Ayat
Terjemahan Per Kata
فَوَقَعَ
maka nyatalah
ٱلۡحَقُّ
yang benar
وَبَطَلَ
dan lenyaplah
مَا
apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
فَوَقَعَ
maka nyatalah
ٱلۡحَقُّ
yang benar
وَبَطَلَ
dan lenyaplah
مَا
apa
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
Maka, terbuktilah kebenaran dan sia-sialah segala yang mereka kerjakan.
Tafsir
(Karena itu nyatalah yang benar) yakni telah tetap dan menang yang benar itu (dan batallah yang selalu mereka kerjakan) yaitu perbuatan-perbuatan sihir mereka.
Tafsir Surat Al-A'raf: 117-122
Dan Kami wahyukan kepada Musa, "Lemparkanlah tongkatmu!" Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka.
Maka terbuktilah kebenaran, dan sia-sialah segala yang mereka kerjakan.
Maka mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina.
Dan para penyihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud.
Mereka berkata, "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam,
(yaitu) Tuhan Musa dan Harun."
Ayat 117
Allah ﷻ memberikan wahyu kepada hamba dan rasul-Nya yaitu Musa a.s. dalam situasi yang sangat genting itu. Dimana pada saat itu Allah akan membedakan antara perkara yang benar dan yang salah, Dia memerintahkan Musa agar melemparkan tongkat yang ada di tangan kanannya.
“Maka tiba-tiba ia menelan (habis).” (Al-A'raf: 117)
Yakni menelan bulat-bulat.
“Segala kepalsuan mereka.” (Al-A'raf: 117)
Maksudnya, semua yang mereka lemparkan dan mereka sulapkan itu. Untuk menunjukkan bahwa apa yang dilemparkan oleh Musa a.s. adalah hak (benar), sedangkan yang mereka lemparkan adalah batil.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ular Nabi Musa itu tidaklah melewati tali-tali dan tongkat-tongkat mereka itu melainkan ia menelannya bulat-bulat. Sejak itulah para ahli sihir mengetahui bahwa apa yang didatangkan oleh Musa adalah dari langit, bukan sihir.
Ayat 120-122
Lalu mereka menyungkur bersujud seraya berkata, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
“Mereka berkata, Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, (yaitu) Tuhan Musa dan Harun’." (Al-A'raf: 121-122)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, ular Nabi Musa terus mengejar semua tali dan tongkat mereka satu persatu hingga tidak ada sedikit pun terlihat melainkan semuanya ditelan bulat-bulat olehnya. Kemudian Nabi Musa memegangnya, maka ular tersebut kembali ke wujud yang semula menjadi tongkatnya seperti sediakala, sedangkan para ahli sihir menyungkur bersujud seraya berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Mereka berkata, "Kami beriman kepada Tuhan semesta alam (yaitu) Tuhan Musa dan Harun.” (Al-A'raf: 121-122)
Mereka mengatakan pula, "Sekiranya apa yang dilakukan oleh Musa itu adalah sihir, niscaya dia tidak akan dapat mengalahkan kami." Al-Qasim ibnu Abu Burrah mengatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa, lemparkanlah!
“Maka, dia (Musa) melemparkan tongkatnya, lalu seketika itu juga (tongkat itu) menjadi ular besar yang nyata.” (Al-A'raf: 107)
Ular itu membuka mulutnya dan menelan tali-tali serta tongkat-tongkat mereka.
Maka saat itu juga para ahli sihir bersujud, dan mereka tidak berani mengangkat kepala mereka sehingga mereka melihat surga dan neraka serta balasan yang diterima oleh para penghuninya masing-masing.
Dengan mukjizat tongkat tersebut maka terbuktilah kebenaran yang berada di pihak Nabi Musa, dengan disaksikan orang banyak. Dan segala yang mereka kerjakan berupa sihir dan kepalsuan jadi sia-sia dan batal semua. Kebatilan, walau dibalut keindahan, hanya akan mengelabui sesaat, tetapi akan sirna bila berhadapan dengan kebenaran. Dengan kejadian tersebut maka mereka, yakni para penyihir dikalahkan di tempat itu di hadapan orang banyak. Dan karena telah dipermalukan dengan kekalahan itu maka berbaliklah mereka menjadi orang-orang yang hina, setelah sebelumnya tampil dengan penuh kesombongan dan yakin akan meraih kemenangan dan kemuliaan. Mereka merasa sangat terhina dengan kekalahan ini.
