Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
ٱرۡجِعِ
kembalilah
ٱلۡبَصَرَ
pandangan
كَرَّتَيۡنِ
dua kali ulang
يَنقَلِبۡ
berbalik/kembali
إِلَيۡكَ
kepadamu
ٱلۡبَصَرُ
pandangan
خَاسِئٗا
membingungkan
وَهُوَ
dan ia
حَسِيرٞ
lemah
ثُمَّ
kemudian
ٱرۡجِعِ
kembalilah
ٱلۡبَصَرَ
pandangan
كَرَّتَيۡنِ
dua kali ulang
يَنقَلِبۡ
berbalik/kembali
إِلَيۡكَ
kepadamu
ٱلۡبَصَرُ
pandangan
خَاسِئٗا
membingungkan
وَهُوَ
dan ia
حَسِيرٞ
lemah
Terjemahan
Kemudian, lihatlah sekali lagi (dan) sekali lagi (untuk mencari cela dalam ciptaan Allah), niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih (karena tidak menemukannya).
Tafsir
(Kemudian pandanglah sekali lagi) ulangilah kembali penglihatanmu berkali-kali (niscaya akan berbalik) akan kembali (penglihatanmu itu kepadamu dalam keadaan hina) karena tidak menemukan sesuatu cacat (dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah) yakni tidak melihat sama sekali adanya cacat.
Tafsir Surat Al-Mulk: 1-5
Mahasuci Allah Yang menguasai segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. Allah subhanahu wa ta’ala mengagungkan diri-Nya Yang Mahamulia dan memberitahukan bahwa di tangan kekuasaan-Nyalah semua kerajaan. Yakni Dialah Yang Mengatur semua makhluk menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada akibat bagi apa yang telah diputuskan-Nya, dan tiada yang menanya tentang apa yang diperbuat-Nya karena keperkasaan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan keadilan-Nya.
Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Mulk: 1) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat berikutnya: Yang menjadikan mati dan hidup. (Al-Mulk: 2) Sebagian ulama menyimpulkan dari makna ayat ini bahwa maut itu adalah hal yang konkret, karena ia adalah makhluk (yang diciptakan). Makna ayat ialah bahwa Allah-lah yang menciptakan makhluk dari tiada menjadi ada untuk menguji mereka, siapakah di antara mereka yang paling baik amal perbuatannya, seperti apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu. (Al-Baqarah: 28) Keadaan yang pertama dinamakan mati, yaitu al-'adam (ketiadaan), dan pertumbuhan ini dinamakan hidup.
Karena itulah dalam firman berikutnya di sebutkan: kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali. (Al-Baqarah: 28) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Safwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Khulaid, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang menjadikan mati dan hidup. (Al-Mulk: 2) Bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menghinakan anak Adam dengan mati, dan menjadikan dunia negeri kehidupan, lalu negeri kematian. Dan Dia menjadikan akhirat sebagai negeri pembalasan, lalu negeri kekekalan.
Ma'mar telah meriwayatkan hadits ini dari Qatadah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk: 2) Yakni yang terbaik amalnya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ajlan, bahwa dalam hal ini Allah tidak mengungkapkannya dengan kalimat lebih banyak amalnya. Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya: Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. (Al-Mulk: 2) Yaitu Mahaperkasa lagi Mahabesar dan Mahakokoh Zat-Nya, selain itu Dia Maha Pengampun bagi orang yang bertobat dan kembali ke jalan-Nya sesudah berbuat durhaka terhadap-Nya dan menentang perintah-Nya.
Sekalipun Dia Mahaperkasa, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang, Maha Pemaaf, dan Maha Penyantun. Selanjutnya disebutkan: Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. (Al-Mulk: 3) Maksudnya, bertingkat-tingkat. Tetapi apakah satu sama lainnya berhubungan langsung, yakni satu sama lainnya berlapis-lapis, tanpa pemisah atau ada pemisah di antara masing-masing lapisnya? Ada dua pendapat mengenainya, yang paling shahih adalah pendapat yang kedua, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits Isra dan hadits lainnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. (Al-Mulk: 3) Yakni bahkan rapi sempurna, tiada perbedaan, tiada kontradiksi, tiada kekurangan, tiada kelemahan, dan tiada cela. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Al-Mulk: 3) Artinya, pandanglah langit dan lihatlah baik-baik, apakah engkau melihat padanya suatu cela atau kekurangan atau kelemahan atau keretakan? Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, Ats-Tsauri, dan lain-lainnya telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Al-Mulk: 3) Misalnya, retak-retak pada langit.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Al-Mulk: 3) Yakni lubang-lubang. Ibnu Abbas dalam suatu riwayat menyebutkan bahwa makna futur ialah celah-celah yang menganga. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Al-Mulk: 3) Wahai Bani Adam, apakah kamu melihat adanya cela? Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian pandanglah sekali lagi. (Al-Mulk: 4) Menurut Qatadah, yang dimaksud dengan karratain ialah dua kali, yakni sekali lagi dengan baik-baik.
