Ayat
Terjemahan Per Kata
وَجَٰوَزۡنَا
dan Kami seberangkan
بِبَنِيٓ
Bani
إِسۡرَٰٓءِيلَ
Israil
ٱلۡبَحۡرَ
lautan
فَأَتَوۡاْ
maka mereka sampai
عَلَىٰ
atas/kepada
قَوۡمٖ
kaum
يَعۡكُفُونَ
mereka menyembah
عَلَىٰٓ
atas/kepada
أَصۡنَامٖ
berhala-berhala
لَّهُمۡۚ
bagi mereka
قَالُواْ
(Bani Israil) berkata
يَٰمُوسَى
wahai musa
ٱجۡعَل
jadikanlah
لَّنَآ
untuk kami
إِلَٰهٗا
sebuah tuhan
كَمَا
sebagaimana
لَهُمۡ
bagi mereka
ءَالِهَةٞۚ
beberapa tuhan
قَالَ
(Musa) berkata
إِنَّكُمۡ
sesungguhnya kalian
قَوۡمٞ
kaum
تَجۡهَلُونَ
yang bodoh
وَجَٰوَزۡنَا
dan Kami seberangkan
بِبَنِيٓ
Bani
إِسۡرَٰٓءِيلَ
Israil
ٱلۡبَحۡرَ
lautan
فَأَتَوۡاْ
maka mereka sampai
عَلَىٰ
atas/kepada
قَوۡمٖ
kaum
يَعۡكُفُونَ
mereka menyembah
عَلَىٰٓ
atas/kepada
أَصۡنَامٖ
berhala-berhala
لَّهُمۡۚ
bagi mereka
قَالُواْ
(Bani Israil) berkata
يَٰمُوسَى
wahai musa
ٱجۡعَل
jadikanlah
لَّنَآ
untuk kami
إِلَٰهٗا
sebuah tuhan
كَمَا
sebagaimana
لَهُمۡ
bagi mereka
ءَالِهَةٞۚ
beberapa tuhan
قَالَ
(Musa) berkata
إِنَّكُمۡ
sesungguhnya kalian
قَوۡمٞ
kaum
تَجۡهَلُونَ
yang bodoh
Terjemahan
Kami menyeberangkan Bani Israil (melintasi) laut itu (dengan selamat). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang masih tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa, buatlah untuk kami tuhan (berupa berhala) sebagaimana tuhan-tuhan mereka.” (Musa) menjawab, “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh.”
Tafsir
(Dan Kami seberangkan) Kami lewatkan (Bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai) mereka lewat (pada suatu kaum yang tetap menyembah) dengan dibaca damah atau kasrah huruf kaf-nya (berhala mereka) mereka masih tetap menyembah berhala-berhala itu (Bani Israel berkata, "Hai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan) berhala yang akan kami sembah (sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan, berhala." Musa menjawab, "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh.") karena kamu membalas karunia Allah atas kamu dengan apa yang tadi kamu katakan.
Tafsir Surat Al-A'raf: 138-139
Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (dengan selamat). Maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata, mereka (Bani israil) berkata, "Wahai Musa! Buatlah untuk kami satu tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." (Musa) menjawab, "Sungguh, kamu adalah kaum yang bodoh.”
Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat 138
Allah ﷻ menceritakan apa yang diucapkan oleh orang-orang yang bodoh dari kalangan kaum Bani Israil kepada Musa a.s. setelah mereka menyeberangi lautan itu, padahal mereka telah menyaksikan beberapa ayat kebesaran Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya dengan mata kepala mereka sendiri.