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa dengan lenyapnya semua ular ciptaan ahli-ahli sihir Firaun dari pandangan orang-orang yang menyaksikannya, berarti kemenangan bagi mukjizat Nabi Musa atas perbuatan ahli-ahli sihir yang penuh kebathilan dan kepalsuan itu. Sihir mereka menjadi tidak berdaya menghadapi mukjizat utusan Allah.
Dalam kisah Nabi Musa yang terdapat dalam Surah thaha, sehubungan dengan masalah ini Allah berfirman:
Apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya pesihir (belaka). Dan tidak akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang. (thaha/20: 69)
Sedang dalam kisahnya yang terdapat dalam surah Yunus, Allah berfirman sebagai berikut:
Setelah mereka melemparkan, Musa berkata, "Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan kepalsuan sihir itu. Sungguh, Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang yang berbuat kerusakan." (Yunus/10: 81).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AHLI-AHLI SIHIR DIKUMPULKAN
Perintah Fir'aun telah disampailkan ke seluruh negeri, utusan-utusan sudah dikirim buat menjemput ahli-ahli sihir itu dan mereka pun telah berkumpul di ibukota kerajaan menghadap Fir'aun,
Ayat 113
“Dan, datanglah ahli-ahli sihir itu kepada Fir'aun dan mereka berkata, Sesungguhnya tentulah untuk kami ada upah jika adalah kami menang."
Mereka telah menentukan syarat terlebih dahulu pada Fir'aun bahwa kalau mereka menang, mereka akan diberi upah yang sepadan. Membaca ayat-ayat ini tampaklah oleh kita bahwa ahli-ahli sihir itu bukanlah orang yang merasa bahwa negeri itu adalah negerinya. Belum selesai pekerjaan, mereka telah minta upah. Mereka tahu bahwa raja mereka sedang terdesak. Mereka tahu bahwa mereka sangat diperlukan. Kata orang sekarang, mereka mengemukakan kondisi. Atau boleh jadi juga, selama ini mereka tidak dipandang ada harga buat kerajaan, jadi termasuk golongan yang dilupakan. Atau telah kerap kali tertipu oleh orang-orang kerajaan dengan janji-janji yang kosong. Dan, terbayang pula di sini bahwa mereka pun belum tahu apakah hakikat dari “sihir" Musa itu sehingga mereka yakin saja bahwa mereka akan menang. Lantaran itu me
reka telah mengemukakan minta upah dan meyakinkan akan menang itu, Fir'aun pun dengan tidak ragu-ragu menjawab:
Ayat 114
“Dia jawab, ‘Ya! Malahan kamu akan jadi orang-orang yang didekatkan.'"
Artinya, kalau pertandingan sihir mereka itu berhasil dengan kemenangan yang gilang-gemilang, mereka akan diberi upah yang sepadan. Bukan saja upah bahkan mereka akan dijadikan orang “yang dekat ke istana", boleh keluar masuk istana bila saja mereka merasa perlu atau diperlukan. Sebab, dengan datangnya Musa dan Harun membawa sihir baru ini, istana sudah sangat memerlukan adanya suatu “badan" yang khusus mengatur dan mengolah soal-soal yang berkenaan dengan sihir sehingga rakyat bertambah tunduk kepada kerajaan.
Setelah terdapat persetujuan di antara tukang-tukang sihir dengan upah dan janji bahwa mereka akan dijadikan orang-orang terdekat ke istana itu, diadakanlah pertemuan pertandingan sihir itu. Di dalam surah Thaahaa ayat 58-59 dan seterusnya, dijelaskan bahwa pertandingan besar ini diadakan ialah atas persetujuan kedua belah pihak, Fir'aun dan Musa, Diadakan pada hari raya besar, hari orang berhias-hias dan kota pun dihiasi pula dan waktunya pun ditentukan menjelang tengah hari sedang orang sangat ramai karena disuruh berkumpul, berdatangan dari mana-mana. Ketika itulah mulai berhadapan di antara sihir itu dengan Musa.
Ayat 115
“Mereka berkata, ‘Hai, Musa! Engkaukah yang akan melemparkan (lebih dahulu) atau kamikah yang akan terlebih dahulu melemparkan?'"
Tersebut di sini perkataan melemparkan. Sebab, sejak pertemuan di istana dahulu itu, yang di sana Musa melemparkan tongkat dan mereka pun bersedia akan melemparkan sihir mereka pula yang terdiri daripada tongkat-tongkat dan bergulung-gulung tali.
