan Bani Israil menyembah patung anak sapi sebagai tuhan selain Allah ini adalah pengaruh dari kebiasaan mereka di Mesir dahulu. Sebetulnya nenek-moyang mereka adalah orang-orang muwahhidin (ahli tauhid) karena mereka adalah keturunan Nabi Yaqub. Akan tetapi setelah bergaul dengan orang Mesir, maka gejala-gejala wasaniyah (menyembah selain Allah) itu menular kepada mereka. Ibadah wasaniyah ini telah mendarah daging dalam diri mereka selalu timbul keinginan mereka hendak melakukan kebiasaan tersebut.
Patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan oleh Bani Israil itu, berupa patung anak sapi yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga jika ditiupkan angin ke dalamnya ia akan dapat bersuara.
Suara dari patung anak sapi itu keluar adalah karena masuknya angin ke dalam rongga mulut dan keluar dari lubang yang lain, sehingga menimbulkan suara. Hal ini dapat dibuat dengan memasukkan alat semacam pipa yang dapat berbunyi dalam rongga patung anak sapi itu. Jika pipa itu dihembus angin, maka berbunyilah patung anak sapi itu seperti bunyi anak sapi sebenarnya. Karena hal seperti itu dipandang aneh oleh Bani Israil, maka dengan mudah timbul kepercayaan pada diri mereka bahwa patung anak sapi itu berhak disembah, sebagaimana halnya menyembah Allah.
Allah mencela perbuatan Bani Israil yang lemah iman itu, yang tidak dapat membedakan antara Tuhan yang berhak disembah dengan sesuatu yang ganjil yang baru pertama kali mereka lihat dan ketahui. Mereka tidak dapat membedakan antara Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para Rasul dan makhluk Tuhan yang hanya dapat bersuara. Jika mereka mau berpikir kemampuan diri mereka sendiri mungkin lebih baik, dan lebih mampu berbicara dari patung anak sapi itu.
Bani Israil berbuat demikian itu bukanlah berdasar sesuatu dalil yang kuat, mereka berbuat demikian hanyalah karena pengaruh adat kebiasaan nenek-moyang mereka yang ada di Mesir dahulu yang menyembah anak sapi. Padahal kepada mereka telah diturunkan bukti-bukti yang nyata, seperti membelah laut, tongkat menjadi ular dan sebagainya. Karena mereka tidak mau memperhatikan bukti-bukti dan dalil-dalil, mereka mengingkari Allah, yang berakibat buruk pada diri mereka sendiri. (lihat surah thaha ayat 85-87).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PIMPINAN JIWA UMAT MENGHADAPI KETENTUAN ILAHI
Setelah Allah menjelaskan di mana tempat tinggal yang terang bagi orang yang fasik, Allah pun meneruskan penjelasan dari tempat itu.
Ayat 146
“Akan Aku palingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabur di bumi dengan tidak benar."
Ayat-ayat ini adalah peringatan kepada umat Musa dan rangkaian peringatan juga bagi kita. Bani Israil telah bebas dari tindasan Fir'aun dan Fir'aun sendiri bersama orang-orang besarnya telah tenggelam di lautan. Perangal-perangai yang menyebabkan kehancuran Fir'aun diperingatkan kembali. Sebab, setelah dibangun pula umat yang baru perangai ini pun bisa tumbuh dan akan membawa celaka pula. Yang utama ialah takabur di bumi tidak dengan jalan yang benar. Takabur artinya membesarkan diri atau bergadang diri karena lupa diri itu siapa. Merasa awak tinggi, besar agung, gagah dan perkasa, padahal tidak lebih dari seorang makhluk yang melata di bumi, terjadi dari tanah, menjelma jadi mani lalu jadi orang ketakaburan menyebabkan orang tidak mau menerima kebenaran dan nasihat. Di sini dicela takabur dengan tidak benar. Tandanya ada juga takabur yang benar. Misalnya, seorang manusia yang teguh imannya lalu diperdayakan oleh setan. Dan, di saat itu ia harus takabur, merasa dirinya lebih tinggi daripada setan yang jahat itu dan tidak mau dipengaruhinya. Orang pun boleh takabur dan menjaga ketinggian diri apabila berhadapan dengan orang yang telah jatuh akhlaknya. Imam Malik yang besar itu tidaklah bernama takabur ketika beliau kasar dipanggil oleh utusan khalifah Al-Manshur diperintahkan datang menghadap, lalu beliau jawab, “Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi!" Karena menghargai martabat ilmunya, beliau bersedia dengan segala hormat menunggu kedatangan Khalifah di gubuk buruknya. Dan, tidak bersedia dipanggil menghadap sehingga Khalifah yang berkenan datang menziarahi beliau. Di tempat yang seperti demikian, benarlah takabur itu. Akan tetapi, lebih banyak takabur itu disertai oleh sikap yang tidak benar. Maka, orang yang takabur itu memanglah tidak benar, meruanglah dia mendustai keadaan yang sebenarnya, sebab membesarkan diri adalah satu ke-dustaan karena tidak ada diri ini yang besar. Yang besar hanya Allah. Oleh sebab itu, kalau orang telah mulai takabur, dia akan dipalingkan oleh Allah dari ayat-ayat-Nya. “Dan jika mereka melihat tiap-tiap ayat, mereka tidak mau beriman kepadanya." Itulah lanjutan yang kedua dari bahaya takabur tadi. Begitu banyak ayat atau tanda dari kebesaran Allah, sebagai topan, belalang, kutu-kutu, kodok-kodok, dan darah yang dialami sendiri oleh Fir'aun, tetapi dia tidak juga mau mengubah sikap karena takabur. “Dan meskipun mereka melihat jalan petunjuk, mereka tidak juga (mau) mengambilnya jadi jalan. Akan tetapi, jika melihat jalan sesat, mereka ambillah dia jadi jalan." Tampak jalan yang baik dan lurus, mereka bersilemah tak patuh, tidak peduli dan tidak mau menempuh jalan itu. Ada-ada saja cacatnya bagi mereka karena ketakaburan tadi.