“Maka setelah mereka sampai.” (Al-A'raf: 138)
yakni setelah mereka menyeberang, maka mereka bertemu,
“Dengan suatu kaum yang sedang menyembah berhala mereka.” (Al-A'raf: 138)
Sebagian kalangan ulama tafsir ada yang mengatakan bahwa kaum tersebut berasal dari orang-orang Kan'an. Menurut pendapat lain, mereka adalah orang-orang Lakham. Ibnu Jarir mengatakan bahwa kaum tersebut menyembah berhala yang berbentuk sapi. Karena itulah maka hal tersebut memberikan pengaruh bagi kaum Bani Israil dalam penyembahan mereka terhadap anak sapi sesudah peristiwa tersebut.
Kemudian mereka berkata, seperti yang dikisahkan firman-Nya: "‘Wahai Musa! Buatlah untuk kami satu tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)’. (Musa) menjawab, ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang bodoh’.” (Al-A'raf: 138)
Maksudnya, Kalian adalah kaum yang tidak mengetahui keagungan dan kebesaran Allah serta hal-hal yang wajib disucikan dari-Nya, seperti menyekutukan-Nya dan membuat-Nya serupa dengan makhluk lain.
Ayat 139
“Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya.” (Al-A'raf: 139)
yakni mereka akan dibinasakan oleh kepercayaannya sendiri.
“Dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan. ” (Al-A'raf: 139)
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, Uqail, dan Ma'mar yang ketiga-tiganya dari Az-Zuhri, dari Sinan ibnu Abu Sinan, dari Abu Waqid Al-Laisi, bahwa mereka (sahabat) berangkat keluar dari Mekah bersama-sama Rasulullah ﷺ menuju ke Medan Hunain. Disebutkan bahwa Dahulu, orang-orang kafir memiliki pohon sidrah tempat mereka beribadah dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Mereka menamai pohon itu Zatu Anwat.
Kemudian kami melewati sebuah pohon sidrah yang hijau lagi besar. Maka kami katakan "Wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami Zatu Anwat sebagaimana dahulu mereka mempunyai Zatu Anwat" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian ini telah mengatakan perkataan seperti yang diucapkan oleh kaum Musa kepada Musa, yaitu: "Buatlah untuk kami sebuah berhala sebagaimana mereka mempunyai beberapa berhala. Musa menjawab, 'Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang bodoh’," Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sinan ibnu Abu Sinan Ad-Daili, dari Abu Waqid Al-Laisi.yang mengatakan, "Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ menuju ke arah Hunain. Lalu kami melewati sebuah pohon sidrah, maka saya berkata, Wahai Nabi Allah, jadikanlah untuk kami pohon ini sebagai Zatu Anwat seperti yang dipunyai oleh orang-orang kafir.' Di masa silam orang-orang kafir selalu menggantungkan senjata mereka di pohon sidrah,kemudian mereka beribadah di sekitarnya.” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Allah Maha Besar, ini sama dengan apa yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, (yaitu): "Jadikanlah untuk kami sebuah berhala sebagaimana mereka mempunyai beberapa berhala.” Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan seperti yang pernah dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kalian.”
Kedua hadits diketengahkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadits Kasir ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Auf Al-Muzanni, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu'.
Dan setelah Kami menyelamatkan mereka dan menenggelamkan Fir'aun, Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu, yaitu bagian utara dari Laut Merah. Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tekun menyembah berhala, muncul keinginan untuk melakukan kebiasaan lama mereka, kebiasaan menyembah berhala yang dilakukan di Mesir. Mereka lalu meminta Nabi Musa untuk membuatkan patung berhala untuk disembah, seperti yang dilakukan oleh kaum yang mereka lihat itu. Mereka Bani Israil berkata,Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan berhala untuk kami sembah sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan berhala. Nabi Musa berusaha mencegah keinginan mereka dan dengan nada mencela, dia menjawab,Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh, tidak memahami keagungan Allah dan tidak mengetahui bahwa yang patut disembah hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Yang mereka lakukan itu tentu tidak benar, dan sebagai akibatnya, sesungguhnya mereka para penyembah berhala yang kamu lihat tekun itu akan dihancurkan apa yang sedang mereka anut, yaitu akan punah kepercayaan dan ajaran syirik mereka, dan akan sia-sia, tidak bermanfaat sedikit pun, apa yang selalu mereka kerjakan, sebab sembahan itu tidak dapat menyelamatkan mereka dari siksa Allah ketika datang.