Tantangan mereka, siapa kita yang dahulu apakah engkau atau kami, membuktikan bahwa mereka masih yakin bahwa sihir merekalah yang akan menang.
Ayat 116
“Dia jawab, ‘tempatkanlah!'"
Dengan jawaban begini Musa telah memberikan kesempatan kepada mereka, biar mereka yang terlebih dahulu melemparkan. Lalu, mereka lemparkan.
“Maka, tatkala telah mereka lemparkan, mereka sihirlah mata manusia dan mereka pertakut-takuti mereka dan datanglah mereka dengan sihir yang besar."
Di ayat ini sudah kelihatan kelemahan sihir itu dan bedanya dengan mukjizat. Yaitu bahwa keahlian mereka ialah menyihir mata manusia dan mempertakut-takuti, artinya tidak sebenarnya, hanya dari keahlian saja. Di dalam surah Thaahaa ayat 66 diterangkan bahwa mereka berusaha menimbulkan khayat, seakan-akan tongkat-tongkat dan tali-tali yang mereka lemparkan itu menjalar-jalar di atas bumi. Jadi bukan sebenarnya menjalar melainkan terbayang seakan-akan menjalar. Menurut Imam al-Jashshash dalam tafsirnya, Ahkam Al-Qu'ran, mereka celup atau cat tali-tali itu dengan cat air raksa sehingga berkilat-kilat dan kalau kena cahaya panas, dia kelihatan seakan-akan terangkat ke atas. Pendeknya dapatlah disimpulkan bahwa semuanya yang mereka kemukakan ini adalah permainan sulap belaka yang mengejutkan kalau terpandang dari jauh atau sepintas lalu. Di dalam surah Thaahaa diterangkan bahwa sepintas lalu cemas dan takut Musa melihat khayat itu. Bukan takut untuk dirinya melainkan takut orang banyak, terutama Bani Israil akan tertipu dan terpesona oleh sihir khayat itu. Dalam ayat ini, Al-Qur'an mengakui bahwa mereka telah mendatangkan sihir yang besar. Memang semuanya itu hanya sihir dan persangkaan orang besar-besar di istana terhadap tongkat dan tangan Musa pun
adalah sihir yang nyata juga. Mereka belum tahu perbedaan soal.
Niscaya semua pandangan mata ketika itu tertuju kepada Musa.
Ayat 117
“Dan, Kami wahyukantah kepada Musa, ‘tempatkanlah tongkatmu itu.'"
Setelah wahyu yang beliau tunggu-tunggu itu datang, tongkat pun beliau lemparkan. Tiba-tiba menjelmalah dia menjadi seekor ular besar.
“Tiba-tiba ditelannya apa yang mereka pertunjukkan itu."
Menurut ayat ini, ‘talqafu', artinya ditelannya. Setengah ahli tafsir menafsirkan menurut arti asli dari telan, yaitu bahwa tongkat-tongkat dan tali-tali yang terkhayat sebagai mejalar itu ditelan satu per satu oleh tongkat Musa itu sehingga habis masuk perutnya. Dan, tidak ada yang sempat lari, setelah habis ditelannya semua, dia kembali menjadi tongkat dan dipungut kembali oleh Nabi Musa. Sedang besarnya tidak bertambah dan beratnya begitu juga. Atau boleh juga kita artikan bahwa setelah tongkat Musa menjelma menjadi ular walaupun segala tali dan tongkat-tongkat itu tidak sampai benar-benar ditelannya, tetapi segala komidi, segala khayat tukang sihir, segala cara mempertakut-takuti orang itu, telah habis ditelan bersih oleh tongkat Musa itu. Sebab, orang yang melihat bukan lagi melihat khayat melainkan melihat yang sebenarnya. Bukan melihatnya seakan-akan menjalar, tetapi betul-betul menjalar.
Ayat 118
“Maka, tetaplah yang benar dan batallah segala apa yang mereka perbuat itu."
Yang benar ialah mukjizat atau tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan dengan perantaraan tongkat Nabi Musa dan yang batal ialah khayat yang telah dikalahkan oleh hakikat atau yang terbayang-bayang telah dikalahkan oleh kenyataan.
Di dalam beberapa kitab tafsir pun bertemu “tambahan" cerita yang mengubah maksud inti sari Al-Qur'an dari satu pelajaran kepada suatu dongeng.