Namun, kalau tampak jalan jahat, setujulah itu dengan nafsunya, itulah yang mereka tem-puh. Terhadap jalan yang benar, sebagai bahasa sekarang mereka pasif. Terhadap jalan yang salah, mereka aktif. Apa sebab jadi demikian? Sekali lagi diulangkan sebabnya supaya nyata,
“Demikian itu karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka daripadanya adalah lalai."
Mendustakan dengan perbuatan dan tingkah laku. Lalai dan lengah tidak mau peduli.
Maka, bergabunglah di antara mendustakan dengan kelalaian. Timbul pendustaan karena takabur, merasa bahwa jalan hidup yang mereka pilihlah yang benar. Lalai timbul karena ada urusan lain yang tidak penting yang lebih dipentingkan. Dapatlah diambil misal kelalaian itu dengan seorang yang tengah asyik berjual-beli mengumpulkan keuntungan, padahal adzan waktu Maghrib telah terdengar. Mereka cari alasan-alasan yang lemah untuk menjamakkan saja Maghrib itu dengan Isya kelak sebab keuntungan benda sedang masuk, padahal tadi waktu Ashar telah dilalaikannya pula.
Ayat 147
“Dan, orang-orang yang mendustakan ayat,ayat Kami dan pertemuan akhirat, gugatlah segala amalan mereka."
Inilah contoh kekufuran yang kedua. Mereka ada juga berbuat baik, ada juga beramal, tetapi amalan itu tidak mempunyai dasar. Dasar yang kukuh dan suatu amal ialah percaya kepada Allah dan percaya bahwa ganjaran yang sejati dari suatu amalan adalah di akhirat. Bagaimana pun orang beramal, kalau kedua dasar itu tidak ada, misalnya beramal karena ingin pujian manusia (riya) amalnya itu akan percuma. Sebab, apa pun kebaikan yang diperbuat, tidaklah segala manusia akan memuji. Bahkan sebanyak yang memuji, sebanyak itu pula yang benci, dengki dan, mencari cela cacatnya. Amalan yang ada artinya, yang diterima Allah dan memuaskan jiwa adalah yang hanya menyerahkan balasan semata-mata dari Allah di akhirat. Kalau tidak begitu, amalan itu akan gugur, gagal, dan percuma. Arang habis besi binasa. Maka, datanglah penutup ayat, berupa pertanyaan,
“Apakah akan dibatasi mereka kecuali dengan apa yang mereka amalkan?"
Artinya, orang tidak akan mendapat ganjaran dari suatu amal yang dia kerjakan, melainkan menurut hakikat tempat amal mendirikan. Inilah yang disebut di dalam Hadits yang shahih, riwayat Bukhari dan Muslim:
“Sesungguhnya segala amalan itu hanya bergantung pada niat dan sesungguhnya untuk tiap-tiap orang hanyalah sekadar yang dia niatkan." (HR Rukhari dan Muslim)
Kalau beramal karena manusia, manusia tidak dapat memberikan apa-apa. Kalau beramal yang mutunya rendah, balasannya pun bermutu rendah pula. Kalau mutunya tinggi, semata-mata ikhlas karena Allah dan ingat bahwa ada lagi pertemuan akhirat, pahalanya pun akan bermutu pula. Apakah lagi jalan lain yang lebih benar dari itu?
Ayat yang dua ini diselang-selingkan di antara riwayat Musa dengan Bani Israil, tetapi bertali dengan zaman lampau yang ditinggalkan Bani Israil, yaitu zaman Fir'aun. Demikian pula zaman depan yang mereka sedang hadapi, yaitu pembangunan umat Israil yang baru.