niscaya pengelihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat. (Al-Mulk: 4) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dalam keadaan terhina. Menurut Mujahid dan Qatadah, artinya dalam keadaan merasa kecil. dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah. (Al-Mulk: 4) Ibnu Abbas mengatakan bahwa maknanya ialah kelelahan. Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi mengatakan bahwa al-hasir artinya terputus karena kepayahan. Makna ayat ialah bahwa sekiranya engkau ulangi pandanganmu berapa kali pun banyaknya, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dalam keadaan: payah. (Al-Mulk: 4) karena tidak menemukan suatu cela atau suatu cacat pun padanya.
dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah. (Al-Mulk: 4) Yakni lemah dan terputus karena kelelahan, sebab terlalu banyak bolak-balik, tetapi tidak melihat adanya suatu kekurangan atau cela pun. Setelah menafikan kekurangan dalam penciptaan langit, lalu dijelaskan kesempurnaannya dan perhiasan yang menambah indahnya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. (Al-Mulk: 5) Yaitu bintang-bintang yang menghiasi langit, baik yang beredar maupun yang tetap. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan. (Al-Mulk: 5) Damir yang terdapat di dalam lafal waja'alnaha kembali kepada jenis dari al-masabih, bukan kepada bentuknya.
Karena sesungguhnya bintang-bintang yang ada di langit tidaklah digunakan untuk melempari setan-setan, melainkan yang dipakai ialah nyala api yang lebih kecil daripada bintang-bintang itu sendiri, atau barangkali nyala api itu bersumber darinya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk: 5) Artinya, Kami jadikan kehinaan itu untuk setan-setan di dunia, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala di negeri akhirat.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barang siapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang. (Ash-Shaffat: 6-10) Qatadah mengatakan bahwa sesungguhnya bintang-bintang ini diciptakan untuk tiga hal, yaitu Allah menciptakannya untuk perhiasan bagi langit, dan sebagai pelempar setan, serta sebagai tanda-tanda untuk dijadikan petunjuk arah.
Maka barang siapa yang mempunyai takwilan lain selain dari yang telah disebutkan, berarti dia mengemukakan pendapatnya sendiri, memasuki bagian yang bukan bagiannya, keliru dalam berpendapat, serta memaksakan dirinya terhadap apa yang tiada pengetahuan baginya tentang hal itu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
3-4. Kuasa Allah menciptakan hidup dan mati dikaitkan dengan kuasa-Nya menciptakan alam raya. Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis sangat serasi dan harmonis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang aib atau tidak sempurna, pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih Tuhan yang rahmat-Nya mencakup seluruh wujud, baik pada ciptaan-Nya yang kecil maupun yang besar. Maka lihatlah sekali lagi dan berulang-ulang disertai dengan berpikir yang keras, maka adakah kamu lihat atau menemukan padanya sesuatu yang cacat atau retak' Kemudian setelah sekian lama kamu serius memperhatikannya, maka ulangi pandanganmu sekali lagi dan sekali lagi yaitu berkali-kali, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dalam keadaan kecewa karena tanpa menemukan cacat yang kamu usahakan untuk menemukannya, dan ia, pandanganmu, dalam keadaan letih dan ada batasnya. 5. Bukti kuasa Allah itu bukan hanya pada kesempurnaan penciptaan langit dan bumi. Dan Kami bersumpah bahwa sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, yaitu yang dekat dengan bumi sehingga dapat dilihat dengan pandangan mata secara langsung. Kami menghiasinya dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya bintang-bintang itu sebagai alat-alat pelempar setan dari golongan jin, dan Kami sediakan bagi mereka di akhirat nanti, azab neraka yang menyala-nyala.