Ayat ini menerangkan bahwa dengan inayah (pertolongan) dan kekuasaan Allah, Bani Israil telah diselamatkan sampai ke seberang Laut Qulzum (laut merah) sehingga mereka terlepas dari penindasan Firaun dan kaumnya. Dari ayat ini dipahami, bahwa Musa dan Bani Israil dengan mudah mengarungi laut merah karena pertolongan Allah, bukan karena hal-hal yang lain seperti karena air laut waktu sedang surut dan sebagainya. Peristiwa ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa.
Pada ayat yang lain diterangkan bahwa setelah penindasan Firaun dan kaumnya kepada Bani Israil mencapai puncaknya, maka Allah memerintahkan Musa pergi pada suatu malam meninggalkan Mesir dengan membawa Bani Israil untuk melepaskan diri dari penindasan Firaun. Maka Musa pun melaksanakan semua perintah Tuhan. Setelah mendengar kepergian Musa dan kaumnya, Firaun pun marah, dan dalam waktu yang singkat bala tentaranya dikumpulkan dan langsung mengejar Musa dan Bani Israil malam itu juga. Pada pagi harinya, di kala matahari mulai memancarkan sinarnya, Firaun pun dapat menyusul dari belakang, kedua belah pihak telah saling melihat, sedang Musa dan Bani Israil waktu itu sudah berada di pinggir laut. Mereka dihadapkan pada situasi yang sulit jika terus lari terhalang oleh laut, akan kembali, pedang musuh telah terhunus menanti. Pada saat itulah Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memerintahkan Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut. Musa pun memukulkannya, air laut pun terbelah, dan di antara belahan air itu terdapat jalan membentang sampai ke seberang. Maka Musa dan Bani Israil segera melaluinya, dan dari belakang Firaun dan bala tentaranya terus mengikuti mereka. Akhirnya Musa dan Bani Israil selamat sampai di seberang, sedangkan Firaun dan bala tentaranya yang mencoba meniti jalan yang dilalui Musa dan kaumnya disergap air laut yang tiba-tiba kembali bersatu, jalan yang membentangpun lenyap, sehingga Firaun dan kaumnya mati tenggelam ke dasar laut.
Peristiwa tenggelamnya Firaun dan tentaranya ini, diterangkan pula oleh ayat-ayat yang lain. Allah berfirman:
"Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam)." Kemudian Firaun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak laut yang menenggelamkan mereka." (Taha/20: 77-78)
Kisah tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di laut Qulzum disebutkan pula dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran XIV: 15-31.
Setelah Musa dan Bani Israil selamat sampai ke seberang laut Qulzum, yaitu daerah sekitar tanah Arab yang terletak di ujung benua Asia di bagian Barat Daya, mereka pun meneruskan perjalanannya. Maka sampailah mereka ke suatu negeri yang penduduknya taat menyembah berhala. Melihat keadaan yang demikian, ingatan mereka kembali kepada adat kebiasaan dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yang biasa mereka kerjakan bersama-sama dengan Firaun, seperti menyembah sembahan selain Allah, baik yang berupa binatang, patung, batu, dan sebagainya. Karena itu dengan spontan mereka meminta kepada Nabi Musa, "Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah berhala, sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan ........".
Dari permintaan Bani Israil kepada Musa a.s, ini dipahami bahwa sekalipun Musa a.s, telah menyampaikan risalahnya dengan sebaik mungkin kepada Bani Israil, namun Bani Israil belum memahami dan menghayati betul agama tauhid yang disampaikan Musa. Adat istiadat dan kepercayaan nenek-moyang mereka, seperti menyembah berhala, masih sangat besar pengaruhnya pada diri mereka, sehingga kepercayaan tauhid yang baru ditanamkan Musa dengan mudah dapat digoyahkan.
