Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
جَٰهِدِ
perangilah
ٱلۡكُفَّارَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ
dan orang-orang munafik
وَٱغۡلُظۡ
dan bersikap keraslah
عَلَيۡهِمۡۚ
atas/terhadap mereka
وَمَأۡوَىٰهُمۡ
dan tempat tinggal mereka
جَهَنَّمُۖ
neraka Jahannam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
جَٰهِدِ
perangilah
ٱلۡكُفَّارَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ
dan orang-orang munafik
وَٱغۡلُظۡ
dan bersikap keraslah
عَلَيۡهِمۡۚ
atas/terhadap mereka
وَمَأۡوَىٰهُمۡ
dan tempat tinggal mereka
جَهَنَّمُۖ
neraka Jahannam
وَبِئۡسَ
dan seburuk-buruk
ٱلۡمَصِيرُ
tempat kembali
Terjemahan
Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah (neraka) Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Tafsir
(Hai Nabi! Perangilah orang-orang kafir) dengan memakai senjata (dan orang-orang munafik) dengan memakai lisan dan hujah (dan bersikap keraslah terhadap mereka) dengan berbicara keras dan membenci mereka. (Tempat mereka adalah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali itu) adalah neraka Jahanam.
Tafsir Surat At-Tahrim: 9-10
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)." Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Terhadap orang-orang kafir dengan memakai senjata dan perang, dan terhadap orang-orang munafik dengan menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka. dan bersikap keraslah terhadap mereka. (At-Tahrim: 9) Yaitu di dunia ini. Tempat mereka adalah neraka Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (At-Tahrim: 9) Maksudnya, di negeri akhirat. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir. (At-Tahrim: 10) Yakni dalam pergaulan mereka dengan kaum muslim begitu pula sebaliknya bahwa hal tersebut tidak membawa manfaat apa pun bagi mereka dan tidak dapat membela mereka di hadapan Allah, jika iman tidak meresap ke dalam hati mereka.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan perumpamaan itu melalui firman berikutnya: seperti istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. (At-Tahrim: 10) Yaitu dua orang nabi lagi rasul yang selalu menemani keduanya dan menjadi teman hidup keduanya di siang dan malam hari. Keduanya teman semakan, teman seketiduran, dan teman sepergaulan, sebagaimana layaknya pergaulan antara suami dan istri. lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. (At-Tahrim: 10) Maksudnya, dalam hal keimanan; keduanya tidak seiman dengan suaminya masing-masing, dan tidak membenarkan pula kerasulan keduanya.
Maka semuanya itu tidak dapat memberi manfaat apa pun bagi keduanya dan tidak dapat pula menyelamatkan keduanya dari hal-hal yang harus dihindari. Karena itu, maka disebutkan dalam firman berikutnya: maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah. (At-Tahrim: 10) karena keduanya kafir. dan dikatakan. (At-Tahrim: 10) kepada kedua wanita itu. Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). (At-Tahrim: 10) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. (At-Tahrim: 10) Makna yang dimaksud bukanlah keduanya berbuat serong, melainkan berkhianat dalam masalah agama dan iman; karena sesungguhnya semua istri nabi di-ma'sum dari perbuatan yang keji (zina), mengingat kehormatan para nabi yang menjadi suami mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat An-Nur.
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Musa ibnu Abu Aisyah, dari Sulaiman ibnu Qarm, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. (At-Tahrim: 10) Bahwa keduanya tidak berbuat serong (zina). Adapun pengkhianatan yang dilakukan oleh istri Nuh ialah karena dia memberitahukan (kepada kaumnya) bahwa Nuh gila. Sedangkan pengkhianatan yang dilakukan oleh istri Luth ialah karena dia memberi tahu kaumnya akan tamu-tamu lelaki suaminya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh kedua istri tersebut karena keduanya tidak seagama dengan suaminya masing-masing. Istrinya Nuh selalu mengintip rahasia Nuh; apabila ada seseorang dari kaumnya yang beriman, maka istrinya memberitahukan hal itu kepada orang-orang yang bertindak sewenang-wenang dari kalangan kaumnya. Dan istrinya Luth, apabila Luth kedatangan seorang tamu lelaki, maka ia memberitahukan kepada penduduk kota yang senang dengan perbuatan keji (sodomi).
Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa tiada seorang wanita pun dari istri seorang nabi yang berbuat serong (zina), melainkan pengkhianatan yang dilakukannya hanyalah dalam masalah agama. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya. Ayat yang mulia ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk men-dha’if-kan hadits yang ditemukan di kalangan banyak ulama yang mengatakan: Barang siapa yang makan bersama orang yang telah diberi ampunan, maka diberikan ampunan baginya.
Hadits ini tidak ada pokok sumbernya, dan sesungguhnya hal ini hanyalah diriwayatkan dari sebagian orang-orang saleh yang menyebutkan bahwa ia pernah melihat Nabi ﷺ dalam mimpinya, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau telah mengatakan bahwa barang siapa yang makan bersama-sama dengan orang yang diberi ampunan, maka diberikan ampunan baginya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, tetapi sekarang aku mengatakannya.""
Melalui ayat ini, Allah mengingatkan Nabi untuk berperang ketika kaum muslim diperangi hanya karena keyakinan mereka tidak ada tuhan selain Allah. Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik ketika mereka memerangi kamu setelah kamu hijrah ke Madinah; dan bersikap keraslah terhadap mereka, jika mereka tidak menunjukkan niat baik untuk hidup berdampingan secara damai dengan orang yang berbeda agama, padahal tempat mereka di akhirat adalah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali bagi orang-orang kafir dan munafik. 10. Allah menerangkan bahwa istri seorang Nabi tidak dijamin masuk surga, jika tidak beriman kepada Allah. Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir bahwa menjadi istri nabi itu tidak otomatis dijamin masuk surga apabila tidak beriman kepada Allah seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Lut. Keduanya sebagai istri berada di bawah pengawasan suami masing-masing, dua orang hamba yang saleh, yaitu Nabi Nuh dan Lut, di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, istri Nabi Nuh menuduh suaminya gila dan istri Nabi Lut memberitahukan kehadiran para tamu ganteng kepada orang banyak yang homoseks, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun untuk menyelamatkannya dari siksaan Allah karena kekufuran mereka; dan dikatakan kepada kedua istri nabi itu di akhirat, 'Masuklah kamu berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka karena kekufuran mereka kepada Allah. '.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad mengangkat senjata dan memerangi orang-orang kafir dengan sungguh-sungguh dan memberi ancaman serta bertindak tegas dan keras kepada orang-orang munafik. Nabi juga diperintahkan untuk menjelaskan bahwa mereka akan mengalami kekecewaan di akhirat nanti karena kemunafikan mereka. Oleh karena itu, Nabi ﷺ pernah mengusir secara tegas sebagian orang munafik dan menyuruhnya keluar dari masjid. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (al-Furqan/25: 66)
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisa'/4: 97).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PELIHARALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA
Sesudah Allah memberikan beberapa bimbingan tentang rumah tangga Rasulullah ﷺ, maka Allah pun menghadapkan seruan-Nya kepada orang-orang yang beriman, bagaimana pula sikap mereka dalam menegakkan rumah tangga.
Ayat 6
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri-diri kamu dan keluarga-keluarga kamu dari api neraka."