Pertanyaan Allah kepada manusia pada ayat di atas dijawab sendiri oleh Allah pada ayat ini dengan mengatakan bahwa sekali pun manusia berulang-ulang memperhatikan, mempelajari, dan merenungkan seluruh ciptaan Allah, pasti ia tidak akan menemukan kekurangan dan cacat, walau sedikit pun. Jika mereka terus-menerus melakukan yang demikian itu, bahkan seluruh hidup dan kehidupannya digunakan untuk itu, akhirnya ia hanya akan merasa dan tidak akan menemukan kekurangan, sampai ia mati dan kembali kepada Tuhannya.
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa tidak ada seorang pun di antara manusia yang sanggup mencari kekurangan pada ciptaan Allah. Jika ada di antara manusia yang sanggup, hal ini berarti bahwa dia mengetahui seluruh ilmu Allah. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang mengetahuinya dan tidak akan ada seorang pun yang dapat memiliki seluruh ilmu Allah. Seandainya ada di antara manusia yang dianggap paling luas ilmunya, maka ilmu yang diketahuinya itu hanyalah merupakan sebahagian kecil dari ilmu Allah. Akan tetapi, banyak di antara manusia yang tidak mau menyadari kelemahan dan kekurangannya, sehingga mereka tetap ingkar kepada-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-MULK
(KERAJAAN)
SURAH KE-67
30 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
(AYAT 1-30)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
SELURUH KERAJAAN ADA DALAM TANGAN-NYA
Ayat 1
“Mahasuci Dia yang di dalam tangan-Nya sekalian kerajaan."
Segala kerajaan dan kekuasaan yang ada di muka bumi ini, bagaimanapun manusia mengejarnya, atau bagaimanapun manusia mempertahankannya bila telah dapat, tidaklah dianya sebenar-benar kerajaan dan tidaklah dianya sebenar-benar kekuasaan. Bagaimanapun seorang raja (presiden) memerintah dengan segenap kekuatan, kegagahan dan kadang-kadang kesewenang-wenangan, namun kekuasaan yang seperti demikian hanyalah pinjaman belaka dari Allah dan tidak ada yang akan kekal dipegangnya terus.
Phanta Rei Semua berubah! Itulah peraturan yang berlaku dalam alam ini. Bila tiba waktunya, keadaan pun berkisar, yang di atas ke bawah, yang di bawah ke atas, yang telah tua gugur, yang muda datang menggantikan, buat kelak gugur pula. Tak ada yang tetap.
Naiknya seorang menjadi penguasa pun hanyalah karena adanya pengakuan! Setelah orang banyak mengakui, dengan angkatan tertentu, barulah dia berkuasa. Sedang Allah sebagai Mahakuasa dan Maha Menentukan, tidaklah Dia berkuasa karena diangkat. Meskipun misalnya berkumpul segala isi bumi untuk mendurhakai kekuasaan Allah, yang akan jatuh bukan Allah, melainkan yang memung-kiri kekuasaan Allah itu.
Itulah pula sebabnya maka mustahil Allah itu beranak. Sebab Allah itu hidup selama-lamanya dan Mahakuasa untuk selama-lamanya. Allah tidak memerlukan wakil atau calon pengganti-Nya jadi Tuhan yang akan naik takhta kalau Dia mati! Amat Suci Allah dari yang demikian. Maka pemeluk-pemeluk agama yang mengatakan bahwa Allah itu beranak, membuka pintu bagi kelemahan Allah sehingga dia perlu dibantu oleh anaknya, atau Allah merasa diri-Nya akan mati, sebab itu Dia mengangkat anak yang akan menggantikannya kelak, dan selama Allah itu masih Mahakuasa, si anak menganggur saja tidak ada yang akan dikerjakan.
“Dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan."