Ibnul lshaq menceritakan bahwa ahli sihir yang hadir 15.000 orang banyaknya dan tali-tali yang mereka bawa terkumpul setinggi gunung. As-Suddi mengatakan jumlah mereka lebih dari 30.000 orang. Al-Qassim bin Abu Buzzah menyatakan jumlahnya 70.000. Dan, ada lagi riwayat lain yang lebih dahsyat dari itu. Akan tetapi, di dalam Kitab Perjanjian Lama (Keluaran), hanya dikatakan bahwa ahli-ahli hikmah dan tukang sihir dipanggil oleh Fir'aun, disuruh melemparkan tongkat-tongkat mereka, tetapi tongkat-tongkat mereka itu ditelan oleh tongkat Musa. Sebagai juga di dalam Al-Qur'an, tidak disebut-sebut 15.000 atau 30.000 ataupun 70.000 orang itu.
Ayat 119
“Lantunan itu kalahlah mereka semua di sana dan berbaliklah mereka menjadi kecil."
Kalah mereka, khayat telah dikalahkan oleh hakikat. Sihir telah dipatahkan oleh mukjizat. Kegembiraan yang tadinya berkobar-kobar karena keyakinan akan menang karena mengharap upah “dekat" ke istana, berbalik menjadi perasaan jatuh, kecil harga diri. Dan, dengan sendirinya yang besar dalam pertandingan itu ialah Musa sebab dia yang menang. Kekecilan diri itu niscaya lebih terasa oleh ahli-ahli sihir itu, sebab mereka semuanya adalah saahirun alim, ahli sihir yang berpengetahuan. Terasalah dalam hati mereka, bahwa pengetahuan yang mereka banggakan selama ini tidak ada harganya sepersen pun di hadapan kenyataan mukjizat itu. Tahulah mereka bahwa yang mereka hadapi sekarang ini bukan sihir. Kalau sihir, pasti dapat mereka kalahkan. Besar sekali kemungkinan, karena negeri mereka jauh-jauh tidak ada orang yang
memberitahukan terlebih dahulu bagaimana kejadian yang pertama di istana itu. Oleh ka-rena sekarang mereka telah tahu benar karena mereka memang orang-orang yang berpengetahuan, bahwa yang dihadapi ini bukan sihir, tetapi kebesaran Allah, tunduklah mereka.
Ayat 120
“Dan, tunduklah sihir itu bersujud."
Ayat 121
“Mereka katakan, ‘Kami telah percaya kepada Tuhan Pemelihana sekalian alam,
Ayat 122
“(Yaitu) Tuhan Musa dan Harun."
Melihat tongkat menelan tali dan tongkat-tongkat lain atau menelan segala khayat buatan itu, mereka yang mengetahui hakikat sihir yang sebenarnya, yakinlah sudah bahwa yang mereka hadapi ini bukan sihir. Ini benar-benar kekuasaan Allah. Mereka adalah orang-orang yang jujur kepada ilmu. Memungkiri kenyataan ini adalah memungkiri suara hati mereka sendiri. Sebab, itu, apa yang akan terjadi walaupun upah tidak akan jadi diterima dan tidak pula akan jadi diangkat menjadi orang-orang yang dekat ke istana, di hadapan khalayak ramai, di hadapan Fir'aun dan orang-orang besarnya, dengan serempak mereka sujud. Mereka sujud tidak lagi menghadapi Fir'aun, tetapi menujukan hati ke hadirat Allah, penguasa seluruh alam, penguasa Fir'aun pun. Yaitu, Tuhan Musa dan Harun.
Dengan menyebut kata yang tegas itu, berarti mereka di hadapan khalayak ramai telah membebaskan diri, secara demonstratif dari menuhankan Fir'aun dan pulang kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka tidak lagi memikirkan apa bahaya yang akan menimpa mereka, memberi malu Fir'aun di dalam pertemuan yang amat besar itu.
Ayat 123
“Berkata Fir'aun, ‘Kamu percaya kepadanya sebelum aku beri izin kepada kamu.'"
Padahal kamu semuanya adalah orang yang aku upah dan akan aku beri pangkat pula. Dan, di tempat seramai ini aku kamu beri malu? “Sesungguhnya ini adalah suatu tipu daya yang telah kamu pertipu dayakan dalam negeri ini untuk mengeluarkan penduduknya dari dalamnya."
Artinya, kamu rupanya telah sekongkol terlebih dahulu dengan Musa hendak melakukan suatu tipu daya yang jahat, memberiku malu di hadapan khalayak ramai dengan tujuan hendak merebut kekuasaan kami dan setelah beliau berkuasa kelak, kalian usir kami dari negeri ini.