Di pangkal ayatinijelasbahwasemata-mata mengaku beriman saja belumlah cukup, iman mestilah dipelihara dan dipupuk. Terutama sekali dengan dasar iman hendaklah orang menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tangga dari api neraka. “Yang alat penyalanya ialah manusia dan batu." Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan tersebar di mana-mana. Pada bukit-bukit dan munggu-munggu yang bertebaran di padang pasir terdapatlah beronggok-onggok batu. Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu api penyalakan api neraka. Manusia yang durhaka kepada Allah, yang hidup di dunia ini tiada bernilai karena telah dipenuhi oleh dosa, sudah samalah keadaannya dengan batu-batu yang berserak-serak di tengah pasir, di munggu-munggu dan di bukit-bukit atau di sungai-sungai yang mengalir itu. Gunanya hanyalah untuk menyalakan api, “Yang di atasnya ialah malaikat-malaikatyang kasar lagi keras sikap." Disebut di atasnya karena Allah memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka itu, agar apinya selalu bernyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu ataupun manusia. Sikap malaikat-malaikat pengawal dan penjaga neraka mesti kasar, tidak ada lemah lembutnya, keras sikapnya, tidak ada tenggang-menenggang. Karena itulah sikap yang sesuai dengan suasana api neraka sebagai tempat yang disediakan Allah buat menghukum orang yang bersalah.
“Tidak mendurhakai Allah pada apa yang Dia perintahkan, kepada mereka dan mereka kerjakan apa yang disuruhkan."
Ujung ayat menunjukkan bagaimana keras disiplin dan peraturan yang dijalankan dan dijaga oleh malaikat-malaikat itu. Tampaklah bahwa mereka semuanya hanya semata-mata menjalankan perintah Allah dengan patuh dan setia, tidak membantah dan tidak mengubah sedikit pun. Itulah yang diperingatkan kepada orangyangberiman. Bahwa mengakui beriman saja tidaklah cukup kalau tidak memelihara diri janganlah sampai esok masuk ke dalam neraka yang sangat panas dan siksa yang sangat besar itu, disertai jadi penyala dari api neraka.
Dari rumah tangga itulah dimulai menanamkan iman dan memupuk Islam. Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dan dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam ialah suatu masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap alam.
Oleh sebab itu maka seseorang yang beriman tidak bolehlah pasif, artinya berdiam diri menunggu-nunggu saja. Nabi sudah menjelaskan tanggung jawab dalam menegakkan iman menurut hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim.
Yang mula-mula sekali diperingatkan ialah supaya memelihara diri sendiri lebih dahulu supaya jangan masuk neraka. Setelah itu memelihara seluruh isi rumah tangga, istri dan anak-anak.
Dengan ayat ini dijelaskan bahwa iman itu mula ditumbuhkan pada diri pribadi. Kemudian diri pribadi tadi dianjurkan mendirikan rumah tangga. Diperintahkan nikah kawin menurut peraturan yang telah tertentu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan dipertalikan, diikatkan oleh akad nikah, atau ijab kabul. Di dalam surah ar-Ruum, ayat 21 diterangkanlah bahwa salah satu dari tanda-tanda (ayat) kebesaran Allah ialah bahwa diciptakan Allah untuk kamu istri-istri kamu, supaya kamu merasa tentaram dengan istri itu, dan dijadikan oleh Allah di antara kamu berdua mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), yaitu dipadukan hati dimesrakan hidup suami istri. Dan dalam pergaulan itulah Allah mengaruniakan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sebagaimana tersebut pada surah an-Nisaa', ayat 1. Sampai bertebaranlah manusia, laki-laki dan perempuan di muka bumi ini.
“Tiap-tiap kamu itu ialah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam yang mengimami orang banyak adalah pemimpin, dan dia akan ditanyai tentang orang-orang yang dipimpinnya itu. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan dia pun akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan dia pun akan ditanyai tentang yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang shahih ini nyatalah tanggung jawab yang terletak di atas pundak tiap-tiap orang menurut ukuran apa yang ditanggungjawabinya, akan ditanya tentang kepemimpinan terhadap ahlinya, yaitu istri dan anak-anaknya. Karena yang disebut ahli itu ialah seisi rumah yang terletak dalam tanggung jawab, kadang-kadang seseorang memikul tanggung jawab sampai dua atau tiga. Jika ia imam dalam satu masyarakat dan dia pun suami dalam satu rumah, maka keduanya pun di bawah tanggung jawabnya.
Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan istrinya. Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarga. Dan itu belum cukup, maka hendaklah dia membimbing istrinya, menuntunnya.
“Laki-laki adalah memimpin bagi perempuan-perempuan." (an-Nisaa': 34)
Lantaran itu maka sejak dari masa mencari jodoh, hal ini sudah patut diperhatikan. Sebab itu maka salah seorang imam ikutan umat, yaitu Imam Malik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peraturan kafa'ah (kesepadanan) tentang mencari pasangan suami istri, bagi beliau ialah agama. Kalau seorang laki-laki hendak mencari calon istri utamakanlah dari keluarga yang menghormati nilai-nilai agama.
Dengan sebab sekufu, yaitu sama pandangan keagamaan, mudahlah bagi si suami memimpin istrinya, terutama dalam pegangan hidup beragama. Nabi bersabda,
“Pilih-pilihlah tempat mencurahkan nuthfah kamu dan nikahilah perempuan yang sekufu' dan nikahkanlah kepada laki-laki yang sekufu pula." (HR Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad bin Hambal)
Setelah ayatperintah agar seorang Mukmin memelihara diri dan ahlinya dari nyala api neraka ini turun, bertanyalah Sayyidina Umar bin Khaththab kepada Rasulullah ﷺ, “Kita telah memelihara diri sendiri dari api neraka, dan bagaimana pula caranya kita memelihara ahli kita dari neraka?"
Rasulullah ﷺ, menjawab,
“Kamu laranglah mereka dan segala perbuatan yang dilarang Allah dan kamu suruhkanlah mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah." (HR al-Qusyairi, dalam Tafsir Al-Qurthubi)
Berdasarkan kepada yang demikian maka hendaklah dianjurkan, dipimpin dan diajak dan diajar istri-istri itu shalat, puasa, dan adab sopan santun agama yang lain.
Dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim ada disebutkan bahwa kalau Nabi akan mengerjakan shalat witir (tahajjud yang diakhiri dengan witir), beliau bangunkan pula istrinya. Dicatat oleh Muslim ucapan beliau yang dirawikan oleh Aisyah,
“Bangunlah dan berwitirlah hai Aisyah."
Seakan-akan terlihat oleh kita bagaimana Nabi ﷺ yang bersikap halus dan lemah lembut, dengan istrinya itu membangunkan Aisyah yang usianya masih muda, untuk sama- sama mengerjakan tahajjud.
Malahan ada sabda Nabi pula yang dirawikan oleh an-Nasa'i,
“Rahmat Allah-lah atas seseorang yang bangun pada sebagian malam lalu shalat. Lalu dibangunkannya pula ahlinya (keluarganya). Kalau dia tidak mau bangun lalu dipercikkan air di mukanya! Dan rahmat Allah pula bagi seorang perempuan yang bangun di sebagian malam shalat, lalu dibangunkannya pula suaminya, dan kalau tidak mau bangun dipercikkannya pula air di mukanya. " (HR an-Nasa'i)
Meskipun siram-menyiram atau percik memercikkan air, bukanlah karena memaksa. Karena kita pun maklum bahwa shalat tahajjud dan shalat witir tidaklah shalat wajib. Kalau mereka percik-memercikkan air suami istri bukanlah karena memaksa, melainkan karena mendalamnya kasih sayang. Kalau bukanlah karena mendalamnya kasih sayang, tidaklah Rasulullah ﷺ akan mengatakan dalam permulaan ucapannya “Rahimallahu," rahmat Allah atas laki-laki dan seterusnya itu.
