Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
مَكَّنَّـٰكُمۡ
Kami telah menempatkan kamu
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
وَجَعَلۡنَا
dan Kami telah menjadikan
لَكُمۡ
bagi kalian
فِيهَا
didalamnya
مَعَٰيِشَۗ
penghidupan
قَلِيلٗا
sedikit
مَّا
sekali
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
وَلَقَدۡ
dan sesungguhnya
مَكَّنَّـٰكُمۡ
Kami telah menempatkan kamu
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
وَجَعَلۡنَا
dan Kami telah menjadikan
لَكُمۡ
bagi kalian
فِيهَا
didalamnya
مَعَٰيِشَۗ
penghidupan
قَلِيلٗا
sedikit
مَّا
sekali
تَشۡكُرُونَ
kalian bersyukur
Terjemahan
Sungguh, Kami benar-benar telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami sediakan di sana (bumi) penghidupan untukmu. (Akan tetapi,) sedikit sekali kamu bersyukur.
Tafsir
(Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian) hai anak-anak Adam (di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu sumber-sumber penghidupan) dengan memakai huruf ya, yakni sarana-sarana untuk kamu bisa hidup. Ma`ayisy jamak dari kata ma'isyah (amat sedikitlah) untuk mengukuhkan keminiman (kamu bersyukur) terhadap kesemuanya itu.
Tafsir Surat Al-A'raf: 10
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami sediakan di sana (sumber) penghidupan untukmu. (Akan tetapi,) sedikit sekali kamu bersyukur.
Ayat 10
Allah ﷻ berfirman, mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya perihal karunia yang telah Dia berikan kepada mereka, yaitu Dia telah menjadikan bumi sebagai tempat tinggal mereka, dan Dia telah menjadikan di dalamnya pasak-pasak (gunung-gunung), sungai-sungai, dan tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah buat mereka. Dia telah menjadikan bagi mereka penghidupan di bumi, yakni mata pencaharian serta berbagai sarananya sehingga mereka dapat berusaha, berdagang, dan membuat berbagai macam sarana untuk penghidupan mereka. Tetapi kebanyakan mereka amat sedikit yang mensyukurinya. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Seluruh ulama qiraat membaca “ma'ayisya” tanpa memakai hamzah, kecuali Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A'raj, di mana ia membacanya dengan menggunakan huruf hamzah. Tetapi pendapat yang benar ialah yang dianut oleh kebanyakan ulama qiraat, yaitu yang tidak memakai hamzah. Karena lafal “ma'ayisya” adalah bentuk jamak dari lafal “maisyah”, diambil dari kata 'asyayaisyu 'aisyan. Lafal “maisyah” bentuk asalnya adalah “mayisyah”, karena harakat kasrah pada ya dinilai berat, maka kasrah dipindahkan ke lain sehingga jadilah “maisyah”.
Tetapi setelah dijamakkan, maka harakat-nya kembali lagi kepada ya’ mengingat sudah tidak ada lagi hambatan bacaan yang memberatkan.
Maka dikatakanlah “ma'ayisy”, wazan-nya. ialah mafa'il, karena huruf ya merupakan huruf asal pada lafal. Lain halnya dengan lafal madain, mashaif dan basair yang merupakan bentuk jamak dari madiinatun, shahiifatun, dan bashaa-irun, juga bentuk jamak dari mudun, suhuf, dan absur, karena sesungguhnya huruf ya pada lafal-lafal tersebut merupakan huruf zaidah (tambahan). Karena itulah maka ia dijamakkan dengan memakai wazan fa'il seraya di-hamzah-kan (memakai hamzah).