Telah diketahui bahwa orang-orang Bani Israil di zaman Firaun termasuk golongan yang rendah dan kurang pengetahuannya. Hampir tidak ada cerdik-cendekiawan berasal dari mereka, semua cendekiawan berasal dari penduduk Mesir asli, turunan bangsawan. Kebanyakan Bani Israil pada waktu itu hidup sebagai rakyat biasa, pekerja-pekerja kasar, bahkan banyak hidup sebagai budak yang dipaksa membangun piramida dan kuburan raja-raja.
Karena keadaan mereka yang demikian, timbul sifat apatis di antara mereka, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari perbudakan Firaun, tidak ada keinginan yang kuat untuk merdeka. Tidak ada sikap yang tegas dan cita-cita yang kuat itu pada diri mereka, hal ini terlihat pada reaksi, tindak-tanduk dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa kepada Musa, bahkan menyatakan lebih suka hidup diperbudak dan penindasan Firaun.
Sikap Bani Israil terhadap ajakan Musa a.s, untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka tidak berbeda dengan sikap mereka terhadap ajakan Musa a.s, untuk mengikuti agama yang benar. Sekalipun Nabi Musa telah menerangkan dengan baik dan jelas agama tersebut, sehingga mereka memahami dan mengikutinya, namun begitu mereka melihat patung-patung, orang yang menyembah berhala, orang yang memuja dewa-dewa dan segala macam bentuk kemusyrikan, ingatan mereka kembali kepada kepercayaan mereka terdahulu, karena itu mereka dengan spontan meminta kepada Musa, agar dibuatkan berhala untuk sembahan mereka. Mereka lebih merasa mantap menyembah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, dihiasi dan sebagainya daripada menyembah sesuatu yang gaib, tidak nampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan tangan.
Berbeda dengan pesihir yang beriman kepada Musa, setelah kepandaian ilmu sihirnya dikalahkan oleh mukjizat Musa. Mereka termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik-cendekiawan pada waktu itu. Karena itu mereka bisa membedakan sesuatu yang salah dengan yang benar dengan pengetahuan mereka itu, sehingga dapat mengetahui mana tanda-tanda kekuasaan Allah dan mana yang bukan, mana yang dapat dicapai oleh panca indera dan mana yang tak dapat dicapai, dan sebagainya. Karena itu setelah mereka beriman kepada Allah dan Nabi Musa, mereka pun beriman dengan sepenuh hati, tidak dapat digoyahkan oleh keadaan apa pun dan oleh ancaman apa pun, termasuk ancaman Firaun kepada mereka. Iman mereka telah mempunyai landasan yang kokoh, sehingga merupakan keyakinan yang kuat sebagai hasil dari pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan apa yang ada pada mereka.
Bani Israil seperti yang diterangkan di atas adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan menyembah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah tanpa mengambil perantara dengan sesuatu pun, seperti patung-patung, bangunan-bangunan, kuburan-kuburan, atau benda-benda yang lain yang mereka jadikan sebagai perantara dalam menyembah Allah. Mereka harus percaya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa.