Oleh karena ketentuan Allah itu mengenai tiap-tiap sesuatu (kulli syai'in) dapatlah kita lihat itu pada teraturnya peredaran bumi di keliling matahari, yang pada pandangan sepintas lalu mataharilah yang mengelilingi bumi. Dapat dilihat pada pergantian musim, pergiliran letak bintang-bintang. Dapat kita lihat pada berbagai ragam buah-buahan dengan segala macam rasanya. Kadang-kadang kita merasakan perbedaan enak dan manis rasa mangga yang berbeda dengan manisnya rasa manggis, manisnya rasa rambutan yang berbeda dengan manisnya rasa buah apel, manisnya buah anggur yang berbeda dengan manisnya buah delima. Kadang perbedaan manis berbagai jenis mangga sesama mangga, atau pisang sesama pisang. Beribu tahun usia dunia tidaklah pernah berkacau atau bertukar ganti rasa masing-masingnya itu. Semuanya itu jelas menunjukkan bahwa masing-masingnya itu menuruti apa yang telah ditentukan oleh Allah.
Itulah makna dari sifat Allah yang disebut Qadir, yang biasa kadang-kadang diartikan Mahakuasa atau kita artikan yang menakdirkan segala sesuatu. Tetapi karena kurang kita renungkan, kerapkalilah kita salah memahamkan takdir, sehingga kadang-kadang kita lupa bahwa sifat Allah atau salah satu dari nama Allah yang disebut Qadir kita artikan saja bahwa Allah dapat berbuat sekehendaknya, dengan tidak mempunyai ketentuan, seakan-akan tidak mempunyai undang-undang yang disebut Sunnatullah. Padahal semuanya ada ketentuannya, yang satu bertali dan berhubungan dengan yang lain. Misalnya apabila air sungai mengalir dengan derasnya, itu adalah ketentuan adanya tekanan air (mineral). Lalu ada manusia menyeberang sungai itu; ketentuannya ialah bahwa dia pasti hanyut kalau tidak mempunyai persediaan kekuatan buat mengatasi derasnya aliran air itu, dan dia pasti sampai dengan selamat ke seberang asal dia tidak kehilangan akal, lalu diturutinya aliran air sambil melangkah atau berenang.
Ayat 2
“Dia yang menciptakan maut dan hayat."
Teranglah bahwa Allah-lah yang menciptakan mati dan hidup. Tetapi tentu timbullah pertanyaan. Mengapa di dalam ayat ini maut yang disebut terlebih dahulu, kemudian baru disebut hayat? Mengapa mati yang disebut terlebih dahulu, sesudah itu baru hidup? Padahal manusia hidup terlebih dahulu sebelum mati?
Kalau kita renungkan susunan ayat sejak dari ayat yang pertama terus kepada ayat kelima berturut-turut, nyatalah bahwa tujuannya ialah memberi peringatan kepada manusia bahwa hidup ini tidaklah berhenti sehingga di dunia ini saja. Ini adalah peringatan kepada manusia agar mereka insaf akan mati di samping dia terpesona oleh hidup. Banyak manusia yang lupa akan mati itu, bahkan takut menghadapi maut karena hatinya yang terikat kepada dunia.
Asal kita lahir ke dunia, sudahlah berarti bahwa kita telah pasti mati, sebab kita telah menempuh hidup, dan di antara waktu hidup dan mati itulah kita anak Adam menentukan nilai diri, sepanjang yang telah dijelaskan oleh lanjutan ayat “Karena Dia akan menguji kamu, manakah di antara kamu yang terlebih baik amalannya." Maka di antara hidup dan mati itulah kita mempertinggi mutu amalan diri, berbuat amalan yang terlebih baik atau yang bermutu. Tegasnya di sini dijelaskan bahwa yang dikehendaki Allah dari kita ialah ahsanu amalan, amalan yang terlebih baik, biarpun sedikit, bukan amalan yang banyak tetapi tidak bermutu. Maka janganlah beramal hanya karena mengharapkan banyak bilangan atau kuantitas, tetapi beramallah yang bermutu tinggi walaupun sedikit, atau berkualitas.
“Dan Dia adalah Mahaperkasa, lagi Maha Pengampun."
Dengan menonjolkan terlebih dahulu sifat Allah yang bernama al-‘Aziz. Yang Mahaperkasa dijelaskan bahwa Allah tidak boleh dipermain-mainkan. Di hadapan Allah tidak boleh beramal yang separuh hati, tidak boleh beramal yang ragu-ragu. Melainkan kerjakan dengan bersungguh-sungguh, hati-hati dan penuh disiplin. Karena kalau tidak demikian, Allah akan murka. Tetapi Allah pun mem-punyai sifat al-Ghafur, Maha Pengampun atas hamba-Nya yang tidak dengan sengaja hendak melanggar hukum Allah dan selalu berniat hendak berbuat amalan yang lebih baik, tetapi tidak mempunyai tenaga yang cukup buat mencapai yang lebih baik itu.