Setelah itu, pada ayat ini Allah menjelaskan tentang anugerah-Nya kepada manusia. Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi menjadi pemilik dan pengelolanya, dan di sana Kami sediakan sumber penghidupan untukmu seperti tempat untuk kamu menetap, sumbersumber makanan dan minuman, dan sarana kehidupan lainnya. Akan tetapi, sedikit sekali kamu bersyukur atas semua kenikmatan itu dengan mengerahkan semua energi yang didapat dari semua nikmat itu untuk beribadah kepada Allah. Bahkan, kamu banyak mengingkarinya dengan menyembah selain Allah, serta berbuat kemaksiatan dan kerusakan di bumi. Dan sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari ketiadaan, yaitu Nabi Adam dari tanah liat yang menjadi asal kejadian manusia di dunia, dengan mengukur dan memperkirakan semua bagian dengan tepat. Kemudian Kami membentuk tubuh-mu dengan sebaik-baik bentuk sesuai dengan kehendak Kami, seperti tinggi-pendek dan bentuk masingmasing anggota tubuh. Kemudian Kami berfirman kepada para malaikat, Bersujudlah kamu kepada Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya karena kemampuannya menyebutkan nama-nama benda yang tidak mampu sebutkan, sehingga ia berhak menjadi khalifah di dunia. Maka mereka, para malaikat, pun sujud sebagai penghormatan, bukan sujud ibadah, kecuali Iblis, satuan dari jin yang terbuat dari api. Ia, Iblis, tidak termasuk mereka yang bersujud.
Pada ayat ini Allah menegaskan sebagian dari sekian banyak karunia yang telah dianugerahkan kepada hamba-Nya yaitu bahwa Dia telah menyediakan bumi ini untuk manusia tinggal dan berdiam di atasnya, bebas berusaha dalam batas-batas yang telah digariskan, diberi perlengkapan kehidupan. Kemudian disempurnakan-Nya dengan bermacam-macam perlengkapan lain agar mereka dapat hidup di bumi dengan senang dan tenang, seperti tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam macamnya, binatang-binatang, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak, burung baik di udara atupun di darat, ikan baik di laut, di danau maupun di tempat-tempat pemeliharan ikan lainnya, air tawar untuk diminum, dipergunakan mencuci pakaian dan keperluan lainnya, minuman dan makanan yang bermacam rasa dan aromanya untuk memenuhi selera masing-masing. Bahkan semua yang ada di bumi ini adalah diperuntukkan bagi manusia, sebagaimana firman Allah:
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al-Baqarah/2: 29)
Untuk memenuhi keperluan hidup seseorang tentu tidak akan bisa terus menetap di satu tempat, tetapi ia berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, untuk itu disediakan bagi mereka alat pengangkutan dan perhubungan yang bermacam-macam yang berkembang dan maju sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dipergunakan mereka seperti mobil dengan segala macam bentuk dan keindahannya, kapal terbang, kapal laut, dan kapal selam, kereta api dan lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya. Tidak seorang pun manusia yang dapat memberi angka pasti tentang banyaknya karunia itu sekalipun dengan komputer. Allah berfirman:
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (Ibrahim/14: 34)
Semua karunia dan nikmat tersebut di atas adalah untuk memenuhi keperluan hidup jasmani baik secara perorangan maupun secara berkelompok yang akan dijadikan batu loncatan untuk memenuhi dan menjaga kesejahteraan hidup rohani guna kesucian diri dan mempersiapkan diri untuk hidup kekal di akhirat nanti serta memperoleh nikmat dan kebahagian abadi yang tak berkesudahan. Atas semua karunia dan nikmat yang tak terhitung banyaknya itu maka wajiblah manusia bersyukur, mensyukuri penciptanya, yaitu Allah swt, dan janganlah sekali-kali dia mengingkarinya, sebagaimana firman Allah:
Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (al-Baqarah/2: 152)
Alangkah sedikitnya manusia yang dapat menyadari dan menginsyafi hal tersebut. Pada umumnya manusia menganggap bahwa yang dicapai dan diperolehnya itu adalah hasil dari kecerdasan otaknya, kesungguhan usahanya, bukan dari Allah dan sedikit dari mereka yang bersyukur:
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Saba'/34: 13)
Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan hanya mengucapkan Alhamdulillah wasysyukru lillah; tetapi harus diiringi dengan amal perbuatan yaitu dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridai dan disukai Allah, bermanfaat bagi sesama manusia serta menaati segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah menerangkan bahwa Allah telah banyak membinasakan negeri atau desa karena tidak peduli akan petunjuk yang dibawakan oleh rasul, dan sampai kepada pertimbangan yang adil kelak di akhirat, datanglah sambungan ayat Allah, yang meninggalkan kesan dalam jiwa orang yang beriman tentang patut atau tidaknya makhluk durhaka kepada Allah.