Jenis iman seperti iman Bani Israil yang disebabkan kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek-moyang itu, terdapat juga pada manusia umumnya, dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah, sejak masa Nabi Muhammad sampai kepada zaman mutakhir ini, sebagaimana yang diisyaratkan hadis Nabi saw:
Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan dari Abi Waqid Al-Laitsy, ia berkata: "Kami keluar dari Medinah bersama Rasulullah ﷺ menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon sidrah, aku berkata: "Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon "dhatu anwath" (pohon yang bisa menjadi gantungan) sebagaimana orang kafir mempunyai "dhatu anwath". Rasulullah menjawab: "(Allah Maha Besar). Permintaanmu ini adalah seperti permintaan Bani Israil kepada Musa: (Jadikanlah bagi kami sebuah sembahan, sebagaimana mereka mempunyai sembahan), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu." (Riwayat Ahmad dan an-Nasai)
Kenyataan adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadis di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum Muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum Muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah. Banyak juga di antara kaum Muslimin yang menggunakan perantara washilah dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. Kepercayaan seperti ini bertentangan dengan ayat:
"... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf/50:16)
Dan pengakuan Ibrahim as yang tersebut dalam firman-Nya:
"Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musrik." (al-Anam/6: 79)
Bahkan Allah menegaskan dalam firman-Nya lagi:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran." (al-Baqarah/2: 186)
Orang yang menyembah suatu sembahan di samping Allah adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, seperti firman Allah:
Dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri... (al-Baqarah/2: 130)
Permintaan Bani Israil itu dijawab oleh Nabi Musa: "Sesungguhnya kamu hai Bani Israil tidak mengetahui sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang mustahil bagi-Nya. Dia adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. "
Agama yang dibawa para rasul Allah sejak zaman dahulu sampai sekarang, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul penutup adalah agama yang mengakui keesaan Allah dengan sebenar-benarnya, tidak ada di dalamnya unsur syirik sedikit pun juga. Hal ini adalah karena ibadah atau menyembah itu merupakan suatu perasaan yang timbul dari hati sanubari. Perasaan itu menimbulkan ketundukan hati dan jiwa kepada Yang Maha Agung, menumbuhkan keyakinan bahwa dia sajalah yang berhak disembah; sedangkan yang lain adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama kedudukannya dengan ciptaan-Nya yang lain. Karena itu menyembah sembahan selain Allah akan merusak ketauhidan yang timbul dari perasaan yang ada dalam diri seorang, dan menunjukkan ketergantungan seseorang kepada sembahan, di samping tergantung kepada Allah. Karena itu Nabi Musa menolak dengan tegas permintaan kaumnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MUSA DENGAN BANI ISRAIL (I)
Urusan dengan Fir'aun sudah selesai. Dia dan kaumnya telah hancur dan Bani Israil telah selamat menyeberang. Kita teringat perkataan pemimpin besar revolusi bangsa Indonesia, Bung Karno, bahwasanya kemerdekaan tidaklah semata-mata jembatan emas buat menuju cita-cita yang sebenarnya dari kemerdekaan itu. Yang menggariskan inti cita-cita ialah pemimpin. Yang menggariskan inti cita-cita Bani Israil ialah Nabi Musa dan wahyu Ilahi. Inti cita-tita itu ialah inti cita-cita Muslim seluruh dunia bahwa “Tidak ada Tuhan melainkan Allah." Di atas itu ditegakkan segala cita, segala amal dan pembangunan. Dan, inti cita itu wajib didirikan terlebih dahulu di dalam jiwa masingmasing. Dan, wajib dimengerti perbedaan di antara tauhid dengan syirik.
Ayat 138
“Dan, telah Kami seberangkan Bani Israil di lautan."
Artinya, setelah selamat mereka sampai di seberang, tidak akan ada yang mengejar sebab segenap pengejar sudah hancur dalam laut. “Maka, datanglah mereka kepada suatu kaum yang bertekun menyembah beberapa berhala bagi mereka." Artinya, Bani Israil telah keluar dari Mesir, negeri penyembah berhala dan dari sebab tidak suka menyembah berhala itulah mereka dibawa pindah dan kepala besar dari berhala itu yaitu Fir'aun telah lenyap di laut.
Namun, sekarang, setelah sampai di alam bebas mereka bertemu pula orang yang me-nyembah berhala. Bertemu berhala lagi. Menurut keterangan Qatadah, penyembah berhala itu ialah kabilah-kabilah Arab Lakham yang tinggal di pinggir Laut Merah. Kata Abu lmran al-Juni ialah Kabilah Arab Lakham dan Juzam. Kata Ibnu Juraiji, berhala mereka itu ialah berbentuk lembu betina, terbikin dari tembaga. Melihat kaum itu menyembah berhala, berkata mereka, “Wahai Musa! Buatkan-lah bagi kami satu tuhan sebagaimana bagi mereka itu ada beberapa tuhan."