Selanjutnya bilamana kedua suami istri dianugerahi oleh Allah anak, maka menjadi kewajiban pulalah bagi si ayah memilihkan nama yang baik buat dia, mengajarnya menulis dan membaca, dan jika telah datang waktunya, lekas peristrikan jika laki-laki dan lekas persuamikan jika perempuan.
Dan dianjurkan pulalah menyembelihkan aqiqah buat anak itu jika usianya sampai tujuh hari. Tetapi kalau telah lepas tujuh hari perbelanjaan buat aqiqah belum ada, aqiqahkanlah di mana ada waktu kelapangan. Dan bersabda Rasululah ﷺ,
“Suruhkanlah anak-anakmu shalat jika usianya sudah tujuh tahun, dan pukullah jika shalat itu ditinggalkannya kalau usianya sudah sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur di antara mereka. " (HR Abu Dawud)
Sebagaimana telah kita katakan sejak semula tadi, dari rumah tangga, atau dari gabungan hidup suami istri itulah umat akan dibentuk. Suami istri mendirikan rumah tangga, menurunkan anak-anak dan cucu, diiringkan oleh para pembantu dan pelayan. Dari sini akan bergabung menjadi kampung, teratak dan dusun, kota dan negeri, akhirnya sampai pada suatu negara dan umumnya ialah masyarakat. Anak laki-laki dari suatu keluarga akan dikawinkan dengan anak perempuan dari keluarga yang lain.
Maka dapatlah kita maklumi betapa hebat dan besarnya gelombang perusak masyarakat Islam itu yang kita hadapi di zaman kita ini. Pemuda dan pemudi bebas bergaul, sedang orangtuanya, ibu dan bapaknya sudah sangat lemah, bahkan ada yang telah padam semangat beragama itu pada dirinya. Dalam zaman seperti sekarang kian banyak laki-laki yang tidak memedulikan lagi shalat lima waktu dan istrinya pun tidak lagi mengetahui perbedaan mandi biasa dengan mandi janabat, kehidupan kebendaan, yang hanya terpukau kepada kemegahan yang dangkal menyebabkan rumah tangga tidak bercorak Islam lagi, dan anak-anak dari hasil pergaulan seperti itu menjadi kosong. Mudah saja mereka berpindah agama karena ingin kawin. Dan setelah perkawinan dilangsungkan sari cinta dan belas kasihan yang murni sudah habis. Keislaman sudah hanya tingal dalam catatan kartu penduduk saja.
Inilah yang diancam dengan api neraka, yang akan dinyalakan dengan manusia dan batu-batu, dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang kasar dan keras sikapnya, tidak pernah mengubah apa yang diperintahkan Allah dan patut melaksanakan apa yang diperintahkan.
Ayat 7
“Wahai orang-orang yang kafir!"
Artinya wahai orang-orang yang tidak percaya akan seruan ini, agar kamu pelihara- kanlah dirimu dan keluargamu, istri-istri dan anak-anak kamu dan kamu hanya berbuat sekehendak hatimu saja dalam dunia, ketahuilah bahwa adzab neraka itu pasti kamu derita di hari itu kelak. Janganlah kamu membela diri di hari ini karena pembelaan diri apabila telah datang hari Kiamat itu sudah percuma! Sudah tidak ada manfaatnya lagi.
“Tidaklah kamu akan dibalas melainkan menurut apa yang telah kamu kerjakan."
Artinya ialah bahwa balasan yang kamu terima di akhirat itu tidak lebih tidak kurang adalah setimpal dengan kesalahan yang telah kamu perbuat. Yang kamu perhatikan selama hidup di dunia hanyalah kekayaan, kebendaan, membanggakan diri, makan-minum sebagaimana makan minumnya binatang belaka, tidak mempunyai cita-cita, tidak mengingat hari depan. Dirimu sendiri kamu sia-siakan, jiwa tidak dibersihkan, akal tidak digunakan untuk berpikir. Sebab itu maka wibawa terhadap istri tidak ada, anak-anak sendiri pun tidak merasa segan dan takut kepada ayahnya. Harta benda mungkin banyak yang dapat dikumpulkan, padahal jiwa kosong dari pemikiran dan cita-cita hari depan.