Ayat 10
“Dan sesungguhnya telah kami tetapkan kamu di bumi dan telah Kami jadikan untuk kamu di dalamnya berbagai penghidupan."
Mendengar bunyi ayat ini, timbullah pertanyaan dalam hati manusia yang berpikir: adakah patut dia mendurhaka kepada Allah, padahal dia sebagai manusia telah diberi ketetapan hidup dalam bumi ini? Orang-orang yang lebih ahli dan telah menyelidiki lebih dalam betapa asal mula manusia diberi ketetapan hidup dalam bumi ini akan kagum mendengar ketentuan ayat ini. Dengan ukuran lebih tertentu dari matahari dan bulan, bisalah manusia mendiami bumi ini tempat hidup.
Menurut penyelidikan ahli-ahli dan penyelidikan mereka, yang baru diketahui sekarang hanyalah bintang yang bernama bumi ini saja yang menyediakan hidup bagi manusia. Manusia tidak dapat hidup dalam matahari atau di bulan atau di bintang lain. Di bumi inilah manusia mendapat ketetapan hidup. Kemudian, dijadikan pula di dalam bumi itu berbagai ragam mata penghidupan. Di dalam surah al-Baqarah (ayat 29) dijelaskan bahwa Dia telah menjadikan untukmu apa yang ada di atas bumi ini semuanya. Namun, sebagaimana yang telah diriyatakan pada ayat ketiga tersebut,
“Sedikitlah kamu yang berterima kasih."
Tidaklah terhitung betapa banyak nikmat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga dia bisa menetap hidup dalam bumi ini. Matahari tetap bersinar, tidak terlalu dekat sehingga manusia mati kepanasan dan tidak terlalu jauh sehingga manusia mati kediriginan dan tetap pembagian siang dan malam sehingga hidup manusia tidak kacau. Air tetap ada untuk makanan dari hasil bumi selalu keluar sehingga tidak mati kelaparan.
Namun sayang, karena terlalu banyak mendapat nikmat yang teratur itu, terlalu sedikit manusia yang insaf dan berterima kasih kepada Allah dan terlalu banyak yang lupa sehingga menempuh jalan yang salah. Sebab yang terutama ialah karena mereka tidak mau mengenal siapa dirinya, dari mana asal datangnya, mengapa dia sampai diberi ketetapan hidup di bumi. Kalau dia sadar akan hal itu, niscaya manusia akan berterima kasih kepada Allah.
Ayat 11
“Dan sesungguhnya telah Kami jadikan kamu dan telah Kami beri kamu rupa"
Ingatlah itu supaya kamu insaf dan berterima kasih kepada Allah. Bahwa Allah telah menjadikan kamu sebagai insan, asalnya ialah dari tanah liat atau dari setetes mani (maa-in laazibiri). Baik kejadian nenek moyangmu sebagai manusia pertama atau kejadian dirimu sendiri sekarang ini, semuanya adalah dari tanah. Kemudian, tanah itulah yang melalui berbagai proses sehingga jadi mani, jadi segumpalan air (nuthfah), kemudian jadi segumpal darah (alaqah), kemudian menjadi segumpalan daging (mudhghah), terus dijadikan tulang, terus diselimuti dengan daging, terus diberi bentuk rupa atau wajah yang elok ini. Demikianlah manusia sekalian. Dan dari tanah pula nenek moyang kita dahulu, yaitu Adam a.s. diciptakan sampai menjadi tubuh, diberi rupa dan diberi nyawa.
“Kemudian itu telah Kami katakan kepada malaikat, ‘Sujudlah kepada Adam!' Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Tidaklah ada dia dari mereka yang sujud."
Ayat 12
“Dia berfirman, ‘Apakah yang menghambat engkau sampai tidak sujud ketika Aku perintahkan engkau?"