Belum lagi kering kaki celana menyeberangi laut karena meninggalkan berhala sekarang mereka karena melihat orang lain menyembah berhala, kepingin pula dibuatkan berhala. Bagaimana orang ini?
“Dia berkata, ‘Sungguhlah kamu ini satu kaum yang bodoh.'"
Pada Nabi Musa itu sudah didapat jawaban yang tepat yaitu mereka meminta berhala karena mereka bodoh. Mereka tidak mengerti atau belum mengerti sama sekali hakikat yang diperjuangkan.
Di dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran pasal 12 ayat 37 diterangkan bahwa Bani Israil yang berangkat meninggalkan Mesir itu, yang orang laki-laki saja tidak kurang dari
(98) orang, belum perempuan dan anak-anak. Sudah terang bahwa sebagian besar adalah orang-orang yang biasa melarat, kena tindas turun-temurun 400 tahun lamanya itu, belumlah mengerti sedalam-dalamnya apa hakikat dan dasar perjuangan. Selama di Mesir, sebelum Musa datang, banyak di antara mereka yang turut menyembah berhala orang Mesir, menyembah berhala lembu betina yang disebut oleh orang Mesir ‘Apis'. Pada sangka mereka agaknya, asal kita telah mengakui bahwa Allah itu memang Esa, tidak berserikat, apatah salahnya kalau kita sembah pula berhala untuk menyampaikan hajat dan keinginan kita kepada Allah Yang Maha Esa itu.
Imam al-Baghawi di dalam tafsirnya mengatakan, “Bani Israil meminta kepada Musa supaya dibuatkan tuhan, bukanlah karena mereka ragu akan keesaan Allah. Cuma, mereka meminta sebuah tuhan untuk mereka puja-puja, sebagai perantara buat mendekatkan diri kepada Allah. Dan, mereka sangka bahwa yang demikian tidaklah ada salahnya dalam agama. Itulah dia kebodohan mereka, sebagaimana dijawabkan Nabi Musa di ujung ayat itu." Demikian Imam al-Baghawi.
Orang ini bodoh, wajib diajar terlebih dahulu. Mereka ini bukan ahli-ahli pengetahuan sebagai ahli-ahli sihir yang dihukum bunuh oleh Fir'aun dahulu itu, cepat berpikir setelah sihir mereka gagal lalu cepat menentukan sikap. Sebab itu, mereka Islam dengan penuh kesadaran dan berani menghadapi maut karena kesadaran itu. Akan tetapi, sebagian besar orang banyak ini mesti dituntun dan diberi peringatan.
Ayat 139
“Sesungguhnya … itu akan dibinasakanlah keadaan mereka dan batallah apa yang mereka kerjakan itu."
Dengan demikian, setelah menyatakan bahwa permintaan mereka supaya dibikinkan berhala adalah satu kebodohan maka Nabi Musa memberi ingat terlebih dahulu bahwa orang-orang yang mereka lihat tekun menyembah berhala itupun adalah orang bodoh.
Nabi Musa memberikan keyakinan kepada mereka itu bahwa perbuatan itu pasti akan binasa, akan hancur dan habis kikis, dan tauhid jugalah yang akan menang. Dengan ini Nabi Musa telah meramalkan bahwa penyembahan berhala pasti habis! Sebab apa yang mereka kerjakan itu adalah pekerjaan batil, pekerjaan salah, pekerjaan yang tidak ada dasar.
Kemudian beliau sadarkan kembali ketau-hidan itu di dalam jiwa mereka sendiri, dengan berkata:
Ayat 140
“Apakah yang selain dari Allah akan aku carikan untuk menjadi Tuhan? Padahal Dia telah memuliakan kamu daripada sekalian manusia."