Maka peringatan Allah tentang seramnya api neraka, yang alat penyalanya ialah manusia dan batu-batu, penjaganya malaikat-malaikat yang bengis, bukanlah suatu janji yang kejam. Sebab dari masa sekarang Allah telah memperingatkannya. Allah bukanlah sekali-kali menyukai kita menuju ke sana. Itu sebab maka diperingatkan dari sekarang. Yaitu supaya tempuhlah hidup yang baik, menurut tuntunan Allah dan Rasul, agar selamat dan terlepas dari adzab siksaan yang ngeri dan seram itu.
Ayat 8
“Wahai orang-orang yang beriman! Tobatlah kepada Allah tobat yang sejati!"
Serupa juga halnya dengan ayat 6 yang terdahulu di atas tadi, yaitu bahwa orang yang telah beriman disuruh memeliharakan diri dan keluarga daripada adzab api neraka. Demikian pula pada ayat ini; orang yang telah beriman disuruh supaya tobat, sebenar-benar tobat. Bukanlah orang yang berdosa saja yang disuruh bertobat, orang yang tidak bersalah pun disuruh bertobat.
Nabi ﷺ sendiri pun bertobat. Dari Abu Hurairah, berkata dia, berkata Rasulullah ﷺ,
“Demi Allah sesungguhnya aku sendiri memohon ampun kepada Allah dan tobat kepada-Nya dalam sehari lebih tujuh puluh kali." (HR Bukhari)
Dan sabda beliau pula dari al-Agharr bin Yasar Al-Muzanni, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Wahai seluruh manusia! Bertobatlah kepada Allah dan mohon ampunlah; sesungguhnya aku sendiri bertobat sampai seratus kali sehari. " (HR Muslim)
Oleh sebab itu berkatalah al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa bertobat itu adalah fardhu ‘ain atas tiap-tiap Mukmin dalam tiap- tiap hal dan dalam tiap-tiap zaman.
Menulis Imam Nawawi dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, dalam pendahuluan ketika menyusunkan hadits-hadits yang berkenaan dengan tobat. Kata beliau, “Berkata ulama, ‘Tobat itu adalah wajib dari tiap-tiap dosa. Kalau dosa yang diperbuat itu adalah maksiat dari seorang hamba terhadap Allah, yang tidak bersangkut sesama anak Adam, maka syarat tobat kepada Allah itu tiga perkara. Pertama berhenti dari maksiat itu seketika itu juga. Kedua merasakan menyesal yang sedalam-dalamnya atas perbuatan yang salah itu. Ketiga mempunyai tekad yang teguh bahwa tidak akan mengulanginya lagi. Kalau hilang salah satu dari tiga syarat itu, tidaklah sah tobatnya.
Dan jika maksiat itu bersangkutan dengan sesama anak Adam maka syarat tobatnya empat perkara: pertama, kedua dan ketiga ialah syarat tobat kepada Allah tadi, ditambah dengan yang keempat melepaskan dengan sebaik-baiknya hak orang lain yang telah diambil. Jika hak orang lain itu ialah harta benda atau yang seumpamanya, maka segeralah kembalikan. Kalau menuduh atau memfitnah yang tidak-tidak, segeralah meminta maaf kepadanya. Kalau dia dipergunjingkan (di-umpat] di belakangnya, akuilah kesalahan itu terus terang dan minta maaflah.
Sebab itu maka wajiblah segera tobat dari sekalian dosa, yang diingat ataupun yang tidak diingat.`' Sekian Imam Nawawi,
Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini disebut tobat nashuha. Penulis memberi arti tobat sejati. Asal arti kata nashuuh ialah bersih. Menjadilah tobat yang bersih.