Bunyi pertanyaan Allah ini amat dalam bust diperhatikan. Apa yang menghambat engkau sampai tidak mau sujud. Adakah perintah atau larangan lain yang lebih tinggi dari perintah atau larangan Allah sehingga perintah Allah sendiri tidak engkau jalankan?
“Dia menjawab, ‘Aku lebih baik dari dia. Engkau telah menjadikan daku dari api dan Engkau telah menjadikannya dari tanah.'"
Dalam jawaban ini sudah nyata bahwa iblis masih tetap memandang bahwa tidak ada Tuhan yang selain Allah yang menyuruh menentang perintah Allah, melainkan dirinya sendirilah yang merasa keberatan, bukan atas desakan yang lain. Sebab, dia merasa dia lebih mulia. Allah menjadikannya dari api, sedangkan manusia dia jadikan dari tanah. Menurut anggapan iblis, api lebih mulia daripada tanah. Oleh sebab itu, dia lebih mulia dari manusia. Yang lebih mulia tidak patut bersujud kepada yang kurang mulia.
Di sini, tampak bukan lagi perintah Allah yang penting bagi iblis, melainkan kedudukan diri sendiri. Kalau kita perdalam lagi, Allah menyuruh sujud itu bukanlah karena soal mana yang lebih mulia dan mana yang kurang mulia. Soalnya ialah perintah dari Allah sendiri. Api dan tanah adalah sama-sama makhluk Allah. Makhluk hendaklah taat kepada perintah Khaliqnya, Malaikat semuanya mengerti soal itu, hanya iblis yang tidak. Bukan dia tidak mengerti, tetapi dia membesarkan diri. Dengan sebab tidak sujud, dia telah melanggar apa yang diperintahkan oleh Allah.
Tentang hal ini menulislah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Dan perkataan iblis yang dikutuk Allah itu bahwa aku lebih baik daripadanya, adalah suatu pengelakan diri yang lebih besar daripada dosa. Seakan-akan dia tidak mau tunduk taat kepada perintah Allah karena merasa dirinya lebih mulia dan yang lebih mulia tidaklah layak bersujud kepada yang kurang mulia. ‘Saya lebih mulia daripadanya, bagaimana Engkau suruh sujud aku kepadanya?' Kemudian, dikatakannya bahwa dia lebih mulia, sebab dia dijadikan dari api dan api lebih mulia daripada tanah. Si iblis terkutuk itu lebih melihat pada unsur asal kejadian, tidak memandang pada kemuliaan Mahabesar yang lebih dari semua dan ruh-Nya sendiri pula yang ditiupkan kepada tubuh itu sehingga dia bernyawa. Oleh sebab itu, iblis telah membuat suatu perbandirigan yang salah." Kata Ibnu Katsir selanjutnya, “Dia menyangka api lebih mulia daripada tanah, padahal tanah adalah tenang, pemaaf, sabar, dan teguh. Tanah adalah tempat bertumbuh dan berkembang dan bertambah dan perbaikan, sedangkan api tabiatnya hanya membakar, merusak dan selalu terburu-buru. Oleh karena itu, iblis telah mengkhianati unsur kejadiannya dan Adam telah mengambil manfaat pula dari unsur kejadiannya, dengan kembali, tenang, dan patuh dan menyerah kepada Allah, sudi mengakui dosa lalu meminta ampun." Sekian Ibnu Katsir.
Tersebut pula di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim di dalam Shahih-nya, daripada Aisyah Ummul Mu'minin:
“Berkata Aisyah, ‘Berkata Rasulullah, malaikat itu dijadikan daripada nur (cahaya) dan dijadikan iblis daripada nyala api dan dijadikan
Adam daripada apa yang telah diriyatakan sifatnya kepada kamu.'" (HR Muslim dari Aisyah)
Di dalam surah al-Kahf ayat 50 dijelaskanlah ketika mengisahkan pula perihal kedurhakaan iblis yang tidak mau sujud kepada Adam ketika diperintahkan Allah itu bahwa iblis itu adalah dari jin dan di dalam surah ar-Rahmaan ayat 15 telah dijelaskan pula bahwa Jin itu terjadi dari nyala api.