Diperingatkan hal ini, supaya Bani Israil ingat bahwa bencana yang menimpa Fir'aun pun bisa saja terjadi pada mereka kalau perintah Allah tidak dipegang teguh. Peringatan pula kepada umat Muhammad ﷺ yang kepada mereka dan untuk mereka diturunkan ayat-ayat Al-Qur'an ini. Maka, setelah peringatan dengan kedua ayat ini, Allah menyambung lagi kisah yang terjadi pada Bani Israil sepeninggal Musa menemui perjanjian dengan Allah tiga puluh hari ditambah sepuluh hari itu.
Ayat 148
“Dan telah mengambil kaum Musa sesudah dia, dari perhiasan mereka, seekor anak sapi bertubuh yang memiliki suara."
Artinya, sesudah dia berangkat ke tempat perjanjian dengan Allah itu, ketika Bani Israil tinggal di bawah pimpinan Harun sebagai pengganti Musa maka mereka telah mengambil perhiasan mereka, yaitu perhiasan-perhiasan emas kepunyaan orang-orang perempuan dan juga kepunyaan orang laki-laki. Mereka
kumpulkan jadi satu dan mereka bakar sehingga semuanya terpadu menjadi emas murni. Setelah padu demikian rupa lalu mereka beri berbentuk, mereka ukir menjadi sebuah patung tubuh seekor anak sapi (‘ijil). Di dalam surah Thaahaa dijelaskan lagi bahwa pemimpin dari gerakan ini bernama Samiri. Pintar benar Samiri itu sehingga dia dapat membuat patung anak sapi itu dapat bersuara. Ahli-ahli tafsir pun berbagai ragam pula keterangan mereka tentang suara yang dapat dikeluarkan oleh patung anak sapi tersebut. Ada yang mengatakan bahwa si Samiri itu pernah melihat Jibril naik ke langit menaiki “kuda". Di tiap-tiap jejak kuda itu di bumi bertemu bekas kesuburan lalu diambilnya salah satu jejak kuda Jibril itu, disuapkannya ke moncong patung anak sapi itu maka dia pun melenguh10 seperti bunyi sapi benar. Ada pula yang membawa tafsir bahwa dia terus hidup. Cerita terus hidup ini pun sudah satu israiliyat lagi yang mengotori tafsir Al-Qur'an. Akan tetapi, masih ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa dia kedengaran berbunyi kalau angin masuk ke dalam mulutnya. Maka, tidaklah kita salah kalau kita tinggalkan tafsir yang mengatakan dia itu sampai hidup sebab lanjutan ayat dengan sendirinya mematahkan dongeng itu.
Penulis Tafsir al-Azhar ini pada suatu waktu pernah melawat ke luar negeri. Anak perempuannya, ‘Aliyah, waktu itu masih kecil, usia tujuh tahun.
Ketika akan naik pesawat udara, sambil mencium keningku, dia berkata, “Ayah, kalau pulang nanti bawakan Iyah anak-anakan (boneka) yang bagus, ya, Ayah!" Lalu aku jawab, “In syaa Allah. Doakan saja Ayah selamat pergi dan pulang." Setelah akan pulang, keinginan anakku itu aku penuhi. Aku belikan dia anak-anakan, yang kalau ditidurkan atau didudukkan dia bisa berbunyi seperti anak kecil menangis karena ada suatu perkakas kecil di pinggang anak-anakan itu yang bisa bersuara. Lucu sekali!
Rupanya Samiri pintar pula membuat alat seperti itu di leher patung anak sapi itu. Tentu rahasianya dia pegang sendiri supaya Bani Israil yang bodoh-bodoh jangan tahu.
“Apakah tidak mereka perhatikan bahwasanya dia tidak bisa bercakap dengan mereka dan tidak (bisa) menunjuki jalan bagi mereka." Sambungan ayat ini menjelaskan bahwa dia bersuara bukan karena ada nyawanya. Dia tidak bisa bercakap dan tidak pula bisa menunjuki jalan kepada mereka sebab dia hanya patung. “Mereka mengambilnya (sebagai berhala)." Menjadi tuhan! Mereka puja dan mereka sembah.
“Dan, mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
Suatu kezaliman besar telah mereka perbuat. Pertama, dahulu tatkala mereka minta dibuatkan tuhan, Nabi Musa telah menyatakan bahwa permintaan itu adalah bodoh. Sekarang setelah Nabi Musa pergi menemui janji dengan Allah, mereka jadikan juga membuat tuhan itu. Keduanya itu adalah perbuatan zalim.
Ayat 149
“Dan, setelah jatuh dari tangan mereka dan mereka lihat bahwasanya mereka telah tersesat, mereka berkata, ‘Sungguh jika tidak Tuhan memberi nahmat kepada kita dan tidak memberi ampun kepada kita, sesungguhnya jadilah kita orang-orang yang rugi.