“Lantunan itu kamu akan tahu sendiri!"
Tersebut di dalam surah Thaahaa ayat 71: Fir'aun malah menuduh Musa itulah guru me-reka. Itulah tuduhan yang ditimpakan Fir'aun kepada ahli-ahli sihirnya sendiri. Hal yang nyata telah diputar-balikkan, mereka telah dituduh berkhianat padahal duduk soal bukan demikian. Namun, karena dia yang berkuasa, tuduhannya itulah yang dianggap benar. “Kamu awas!" Aku pasti mengambil tindakan.
Lalu, Fir'aun dengan segera menentukan hukum bagi mereka. Dan, apabila hukum pasti dari Fir'aun telah jatuh, alat-alat kekuasaannya hanya tinggal menjalankan saja.
Ayat 124
“Sungguh akan aku potong tangan kamu dan kaki kamu cana berselang kemudian itu akan aku salibkan kamu semuanya."
Inilah keputusan Fir'aun, sebagai hukum kepada ahli-ahli sihir itu yang telah menyatakan iman kepada Allah, Tuhan sarwa sekalian alam di hadapan orang banyak. Mula-mula akan dipotong tangan kaki cara berselang, yaitu kalau dipotong tangan kanan, kaki yang dipotong ialah yang kiri.
Sudah begitu ngeri keputusan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bahwa sesudah tangan dari kaki dipotong secara berselang lalu akan disalibkan pula, yaitu di gantungkan di atas kayu palang atau disula, yang berarti hukuman mati. Fir'aun tentu menyangka bahwa mereka akan takut dan dengan demikian juga seluruh rakyat, terutama Bani Israil tentu akan takut buat memecahkan kesetiaan kepada Fir'aun walaupun sedikit. Namun, beliau telah berhadapan dengan iman. Ahli-ahli sihir itu telah bertemu dengan yang mereka cari selama hidup, yaitu Allah, Tuhan yang sebenarnya. Kalau yang demikian telah bertemu, tidak ada lagi suatu kekuatan pun dalam alam ini yang dapat membelenggu hati seseorang. Sebab, iman yang demikian itulah hakikat hidup yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ketika Fir'aun menyatakan hukum itu, tidak seorang pun yang gentar dan takut, malahan:
Ayat 125
“Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami akan pulang kepada Tuhan kami."
Ayat 126
“Dan, tidaklah engkau mendendam kepada kami melainkan karena kami telah percaya kepada ayat-ayat Tuhan kami."
Di ayat 125 itu mereka telah memberikan jawaban yang tegas bahwa mereka sedikit pun tidaklah gentar akan menerima hukuman yang amat kejam dan sadis itu. Sebab, keimanan kepada Allah itu, bukanlah semata-mata menimbulkan keberanian menghadapi hidup. Bahkan juga berani mati. Sebab, dengan mati itulah seorang Mukmin bertemu dengan kekasihnya, Tuhannya. Apalagi kalau mati itu syahid karena keyakinan kepada-Nya. Bagi seorang Mukmin, itulah mati yang paling-mulia. Apa yang akan ditakutkan kepada mati padahal segala makhluk mesti mati. Bahkan mati itupun menjadi kerinduan; kalau disalahkan orang karena hanya percaya kepada Allah.
Lalu, sebelum mereka menjalankan hukuman, mereka lepaskanlah kata-kata yang amat menusuk hati Fir'aun yang selama ini belum pernah dibantah oleh seorang jua pun. Bahwasanya mereka hendak dihukum begitu kejam, tidak lain karena dendam belaka. Dendam sebab mereka tidak percaya lagi kepadanya sebagai Tuhan, Mereka telah kembali kepada Tuhan yang sebenarnya yang tidak ada satu tuhan pun melainkan Dia. Setelah mereka melihat dengan nyata, dengan mata dan dengan ilmu yang ada pada mereka bahwa penjelmaan tongkat Musa menjadi ular itu, benar-benar di atas dari kekuasaan manusia. Sebab itu, hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka, bukanlah keadilan melainkan melepaskan dendam sakit hati. Kemudian mereka hadapkanlah lagi wajah dan hati mereka kepada Allah, Tuhan sarwa sekalian alam, yang mereka telah merasa berbahagia menerima maut karena iman kepada-Nya.
“Ya Tuhan kami! Lapangkanlah kami dalam keadaan sabar dan wafatkanlah kami di dalam Islam."
(ujung ayat 126)