Niscaya pendurhakaan yang demikian besar telah menyebabkan murka Allah kepada iblis. Sebab kemurkaan pada tempat yang patut murka adalah salah satu tanda kebesaran Allah. Dan kalau Allah tidak murka pada tempat yang patut dimurkai, niscaya kuranglah kebesaran Allah. Mustahil kurang kebesaran Allah itu.
Ayat 13
“Berfirman Dia, Turunlah engkau daripadanya karena tidaklah patut engkau menyombong padanya."
Di dalam bahasa Arab dalam ayat ialah ihbith, artinya kita pilih “turunlah engkau". Kalimat habatha berarti “turun" dan berarti juga “jatuhlah engkau daripadanya" atau “meluncurlah engkau daripadanya". Tandanya adalah bahwa tempat itu adalah tempat yang mulia. Tempatyangmuliatidakusahdipikirkan terletak di langit. Orang yang tinggal di tempat datar, bisa juga jatuh karena dijatuhkan pangkatnya. Sejak si iblis merasa sombong dan lebih mulia, turunlah martabatnya, tidaklah dia berhak lagi menempati tempat yang mulia itu, dia diperintahkan merosot turun. Sebab, apabila orang telah mulai menyombong mulailah dia jatuh. Apalagi kesombongan itu telah dibuktikan dengan keengganan menjalankan perintah. Lanjutan ayat memperjelas lagi bagaimana jatuh hina iblis yang sombong itu.
“Maka keluarlah engkau! Sesungguhnya engkau adalah daripada golongan orang yang kecil."
Di sini tampak bahwasanya orang yang mulia merasa dirinya besar karena sombong, merosot turun menjadi kecil, tak ada harganya lagi. Hamba Allah sejati ialah yang merasa kecil dirinya di hadapan Allah dan taat akan perintah-Nya, itulah orang yang tinggi. Namun, bila telah merasa diri besar lalu menyombong, turunlah dia menjadi kecil dan diusir, tidak layak lagi duduk di tempat yang mulia.
Rupanya pengusiran bukan memberi kesadaran kepada iblis, melainkan menambah kesombongan dengan dendam. Oleh sebab itu,
Ayat 14
“Dia berkata, ‘Beri kesempatanlah aku, sampai kepada hari mereka akan dibangkitkan.'"
Di dalam ayat ini diriyatakan bahwa iblis memohon kepada Allah agar kepadanya diberi kesempatan menghadapi Adam dengan segala keturunannya itu, sejak dia disuruh keluar itu sampai kepada masa kebangkitan kelak, yaitu sampai berbangkit di hari Kiamat. Permohonannya itu dikabulkan oleh Allah.
Ayat 15
“Dia berfirman, ‘Sesungguhnya engkau daripada orang-orang yang diberi kesempatan.'"
Artinya bahwa permintaan engkau itu dikabulkan. Diberi kepada engkau kesempatan yang seluas-luasnya, sebagai engkau minta itu, sampai hari tertentu. Di dalam surah al-Hijr ayat 38, kita diberi penjelasan lagi bahwa permohonan iblis yang meminta diberi kesempatan hidup sampai manusia dibangkitkan itu, telah dikabulkan oleh Allah bahwa iblis diberi kesempatan sampai suatu waktu yang telah ditentukan. Artinya tidak terkabul permohonannya yang terlalu rakus itu, sampai manusia dibangkitkan. Sebab dengan permintaan itu dia mencoba meminta hendak mengelakkan maut. Menurut tafsir Ibnu Abbas waktu yang ditentukan itu ialah tiupan Sangkakald yang pertama, yang pada saat itulah semua yang bernyawa mati serentak, termasuk iblis. Tiupan Sangkakala yang kedua kali ialah tiupan menyuruh semua yang telah mati bangkit kembali. Tentang tiupan Sangkakala dua kali itu dapat dibaca di surah az-Zumar.
Ayat 16
“Dia berkata, ‘Demi sebab Engkau telah menyesatkan daku maka sungguh akan aku halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus itu.'"