Ulama-ulama tasawuf banyak membuat kesimpulan tentang maksud tobat nashuha.
Sahabat-sahabat Rasulullah sejak Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Mu'az bin Jabal sependapat bahwa arti tobat nashuha ialah tobat yang tidak mau kembali lagi kepada kesalahan itu.
Al-Kalbi mengartikan, “Tobat nashuha ialah menyesal dalam hati, minta ampun dengan lidah, berhenti di saat itu juga dari dosa tersebut dan meneguhkan azam tidak hendak mendekat ke sana lagi."
Said bin Jabair berkata, “Tobat Nashuuha ialah yang diterima Allah. Untuk diterima tobat itu hendaklah memenuhi tiga syarat. Pertama takut tobat tidak akan diterima. Kedua mengharap agar diterima. Ketiga mulai saat itu memenuhi hidup dengan taat."
Menurut Said bin al-Musayyab, “tobat nashuha ialah menasihati diri karena telah bersalah dan patuh menuruti nasihat itu." Al-Quraizhiy mengatakan bahwa untuk memenuhi perlengkapan tobat nashuha adalah dengan empat cara. “Memohon ampun dengan lidah, berhenti dari dosa itu dengan badan, berjanji dengan diri sendiri tidak akan mengulangi lagi, menjauhkan diri dari teman-teman yang hanya akan membawa terperosok kepada yang buruk saja."
Al-Junaidi al-Baghdadi berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa “Jika seseorang telah tobat nashuha dia tidak akan ingat lagi pada kesalahan dan dosa-dosa yang telah lalu itu. Sebab kasih sayang dan cintanya telah tertumpah kepada satu jurusan saja, yaitu Tuhannya. Jika seseorang telah tertumpah kasih kepada Allah, manakan ingat lagi kepada dosa yang telah lalu."
Seterusnya Allah berfirman, “Mudah-mudahanlah Allah kamu akan menghapuskan keburukan yang ada pada kamu."
Pengertian “mudah-mudahan" kita salinkan dari kalimat bahasa Arab yang terdapat dalam ayat itu, yaitu ‘asaa. Menurut ahli-ahli tafsir kalau ‘asaa yang berarti mudah- mudahan itu dipakai dari pihak Allah, artinya ialah pasti. Tegasnya kalau seseorang telah benar-benar tobat nashuha, pastilah Allah akan menghapusi dosanya dan menghapuskan bekas buruk yang selama ini lekat dalam pribadinya. “Dan akan dimasukkannya kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Di sini terdapatlah dua janji yang pasti dari Allah. Janji pertama untuk di atas dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar- benar tobat (tobat nashuha) hidupnya akan diperbaiki oleh Allah, kalau sekiranya selama ini dirinya telah cacat karena dosa, tetapi karena wajah hidupnya telah dihadapkannya kepada Allah dan dengan segera Allah akan mengubah dirinya dari orang buruk jadi orang baik, muka yang keruh karena dosa selama ini akan berganti berangsur-angsur menjadi jernih berseri karena sinar iman yang memancar dari dalam ruh. Itulah janji pasti yang pertama dari Allah. Adapun janji pasti yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam surga sebagai ganjaran atas menang-nya perjuangan diri sendiri dalam usaha hendak bebas dari pengaruh hawa nafsu dan setan. “Pada hari yang Allah tidak akan mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman yang besertanya." Sebab segala kepayahan Rasul dan kepayahan pengikutnya selama di dunia berjuang menegakkan kebenaran, menyeru manusia kepada agama Allah, di akhirat itu kelak akan disambut dengan sambutan yang layak, yang mulia dan penghargaan tertinggi sehingga tidak ada yang mengecewakan, terobat segala jerih payah selama di dunia. “Cahaya mereka akan berjalan di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka," cahaya yang akan bersinar sekeliling diri di akhirat itu kelak, yang akan berjalan di muka seorang Mukmin dan di sebelah kanannya, adalah lanjutan yang wajar dari cahaya yang telah dipupuk sejak kala hidup di dunia ini. “Mereka akan berkata, ‘Ya Tuhan kami! Sempurnakanlah atas kami, cahaya kami dan ampunilah kami.'" Maka kaum yang beriman itu telah berjalan diterangi oleh cahaya iman mereka sejak permulaan perjalanan sampai terus ke pintu maut dan sampai hari Kiamat. Senantiasa mereka memohonkan kepada Allah agar cahaya itu yakni cahaya iman disempurnakan terus, sedang orang kafir dan orang munafik tidak akan merasakan cahaya itu.