Kamu lihat orang yang belum kenal bertekun menyembah berhala, dalam perjalanan kamu menuju bumi yang dijanjikan Allah untuk kamu. Kamu telah lupa bahwa keadaan kamu jauh lebih mulia daripada mereka. Dari tertindas, kamu dibebaskan Allah. Musuhmu yang mengejar kamu telah dihancurkan Allah, Kamu diberi Allah pemimpin, yaitu Nabi Musa dan Harun. Sedang mereka itu tidak mempunyai pemimpin. Kamu telah menerima turun-temurun ajaran dari nenekmu Ibrahim, Ishaq, Ya'qub, serta Yusuf. Allah itulah yang memuliakan kamu dan mengangkat kamu. Allah yang menciptakan semua langit dan bumi. Allah pulalah yang kamu minta mencarikan lagi tandingannya yang lain? Adakah yang lain dari itu pantas buat dipuja dan disanjung? Mengapa kamu sebodoh itu?
Ayat yang berikutnya lebi menjelaskan lagi betapa kemuliaan yang diberikan kepada mereka itu:
Ayat 141
“Dan, (ingatlah) tatkala Kami telah menyelamatkan kamu daripada keluanga Fir'aun padahal mereka sedang menyakiti kamu dengan sejahat-jahat siksaan. Mereka bunuhi anak-anak laki-laki kamu dan mereka biarkan hidup perempuan-perempuan kamu, sedang pada yang demikian itu adalah suatu bala yang amat besar dari Tuhan kamu."
Jika kamu pikirkan itu kembali, adakah patut kamu mencari lagi Tuhan yang lain? Dari dalam lembah kehinaan kamu dicabutkan naik, diangkatkan tinggi, melebihi dari segala manusia di atas yang hidup di zamanmu. Ingatlah betapa besar bencana yang menimpa kamu di waktu itu, anak dibunuhi, perempuan-perempuan dibiarkan hidup, dan kamu sendiri diperbudak. Waktu bala bencana itu datang, dia adalah percobaan dari Allah sendiri, percobaan yang amat besar. Akan tetapi, qudrat dan iradat-Nya jua yang melepaskan kamu dari bencana itu. Adakah patut kamu mencari Tuhan yang lain? Padahal tidak ada tempat berlindung daripada bencana yang Dia timpakan melainkan kepada-Nya juga kita wajib kembali? Pikirkanlah kembali, kamu meminta kepada Rasul Allah, agar kamu diperbuatkan sebuah tuhan yang akan kamu puja. Dengan demikian, manusialah yang memahat batu lalu batu atau kayu atau logam itu disembah. Adakah pantas bagi pikiran yang sehat suatu barang yang dibikin dan dipahat sendiri lalu dituhankan dan dipuja?
Di sini kita mendapat kesan yang mendalam bagaimana ajaran tauhid kalau tidak hati-hati bisa berubah menjadi syirik.
Isi ayat ini bukan saja buat Bani Israi), tetapi menyeluruh bagi sekalian umat tauhid, khususnya umat yang mengaku beragama Islam. Dalam peredaran zaman beratus tahun, banyak orang Islam sendiri yang terperosok ke dalam syirik dengan tidak disadari. Menyembah berhala telah habis, tetapi timbullah akan gantinya menyembah kubur, menyembah makam wali-wali yang dipandang keramat, tempat berniat dan bernadzar, disembah dan dipuja, dipasangkan lilin, dibakarkan kemenyan, yang alasannya sama dengan tinjauan Imam al-Baghawi terhadap permintaan Bani Israil tadi, mereka percaya juga bahwa Allah memang satu, tetapi mereka membuat sesuatu yang lain untuk dipuja, untuk perantaraan pe-nyampaikan keinginan kepada Yang Maha Esa. Bani Israil meminta berhala, orang yang menamai dirinya Islam itu memperhiasi kubur.