Allah telah menghukum dia termasuk golongan yang sesat, martabatnya telah dijatuhkan dari kedudukan yang mulia pada kehinaan, sesudah dianggap orang besar, sekarang sudah jatuh jadi kecil karena sombongnya. Dalam ayat ini diterangkan, dia tidak menyesal atas hukuman yang demikian, malahan sebagai pepatah bangsa kita dia telah bersikap: “Kepalang mandi, lebih baik basah kuyup". Jangan tanggung-tanggung. Oleh sebab itu, dia nyatakanlah maksudnya, yaitu kesempatan luas panjang yang diberikan kepadanya itu akan dipergunakannya menghalangi manusia itu dari jalan Allah yang lurus.
Ayat 17
“Kemudian itu."
Artinya setelah keinginan itu diberikan kepadanya, menghalangi manusia di dalam menempuh jalan Allah yang lurus, Ash-Shi-rathal Mustaqim, iblis menyatakan rencananya kepada Allah: “Aku akan mendatangi mereka dari hadapan mereka dan dari belakang mereka dan dari kanan mereka dan dari kiri mereka." Artinya, dari segala pelosok aku akan datang menghalangi jalan mereka itu dari muka belakang dari kanan dan dari kiri sehingga tidaklah mereka akan aku biarkan berjalan di atas jalan itu dengan mudah.
“Dan tidaklah akan Engkau dapati kebanyakan mereka itu berterima kasih."
Inilah yang dibayangkan Allah pada ayat 10 sebelumnya. Yaitu bahwasanya manusia telah diberi ketetapan buat hidup di atas bumi dan telah diberi berbagai ragam mata penghidupan, tetapi amat sedikitlah mereka yang berterima kasih kepada Allah atas rahmat yang dilimpahkan Allah kepada manusia. Dengan ujung ayat 17 ini Allah memberi peringatan kepada kita bahwa sebab yang terbesar makanya manusia tidak berterima kasih ialah karena mereka telah kena oleh rencana per-dayaan setan dan iblis! Telah kena subversi dengan berbagai gangguan dari setan dan iblis.
Ayat 18
“Dia berfirman, ‘Keluarlah engkau daripadanya dalam keadaan terhina dan …"
Kemurkaan Allah ini telah ditegaskan karena si iblis benar-benar telah menyatakan maksud jahatnya. Dan dia tidak dihalangi buat melangsungkan maksudnya itu. Namun, Allah memberikan ketegasan,
“Sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti engkau dari mereka, sesungguhnya akan Aku penuhkan Jahan-nam dengan kamu sekalian."
Dapat kita simpulkan bunyi ayat bahwa dengan murka Allah, iblis diusir dengan hina dari tempat yang mulia itu. Dia boleh menjalankan rencananya yang jahat itu. Namun, awaslah karena barangsiapa yang memasuki tipu daya iblis itu akan dimasukkan ke dalam jahannam bersama-sama si iblis. Dengan ini, si iblis diancam dan orang-orang yang mengikutinya itu pun diancam. Keduanya kelak akan menjadi isi neraka.
Kisah dari Adam dan Iblis ini diulang-ulangi Allah di dalam beberapa surah. Sejak surah al-Baqarah, al~A'raaf, al-Hijr, al-lsraa', al-Kahf, dan Thaahaa, semuanya yang satu melengkapkan yang lain. Di dalam surah al-Hijr ayat 42 dan di dalam surah al-lsraa1 ayat
65, disebutkan sambutan Allah kepada iblis ketika dia meminta kesempatan hendak mem-perdayakan manusia itu bahwa Allah dengan tegas menjawab, bahwa hamba-hamba-Ku atau orang-orang yang menghambakan dirinya kepada-Ku tidaklah dapat engkau kuasai. Dan dahulu di dalam surah al-Baqarah ayat 38 pun ditegaskan pada pesanan Allah ketika Adam dan Hawa disuruh keluar dari dalam surga itu bahwa barangsiapa yang mengikuti akan petunjuk-Ku tidaklah dia ketakutan atas mereka dan tidak pula akan ada duka cita! Artinya usah gentar gangguan iblis!