“Sesungguhnya Engkau, atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Menentukan."
Begitulah jiwanya orang yang beriman meskipun tidak mereka berbuat dosa yang besar, namun mereka tetap memohonkan tobat nashuha kepada Allah agar cahaya itu ditambah dan disempurnakan lagi dan agar dia diberi ampun, karena yang Mahasempurna hanyalah Allah saja. Dalam kemajuan per-jalanan itu mereka tidak mau melupakan bahwa Allah itu dapat saja mengubah keadaan. Orang yang tadinya taat dan tekun, kalau Allah menentukan bisa saja berputar haluan jadi orang yang sesat atau kembali terperosok ke dalam lumpur kehinaan.
Ayat 9
“Wahai Nabi!"
Perhatikanlah kembali ayat ini dan ayat- ayat yang lain yang serupa. Allah tidak pernah memanggil Nabi menurut nama kecilnya. Kepada Nabi Muhammad Allah tidak pernah berkata seperti kepada Nabi yang lain, seperti “Wahai Adam!" atau “Wahai Musa!" atau “Wahai Luth!" Tetapi kalau memanggil beliau selalu hanya jabatan beliau yang dipanggil, “Wahai Nabi!" atau “Wahai Rasul!" atau “Wahai yang berkemul," atau “Wahai yang berselimut!" “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik."Yaitu orang-orang yang tidak mau percaya, tetapi berpura-pura percaya. Orang-orang yang “telunjuk lurus, kelingking berkait," berlainan ucapan mulutnya dengan kenyataan perbuatannya, dan disebut juga musuh dalam selimut.
Pada hakikatnya kalimat, “Perangilah orang-orang kafir" bukanlah dimaksudkan semata-mata berperang yang bisa diartikan orang pada umumnya, yaitu mempergunakan senjata dengan kekerasan. Sebab pokok kata yang diartikan ialah jihad. Dan arti jihad yang lebih dekat ialah kerja keras dengan segala kesungguhan. Atau berjuanglah! Atau lawanlah, tentanglah, desaklah orang-orang kafir itu. Yaitu dengan melakukan segala macam usaha, dengan harta, dengan tenaga, dengan lisan, dengan tulisan. Al-Qurthubi menjelaskan bahwa menghadapi orang-orang kafir itu bukan saja dengan pedang, tetapi juga dengan pelajaran yang baik, dengan dakwah, pelajaran yang baik, juga dengan doa, dan seruan. “Dan bersikap keraslah terhadap mereka." Ahli ahli tafsir menafsirkan bahwa seruan jihad adalah lebih umum daripada seruan bersikap keras. Memerangi kekafiran tidak selalu mesti secara keras, kadang-kadang musuh dapat ditundukkan dengan sikap lemah lembut, atau dengan hujjah (alasan) yang tepat. Tetapi sikap keras hendaklah dilakukan kepada orang-orang munafik. Mereka tidak boleh diberi hati! “Tempat pulang mereka ialah Jahannam," Sebab akhir daripada perjalanan yang jahat, tidaklah yang baik.
“Dan itukah seburuk-buruk kesudahan."
Karena kesalahan langkah dari semula, ujungnya ialah nasib yang buruk jua adanya.