Ayat 3
“Dia yang telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat."
Banyaklah kita perdapat di dalam Al-Qur'an tentang langit yang tujuh tingkat atau tujuh lapis. Telah macam-macam pula tafsir yang dikemukakan orang. Ada yang mencoba menafsirkan dengan pengetahuan yang baru setengah berkembang. Ada yang menafsirkan bahwa langit yang tujuh lapis itu ialah bintang-bintang satelit matahari yang terkenal. Sejak dari bumi sendiri, Jupiter, Apollo, Neptunus, Mars, Mercury, dan Uranus. Tetapi itu hanya semata-mata tafsir, menurut dangkal atau dalamnya ilmu pengetahuan si penafsir tentang keadaan alam cakrawala. Dan ada juga yang memasukkan berbagai dongeng, sehingga dihiasilah tafsir Al-Qur'an dengan dongeng yang tidak berketentuan dari mana sumbernya. Semuanya itu belumlah tepat mengenai alamat yang dituju. Oleh sebab itu sesuailah kita dengan penjelasan yang diberikan oleh Sayyid Quthub di dalam Zhilal-nya bahwa “langit tujuh tingkat" itu jangan ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan alam (science, sains) yang bisa berubah-ubah. Karena penyelidikan manusia tidaklah akan lengkap dalam menghadapi alam cakrawala yang begitu mahaluas. Cukupkan sajalah dengan iman terhadap artinya, “Langit adalah tujuh tingkat." Kita percayai itu dan bagaimana tujuh tingkatnya itu, Allah-lah Yang Lebih Mengetahui.
Sampainya manusia ke bulan dengan pesawat yang bernama Apollo, belumlah menjamin bahwa manusia sudah akan sanggup menguasai langit dan mengetahui seluruh rahasia langit. “Tidaklah akan kamu lihat pada penciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu pun dari yang bertikaian," Artinya bahwa semuanya dijadikan dengan teratur, tersusun rapi.
“Maka ulanglah kembali penglihatan, adakah engkau lihat sesuatu yang janggal?"
Tidaklah ada yang janggal. Tidaklah ada yang ukurannya tidak kena. Bentuk timbunan tanah yang bertumpuk jadi gunung lama saja dengan bentuk munggu kecil yang di bawah gunung itu.
Ayat 4
“Kemudian itu ulanglah kembali penglihatan kedua kalinya."
Pangkal ayat ini menyuruh kita mengulangi penglihatan, memerhatikan sekali lagi, dua tiga kali lagi. Karena apabila ditambah mengulangi melihatnya akan terdapat lagi keajaiban yang baru dan “Niscaya akan kembalilah penglihatan dalam keadaan payah." Payah karena kagum dengan kebesaran Ilahi. Apabila dilihat keadaan alam yang sekeliling kita ini akan terdapatlah sifat-sifat Allah yang mulia terlukis dengan jelas padanya. Kesempurnaan (kamaal), keindahan (jamal) dan kemuliaan (jalaal). Di sana bertemu kasih, di sana bertemu sayang, di sana bertemu perlindungan, di sana bertemu peraturan dan ketentuan yang sangat membuat kita menjadi kagum. Maka berasa bahagialah diri karena diberi akal buat memikirkan semuanya itu, diberi perasaan halus buat merasakannya.
“Dan dia akan mengeluh."
Mengapa mengeluh? Mengeluh lantaran karena di waktu itu mendesaklah dari dalam jiwa kita sebagai manusia berbagai perasaan.
Ayat-ayat ini dapat mendorong kita buat mencintai seni, berperasaan halus. Boleh juga membawa kita ke dalam ilmu pengetahuan yang mendalam, boleh juga membawa ke dalam filsafat atau hikmah tertinggi. Tetapi hasil yang sejati ialah menumbuhkan keyakinan bahwa kita datang ke dalam alam ini bukanlah dengan tiba-tiba, dan bukan dengan kebetulan, dan bahwa alam ini sendiri pun mustahillah begini teratur, kalau tidak ada yang mengaturnya.